WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Mei 11, 2011

POLDA DIMINTA BEBASKAN WARGA SIMPANG BAYAT

PALEMBANG – Ratusan warga Desa Simpang Bayat,Kecamatan Bayung Lencir,Musi Banyuasin (Muba), yang tergabung dalam Dewan Petani Sumsel (DPSS Sumsel) berdemonstrasi ke Polda Sumsel kemarin.

Bersama Walhi Sumsel dan LSM pencinta lingkungan lainnya, seperti MHI, SHI Sumsel, AMAN Sumsel, LBH Palembang, mereka menuntut polisi untuk membebaskan warganya yang ditahan dengan tuduhan menduduki lahan bukan miliknya atas laporan PT Pakerin dua pekan lalu. Selain itu,mereka menuntut agar Kapolsek Bayung Lencir Muba AKP Suhardiman dicopot dari jabatannya karena tidak bersikap netral dalam kasus tersebut.

Robi, salah satu warga, mengatakan, sengketa lahan warga dengan PT Pakerin terjadi sejak 1998.Penyebabnya,keberadaan PT tersebut membuat jalan yang menjadi akses warga tertutup. “Kalau kemarau, hutan yang dikelola PT Pakerin kerap terbakar dan merembet ke lahan warga,”ujarnya. Sejak 2008,lanjut dia PT Pakerin sudah tidak beroperasi lagi.Karena menduga tidak digunakan lagi,warga berinisiatif untuk mengolah lahan yang diklaim milik PT Pakerin.

“Warga kita bernama Sabar ditahan karenanya.Tapi anehnya laporan kita tentang aktivitas PT Pakarin malah tidak ditindaklanjuti,” ujarnya. Sementara itu,Ketua Walhi Sumsel Anwar Sadat mengatakan, pada 25 Maret lalu sempat dilakukan dialog dengan pihak Pemkab Muba terkait kasus ini. Dalam dialog tersebut, Pemkab Muba mengaku akan menyelesaikan kasus ini dan akan menangguhkan penahanan Sabar serta memastikan tidak akan ada warga yang ditangkap lagi.

“Namun ternyata kesepakatan tersebut tidak terwujud,”ungkapnya. Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Pol Sabaruddin Ginting saat menemui demonstran mengatakan akan menyampaikan aspirasi warga ke Kapolda. Namun, mengenai sengketa lahan dia mengaku tidak dapat menanganinya karena bukan ahmad teddy kn _kewenangannya.


Ratusan Warga Demo MAPOLDA SUMSEL
PALEMBANG--MICOM: Ratusan warga Desa Simpang Bayat, Musi Banyuasin mendatangi mapolda Sumsel, terkait konflik pertanahan antara warga desa dan PT Pakerin.

Warga meminta agar pihak kepolisian membebaskan warga Simpang Bayat yang ditangkap pihak Mapolsek Bayung Lincir dan meminta
pihak kepolisian jangan memihak salah satu pihak.

Konflik pertahanan ini telah terjadi sejak tahun 1992, saat itu pihak PT Pakerin, mengharap lahan yang merupakan milik warga dan milik kelompok suka tani desa Simpang Bayat, yang telah ditamami dengan tanaman karet dengan total luas lahan 7.000 hektare.

Dalam orasinya ratusan warga simpang bayat ini, meminta agar pihak mapolda Sumsel menginstruksikan pihak mapolres Muba dan mapolsek Bayung Lincir agar membebaskan tanpa syarat atas nama Sabar warga simpang Bayat yang ditangkap pihak Mapolsek pada Rabu 4 Mei 2011.

Warga juga meminta dan mendesak Kapolda Sumsel mencopot jabatan kapolsek Bayung Lincir AKP Suhardiman karena dianggap bermain sebelah mata dengan pihak perusahaan dan tidak netral dalam konflik pertanahan warga Desa Sungai Bayat.

Koordinator Aksi Anwar Sadat meminta agar pihak kepolisin menghentikan penangkapan terhadap warga dan agar bersikap netral dalam masalah konflik ini.
Dia juga mengatakan bahwa dalam 10 tahun ini pihak perusahaan tidak pernah mengurusi kebun karet ini.

Menurut peraturan pemerintah RI nomor 7 tahun 1990 tentang hak pengusaha hutan tanaman industri jika menghentikan pekerjaannya dan meninggalkan areal selama 24 bulan terus menerus sebelum hak pengiasahaan berakhir. (OL-12)
Selengkapnya...

