palembang,. Hutan gambut Merang Kepayang di Musi Banyuasin, yang merupakan satu-satunya hutan gambut di Sumsel yang masih terpelihara, juga terancam.
Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat dalam paparan hasil studi di hutan Merang Kepayang, Selasa (28/7), mengungkapkan, luas hutan gambut di Sumsel sekitar 750.000 hektar. Namun, sekitar 500.000 hektar hutan gambut sudah dialihfungsikan (dikonversi) sehingga hutan gambut yang belum dialihfungsikan tinggal seluas 230.000 hektar di Merang Kepayang.
Menurut Anwar Sadat, sebuah perusahaan swasta mendapat izin konsesi seluas 67.100 hektar dari Departemen Kehutanan di hutan Merang Kepayang. Walhi Sumsel mendesak agar izin tersebut ditinjau kembali karena lokasi konsesi berada di kawasan hutan gambut. ”Perusahaan tersebut akan mengajukan izin perluasan konsesi seluas 40.000 hektar. Kami mendesak agar izin perluasan ditolak karena akan menghancurkan hutan gambut,” kata Anwar Sadat.
Anwar Sadat mengutarakan, dari hasil pengamatan di lapangan selama 19 hari, terdapat 3.600-5.400 kubik kayu atau setara sembilan ponton yang dikeluarkan dari hutan Merang Kepayang. Kayu-kayu tersebut menjadi bahan baku untuk industri kertas.
Menyerap karbon
Anwar Sadat mengatakan, hutan gambut lebih istimewa dibandingkan dengan hutan biasa karena hutan gambut mampu menyerap karbon lebih banyak. Apalagi hutan gambut di Merang Kepayang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter yang harus dilindungi menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Hutan gambut juga menjadi tempat hidup bagi 300 jenis tumbuhan, 18 spesies mamalia, 75 spesies burung, tempat hidup harimau sumatera, tempat hidup buaya senyulong, dan merupakan daerah tangkapan air.
Dewan Daerah Walhi Sumsel Aidil Fitri menuturkan, perluasan kawasan konsesi akan menyebabkan sedikitnya 500 warga di sekitar hutan tergusur. Warga tersebut selama ini bekerja sebagai petani karet.
”Perluasan konsesi menyebabkan konflik hewan dengan manusia. Selama dua tahun sudah lima kali harimau menyerang manusia,” katanya.
Sekretaris Dinas Kehutanan Sumsel Zulfikar mengatakan, izin pengelolaan hutan dikeluarkan secara terpusat. Dinas Kehutanan di kabupaten dan provinsi hanya berwenang soal pengamanan hutan.
Sumber : Kompas
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Rabu, Juli 29, 2009
Gambut Berkurang
Selasa, Juli 28, 2009
RSPO Hanya untuk Menjaga Citra
Palembang, Kompas - Sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil atau Konferensi Minyak Sawit Berkelanjutan yang diberikan kepada perusahaan kelapa sawit tidak menjamin perusahaan itu telah melaksanakan prinsip-prinsip RSPO. Sertifikat RSPO hanya salah satu cara untuk menimbulkan citra positif bagi perusahaan.
Demikian kesimpulan dalam diskusi yang bertema ”Menyibak Skenario di Balik Sertifikasi RSPO” yang diselenggarakan Walhi Sumatera Selatan dan kantor berita Antara, Senin (27/7) di Palembang.
Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, mengutarakan, ada empat perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang telah memiliki sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil (RSPO). Satu perusahaan di Sumsel, dua perusahaan di Kalimantan Tengah, dan satu perusahaan di Sumatera Utara.
Namun, kata Jefri, keempat perusahaan tersebut sebenarnya belum melaksanakan delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO.
”Masih banyak konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan masyarakat. Sawit Watch menerima surat pengaduan dari masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan itu,” kata Jefri.
Jefri mengungkapkan, sertifikat RSPO pada akhirnya hanya untuk kepentingan pasar. Perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO seolah-olah sudah berhasil menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) tanpa konflik dengan masyarakat dan tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
Menurut Jefri, seharusnya ada sistem yang kuat untuk mengawasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia.
Kepala Subbidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Sumsel Muhammad Andhy menuturkan, perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang memiliki sertifikat RSPO bukan yang terbaik dalam pengelolaan lingkungan. Perusahaan tersebut masuk dalam kategori biru, belum masuk kategori hijau yang berarti terbaik.
