Sengketa lahan antara petani dengan perusahaan perkebunan banyak
dijumpai pada sejumlah daerah di Indonesia, tidak hanya di Sumatera,
tapi juga di Sulawesi, Kalimatan hingga Pulau Jawa. Bagaimana pemerintah
mengatasinya ?
TIAP tahun kasus perkebunan terus meningkat. Pada 2007, terjadi 475
kasus, 2008 sebanyak 556 kasus, 2009 581 kasus, 2010 694 kasus, dan 2011
naik menjadi 802 kasus. Dari jumlah itu, 625 kasus diantaranya sengketa
lahan.
“Itu data yang kami dapatkan, dan 49 kasus diantaranya baru
diselesaikan pemerintah,” kata Ketua Umum Gaperindo, Sulaiman Husein,
saat seminar Uji Sahih RUU Perubahan Atas UU No 18/2004 tentang
Perkebunan, belum lama ini.
Sulaiman mengatakan, maraknya kasus perkebunan ini akibat kurang
tegas dan tidak terarahnya UU No 18/2004 tentang Perkebunan.
Ketidaktegasan inilah yang membuat para pengusaha berani pasang badan.
Karena itu, kata Sulaiman, usulan revisi UU No 18/2004 tentang
Perkebunan dinilai perlu dipercepat agar memiliki landasan kuat dalam
pembangunan perkebunan ke depan. Karena konflik kepemilikan lahan
cenderung meningkat tiap tahun.
Menurutnya, pada awalnya, UU Perkebunan itu diperkirakan bisa
membawakan harapan bagi petani perkebunan untuk membawa kesejahteraan
dan keadilan. Tapi di dalam perjalanannya, dimana-mana muncul
permasalahan. “Ini disebabkan ada beberapa di dalam UU itu yang kurang
tegas dan terarah sehingga banyak pengusaha menyalahi aturan,” tegas
dia.
Permasalahan lain dalam UU No 18/2004, yaitu mudahnya perusahaan
memperoleh hak guna usaha (HGU) sehingga lahan petani semakin tergerus
dan semakin mahal. Apalagi HGU yang dikantongi perusahaan juga cukup
lama, mencapai 35 tahun.
“Maka banyak petani yang tidak mempunyai lahan karena dikuasai
perusahaan,” tegas Sulaiman. Pemerintah harus mempertegas HGU agar tidak
dikuasai perusahaan dengan jangka waktu panjang.
Akademisi Universitas Hasanuddin, Ambo Ala menambahkan, sanksi pidana
diatur dalam Pasal 47 ayat 1 dan 2 dinilai sangat memberatkan petani.
Sebab, pasal tersebut sangat pro kepada pengusaha. Contohnya, apabila
masyarakat melakukan demonstrasi, mereka dapat dikenai pasal pidana.
“Sepanjang 2009, sudah ada 20 orang yang dipenjara selama enam bulan,”
tutur Ambo. Penangkapan terjadi karena di dalam UU ini setiap aktivitas
yang mengganggu aktivitas operasi perkebunan dianggap sebagai tindakan
kriminal. Aktivitas yang mengganggu ini termasuk di dalamnya komplain,
demo, atau menutup pagar perkebunan yang mengganggu truk untuk masuk.
Percepat Revisi
Pimpinan Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), Matheus Stefi
Pasimanjeku, juga mengakui, jika UU tersebut masih terdapat kekurangan
dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan hukum masyarakat
mengenai perkebunan yang baik.
“Ya, memang perlu ada perubahan,” kata dia. Menurutnya, selama ini, DPD
telah melakukan pendalaman dan penelusuran, baik melalui mekanisme
penyampaian aspirasi masyarakat, RDP, maupun mekanisme pembentukan tim
kerja yang telah menyusun naskah akademik dan daftar inventaris masalah.
“Kami mendapatkan informasi-informasi terkait perubahan UU itu,” tegas
senator asal Maluku Utara itu. Berdasarkan data yang diperoleh,
sambungnya, ditemukan beberapa hal yang menjadi pokok-pokok perubahan
dalam UU No 18/2004. Seperti konflik lahan perkebunan di sejumlah daerah
yang eskalasinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
“Ada pula, dominasi sektor swasta dalam sektor perkebunan dan
tumpang-tindihnya kelembagaan, serta kepastian penegakan hukum melalui
sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana,” kata Stefi.
(fdi/ris/ce4)
Desak Bentuk KPKA
UNTUK mendorong penyelesaian sengketa lahan, Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel), Hadi
Jatmiko, mendesak pemerintah segera membentuk Komisi Penyelesaian
Konflik Agraria (KPKA).
Dimana, sengketa lahan yang melibatkan perusahaan perkebunan dengan
warga di Sumsel terus meningkat. “Bukan hanya di daerah lain, di Sumsel
ini sendiri meningkat. Bahkan, sering memicu bentrokan yang
mengakibatkan korban jiwa,” ujarnya.
