Paru-paru Dunia Itu Rusak
Kompas/29 Mei 2008
Dalam 20 tahun terakhir, luasan hutan alam di Provinsi Riau berkurang 56,8 persen. Jika dirata-rata, setiap tahun Riau kehilangan 182.140 hektar hutan alam atau setiap bulan 15.178 hektar. Bahkan, data dari World Wild Fund, akhir 2005 hutan yang tersisa tinggal 33 persen dari luas daratan Riau atau hanya 2,743 juta hektar (National Geographic Indonesia, Oktober 2007).
Pagi masih belum beranjak pergi ketika sampai di Kabupaten Pelalawan, Kepulauan Riau. Pelalawan adalah kabupaten yang jalanan aspalnya penuh dengan truk besar pengangkut kayu gelondongan.
Kini, meski Bupati Tengku Azmun Jaafar sedang diadili di Pengadilan Khusus Tindak Korupsi Jakarta, truk penuh muatan kayu masih tetap menjadi pemandangan sehari-hari rakyat Pelalawan.
Mobil pun berbelok ke sebuah gerbang besi yang besar. Di sisi kanan tertulis larangan masuk dengan menyitir satu pasal di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), lengkap dengan ancaman hukuman, yang membuat gentar siapa pun yang hendak masuk. Itulah gerbang PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), sebuah perusahaan bubur kertas di Indonesia. Perusahaan ini berinduk pada Asia Pacific Resources International Holdings Limited di Singapura.
Penjagaan di pintu gerbang PT RAPP sangat ketat. Beruntung akhirnya bisa masuk juga. Begitu masuk ke areal RAPP, setiap tamu disuguhi sebuah peradaban yang kontras dengan pemandangan di jalanan Pangkalan Kerinci, Pelalawan.
Areal begitu bersih dan rapi, sambil di sana-sini terlihat petugas berseragam menggunakan motor yang siap menangkap pelanggar aturan di areal RAPP. Beberapa aturan itu antara lain tidak boleh membuang sampah sembarangan dan harus memakai helm. Jika melanggar aturan mereka, siap-siap saja ditangkap petugas bermotor.
Iringan jajaran pohon yang berbaris rapi dilengkapi dengan jalan beraspal hotmix mulus menyapa. Di sisi kanan, deretan rumah putih elegan lengkap dengan mobil yang terparkir di garasi masing-masing, menunjukkan tingkat kesejahteraan karyawan perusahaan itu.
Tak jauh dari sana, sebuah tanah merah kosong yang luas terbentang menanti untuk dilirik. Entah akan digunakan untuk apa tanah seluas itu. Belum sempat berpikir jauh, pemandangan berganti dengan pabrik besar hijau. Pabrik itu tak persis berada di pinggir jalan, tetapi agak menjorok masuk. Tepat di depan pabrik, tumpukan kayu kira-kira setinggi rumah berlantai satu, dengan panjang dan lebar sekitar 5 x 4 meter, menjadi pemandangan yang menarik. Belasan tumpukan ada di sana.
Mobil melaju kencang meninggalkan pabrik, rumah, dan jalan beraspal hotmix, yang jauh belasan kilometer di belakang. Kini jalan batu kapur yang diratakan dan penuh debu menjadi pemandangan berikutnya.
Sepanjang perjalanan selama 1,5 jam, tidak satu mobil pun yang berpapasan. Hanya truk aneka ukuran, entah mengangkut kayu gelondongan besar, kayu berukuran kecil, atau malah mengangkut kelapa sawit. Yah, di beberapa tempat yang dilalui tadi, beberapa hektar tanah ditanami pohon sawit. Di jalan ini pulalah truk build up besar dan panjang yang tak pernah ditemui di jalan raya terlihat lalu lalang melewati jalan poros ini.
Hutan nyaris habis
Bayangan akan memasuki kawasan hutan tropis yang lebat dan sulit dilalui sirna sudah. Realitas yang dihadapi sungguh kontras dengan cerita itu.