Andhy menuturkan, banyak perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang tidak menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan. Padahal, keberadaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO menimbulkan dampak lingkungan.
Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, RSPO memiliki kelemahan karena sifatnya tidak mengikat perusahaan dan tidak ada konsekuensi bagi perusahaan yang tidak memilikinya. RSPO juga tidak mempunyai otoritas melakukan intervensi.
Sekretaris Dinas Perkebunan Sumsel Anung Riyanta mengungkapkan, Sumsel memiliki 3,2 juta hektar lahan perkebunan, tetapi yang dimanfaatkan baru 2,03 juta hektar.
Menurut akademisi Unsri, Julian Junaedi, RSPO adalah strategi memperlambat meletusnya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat.
Penangkapan
Jefri memaparkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang masih berkonflik dengan masyarakat terkait sengketa lahan. Rata-rata setiap tahun di seluruh Indonesia ada 20 orang yang ditangkap polisi karena masalah sengketa lahan dengan perusahaan kelapa sawit. Sejak Sawit Watch berdiri tahun 2004 sampai tahun 2009, terdapat 576 kasus konflik lahan.
Menurut Jefri, masalah sengketa lahan muncul karena masyarakat tidak mempunyai sertifikat tanah sehingga tidak bisa membuktikan kepemilikannya.
”Warga ditangkap ketika berunjuk rasa memasuki wilayah perusahaan, mencabuti tanaman kelapa sawit, atau melakukan perusakan,” kata dia.
Kompas
Demikian kesimpulan dalam diskusi yang bertema ”Menyibak Skenario di Balik Sertifikasi RSPO” yang diselenggarakan Walhi Sumatera Selatan dan kantor berita Antara, Senin (27/7) di Palembang.
Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, mengutarakan, ada empat perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang telah memiliki sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil (RSPO). Satu perusahaan di Sumsel, dua perusahaan di Kalimantan Tengah, dan satu perusahaan di Sumatera Utara.
Namun, kata Jefri, keempat perusahaan tersebut sebenarnya belum melaksanakan delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO.
”Masih banyak konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan masyarakat. Sawit Watch menerima surat pengaduan dari masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan itu,” kata Jefri.
Jefri mengungkapkan, sertifikat RSPO pada akhirnya hanya untuk kepentingan pasar. Perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO seolah-olah sudah berhasil menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) tanpa konflik dengan masyarakat dan tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
Menurut Jefri, seharusnya ada sistem yang kuat untuk mengawasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia.
Kepala Subbidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Sumsel Muhammad Andhy menuturkan, perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang memiliki sertifikat RSPO bukan yang terbaik dalam pengelolaan lingkungan. Perusahaan tersebut masuk dalam kategori biru, belum masuk kategori hijau yang berarti terbaik.
Andhy menuturkan, banyak perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang tidak menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan. Padahal, keberadaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO menimbulkan dampak lingkungan.
Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, RSPO memiliki kelemahan karena sifatnya tidak mengikat perusahaan dan tidak ada konsekuensi bagi perusahaan yang tidak memilikinya. RSPO juga tidak mempunyai otoritas melakukan intervensi.
Sekretaris Dinas Perkebunan Sumsel Anung Riyanta mengungkapkan, Sumsel memiliki 3,2 juta hektar lahan perkebunan, tetapi yang dimanfaatkan baru 2,03 juta hektar.
Menurut akademisi Unsri, Julian Junaedi, RSPO adalah strategi memperlambat meletusnya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat.
Penangkapan
Jefri memaparkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang masih berkonflik dengan masyarakat terkait sengketa lahan. Rata-rata setiap tahun di seluruh Indonesia ada 20 orang yang ditangkap polisi karena masalah sengketa lahan dengan perusahaan kelapa sawit. Sejak Sawit Watch berdiri tahun 2004 sampai tahun 2009, terdapat 576 kasus konflik lahan.
Menurut Jefri, masalah sengketa lahan muncul karena masyarakat tidak mempunyai sertifikat tanah sehingga tidak bisa membuktikan kepemilikannya.
”Warga ditangkap ketika berunjuk rasa memasuki wilayah perusahaan, mencabuti tanaman kelapa sawit, atau melakukan perusakan,” kata dia.
