WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Februari 03, 2010

1.500 Orang bersenjata tajam menghadang warga sidomulyo

Banyuasin Walhi 03/02. Hal ini diungkapkan oleh Mahmud Kades Sidomulyo Kabupaten Banyuasin , saat di hubungi melalui ponsel nya pukul 10.30 Wib tadi, dalam komunikasi tersebut Mahmud menjelaskan bahwa sebanyak 1500 orang yang dibekali dengan senjata tajam Lengkap itu ,menghadang warga saat warga akan memulai kegiatan Sedekah Bumi pada pukul 10.00 pagi tadi, dan sekarang 1500 Orang tadi, telah membangun Posko Posko penjagaan di Lahan Kelapa Sawit Milik Warga yang selama ini di klaim oleh PT. PN VII.

Saat ditanya apakah dia tahu siapa orang orang itu dan asalnya dari daerah mana. Mahmud mengatakan Orang orang tersebut adalah orang bayaran PT. PN VII yang selama ini sering melakukan intimidasi terhadap warga yang menolak lahan nya di rampas oleh Perusahaan, sedangkan untuk asal daerah, mereka berasal dari Betung, dan Desa lain yang mendukung usaha PT. PN VII. ( karyawan: red)

“ Kami dihadang 1500 Orang bersenjata lengkap yang berasal dari Betung dan desa lain yang ada PT. PN nya agar kegiatan yang telah kami rencanakan kemaren batal” kata mahmud.

Berdasarkan Informasi yang kami dapat dari warga Sidomulyo siang kemarin (02/02) via SMS, Hari ini Warga berencana mengadakan kegiatan Sedekah Bumi yang diteruskan dengan pembuatan batas lahan warga dari tanggal 3 – 10 Februari 2010, yang selama ini, lahan seluas lebih dari 387 Ha dirampas oleh PT. PN VII digunakan untuk usaha Perkebunan Kelapa Sawit.

Atas penghadangan yang dilakukan oleh orang bayaran perusahaan tersebut, warga menunda kegiatan nya untuk sementara waktu, namun mereka tetap berkumpul menjadi satu di posko yang telah di siapkan sebelum, sambil menunggu pihak kepolisian membubarkan orang orang bayaran tersebut.(mlx)




Selengkapnya...

Setop Alih Fungsi Rawa di Palembang

PALEMBANG--MI: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan (Sumsel) mendesak pemda dan para pihak di daerah itu untuk menghentikan segala bentuk alih fungsi, termasuk penimbunan rawa di Kota Palembang menjadi kantor pemerintah maupun kepentingan bisnis swasta.

Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutif, Anwar Sadat, di Palembang, Selasa (2/2), menegaskan desakan setop alih fungsi rawa itu, guna mencegah bencana dan memaksimalkan resapan air untuk menghindari banjir.

Hadi menyebutkan, sebagian dari luas Kota Palembang 40.000 ha adalah rawa yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1991 didefinisikan bahwa rawa adalah lahan genangan air secara alamiah yang terjadi terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat, serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis.

"Atas dasar inilah maka wajib bagi pemerintah untuk menjaga dan melindungi ekosistem rawa itu," kata Hadi pula.

Namun kenyataan yang terjadi saat ini, lahan rawa yang tadinya mempunyai luas 22.000 ha, kini hanya tersisa sekitar 30 persen dari luas tersebut (7.300 ha ). Penyusutan lahan rawa itu, akibat alih fungsi rawa yang dijadikan perumahan, perkantoran dan pergudangan oleh pihak swasta maupun pemda itu sendiri.

Dia mencontohkan, konversi rawa oleh PT Orchid Residence Indonesia seluas 8 ha untuk pembangunan apartemen, pembangunan Komplek Perumahan Citra Grand City oleh Ciputra Grup dengan luas lahan rawa mencapai 60 ha, pembangunan kantor Bank Sumsel di Jakabaring seluas 3 ha, pembangunan gedung DPRD Kota Palembang 5 ha, dan pembangunan fasilitas lainnya.

Parahnya, menurut Hadi, konversi rawa tersebut dilegalkan oleh Pemerintah Kota Palembang melalui Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pengendalian dan Retribusi Lahan Rawa, dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa untuk pengalihfungsian lahan rawa di Kota Palembang, pengembang cukup dengan membayar retribusi sesuai yang telah ditetapkan.