Menurut Hadi, KPKA ini bersifat independen dan beranggotakan
orang-orang yang terlepas dari kepentingan pihak mana pun. “Sangat
mendesak dibentuk di negara yang sangat luas dan sering terjadinya
konflik agraria,” ungkap Hadi.
Untuk mewujudkan wacana itu, Walhi mengajak semua lapisan masyarakat
mengusulkan dan memperjuangkannya kepada pemerintah daerah dan pusat
agar sengketa tanah tidak terulang kembali.
Walhi Sumsel menilai, pemerintah lamban menangani permasalahan agraria
di Sumsel sehingga banyak konflik agraria yang hingga kini belum bisa
diselesaikan dengan baik. Bahkan, konflik cenderung mengalami
peningkatan.
“Sekarang ini terdapat sekitar 30 kasus sengketa agraria yang terungkap
di Sumsel berdasarkan hasil pengamatan aktivis lingkungan di lapangan
dan informasi dari masyarakat, tapi jumlahnya bisa lebih dari itu,”
ujarnya.
Salah satunya, kasus lahan perkebunan tebu dan Pabrik Gula Cinta Manis
milik PT Perkebunan Nusantara (PT PN) VII di Kabupaten Ogan Ilir. Lahan
perkebunan tebu dan pabrik gula tersebut yang luasnya sekitar 20 ribu
hektare lebih dikuasai PT PN VII sejak 1982. Namun, saat ini bersengketa
dengan masyarakat dan petani. Sengketa lahan itu hingga kini belum ada
jalan keluarnya.
Dalam proses perjuangan masyarakat dan petani untuk mendapatkan lahan
mereka yang telah dikuasai dan dikelola perusahaan perkebunan milik
negara itu, pada Juli 2012, terjadi bentrokan warga dengan aparat Brimob
Polda Sumsel.
Bentrokan itu mengakibatkan 1 korban tewas, anak petani yang berusia
belasan tahun, 1 korban cacat tetap, dan 4 orang mengalami luka tembak.
Setelah kejadian itu, perjuangan masyarakat dan petani di Ogan Ilir
mulai mengendor karena kebanyakan warga takut kembali beraksi
mendapatkan hak mereka.
Kondisi itu bukan berarti masalahnya telah berakhir. Mengingat pada
awal Maret 2014 ini, kasusnya kembali memanas menyusul aksi unjuk rasa
ribuan petani setempat.
“Untuk itulah, dengan adanya KPKA yang personelnya adalah orang yang
bebas dari kepentingan seseorang, institusi, dan kelompok mana pun,
diyakini mampu menyelesaikan semua konflik agraria yang terjadi di
negeri ini sesuai dengan aturan hukum dan secara damai,” pungkasnya.
(roz/ce4)
Tak Bisa “Sim Salabim”
PELAKSANA tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sumsel, H
Mukti Sulaiman, menyambut positif dibentuknya Komisi Penyelesaian
Konflik Agraria (KPKA) oleh Walhi Sumsel.
Namun, kata Mukti, sebenarnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(pemda) sudah membentuk tim untuk mengatasi penyelesaian konflik agraria
antara warga dan pihak perusahaan di Indonesia.
“Itu sudah ada timnya. Provinsi Sumsel misalnya sudah
membentuk tim terkait konflik agraria petani Ogan Ilir dengan PT PN VII
Unit usaha Cinta Manis beberapa waktu lalu. Kemudian di tingkat pusat,
misalnya dari Kementerian Polhukam dari sisi penanggulangan masalah
keamanan,” ujarnya.
Namun, kata Mukti, meskipun sudah membentuk tim, penyelesaian
konflik agraria tidak bisa dilakukan sekejap mata. “Pemprov Sumsel
selalu berusaha menjadi fasilitator dalam proses penyelesaian kasus
sengketa. Tapi, itu tidak bisa dilakukan dengan “sim salabim”, tapi
perlu proses dan waktu,” urainya.
Untuk menanggulangi terulangnya konflik agraria, pihaknya
sudah berkoordinasi dan melibatkan unsur dari pihak masyarakat setempat,
Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan juga pihak perusahaan dalam hal
ini PT PN VII Unit Usaha Cinta Manis.
Tim terpadu ini bertugas, diantaranya akan menginventaris
masalah yang terkait dengan masyarakat dan pihak PT PN VII Unit Usaha
Cinta Manis. Selanjutnya, melakukan mediasi penanganan masalah, serta
melakukan koordinasi dengan pihak Badan Pertanahan Ogan Ilir, yang
nantinya akan melaksanakan monitoring serta mengevaluasi hasil dari
penyelesaian masalah tersebut. Nantinya hasil tersebut dilaporkan kepada
Gubernur Sumsel.
sumber : www.sumeks.co.id
Selengkapnya...