PALEMBANG, KOMPAS - Penggunaan lahan sebagai ruang terbuka hijau di Kota Palembang belum memenuhi kuota 30 persen sesuai amanat undang-undang. Minimnya ketersediaan ruang terbuka hijau dikhawatirkan memperburuk kondisi kesehatan lingkungan.
Data Tim Konsultan Tata Ruang Kota Palembang dari PT Lapi Ganeshatama menunjukkan, dari sekitar 400 kilometer persegi luas Kota Palembang, hanya sekitar 0,28 kilometer persegi atau 0,07 persen yang merupakan area ruang terbuka hijau (RTH). Sementara data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menunjukkan, RTH Kota Palembang mencapai 12 kilometer persegi atau sekitar tiga persen dari total luas kota.
”Namun, tetap saja jumlah ini belum sesuai undang-undang tata ruang yang berlaku,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat akhir pekan lalu.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang menyebutkan, proporsi RTH kota minimal 30 persen dari luas kota tersebut. Pasal itu juga mengatur tentang proporsi luas RTH publik kota yang minimal 20 persen dari luas kota.
Namun, pernyataan ini dibantah Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Palembang Kemas Abubakar. Menurut dia, proporsi RTH Kota Palembang sudah lebih dari 20 persen. Sebab, banyak lahan berupa rawa dan hutan yang hingga saat ini masih dibiarkan alami dan belum dialihfungsikan.
”Pengertian RTH itu harus ditelaah lagi. Sebab, menurut Undang-Undang Tata Ruang, RTH bisa berupa ruang hijau bentukan atau alami,” katanya.
Untuk RTH privat, Pemerintah Kota Palembang juga sudah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Pembinaan dan Retribusi Perizinan Daerah. Dalam peraturan itu, ujar Abubakar, setiap rumah diwajibkan menjaga proporsi luas lahan hijau dengan luas bangunan, yakni sebesar 40 : 60.
Begitu pula dengan pembentukan jalur hijau publik berupa sempadan sungai dan jalan. Abubakar mengklaim pihaknya sudah mengoptimalkan penggunaan sempadan selebar lima meter di kanan-kiri jalan atau sungai di pusat Kota Palembang.
”Luas RTH publik buatan saja sudah lebih dari 45 kilometer persegi atau 10 persen luas kota. Belum ditambah dengan RTH privat dan alami. Saya yakin luasnya sudah memenuhi ketentuan undang-undang,” kata Abubakar.
Untuk menjaga luas RTH agar tidak terus menyusut, Abubakar mengatakan, Pemerintah Kota Palembang sudah memperketat pemberian izin mendirikan bangunan. Ia juga menjamin RTH yang ada saat ini tidak akan dialihfungsikan sebagai bangunan, terutama RTH yang berada di pusat kota.
Pantauan di lapangan menunjukkan, kawasan ruang publik di Palembang masih terpusat di kawasan perkotaan, antara lain Kambang Iwak Besak, Kambang Iwak Kecil, Benteng Kuto Besak, dan kawasan kambang di simpang Polda yang sedang dalam proses pembangunan.
Kondisi ini dikeluhkan warga yang berada di kawasan pinggiran perkotaan. Wantjik, warga Kebun Bunga, mengatakan, dia nyaris jarang menikmati ruang publik karena lokasinya jauh di perkotaan. (YOP/ONI)
Data Tim Konsultan Tata Ruang Kota Palembang dari PT Lapi Ganeshatama menunjukkan, dari sekitar 400 kilometer persegi luas Kota Palembang, hanya sekitar 0,28 kilometer persegi atau 0,07 persen yang merupakan area ruang terbuka hijau (RTH). Sementara data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menunjukkan, RTH Kota Palembang mencapai 12 kilometer persegi atau sekitar tiga persen dari total luas kota.
”Namun, tetap saja jumlah ini belum sesuai undang-undang tata ruang yang berlaku,” kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat akhir pekan lalu.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang menyebutkan, proporsi RTH kota minimal 30 persen dari luas kota tersebut. Pasal itu juga mengatur tentang proporsi luas RTH publik kota yang minimal 20 persen dari luas kota.
Namun, pernyataan ini dibantah Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Palembang Kemas Abubakar. Menurut dia, proporsi RTH Kota Palembang sudah lebih dari 20 persen. Sebab, banyak lahan berupa rawa dan hutan yang hingga saat ini masih dibiarkan alami dan belum dialihfungsikan.
”Pengertian RTH itu harus ditelaah lagi. Sebab, menurut Undang-Undang Tata Ruang, RTH bisa berupa ruang hijau bentukan atau alami,” katanya.
Untuk RTH privat, Pemerintah Kota Palembang juga sudah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2004 tentang Pembinaan dan Retribusi Perizinan Daerah. Dalam peraturan itu, ujar Abubakar, setiap rumah diwajibkan menjaga proporsi luas lahan hijau dengan luas bangunan, yakni sebesar 40 : 60.
Begitu pula dengan pembentukan jalur hijau publik berupa sempadan sungai dan jalan. Abubakar mengklaim pihaknya sudah mengoptimalkan penggunaan sempadan selebar lima meter di kanan-kiri jalan atau sungai di pusat Kota Palembang.
”Luas RTH publik buatan saja sudah lebih dari 45 kilometer persegi atau 10 persen luas kota. Belum ditambah dengan RTH privat dan alami. Saya yakin luasnya sudah memenuhi ketentuan undang-undang,” kata Abubakar.
Untuk menjaga luas RTH agar tidak terus menyusut, Abubakar mengatakan, Pemerintah Kota Palembang sudah memperketat pemberian izin mendirikan bangunan. Ia juga menjamin RTH yang ada saat ini tidak akan dialihfungsikan sebagai bangunan, terutama RTH yang berada di pusat kota.
Pantauan di lapangan menunjukkan, kawasan ruang publik di Palembang masih terpusat di kawasan perkotaan, antara lain Kambang Iwak Besak, Kambang Iwak Kecil, Benteng Kuto Besak, dan kawasan kambang di simpang Polda yang sedang dalam proses pembangunan.
Kondisi ini dikeluhkan warga yang berada di kawasan pinggiran perkotaan. Wantjik, warga Kebun Bunga, mengatakan, dia nyaris jarang menikmati ruang publik karena lokasinya jauh di perkotaan. (YOP/ONI)
0 komentar:
Posting Komentar