Kompas
Rabu, Juli 22, 2009
Walhi Sumsel Minta Pemda Lindungi Ikan Belida
Wahana Lingkungan Hidup, Walhi Sumatera Selatan meminta pemerintah dan warga melakukan upaya penyelamatan ikan belida. Upaya ini sangat mendesak dilakukan karena ikan belida mendekati kepunahan. Ikan belida merupakan ikon Kota Palembang yang biasa hidup di pinggiran Sungai Musi.
Alih fungsi hutan di hulu Sungai Musi menjadi perkebunan dan hutan tanaman industri, ditambah pencemaran air yang dilakukan pabrik-pabrik yang berdiri di sepanjang aliran Sungai Musi, menyebabkan keberlangsungan ikan belida terancam.
Juru bicara Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mendesak pemerintah melakukan upaya nyata untuk menyelamatkan ikan belida dan kepunahan. Walhi juga meminta agar pemerintah menetapkan ikan belida sebagai hewan yang terancam punah dan dilindungi
”Kami meminta pemerintah menghentikan atau mencegah datangnya zat-zat pencemar ke sungai Musi, jika tidak dilakukan maka ikan yang menjadi ikon kota Palembang bisa hilang,” kata Hadi Jatmiko.
Ikan yang menjadi bahan baku pembuatan empek-empek ini sudah sulit didapatkan di Sumatera Selatan. Untuk memenuhi kebutuhan warga Palembang, ikan belida justru harus didatangkan dari luar Sumatera Selatan. Ikan ini belum bisa dibudidayakan dan hanya bisa hidup di sungai dengan kualitas air yang bagus. Namun, sungai Musi semakin tercemar mengakibatkan populasi ikan belida terancam punah.
Sumber :http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=630:walhi-sumsel-minta-pemda-lindungi-ikan-belida-&catid=1:latest-news&Itemid=338
Alih fungsi hutan di hulu Sungai Musi menjadi perkebunan dan hutan tanaman industri, ditambah pencemaran air yang dilakukan pabrik-pabrik yang berdiri di sepanjang aliran Sungai Musi, menyebabkan keberlangsungan ikan belida terancam.
Juru bicara Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mendesak pemerintah melakukan upaya nyata untuk menyelamatkan ikan belida dan kepunahan. Walhi juga meminta agar pemerintah menetapkan ikan belida sebagai hewan yang terancam punah dan dilindungi
”Kami meminta pemerintah menghentikan atau mencegah datangnya zat-zat pencemar ke sungai Musi, jika tidak dilakukan maka ikan yang menjadi ikon kota Palembang bisa hilang,” kata Hadi Jatmiko.
Ikan yang menjadi bahan baku pembuatan empek-empek ini sudah sulit didapatkan di Sumatera Selatan. Untuk memenuhi kebutuhan warga Palembang, ikan belida justru harus didatangkan dari luar Sumatera Selatan. Ikan ini belum bisa dibudidayakan dan hanya bisa hidup di sungai dengan kualitas air yang bagus. Namun, sungai Musi semakin tercemar mengakibatkan populasi ikan belida terancam punah.
Sumber :http://www.greenradio.fm/index.php?option=com_content&view=article&id=630:walhi-sumsel-minta-pemda-lindungi-ikan-belida-&catid=1:latest-news&Itemid=338
Selasa, Juli 21, 2009
Ekosistem Hutan Gambut Terakhir Terancam
PALEMBANG -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Selatan (Sumsel) mendesak penyelamatan kawasan hutan rawa gambut terakhir di daerahnya, yang kini telah dikelola sebagai kawasan hutan tanaman industri (HTI) oleh salah satu perusahaan swasta.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat, di Palembang, Senin, mengingatkan bahwa konsesi pengelolaan HTI oleh PT Rimba Hutani Mas (RHM)--kelompok usaha milik Sinar Mas Group--berdasarkan izin usaha dari Menteri Kehutanan sesuai SK Menhut No. 90/Menhut-II/2007 tentang pemberian IUPHHK pada RHM seluas 67.100 hektare.
Areal konsesi itu terletak di tiga blok, yaitu blok 1 di Hutan Produksi Meranti, blok 2 di Hutan Produksi Lalan (Kelompok Hutan Merang), dan blok 3 yang juga terletak di Kelompok Hutan Merang, di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel.