Sepanjang perjalanan, tak banyak pohon tinggi besar yang menjulang. Pohon ramin besar atau meranti sangat jarang dijumpai. Pohon akasia yang berumur muda atau pohon kelapa sawit merupakan pemandangan umum sepanjang menyusuri jalan poros ini. Di beberapa areal kosong dan luas terlihat akar pohon besar yang berwarna hitam akibat terbakar.
Begitulah pemandangan yang berawal dari gerbang RAPP. Tak ada jalan lain masuk ke kawasan hutan ini selain dari pintu gerbang itu.
Jalan poros itu memang dibangun PT RAPP untuk menuju kawasan hutan alam yang dikelola mitra kerjanya. Mitra kerja inilah yang menyuplai kayu, baik gelondongan besar maupun kayu bulat kecil, kepada PT RAPP, yang selanjutnya diolah menjadi bubur kertas. Jalan poros ini juga menghubungkan antara hutan alam dan Pelabuhan Futong di Kabupaten Siak.
"Jalan itu memang kami yang membangun. Tetapi mereka bukan anak perusahaan RAPP. Kami perlu tegaskan bahwa PT RAPP tidak mempunyai anak perusahaan," kata Troy Pantouw, Manajer Humas PT RAPP.
Berdasarkan data RAPP, perusahaan bubur kayu ini mengelola hutan alam seluas 235.000 hektar. Namun berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, kawasan hutan alam yang dikelola RAPP seluas 680.000 hektar.
Akhirnya, setelah berjalan hampir 90 kilometer dan menghabiskan waktu sekitar 1,5 jam, sampailah di kawasan hutan yang dikelola PT Madukoro. Di sepanjang jalan di kawasan itu, tumpukan kayu besar dan kecil berjajar dan ditandai dengan nomor dari kapur aneka warna. Itu kayu yang dibabat perusahaan tersebut.
Menurut Kepala Kepolisian Resor Pelalawan Ajun Komisaris Besar I Gusti Ketut Gunawa, PT Madukoro memperoleh izin 15.000 hektar dan hutan alam yang dibabat sebanyak 7.000 hektar.
"Banyak sekali pelanggaran, mulai dari hutan alam yang ditebang, kayu ramin yang dilarang ditebang ternyata juga dibabat, dilarang menebang di lereng yang kemiringannya lebih dari 25 persen, hingga kawasan lindung gambut juga dibuka oleh mereka. Menurut aturan, lahan gambut yang boleh dibuka jika ketebalannya kurang dari 3 meter, tetapi di sini 9 meter lebih," kata Gusti.
Kawasan hutan alam yang dikelola CV Alam Lestari pun tak kalah menyedihkan. Dengan menyewa kapal kayu bermotor, perjalanan membelah kawasan hutan pun kembali dilakukan. Kali ini dengan menyusuri kanal berair merah coklat yang membelah hutan.
Sungguh jauh sekali dari bayangan membelah hutan lebat yang dipadati pohon yang besar dan tinggi. Apalagi jika ditambah suara binatang yang akan melengkapi kesenyapan perjalanan di hutan.
Tak ada suara burung atau binatang lain yang mengiringi perjalanan menyusuri kanal ini. Pohon pun tak lagi tinggi dan sedikit sekali yang berbatang besar. Mungkin hampir sama dengan pohon yang tumbuh di pinggir jalan Jakarta. Hutan Riau kini tak lagi lebat.
Kanal yang dibangun CV Alam Lestari berjumlah lima, yang tiap-tiap ujungnya bertemu. Kanal itu memiliki panjang 3-6,3 kilometer.
Sungguh mengejutkan karena di tiap-tiap kanal teronggok ribuan kayu, malah bisa jadi puluhan ribu kayu bulat besar. Kayu ini dikelompokkan menjadi beberapa tumpukan.
Di kanal I yang lebarnya 10 meter dan panjangnya 3 kilometer terdapat 311 tumpukan dengan setiap tumpukan kayu berisi 40-60 meter kubik. Di kanal II, dengan lebar sama tetapi panjang mencapai 5,3 kilometer, terdapat 626 tumpukan. Di kanal III, dengan panjang 6,3 kilometer, terdapat 819 tumpukan kayu. Di kanal IV yang panjangnya 5,8 kilometer terdapat 754 tumpukan kayu. Tumpukan kayu yang paling banyak terdapat di kanal V dengan 1.362 tumpukan. Total di lima kanal ini ada 3.872 tumpukan kayu.
Di pertemuan kanal, onggokan kayu terlihat dari jauh, dari kapal kayu bermotor yang jaraknya masih ratusan meter. Di sinilah Tempat Penimbunan Kayu CV Alam Lestari. Kian mendekat semakin terlihat betapa tingginya tumpukan kayu itu. Tumpukan kayu yang tepat berada di pertemuan kanal itu setinggi rumah berlantai satu.
Kawasan lahan gambut yang tebal juga dibuka. Di sisi kanan- kiri kanal atau di pertemuan kanal, tumpukan gambut menjadi salah satu pemandangan yang menarik untuk diperhatikan. Padahal, menurut mantan Kepala Kepolisian Daerah Riau Sutjiptiadi, kawasan gambut itu setebal 9 meter. Dengan ketebalan gambut seperti itu, hal tersebut menjadikan kawasan itu dilindungi. Dilarang untuk dibuka.
PT Madukoro dan CV Alam Lestari adalah contoh perusahaan yang membabat hutan alam di Riau. Kondisi udara lebih memiriskan perasaan lagi. Dari helikopter yang terbang di ketinggian, pemandangan hutan yang kosong jelas terlihat.
Di beberapa petak, hutan alam dengan titik hijau tua yang sangat tebal terlihat hanya berkelompok kecil di antara lahan kosong berwarna abu-abu. Sementara ada beberapa petak, jumlahnya juga tidak terlalu banyak, berisi pohon akasia yang tidak terlalu tinggi dan lebat. Ini terlihat dari titik hijau muda. Sungguh bisa dibedakan mana hutan alam dan mana lahan yang ditanami akasia.
"Kalau berdasarkan data yang saya analisis bersama dengan Dinas Kehutanan Riau, selama periode tahun 2003 saja dari 1,7 juta hektar izin hutan tanaman industri yang dikeluarkan, yang ditanami hanya 600 hektar. Sisanya hanya diambil kayunya. Kayu ditebangi lalu lahan dibiarkan kosong," ujar Sutjiptiadi kepada wartawan, 12 Mei 2008, sehari sebelum dirinya diganti.
Akibat kerusakan hutan ini, binatang liar mulai turun ke jalan. Beberapa polisi yang tinggal di posko hutan ini bercerita, pada malam hari mereka beberapa kali melihat seekor macan turun melintas di jalan poros ini.
Polda Riau dan Polres Pelalawan menempatkan personel mereka di kawasan hutan PT Madukoro dan CV Alam Lestari karena perkara kedua perusahaan itu sudah ditangani polisi.
Polda Riau juga menangani perkara dugaan korupsi hutan yang dilakukan PT Bina Duta Laksana. Kini perkara itu diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Polda Riau mengajukan izin kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memeriksa Gubernur Riau Rusli Zainal. Tetapi, izin itu tak kunjung turun.
Menurut Troy Pantouw, perusahaan itu hanyalah mitra kerja yang menjadi penyuplai kayu bagi PT RAPP. "Mereka bukan anak perusahaan PT RAPP," tegasnya, pertengahan Mei lalu.
Kerusakan hutan di Riau sungguh tak sebanding dengan pemasukan yang diperoleh negara. Jika kerusakan hutan di Riau begitu signifikan, meminjam data Walhi Riau dari 6,8 juta hektar sekarang tinggal 1,2 juta hektar, pemasukan negara dari provisi sumber daya hutan-dana reboisasi sangat rendah. "Selama 5 tahun, dari 2002, hanya Rp 1,4 triliun sekian," kata Sutjiptiadi. (Vincentia Hanni S)
0 komentar:
Posting Komentar