Selasa, Mei 10, 2011

Tuntutan aksi Masyarakat Simpang Bayat yang berkonflik dengan PT.PAKERIN

PERNYATAAN DAN TUNTUTAN

Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal-asing terhadap Rakyat Indonesia
(Bung Karno)

Semua orang menyadari bahwa tanah merupakan aset penting bagi kehidupan manusia. Terlebih terhadap kaum tani, tanah adalah sumber terpokok kehidupan. Tanah tempat petani hidup, tanah tempat petani menafkahi keluarga, tanah tempat petani memiliki kemampuan untuk menyekolahkan anak-anaknya, tanah bagian dari harkat dan martabatnya, dan secara mendasar tanah bagi petani adalah bagian yang tidak tepisahkan dalam hidup dan urat nadinya.
Namun sejarah telah mengguratkan, penindasan terhadap kaum tani khususnya berupa penguasaan atau penggusuran lahan secara sefihak yang dilakukan oleh kekuatan modal hingga detik ini terus berlangsung. Penggusuran tersebut terus berjalan hingga membuat petani hidup dalam gelimang kesengsaraan dan penderitaan.
Adalah persoalan yang hari ini kami kemukakan, yaitu pengusiran dan penangkapan terhadap warga Desa Simpang Bayat dan lainnya yang ditenggarai didalangi oleh PT. Pakerin, yang sesungguhnya tidaklah aktif lagi keberadaannya. Sebagai informasi dapat kami sampaikan bahwa PT. Pakerin yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), mendasarkan usahanya pada surat keputusan dari Menteri Kehutanan Nomor 226/Kpts-II/1998 dengan luas usaha mencapai ±43.380 (Empat Puluh Tiga Ribu Tiga Ratus Delapan Puluh) hektar. Tetapi SK dari kementerian kehutanan tersebut ternyata tidaklah dijadikan dasar oleh perusahaan untuk memulai aktifitasnya, karena 5 Tahun sebelum SK itu di dapat, tepatnya pada Tahun 1992, Perusahaan telah terlebih dahulu mengarap dan melakukan aktifitasnya, salah satunya termasuk lahan yang berada di desa Simpang Bayat Kecamatan Bayung Lencir MUBA. Aktifitas perusahaan tersebut ternyata di lapangan telah mengusur lahan milik Masyarakat serta lahan milik Kelompok Tani Suka Tani Desa Simpang Bayat, yang telah tereksisting, yakni ditanami dengan tanaman Karet dengan total lahan seluas 7.000 Hektar. Praktek perusahaan itu kemudian memicu protes masyarakat yang melihat lahan perkebunan karetnya yang selama ini digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi keluarga digusur oleh perusahaan, tanpa sedikitpun mendapat Ganti Rugi. Akan tetapi kondisi politik yang saat itu masih dalam bayang-bayang Rezim Orde Baru yang berwatak Otoriter, malah mengantarkan sedikitnya 8 Orang masyarakat pemilik Tanah yang digusur perusahaan harus mendekam di dalam Penjara selama kurang lebih 3 bulan, dengan tuduhan telah merusak tanaman milik Perusahaan.
Paska dari kejadian tersebut masyarakat kembali mengelar aksi-aksi demonstrasi hingga terjadi negosiasi yang menghasilkan kesepakatan bahwa pihak perusahaan akan mengembalikan lahan masyarakat dengan persyaratan setelah tanaman akasia milik PT. Pakerin yang ada ditanah masyarakat tersebut dilakukan pemanenan. Akan tetapi kesepakatan inipun ternyata tidaklah juga dijalankan oleh Pihak Perusahaan karena perusahaan sampai dengan tahun 2009, tidaklah pernah melakukan pemanenan terhadap tanaman yang berada dilahan masyarakat dan malah berdasarkan pengamatan masyarakat tidak ada sedikit-pun aktifitas yang dilakukan perusahaan dilokasi, inipun diperjelas dengan peta yang didapat oleh masyarakat dari Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin yang menerangkan bahwa Perusahaan sudah Tidak aktif lagi.
Atas situasi demikian, masyarakat Desa Simpang Bayat dan warga lainnya mulai memanfaatkan lahan eks PT. Pakerin. Namun pada tanggal 25 Maret 2011 salah seorang warga A/N SABAR atas laporan PT. Pakerin ditangkap oleh aparat kepolisian dari Polsekta Bayung Lencir. Atas penangkapan tersebut pada tanggal 6 April 2011 warga kemudian menggelar aksi di Pemerintahan Kabupaten Musi Banyuasin, yang diterima oleh Asisten I Drs. H. Sohan Madjid. Beberapa hasil yang diperoleh dalam dialog tersebut yakni (1) Pemkab MUBA akan secepatnya menggelar pertemuan untuk mencari jalan keluar atas persoalan yang ada; (2) dalam proses atau upaya menuju penyelesaian tersebut, tidak akan ada penangkapan kembali terhadap warga.