"Kami mengkhawatirkan diterbitkan izin usaha bagi PT RHM di wilayah tersebut, akan berdampak secara ekstrem terhadap kelangsungan dan kestabilan ekologi di wilayah ini," kata Sadat lagi.
Apalagi selama beroperasi sejak tahun 2008, RHM dinilai WALHI Sumsel cenderung mengeksploitasi kekayaan hutan alam Sumsel di kawasan itu, padahal hutan yang ada saat ini telah dan terus mengalami penyusutan.
"Berdasarkan penelusuran kami bahwa usaha PT RHM, khususnya di HP Lalan atau Kelompok Hutan Merang itu berada pada kawasan hutan alam yang kondisinya masih sangat baik," ujar dia lagi.
Terdapat banyak jenis vegetasi tumbuh-tumbuhan (pepohonan) yang berada di dalam kawasan ini, selain banyak pula spesies (fauna) yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut, yang sebagian besar dari fauna itu dilindungi oleh Undang-undang.
Dipertanyakan pula, izin PT RHM juga berada kawasan rawa gambut yang memiliki ketebalan yang sangat dalam, yaitu berkisar 1 - 6 meter (survei Wetlands International dan SSFFMP).
"Gambut yang berada di dalam kawasan ini merupakan satu-satunya gambut alami yang terluas dan yang masih tersisa di provinsi ini," ujar Sadat lagi.
Perusahaan tersebut, menurut dia, diketahui kini tengah mengajukan pula perluasan usaha kepada Menhut seluas 20 ribu hektare, dan telah disetujui oleh Dinas Kehutanan (Kabupaten Muba dan Sumsel), Bupati Muba dan Gubernur Sumsel.
ant/Mi
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat, di Palembang, Senin, mengingatkan bahwa konsesi pengelolaan HTI oleh PT Rimba Hutani Mas (RHM)--kelompok usaha milik Sinar Mas Group--berdasarkan izin usaha dari Menteri Kehutanan sesuai SK Menhut No. 90/Menhut-II/2007 tentang pemberian IUPHHK pada RHM seluas 67.100 hektare.
Areal konsesi itu terletak di tiga blok, yaitu blok 1 di Hutan Produksi Meranti, blok 2 di Hutan Produksi Lalan (Kelompok Hutan Merang), dan blok 3 yang juga terletak di Kelompok Hutan Merang, di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumsel.
"Kami mengkhawatirkan diterbitkan izin usaha bagi PT RHM di wilayah tersebut, akan berdampak secara ekstrem terhadap kelangsungan dan kestabilan ekologi di wilayah ini," kata Sadat lagi.
Apalagi selama beroperasi sejak tahun 2008, RHM dinilai WALHI Sumsel cenderung mengeksploitasi kekayaan hutan alam Sumsel di kawasan itu, padahal hutan yang ada saat ini telah dan terus mengalami penyusutan.
"Berdasarkan penelusuran kami bahwa usaha PT RHM, khususnya di HP Lalan atau Kelompok Hutan Merang itu berada pada kawasan hutan alam yang kondisinya masih sangat baik," ujar dia lagi.
Terdapat banyak jenis vegetasi tumbuh-tumbuhan (pepohonan) yang berada di dalam kawasan ini, selain banyak pula spesies (fauna) yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut, yang sebagian besar dari fauna itu dilindungi oleh Undang-undang.
Dipertanyakan pula, izin PT RHM juga berada kawasan rawa gambut yang memiliki ketebalan yang sangat dalam, yaitu berkisar 1 - 6 meter (survei Wetlands International dan SSFFMP).
"Gambut yang berada di dalam kawasan ini merupakan satu-satunya gambut alami yang terluas dan yang masih tersisa di provinsi ini," ujar Sadat lagi.
Perusahaan tersebut, menurut dia, diketahui kini tengah mengajukan pula perluasan usaha kepada Menhut seluas 20 ribu hektare, dan telah disetujui oleh Dinas Kehutanan (Kabupaten Muba dan Sumsel), Bupati Muba dan Gubernur Sumsel.
ant/Mi
Kamis, Juli 16, 2009
PERNYATAAN SIKAP
“Selamatkan Hutan Rawa Gambut Terakhir Sumsel dari kerakusan Hutan Tanaman Industri PT. Rimba Hutani Mas (RHM)”PT. Rimba Hutani Mas merupakan salah satu usaha milik Sinar Mas Group, yang bergerak pada sektor Hutan Tanaman Industri (HTI). Perusahaan ini memperoleh izin usaha dari Menteri Kehutanan berdasarkan SK. Menhut No. 90/Menhut-II/2007 tentang pemberian IUPHHK pada RHM seluas 67.100 hektar, yang terletak di tiga blok, yaitu blok 1 di Hutan Produksi Meranti, blok 2 di Hutan Produksi Lalan (Kelompok Hutan Merang), dan blok 3 yang juga terletak di Kelompok Hutan Merang – Kabupaten Musi Banyuasin.
