Pernahkah terbayangkan oleh kita bahwa hampir setiap aktivitas dan prilaku hidup kita sehari-hari sadalah salah satu penyebab dari rusaknya Hutan Alam Indonesia yang berdampak mempercepat lajunya bencana bagi seluruh umat manusia yaitu Pemanasan Global ( Global Warming).dengan tulisan ini saya mencoba mengajak semua elemen masyarakat untuk berpikir dan menganalisa bagaimanakah kerusakan hutan dan Pemanasan global terjadi hanya karena prilaku hidup kita sehari-hari.
Pemakaian Tisu dalam Kehidupan Modern.
Kehidupan modern banyak mengubah kebiasaan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempermudah, mempercepat, memperefisien dan memperingan banyak pekerjaan manusia. Walaupun demikian, harus diakui bahwa tidak semua orang mau dan menyadari bahwa pola kehidupan modern sekarang sangat memengaruhi lingkungan terutama kelestarian hutan .
Salah satu produk kehidupan modern adalah tisu. Pemakaian tisu di negara-negara maju dan di kota-kota besar Indonesia adalah lumrah dijumpai. Saat ini sudah jarang ditemui – atau dapat dikatakan tidak ada sama sekali - kaum muda, terlebih-lebih para remaja sekolah, menggunakan saputangan kecuali kaum orangtua yang berusia 55 (lima puluh lima) tahun ke atas. Tisu (barangkali) telah menjadi ciri budaya kehidupan modern manusia, yaitu kepraktisan Hampir setiap Remaja yang ada di Indonesia menggunakan Tisu baik itu untuk membersikan Hidung dari kotoran disebabkan terkena Flu, mengelap Muka dari keringat, aktifitas di kamar mandi (BAB,BAK),sampai dengan hanya untuk mengelap Mulut setelah makan, hal yang terakhir disebutkan ini didukung hampir semua restoran dan rumah makan yang ada di seluruh tempat, yang menyediakan tisu sebagai bagian dari pelayanan kepada pelanggan. Semuanya dilakukan dengan sangat sederhana sekali, yaitu ambil, lap lalu dibuang setelah tisu-nya kotor. Kalau masih belum juga merasa bersih, ambil lagi, lap, lalu ya buang, sangat Praktiskan! Tidak usah pusing untuk memikirkan mencuci. dan tidak usah khawatir kantong akan menjadi kotor karena menyimpan bekas tisu seperti orang yang menggunakan Sapu tangan untuk mengelap. Penggunaan tisu yang berlebihan tersebut barangkali telah menjadi ciri budaya kehidupan modern manusia di abad ini
Proses Rusaknya Hutan Alam Indonesia dan Global Warming
Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas). Pulp berasal dari batang pohon akasia dan eucalyptus yang diproses secara kimia. Untuk membuat tisu, produsen harus membuat perkebunan akasia dan eucalyptus (contohnya usaha yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada di Muara enim Sumatera Selatan ), lalu setelah pohon tersebut besar maka dilakukan penebangan untuk mendapatkan kayunya. Yang berarti suatu penggundulan hutan menyebabkan luas hutan alam semakin menyusut karena digantikan oleh Perkebunan Akasia dan eucalyptus. Berikut saya cantumkan kutipan tulisan saudara Koesnadi dari Sekjend Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) tentang Hitungan sederhana bagaimana penyusutan Hutan Alam Indonesia akibat dari penggunaan tisu oleh masyarakat."Jika jumlah Penduduk Indonesia 200 juta orang dan setiap satu harinya 1 orang menggunakan ½ gulung kertas tisu Artinya penggunaan kertas tissu bisa mencapai 100 juta gulung tissu per hari, berarti per bulan nya pemakaian tisu di indonesia mencapai 3 milyar gulung. Bila berat kertas tissu itu 1 gulung mencapai ¼ kg, maka 3 milyar dihasilkan angka kira-kira 750.000.000 kg setara dengan 750.000 Ton, Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 5 m3 kayu bulat, dengan asumsi kayu bulat 120 m3 per hektar (diameter 10 up) maka sudah bisa ditebak penggunaan hutan untuk urus kebersihan mencapai ratusan ribu hektar setiap bulannya". Dan untuk Hutan yang telah ditebang memerlukan waktu puluhan tahun dalam proses pemulihan kembali ke keadaan semula seperti sebelum ditebang. Singkat kata kecepatan penyusutan hutan akibat penebangan lebih cepat daripada kecepatan pemulihan atau suksesi dan berdasarkan catatan WALHI jika hal ini terus terjadi maka WALHI memprediksikan kurang lebih 10 tahun kedepan Indonesia tidak akan memiliki Hutan lagi. .
Menyusutnya luas hutan dapat mengakibatkan erosi tanah. Selain erosi, kemampuan hutan untuk menyerap CO2 juga menurun. Tingginya konsentrasi CO2 di atmosfir menyebabkan tingginya suhu bumi yang berdampak pada gangguan keseimbangan lingkungan hidup di biosfir bumi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global ( Global Warming ). Seperti kita ketahui bahwa pada tahun 2007 tepatnya tanggal 3 – 11 Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah dalam Penyelengaraan United Nation For Climate Change (UNFCC) yaitu pertemuan Negara – Negara di dunia yang membahas tentang Global Warming, dalam pertemuan tersebut disebutkan Global Warming telah menjadi ancaman yang sangat nyata bagi penduduk dunia karena Global Warming telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap muka air laut (Sea Level Change). Diperkirakan terjadi kenaikan muka air laut 50 cm pada tahun 2100 (IPCC, 1992). Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, meskipun perubahan muka air laut juga dipengaruhi oleh kondisi geologi lokal (tektonic), peningkatan muka air laut (Sea Level Rise) akan membawa dampak negatif yang cukup signifikan. Peningkatan muka air laut akan menggenangi banyak areal ekonomis penting, seperti : permukiman dan prasarana wilayah, lahan pertanian, tambak, resort wisata, dan pelabuhan. Tergenangnya jaringan jalan penting seperti di pesisir utara Jawa, jelas berpengaruh terhadap kelancaran transportasi orang dan barang. Diproyeksikan 3.306.215 penduduk akan menghadapi masalah pada tahun 2070. Lima kota pantai (Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar) akan menghadapi masalah serius karena kenaikan muka air laut setinggi 60 cm (ADB, 1994). Demikian pula dengan perkiraan hilangnya 4 ribu pulau (Menteri Kimpraswil, Kompas 8 Agustus 2002). Hal yang mengerikan ini hanya dimulai dari pengundulan Hutan yang digunakan untuk Pembuatan Tisu dan belum lagi ditambah oleh dampak yang dihasilkan dari proses untuk mendapatkan warna putih pada Tisu, pemutihan warna pada tisu diperlukan proses pemutihan dengan gas chlor (Cl) terhadap pulp yang berwarna hitam. Bahan baku gas Cl adalah toksik, yang limbahnya juga masih mengandung racun.
Semua yang dikemukakan di atas akan tampak dampaknya dalam jangka waktu panjang dan akan dirasakan akibatnya oleh generasi mendatang. