Guna memetakan pencemaran di Sungai Musi dari berbagai aktivitas
industri baik skala besar maupun kecil di Sumatera Selatan (Sumsel),
Walhi menyiapkan 15 investigator.
“Data kami, diperkirakan 500-an industri besar maupun kecil
menggunakan atau berada di sekitar Sungai Musi beserta delapan sungai
besar lain,” kata Hadi Djatmiko, Direktur Walhi Sumsel, di sela-sela
Training Investigasi “Penguatan Kapasitas Lingkungan Hidup” oleh Walhi
Sumsel di Palembang, Selasa (15/4/14).
Ke-15 investigator ini, yakni para mahasiswa di Palembang, yang
selama ini terlibat dalam berbagai kegiatan lingkungan hidup. Para
investigator disiapkan lantaran selama 10 tahun terakhir, pencemaran
sungai nyaris tak tersentuh para penggiat lingkungan hidup. Selain Musi,
delapan sungai besar lain di antaranya, Sungai Komering, Lematang,
Ogan, dan Enim, atau Batanghari Leko.
“Selama ini, energi penggiat lingkungan hidup fokus pada konflik
lahan. Dengan 15 investigator ini pencemaran Sungai Musi dapat terangkat
kembali.”
Menurut dia, target akhir tahun ini akan mendata berbagai perusahaan
yang mencemari Sungai Musi, dan melaporkan ke penegak hukum.
Dampak pencemaran sungai-sungai ini antara lain, puluhan jenis ikan
air tawar, seperti belida kian langka bahkan beberapa jenis ikan tak ada
lagi.
Banyak Jenis Ikan Hilang
Berdasarkan penelitian Walhi sampai 2013 akhir, tercatat tinggal 22
ikan air tawar masih ada. Belasan jenis ikan hilang dan dua jenis mulai
sulit ditemukan, yakni belida dan buntal. “Padahal, 15 tahun lalu begitu
banyak,” kata Ahmad Muhaimin, peneliti Walhi Sumsel.
Adapun ikan yang masih ditemukan di Palembang ada 22 jenis, baik di
Sungai Musi, anak sungai, dan rawa-rawa. Ikan-ikan ini yakni, sepat
siam (Trichogaster pectoralis ), sepat rawa (Trichogaster trichopterus ), gabus (Channa striatus), buju (Channa lucius ), baung (Macrones nemurus), baung lundu (Mystus micracanthus), selais (Cryptopterus bicirchis ), dan buntal (Tetranodon palembangensis).
Lalu seluang batang (Rasbora trilinsata), betok (Anabas testudineus ), lele (Clarias batrachus ), tapa (Wallago leeri), udang (Cambarus virilis), belida (Notopterus chinata), dan putak (Notopterus notopterus).
Kemudian, toman (Orheichepalus micropeltes), juaro (Pangasius polyuranodon ), patin ( Pangasius pangasius ), tebakang ((Helostema temmincki), selinca ( Polycanthius hasselti ), bengalan (puntius bulu), dan cupang (Trichaptis vittatus).
“Yang sudah tidak ditemukan lagi buntal. Lima tahun lalu masih ada.
Belida sulit didapat. Dalam setahun, mungkin hanya satu atau dua warga
menemukan ikan ini,” kata Muhaimin.
Sedang belasan jenis ikan yang tidak didapatkan lagi di Palembang
selama 10 tahun terakhir, antara lain bawal tawar, gurame, pari,
jelawat, betutu, lidah, biji nangka, julung-julung. Lalu sembilang,
lemak, kepiat, siburuk, baung putih, bilis tembaga, lempam, sebarau, kaca, dan langli.
Dampak Kampanye “Sumsel Lumbung Energi”
Di pasar tradisional Palembang saat ini banyak didominasi ikan air
tawar yang dibudidayakan. Misal, lele jumbo, patin, mujair, nila,
gurame, dan emas. Ikan air tawar yang tak dibudidayakan dan masih dijual
antara lain gabus, toman, sepat siam, dan seluang.
“Jika rawa-rawa hilang dan sungai kian tercemar bukan tidak mungkin
dalam lima tahun ke depan, kita kesulitan mendapatkan gabus, toman,
sepat dan seluang.”
Apalagi, eksploitasi hutan dan rawa-rawa di huluan Palembang kian
hari kian meluas, baik untuk perkebunan, penambangan maupun industri.
Bahkan penambangan batubara, bukan hanya merusak hulu juga hilir,
seperti di Palembang. Bila di hulu hutan gundul, di Palembang, menerima
polusi debu, jalanan rusak dan berdebu akibat truk-truk membawa batubara
atau tepian sungai terbis akibat gelombang dari puluhan tongkang yang
membawa batubara.
Kampanye investasi “Sumatra Selatan Lumbung Energi” sejak era
Syahrial Oesman memimpin Sumsel, kata Muhaimin, harus dihentikan. Karena
kampanye ini eksploitasi sumber daya alam (SDA) gila-gilaan.
“Truk-truk dan kapal yang mengangkut batubara, kayu sengon, minyak
sawit, mendominasi jalan dan sungai di Sumsel. Warga Sumsel merasakan
dampak kerusakan lingkungan.”
Lebih ironis, terlepas soal kerusakan lingkungan hidup, masyarakat
Sumsel tidak begitu menikmati eksploitasi SDA. Listrik sering mati,
banyak desa tidak dialiri listrik, dan warga miskin bertambah bersama
berbagai jenis penyakit akibat kekebalan tubuh melemah seperti kanker.
sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/04/16/lacak-pencemaran-sungai-musi-walhi-sumsel-siapkan-15-investigator/
0 komentar:
Posting Komentar