Palembang, Kompas - Sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil atau Konferensi Minyak Sawit Berkelanjutan yang diberikan kepada perusahaan kelapa sawit tidak menjamin perusahaan itu telah melaksanakan prinsip-prinsip RSPO. Sertifikat RSPO hanya salah satu cara untuk menimbulkan citra positif bagi perusahaan.
Demikian kesimpulan dalam diskusi yang bertema ”Menyibak Skenario di Balik Sertifikasi RSPO” yang diselenggarakan Walhi Sumatera Selatan dan kantor berita Antara, Senin (27/7) di Palembang.
Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, mengutarakan, ada empat perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang telah memiliki sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil (RSPO). Satu perusahaan di Sumsel, dua perusahaan di Kalimantan Tengah, dan satu perusahaan di Sumatera Utara.
Namun, kata Jefri, keempat perusahaan tersebut sebenarnya belum melaksanakan delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO.
”Masih banyak konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan masyarakat. Sawit Watch menerima surat pengaduan dari masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan itu,” kata Jefri.
Jefri mengungkapkan, sertifikat RSPO pada akhirnya hanya untuk kepentingan pasar. Perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO seolah-olah sudah berhasil menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) tanpa konflik dengan masyarakat dan tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
Menurut Jefri, seharusnya ada sistem yang kuat untuk mengawasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia.
Kepala Subbidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Sumsel Muhammad Andhy menuturkan, perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang memiliki sertifikat RSPO bukan yang terbaik dalam pengelolaan lingkungan. Perusahaan tersebut masuk dalam kategori biru, belum masuk kategori hijau yang berarti terbaik.
Andhy menuturkan, banyak perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang tidak menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan. Padahal, keberadaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO menimbulkan dampak lingkungan.
Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, RSPO memiliki kelemahan karena sifatnya tidak mengikat perusahaan dan tidak ada konsekuensi bagi perusahaan yang tidak memilikinya. RSPO juga tidak mempunyai otoritas melakukan intervensi.
Sekretaris Dinas Perkebunan Sumsel Anung Riyanta mengungkapkan, Sumsel memiliki 3,2 juta hektar lahan perkebunan, tetapi yang dimanfaatkan baru 2,03 juta hektar.
Menurut akademisi Unsri, Julian Junaedi, RSPO adalah strategi memperlambat meletusnya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat.
Penangkapan
Jefri memaparkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang masih berkonflik dengan masyarakat terkait sengketa lahan. Rata-rata setiap tahun di seluruh Indonesia ada 20 orang yang ditangkap polisi karena masalah sengketa lahan dengan perusahaan kelapa sawit. Sejak Sawit Watch berdiri tahun 2004 sampai tahun 2009, terdapat 576 kasus konflik lahan.
Menurut Jefri, masalah sengketa lahan muncul karena masyarakat tidak mempunyai sertifikat tanah sehingga tidak bisa membuktikan kepemilikannya.
”Warga ditangkap ketika berunjuk rasa memasuki wilayah perusahaan, mencabuti tanaman kelapa sawit, atau melakukan perusakan,” kata dia.
Kompas
Demikian kesimpulan dalam diskusi yang bertema ”Menyibak Skenario di Balik Sertifikasi RSPO” yang diselenggarakan Walhi Sumatera Selatan dan kantor berita Antara, Senin (27/7) di Palembang.
Ketua Departemen Kampanye Sawit Watch, Jefri Gideon Saragih, mengutarakan, ada empat perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang telah memiliki sertifikat Roundtabel on Sustainable Palm Oil (RSPO). Satu perusahaan di Sumsel, dua perusahaan di Kalimantan Tengah, dan satu perusahaan di Sumatera Utara.
Namun, kata Jefri, keempat perusahaan tersebut sebenarnya belum melaksanakan delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO.
”Masih banyak konflik antara perusahaan-perusahaan tersebut dengan masyarakat. Sawit Watch menerima surat pengaduan dari masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan itu,” kata Jefri.
Jefri mengungkapkan, sertifikat RSPO pada akhirnya hanya untuk kepentingan pasar. Perusahaan yang mengantongi sertifikat RSPO seolah-olah sudah berhasil menghasilkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) tanpa konflik dengan masyarakat dan tanpa menimbulkan kerusakan pada lingkungan.
Menurut Jefri, seharusnya ada sistem yang kuat untuk mengawasi perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia.
Kepala Subbidang Pengendalian Pencemaran Badan Lingkungan Hidup Sumsel Muhammad Andhy menuturkan, perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang memiliki sertifikat RSPO bukan yang terbaik dalam pengelolaan lingkungan. Perusahaan tersebut masuk dalam kategori biru, belum masuk kategori hijau yang berarti terbaik.
Andhy menuturkan, banyak perusahaan kelapa sawit di Sumsel yang tidak menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan. Padahal, keberadaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan CPO menimbulkan dampak lingkungan.
Menurut Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, RSPO memiliki kelemahan karena sifatnya tidak mengikat perusahaan dan tidak ada konsekuensi bagi perusahaan yang tidak memilikinya. RSPO juga tidak mempunyai otoritas melakukan intervensi.
Sekretaris Dinas Perkebunan Sumsel Anung Riyanta mengungkapkan, Sumsel memiliki 3,2 juta hektar lahan perkebunan, tetapi yang dimanfaatkan baru 2,03 juta hektar.
Menurut akademisi Unsri, Julian Junaedi, RSPO adalah strategi memperlambat meletusnya konflik antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat.
Penangkapan
Jefri memaparkan, banyak perusahaan kelapa sawit yang masih berkonflik dengan masyarakat terkait sengketa lahan. Rata-rata setiap tahun di seluruh Indonesia ada 20 orang yang ditangkap polisi karena masalah sengketa lahan dengan perusahaan kelapa sawit. Sejak Sawit Watch berdiri tahun 2004 sampai tahun 2009, terdapat 576 kasus konflik lahan.
Menurut Jefri, masalah sengketa lahan muncul karena masyarakat tidak mempunyai sertifikat tanah sehingga tidak bisa membuktikan kepemilikannya.
”Warga ditangkap ketika berunjuk rasa memasuki wilayah perusahaan, mencabuti tanaman kelapa sawit, atau melakukan perusakan,” kata dia.
Kompas
0 komentar:
Posting Komentar