Kami mengkhawatirkan diterbitkannya izin usaha bagi PT. RHM di wilayah tersebut, akan berdampak secara ekstrem terhadap kelangsungan dan kestabilan ekologi. Apalagi selama beroperasi sejak 2008 yang lalu, RHM terus menghabisi kekayaan hutan alam Sumsel di kawasan itu, yang sesungguhnya hutan kita saat ini telah dan terus mengalami penyusutan.
Berdasarkan penelusuran kami bahwa usaha PT. RHM, khususnya yang terletak di HP Lalan (Kelompok Hutan Merang) – berada pada kawasan hutan alam yang kondisinya masih sangat baik. Terdapat banyak jenis vegetasi tumbuh-tumbuhan (pepohonan) yang berada di dalam kawasan ini, selain begitu banyak pula spesies (fauna) yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan tersebut, yang sesungguhnya sebagian besar dari fauna itu dilindungi oleh Undang-undang.
Disisi lainnya, bahwa izin PT. RHM juga berada kawasan rawa gambut yang memiliki ketebalan yang sangat dalam, yaitu berkisar 1 – 6 Meter (survey Wetlands International dan SSFFMP). Dimana perlu kami perjelas bahwa gambut yang berada di dalam kawasan ini merupakan satu-satunya gambut alami yang terluas dan yang masih tersisa di Propinsi ini.
Dalam konteks tersebut, ditengah persoalan dan dampak ekologi yang ditimbulkan dari usaha PT. RHM, perusahaan ini kini tengah mengajukan perluasan usaha kepada Menhut seluas 20 ribu hektar, dimana pengajuan izin itu telah disetujui oleh Dinas Kehutanan (Kabupaten Muba dan Sumsel), Bupati Muba dan Gubernur Sumatera Selatan. Terhadap rencana ini kami memandang, selain semakin meluasnya dampak ekologi yang ditimbulkan, juga akan berdampak bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Karena setidaknya di dalam dan sekitar kawasan yang menjadi target perluasan PT. RHM terdapat ± 500 keluarga yang selama ini berdiam diri dan menggantungkan hidup dari kekayaan SDA sekitar kawasan.
Atas berbagai persoalan yang kami paparkan di atas, dengan ini kami mendesak:
- Cabut izin usaha PT. RHM. Keberadaan RHM khususnya yang berada pada lokasi Kelompok Hutan Merang atau di kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK) hanya akan merusak lingkungan Sumatera Selatan, yang sesungguhnya saat ini tengah berada pada kondisi yang sangat kritis, dan penjarahan hutan alam oleh PT. RHM hanya akan semakin mempercepat laju kepunahan hutan tropis Sumatera Selatan. Pada sisi lainnya, izin usaha PT. RHM yang berada pada wilayah tersebut bertentangan dengan spirit yang terkandung di dalam PP No 3 Tahun 2008 ayat 3 bahwa Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, dan juga bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1990 khususnya pasal 9 & 10, yang menyebutkan bahwa kawasan bergambut lebih dari tiga meter merupakan kawasan lindung.
- Menolak diterbitkannya izin perluasan yang saat ini tengah diajukan oleh PT. RHM. Perluasan izin RHM hanya akan memperparah kerusakan hutan gambut di kawasan tersebut, selain berpotensi mengancam kelangsungan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.
Demikianlah tuntutan ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian para fihak terkait. Jika hal ini tidak direalisasikan, kami akan terus melakukan perlawanan dan menggugat investasi PT. RHM (baik secara politik maupun dalam bentuk gugatan hukum), karena keberadaan RHM telah dan akan merusak lingkungan, dan merugikan kehidupan sosial ekonomi rakyat.