(3) Bahwa akan dilakukan atau diberikan proses penangguhan terhadap warga A/N Sabar – dan hal tersebut dinyatakan secara langsung oleh Kapolsek Bayung Lencir AKP Suhardiman, SH.
Namun pada hari Rabu (4/5/11) kembali 1 (satu) orang warga A/N SUGIRI ditangkap oleh aparat Kepolisian dari Brimobda Sumsel, Polsek Bayung Lencir yang dibantu oleh oknum Dinas Kehutanan dan karyawan PT. Pakerin. Hal ini tentu merupakan pelanggaran atas kesepakatan yang telah dihasilkan – termasuk proses penangguhan-pun hingga kini tidak pernah direalisasikan. Dalam hal ini kami menduga bahwa Kapolsek Bayung Lencir telah main mata dengan perusahaan, karena disebutkan dapat saja penangguhan dilaksanakan jika masyarakat keluar dari kawasan kelola eks PT. Pakerin.

Atas paparan yang kami sebutkan di atas, dalam aksi kali ini kami menuntut dan mendesak:
1.                          Kepada Kapolda Sumsel agar menginstruksikan kepada Polres MUBA dan Polsek Bayung Lencir agar membebaskan tanpa syarat rekan kami A/N SABAR. Menurut kami penangkapan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat, karena dengan dasar pengaduan oleh PT. Pakarin, kenyataan di lapangan sangatlah jelas bahwa dalam kurun waktu ±10 tahun PT. Pakerin sendiri tidak lagi menjalankan usahanya secara aktif;
2.                          Mendesak kepada Kapolda Sumsel agar mencopot jabatan Kapolsek Bayung Lencir A/N AKP Suhardiman, SH karena Ybs dianggap tidak netral terhadap konflik pertanahan warga Desa Simpang Bayat dan lainnya dengan PT. Pakerin;
3.                          Mendesak kepada Polri (struktural Polda Sumsel) untuk menghentikan keterlibatan atas konflik pertanahan warga Desa Simpang Bayat dan lainnya dengan PT. Pakerin;
4.                          Mendesak kepada Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Selatan agar merekomendasikan kepada Menteri Kehutanan untuk mencabut izin usaha PT. Pakerin sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1990 Tentang Hak Pengusaha Hutan Tanaman Industri, yakni Hak Pengusahaan HTI dapat dicabut apabila; ’Pemegang Hak Pengusahaan HTI menghentikan pekerjaannya dan meninggalkan arealnya selama 24 (dua puluh empat) bulan terus menerus sebelum Hak Pengusahaan HTI berakhir (Pasal 18 ayat 3);

Demikianlah hal ini kami sampaikan, demi terwujudnya keadilan atas akses Sumber Daya Alam bagi rakyat di Republik tercinta ini.

Palembang, 10 Mei 2011
Koordinator Aksi


Dedek Chaniago
Selengkapnya...

Kamis, Mei 05, 2011

Demi HUkum Dan Lingkungan Hidup, Hentikan Pembangunan PSSC dan UnderMall

Pernyataan Sikap Aliansi Parlemen Jalanan (APJ) WALHI Sumsel, SHI Sumsel,MHI, DEMA IBA,DKR Sumsel dan GMNI Palembang.
Pada Aksi 5 Mei 2011,Yang diselenggarakan di Air Mancur Kota Palembang.

“Demi Kepatuhan Hukum dan Kelangsungan Lingkungan Hidup;
Stop Pembangunan Mega Proyek PSCC dan Under Ground Mall”


Pembangunan mega proyek Palembang Sport and Convencion Centre (PSCC) yang berlokasi di kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) GOR dan pembangunan Under Ground Mall yang berlokasi di kawasan RTH Lapangan Parkir Sriwijaya – terus menuai permasalahan. Dampak lingkungan yang dihasilkan, seperti; debu, kebisingan, dan kotornya jalan yang mengganggu kenyamanan warga, penebangan pohon, dan penimbunan kolam retensi – merupakan sekelumit persoalan yang muncul akibat dari proses pengerjaan ke-dua proyek tersebut.
 Jika merefleksikan dalam konteks sebelumnya, sesungguhnya jauh sebelum proyek tersebut diselenggarakan – berbagai kalangan telah melakukan ‘perlawanan’ atas rencana pembangunan mega proyek itu. Tanpa ditegaskan, publik telah menduga bahwa terlalu banyak permasalahan yang akan ditimbulkan, khususnya dampak terhadap lingkungan hidup, jika proyek destruktif tersebut dipaksakan untuk dijalankan.