Atas bertambah luas lahan rawa yang dikonversikan itu (tersisa 7.300 ha), membuat Kota Palembang terus mengalami bencana banjir, baik banjir yang diakibatkan oleh hujan maupun karena pasang surut air Sungai Musi. Tetapi dengan rentannya bencana banjir tersebut, tidaklah menjadikan Pemkot Palembang dan Pemprov Sumsel untuk menghentikan semua kebijakan yang telah mengizinkan alih fungsi rawa di kota Ini, kata Hadi pula.

Dia menyebutkan keputusan Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang yang masih memberikan Izin terhadap rencana pembangunan gedung perkantoran untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel seluas 80 ha di lahan rawa Jakabaring, serta pemberian izin terhadap pembangunan gedung Carrefour seluas 5 ha di Jakabaring dalam waktu dekat ini yang juga mengalihkan fungsi lahan rawa.

Padahal dengan kebijakan itu, lanjut Hadi, dapat dipastikan bahwa ke depan akan semakin meluas dan merata bencana banjir di seluruh pelosok kota itu. Karena itu, Walhi Sumsel menolak rencana pembangunan kompleks perkantoran Pemprov Sumsel, gedung Carrefour, dan lainnya yang akan mengalih fungsikan (penimbunan) lahan rawa di Jakabaring karena akan berdampak timbul bencana banjir. (Ant/OL-03)





Selengkapnya...

600 Kubik Kayu Diamankan

Selasa, 02 Februari 2010 03:32

Sebanyak 600 kubik kayu jenis meranti dan Kelompok Rimba Racuk Campuran (KKRC) tak bertuan, berhasil diamankan jajaran Polisi Sektor (Polsek) Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba). Penemuan kayu gelondongan yang diduga hasil merambah hutan tersebut mengapung di perairan Sungai Puring, Desa Muara Merang, Kecamatan Bayung Lencir, Muba.
Kapolres Muba AKBP Kasihan Rahmadi melalui Kapolsek Bayung Lencir AKP Rahmat Sihotang didampingi Kanit Reskrim Iptu Alex, saat dihubungi kemarin (1/2) membenarkan bahwa petugasnya pada 30 Januari lalu berhasil mengamankan barang bukti 600 kubik kayu yang mayoritas jenis meranti dan KKRC. “Kayu gelondongan tersebut berada di perairan Sungai Puring Desa Muara Merang berukuran panjang 3 - 4 meter dan berdiameter 30-40 cm,” bebernya.
Dijelaskan Kapolres, sebelum penemuan kayu ilegal tersebut, pihaknya menerima informasi dari masyarakat di kawasan Sungai Puring mengalir ratusan kubik kayu gelondongan. Berdasarkan informasi tersebut, petugas langsung menuju tempat kejadian perkara (TKP) untuk melakukan penyelidikan. Namun setibanya di TKP, petugas hanya menemukan barang bukti (BB) kayu sebanyak 600 kubik. Sedangkan pemiliknya tidak ada satu pun berada di TKP.
Lebih jauh dikatakannya, tak ada satu pun warga di Desa Muara Merang, termasuk beberapa desa di sekitarnya yang mengaku atau mengetahui siapa pemilik kayu di perairan tersebut. “Sampai saat ini kita belum mengetahui siapa pemilik kayu ini. Namun kita tetap melakukan penyelidikan untuk mengusut siapa pemiliknya. Yang pasti, kayu gelondongan ini berasal dari hutan di lokasi kerja antara perbatasan Muba dengan Provinsi Jambi,” terang Kapolres seraya menambahkan, untuk sementara BB kayu tersebut tetap diamankan di TKP dengan cara dipasang police line.
Di tempat terpisah, jajaran Polsek Babat Toman juga berhasil mengamankan lima truk kayu gelondongan jenis racuk pada Jumat (29/1) malam yang akan dibawa ke Kota Lubuklinggau. Kelima truk tersebut membawa 145 batang kayu jenis seru dan racuk tanpa dilengkapi dokumen resmi.
Saat melintas di ruas Jalan Lintas Tengah (Jalinteng), tepatnya di Kelurahan Babat dan di Kelurahan Mangunjaya, Kecamatan Babat Toman, kelima truk bernopol BG 4447 AM, BG 8874 AI, BG 8367 JA, BG 8899 RS dan BG 8329 JA, langsung dihentikan di tempat berbeda setelah mendapat informasi warga. Jajaran Polsek Babat Toman pimpinan AKP Mahajapet SH langsung menggelar patroli dalam rangka razia illegal logging dan senjata api (senpi) Musi 2010.
Hasilnya, dua kendaraan truk yang melintas dihentikan, ternyata mereka membawa ratusan kayu. Saat petugas menanyakan kelengkapan surat kepada sopir, tapi sopir truk tersebut tidak bisa menunjukkan dokumen resmi. Karenanya petugas mengamankan truk beserta muatannya. Dari informasi sopir kedua truk tersebut, petugas kembali mengamankan tiga truk di Kelurahan Mangunjaya.
Di hadapan petugas, salah satu sopir Hendri, warga Pangkalan Balai Kabupaten Banyuasin, mengaku ratusan kayu yang diangkut truknya akan dibawa ke Lubuklinggau. “Kami tidak tahu, kayu yang kami bawa tidak resmi,” katanya.
Terpisah, Direktur Direktorat Reskrim Polda Sumsel Kombes Pol Suharno melalui Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol Abdul Gofur saat dihubungi kemarin (1/2) membenarkan pihaknya telah menyita ratusan kubik kayu di sejumlah daerah di Kabupaten Muba. Menurut Gofur, pihaknya mengamankan ratusan kubik kayu tersebut oleh tim dari Satuan Tindak Pidan Tertentu (Tipiter) Direktorat Reskrim Polda Sumsel.(41/mg10)