Contact Person :
Anwar Sadat (62) 812 7855725
Hadi jatmiko (62) 812 731 2042
Selengkapnya...
Anwar Sadat (62) 812 7855725
Hadi jatmiko (62) 812 731 2042
Sabtu, Juli 11, 2009
Melawan Siklus Lupa Lima Tahunan
Janji manis itu diucapkan lima tahun yang lalu. Ketika bertarung berebut simpati rakyat dengan kandidat lain, duet SBY-JK berjanji melakukan reforma agraria. Reforma agraria menjadi satu dari sejumlah program unggulan yang dijanjikan pasangan yang mengusung semboyan "Bersama Kita Bisa" itu. Hati aktivis LSM, pemerhati agraria, dan pejuang petani kecil berbunga-bunga saat itu, terlebih-lebih petani gurem. Wacana reforma agraria yang layu karena stigma "kiri" diusung menjadi agenda kenegaraan. Terpilihnya SBY-JK sebagai presiden-wakil presiden, meski sulit diukur, tidak lepas dari agenda yang diusungnya itu.
Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek land reform. Lahan dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.
Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah land reform plus. Land reform itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.
Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu, tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis, Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko), jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis (Jepang, Tanzania, Taiwan)?
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun, para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa mengeliminasi syarat lain.
Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo. Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).
Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar 62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto, 2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini: ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004 jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada 2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka underemployment meningkat dari 29,8 persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak; daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.
Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30 tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran (non-tradable) yang miskin penyerapan tenaga kerja, capital intensive, dan ditekuni segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya 4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya, kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di pedesaan bekerja di pertanian.
Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya. Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya). Di etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform. Di pengujung abad ke-20, land reform plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma agraria. *
Penulis : Khudori
Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Sumber : Koran Tempo 10/07/09
Seperti sebuah "tradisi", begitu meraih dan menduduki posisi yang diinginkan, politikus lupa akan janjinya. Sejarah politik Indonesia mengajarkan hal itu. Pemilih hanya bisa pasrah karena tidak ada mekanisme untuk menagih janji ketika politikus berkuasa. Dalam kondisi seperti itu, di ujung 2006, para pejuang agraria kembali disuguhi angin segar setelah Presiden SBY berjanji akan mengalokasikan 8,15 juta hektare lahan. Dari sisi obyek, lahan 8,15 juta hektare berasal dari konversi hutan kritis plus lahan-lahan obyek land reform. Lahan dibagi: 6 juta hektare untuk petani, sisanya untuk pengusaha.
Reforma agraria bukanlah "bagi-bagi tanah". Reforma agraria adalah land reform plus. Land reform itu sendiri biasa dimaknai sebagai penataan ulang struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, infrastruktur, dan lain-lain.
Pelaksanaan reforma agraria tidaklah sederhana. Misal, apakah cara pelaksanaannya kategori lunak model Jepang (1868), model radikal ala Uni Soviet (1929), atau model moderat seperti Indonesia di masa lalu? Lalu, tempo waktunya apakah sekaligus atau bertahap seperti di Iran. Kemudian jalur-jalurnya apakah mengikuti jalan kapitalis (Inggris, Prancis, Prusia/Jerman, Amerika, Jepang, Korea/Taiwan, Kolombia, dan Meksiko), jalur sosialis (Uni Soviet, Cina, dan Kuba) atau jalur neo-populis (Jepang, Tanzania, Taiwan)?
Keberhasilan reforma agraria setidaknya memerlukan enam syarat utama (Wiradi, 2000). Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua, data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah memahami minimal pengetahuan elementer tentang agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi). Dari keenam syarat pokok itu, jika niat pemerintah tulus, baru syarat pertama yang terpenuhi. Namun, para ahli agraria sepakat, syarat pertama ini paling penting karena bisa mengeliminasi syarat lain.
Kini, di senja pemerintahan SBY-JK, janji reforma agraria berlalu tanpa wujud. Tidak lagi terdengar wacana program reforma agraria, bahkan saat SBY-(Boediono) dan JK-(Wiranto) kembali berlaga di ajang pemilu presiden. Program reforma agraria hanya diusung duet Mega-Prabowo. Sejauh ini pemerintah SBY-JK hanya mendorong sertifikasi tanah lewat program Larasita. Program ini sama sekali tidak menyentuh esensi persoalan agraria yang akut di negeri ini: ketimpangan distribusi kepemilikan lahan dan konflik agraria yang massif. Badan Pertanahan Nasional (BPN, 2007) mencatat, ada 2.810 kasus tanah besar yang mengakibatkan konflik, serta merugikan negara dan warga. Nilai tanah yang tersandera oleh sengketa itu mencapai Rp 1.000 triliun (Winoto, 2008).