Hal ini secara sederhana mengacu kepada beberapa hal, yakni diantaranya;
  1. Bahwa pembangunan ke-dua proyek itu telah mengkerdilkan amanat dari UU nomor 26 Tahun 2007, tentang Penataan Ruang, yang memandatkan agar setiap kota wajib memiliki RTH seluas 30% dari luas wilayah kota (Pasal 29 ayat 2), dimana 20% merupakan RTH publik yang wajib fasilitasi dan diinisiasi oleh Pemda (Pasal 29 ayat 3) – dengan memperhatikan asfek pengaturan atau distribusi yang disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang (Pasal 30).Sementara mengacu pada Perda Kota Palembang nomor 6 Tahun 2007 tentang Hutan Kota, yang menyebutkan daerah penunjukan lokasi dan luas hutan Kota di Palembang, angka yang diperoleh atas luas keseluruhan wilayah hutan kota atau RTH di Kota Palembang hanya mencapai luasan 193 hektar (±0,45 % dari luas keseluruhan wilayah Kota Palembang yang mencapai ±40.000 hektar).Masih jauh sekali dari angka 20%, namun Pemerintah Daerah atas nama Sea Games telah mengalihfungsikan RTH yang telah tereksisting!.
  1. Bahwa pembangunan ke-dua mega proyek tersebut telah melanggar aturan Perda Kota Palembang nomor 8 Tahun 2000 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 1999 – 2009, dimana pemanfaatan GOR dan Lapangan Parkir Sriwijaya dalam peraturan ini telah ditetapkan sebagai kawasan RTH (Pasal 30 point c)
  2. Bahwa pembangunan ke-dua proyek itu tidak didasarkan atas kajian mendalam terhadap lingkungan hidup yang merupakan syarat mutlak dalam setiap aktifitas pembangunan. Hampir semua fihak mengetahui bahwa pembangunan ke-dua mega proyek itu tidak memiliki dokumen AMDAL. Atas hal ini telah terjadi pelanggaran peraturan sebagaimana tertuang di dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Atas uraian yang kami sampaikan di atas, kembali kami mendesakkan;
  1. Kepada Walikota Palembang untuk secara tegas menutup secara permanen pengerjaan pembangunan proyek PSCC dan Under Ground Mall, untuk kemudian dikembalikan sebagaimana fungsinya menjadi Ruang Terbuka Hijau;
  2. Kepada DPRD Kota Palembang agar mendesakkan kepada Walikota untuk secara serius melakukan eksekusi penutupan secara permanen ke-dua proyek tersebut karena telah melanggar aturan Perda Kota Palembang nomor 8 Tahun 2000 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palembang Tahun 1999 – 2009, sebagaimana telah kami kemukakan di atas;
  1. Kepada DPRD Propinsi Sumatera Selatan untuk melakukan tindakan segera menyegel dan menghentikan proses pelaksanaan ke-dua proyek tersebut;
  2. Kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polda dan Polresta Palembang) agar melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran pidana dalam penyelenggaraan ke-dua mega proyek tersebut karena telah diindikasikan melanggar tata ruang sebagaimana tertuang secara jelas dalam UU nomor 26 tahun 2007 (Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, dan Pasal 74);
  3. Menyerukan kepada masyarakat Kota Palembang agar turun ke jalan dan segera menyegel dan memboikot pengerjaan mega proyek PSCC dan Under Ground Mall untuk dikembalikan sebagaimana fungsinya semula menjadi RTH, guna terpenuhinya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang merupakan bagian dari hak asasi setiap warga negara;

Demikianlah hal ini kami sampaikan untuk menjadi perhatian berbagai fihak. Jika fikiran dan tuntutan kami ini tidak diindahkan – berbagai perjuangan baik upaya aksi maupun langkah hukum (pidana maupun perdata) wajib hukumnya untuk ditempuh baik dalam skala lokal maupun nasional.

Koordinator Aksi.
Rian Transyah

Info Lebih Lanjut :
Hadi Jatmiko : 0812 731 2042




 
Selengkapnya...