Selengkapnya...

Senin, Februari 01, 2010

Palembang Minim RTH

PALEMBANG, KOMPAS - Penggunaan lahan sebagai ruang terbuka hijau di Kota Palembang belum memenuhi kuota 30 persen sesuai amanat undang-undang. Minimnya ketersediaan ruang terbuka hijau dikhawatirkan memperburuk kondisi kesehatan lingkungan.

Data Tim Konsultan Tata Ruang Kota Palembang dari PT Lapi Ganeshatama menunjukkan, dari sekitar 400 kilometer persegi luas Kota Palembang, hanya sekitar 0,28 kilometer persegi atau 0,07 persen yang merupakan area ruang terbuka hijau (RTH). Sementara data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menunjukkan, RTH Kota Palembang mencapai 12 kilometer persegi atau sekitar tiga persen dari total luas kota.

”Namun, tetap saja jumlah ini belum sesuai undang-undang tata ruang yang berlaku,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat akhir pekan lalu.

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang menyebutkan, proporsi RTH kota minimal 30 persen dari luas kota tersebut. Pasal itu juga mengatur tentang proporsi luas RTH publik kota yang minimal 20 persen dari luas kota.

Namun, pernyataan ini dibantah Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Palembang Kemas Abubakar. Menurut dia, proporsi RTH Kota Palembang sudah lebih dari 20 persen. Sebab, banyak lahan berupa rawa dan hutan yang hingga saat ini masih dibiarkan alami dan belum dialihfungsikan.

”Pengertian RTH itu harus ditelaah lagi. Sebab, menurut Undang-Undang Tata Ruang, RTH bisa berupa ruang hijau bentukan atau alami,” katanya.

Untuk RTH privat, Pemerintah Kota Palembang juga sudah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Pembinaan dan Retribusi Perizinan Daerah. Dalam peraturan itu, ujar Abubakar, setiap rumah diwajibkan menjaga proporsi luas lahan hijau dengan luas bangunan, yakni sebesar 40 : 60.

Begitu pula dengan pembentukan jalur hijau publik berupa sempadan sungai dan jalan. Abubakar mengklaim pihaknya sudah mengoptimalkan penggunaan sempadan selebar lima meter di kanan-kiri jalan atau sungai di pusat Kota Palembang.

”Luas RTH publik buatan saja sudah lebih dari 45 kilometer persegi atau 10 persen luas kota. Belum ditambah dengan RTH privat dan alami. Saya yakin luasnya sudah memenuhi ketentuan undang-undang,” kata Abubakar.

Untuk menjaga luas RTH agar tidak terus menyusut, Abubakar mengatakan, Pemerintah Kota Palembang sudah memperketat pemberian izin mendirikan bangunan. Ia juga menjamin RTH yang ada saat ini tidak akan dialihfungsikan sebagai bangunan, terutama RTH yang berada di pusat kota.

Pantauan di lapangan menunjukkan, kawasan ruang publik di Palembang masih terpusat di kawasan perkotaan, antara lain Kambang Iwak Besak, Kambang Iwak Kecil, Benteng Kuto Besak, dan kawasan kambang di simpang Polda yang sedang dalam proses pembangunan.

Kondisi ini dikeluhkan warga yang berada di kawasan pinggiran perkotaan. Wantjik, warga Kebun Bunga, mengatakan, dia nyaris jarang menikmati ruang publik karena lokasinya jauh di perkotaan. (YOP/ONI)




Selengkapnya...