Ketimpangan pemilikan aset di negeri ini sangat akut: 56 persen aset nasional hanya dikuasai oleh 0,2 persen dari jumlah penduduk. Ini berarti aset nasional yang demikian besar hanya dikuasai oleh 440 ribu orang. Di antara mereka pun ada yang penguasaannya amat tinggi dan ada yang tidak. Jika dilihat lebih detail, konsentrasi aset itu sebesar 62-87 persen (tergantung provinsi) berwujud dalam bentuk tanah (Winoto, 2008). Ini berimplikasi pada situasi-situasi genting di negeri ini: ketimpangan ekonomi makin parah (koefisien gini naik dari 0,32 pada 2004 jadi 0,36 pada 2007); kemiskinan (34,96 juta jiwa atau 15,4 persen pada 2008) dan pengangguran (9,4 juta jiwa atau 8,4 persen pada 2008) masih tinggi; gizi buruk 2,3 juta; angka underemployment meningkat dari 29,8 persen (2004) menjadi 30,3 persen (2008); sektor informal masih dominan dari struktur tenaga kerja (69 persen); lingkungan hidup makin rusak; daya saing ekonomi melemah; dan kualitas hidup masyarakat jauh tertinggal.
Berapa jauh kita tertinggal? Sebagai ilustrasi, apabila diukur oleh pendapatan per kapita, kita tertinggal oleh Malaysia lebih dari 30 tahun. Industri manufaktur yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja formal yang cukup besar tidak terjadi. Sebab, yang tumbuh tinggi (di atas 9 persen) adalah sektor keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, serta perdagangan/hotel/restoran (non-tradable) yang miskin penyerapan tenaga kerja, capital intensive, dan ditekuni segelintir pelaku. Sampai sekarang sektor pertanian masih jadi penyerap tenaga kerja terbesar (43 persen). Padahal pertumbuhan sektor ini hanya 4,6 persen (sebagian besar disumbang sektor perkebunan). Akibatnya, kemiskinan bertumpuk di sektor ini: 70 persen penduduk miskin di pedesaan bekerja di pertanian.
Bagi petani, tanah merupakan harta yang tak ternilai. Merupakan bagian hidup, sumber hidup, dan kehidupannya berikut harkat dan martabatnya. Bahkan, tanah bagian dari identitas. Itu sebabnya, di kalangan masyarakat Jawa khususnya, terdapat prinsip hidup yang berbunyi sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohing pati (meskipun sejengkal, tanah bagian kehormatan yang akan dibela hingga mati jika ada yang mengganggunya). Di etnis lain juga berlaku prinsip yang sama. Itu sebabnya, tanah memiliki kedudukan penting.
Tanah hanya salah satu jenis modal. Selain tanah, ada modal manusia dan modal uang. Tapi, bagi petani, modal tanah amat menentukan akses terhadap modal lainnya. Itu sebabnya, redistribusi tanah (land reform) jadi agenda hampir semua negara di dunia. Semua negara yang kita kenal memiliki struktur politik, ekonomi, dan sosial yang kukuh dan baik, seperti Cina, Jepang, Taiwan, Korea, atau AS, memulai pembangunan ekonominya dengan land reform. Di pengujung abad ke-20, land reform plus menjadi bagian penting strategi negara-negara di dunia untuk menata struktur politik, ekonomi, dan sosialnya yang feodalistik. Struktur agraria Indonesia saat ini sama persis (meski beda besarannya) dengan awal kita merdeka: feodalistik. Struktur agraria itu hendak dirombak lewat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Sayangnya, para elite politik dan penguasa menjadikan agenda reforma agraria sebagai janji rutin lima tahunan saat pemilu. Kita harus memutus siklus janji lima tahunan dengan memilih pemimpin yang berkomitmen melakukan reforma agraria. *
Penulis : Khudori
Pemerhati masalah sosial-ekonomi pertanian
Sumber : Koran Tempo 10/07/09
Langganan:
Postingan (Atom)