Selasa, Mei 03, 2011

Walhi Sumsel Pengembangan Sawit ancam keselamatn Rakyat

PALEMBANG: Walhi Sumatra Selatan (Sumsel) mengkritisi pengembangan perkebunan kelapa sawit di itu cenderung menimbulkan konflik, sehingga mengakibatkan korban jiwa serta memberikan dampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat dan berkontribusi pada kerusakan lingkungan hidup.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel melalui Kepala Divisi Jaringan Kampanye, Yuliusman memberikan catatan kritis itu dalam sebuah pernyataan tertulis “Perkebunan Kelapa Sawit ‘Membunuh’ Petani Pedesaan”.
Buntut konflik lahan perkebunan kelapa sawit terakhir terjadi di Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, Kamis (21/4) lalu, mengakibatkan dua warga setempat tewas bersama dengan lima petugas satuan pengamanan salah satu perusahaan perkebunan di sana ikut tewas oleh amukan warga.
Bentrok itu terjadi akibat rebutan lahan kebun kelapa sawit antara warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan  PT Sumber Wangi Alam (SWA).
Korban tewas, dua orang dari pihak warga setempat dan lima orang petugas keamanan (satpam) PT SWA.
Menurut warga Sungai Sodong, bentrokan berawal dari warga Sungai Sodong yang mengklaim kebun sawit tersebut bukan milik PT SWA, melainkan milik mereka.
Tapi kebun sawit itu dipanen pihak PT SWA.
Usai panen, warga mencegat rombongan karyawan dan buruh PT SWA hingga terjadi bentrokan.
Bentrok fisik ini mengakibatkan dua warga setempat tewas, yaitu Syafei (18), dan Macan bin Sulaiman (21), membuat warga Desa Sungai Sodong semakin marah.
Dibantu warga Desa Pagar Dewa, Sungai Tepuk, dan warga Pematang Panggang, mereka mendatangi lokasi kantor PT SWA, dengan menggunakan sejumlah truk.
Mereka membawa pula berbagai senjata, termasuk pistol rakitan, sehingga timbul bentrok dengan satpam perusahaan itu.
Amarah warga mengakibatkan lima petugas satpam PT SWA tewas, dan para karyawannya kocar kacir melarikan diri mencari tempat aman terdekat, a.l. bersembunyi di kantor perusahaan perkebunan lain yang dinilai lebih aman karena dijaga aparat kepolisian.
Polda Sumsel masih menempatkan personel di lokasi kejadian untuk mengantisipasi dampak peristiwa tersebut.
Menurut Yuliusman dari Walhi Sumsel, sejak tahun 2006, Sumsel ditetapkan sebagai provinsi penyangga pembangunan dan perluasan industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari laju perluasan kebun kelapa sawit saat ini.
Berdasarkan data Walhi Sumsel bahwa tahun 2004, luas kebun kelapa sawit di Sumsel mencapai 343.985 hektare, dengan hak guna usaha (HGU) dikantongi oleh 98 perusahaan, mayoritas pengusaha dari Malaysia.
Pada 2008, luas kebun sawit itu membengkak menjadi 720.000 hektare.
“Artinya, dalam empat tahun saja terjadi perluasan kebun sawit lebih dari dua kali lipat,” kata Yuliusman yang mendampingi Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat.
Selama empat tahun itu, di Sumsel telah mencetak 376.015 hektare kebun sawit.
Sengketa Lahan Menurut Yuliusman, di balik pesatnya perluasan perkebunan kelapa sawit tersebut, 81 perusahaan perkebunan kelapa sawit semuanya memiliki masalah sengketa lahan dengan penduduk setempat.
Lahan yang menjadi sengketa dalam perkebunan besar kelapa sawit tersebut seluas 83 ribu ha atau 11 persen dari luas keseluruhan, kata dia lagi.
Perluasan perkebunan kelapa sawit ini, juga telah menimbulkan konflik dengan masyarakat yang berbuntut pada kekerasan dan memakan korban jiwa, ujar dia.
Ia membeberkan, tahun 2007 tercatat dua orang petani di Kabupaten Ogan Komering Ilir meninggal dunia, ketika mempertahankan tanah mereka dari penjarahan perusahaan.
Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, ujar dia lagi, tercatat 36 petani “dikriminalisasi” (dianggap sebagai penjarah dan menjadi daftar pencarian orang/DPO pihak kepolisian) demi kepentingan perusahan-perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.
“Saat ini ada dua orang petani yang masih mendekam di Rumah Tahanan Tanjung Raja OKI,” ujar dia.
Wilayah-wilayah rawan konflik agraria yang telah terjadi itu, menurut Yuliusman, antara lain Kabupaten OKI, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Banyuasi, Ogan Komering Ulu (OKU), dan Lahat.
Dia berpendapat, rentetan konflik ini terus memperpanjang deret kekerasan, kriminalisasi, dan “pembunuhan” yang dilakukan oleh perusahaan yang “didukung” oleh pemerintah.
Tragedi berdarah yang memakan korban jiwa sebanyak tujuh orang, antara masyarakat Sungai Sodong, Mesuji, OKI dengan PT SWA pada Kamis (21/4) adalah bukti nyata dari kekejaman investasi perkebunan kelapa sawit di daerah ini, kata dia.
Karena itu, Walhi Sumsel menurut Yuliusman menyimpulkan bahwa sesungguhnya investasi perkebunan kelapa sawit adalah penjajahan gaya baru yang berjubah investasi.
“Menghilangkan akses hidup masyarakat petani, kekerasan, kriminalisasi, dan ‘pembunuhan’ adalah misi sesungguhnya investasi perkebunan kelapa sawit itu,” ujar dia. (ant)
Selengkapnya...

Walhi Sumsel Ingatkan Ancaman Krisis Pangan

Palembang (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan mengingatkan ancaman krisis pangan di daerah ini, antara lain akibat penurunan produksi pangan karena alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan lain.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat, di Palembang, Senin, menyatakan, ancaman krisis pangan bisa saja terjadi di Provinsi Sumsel karena terus berlangsung penurunan produksi pertanian pangan, terutama beras di daerah ini.
"Penyusutan produksi pangan itu dapat memicu terjadinya krisis pangan di tingkat lokal di daerah ini," ujar Sadat.
Dia mengingatkan adanya kecenderungan penurunan produksi pangan itu, akibat ketersediaan lahan pertanian pangan yang kian menyusut, dan nyaris tidak mampu dikuasai maupun dikontrol keseimbangannya oleh pemerintah setempat.
Informasi dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel menyebutkan, lahan pertanian padi di daerahnya pada tahun 2005 mencapai 626.849 hektare, dengan jumlah produksi sebanyak 2,32 juta ton.
Produksi padi tersebut, sebanyak 171.928 ton berasal dari areal pertanian lahan kering seluas 73.504 ha, antara lain terbanyak berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Ogan Komering Ulu Timur.
Kecenderungan terjadi penyusutan areal pertanian pangan di Sumsel itu, menurut Sadat, selain konversi lahan pertanian untuk keperluan lain, juga akibat mengejar target perluasan areal perkebunan khususnya kelapa sawit sehingga lahan pangan dialihkan menjadi lahan sawit yang produktif.
"Konversi lahan pertanian pangan di daerah ini setiap tahun mencapai sekitar delapan persen, sedangkan penambahan areal pertanian baru melalui program cetak sawah hanya berkisar lima persen per tahun," kata dia pula.
Ditambah lagi dengan alih fungsi lahan pertanian pangan itu menjadi perumahan dan permukiman, kepentingan pembangunan lain serta konversi menjadi lahan sawit, hampir dipastikan terus berlangsung penyusutan areal pertanian pangan yang akan berakibat penurunan produksi pangan di daerah ini.
Padahal, menurut dia, ketersediaan produksi pangan yang memadai sangat strategis, dan ketidaktersediaannya bisa berdampak sangat komplek dan luas serta saling terkait berdampak secara ekonomi, politik dan sosial budaya.
Karena itu, Walhi Sumsel kembali mengingatkan jajaran Pemprov dan dinas terkait di daerahnya untuk kembali memfokuskan program ketahanan pangan dan pencapaian produksi beras yang mencukupi untuk masyarakat di daerahnya.
"Perlu kebijakan dan strategi yang tepat yang berorientasi pada terwujudnya keadilan, kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat dengan kecukupan pangan guna menuju ketahanan pangan di daerah ini," tutur Sadat.
Berkaitan itu, Senin ini, Walhi Sumsel menggelar diskusi publik bertema Memperkuat Keberadaan Pertanian Pangan dan Perkebunan Sawit Rakyat (Mandiri) Melalui Kebijakan Daerah di Era Otonomi, dengan menghadirkan narasumber jajaran pejabat dinas terkait, pimpinan DPRD Sumsel dan wakil masyarakat petani setempat.
Selengkapnya...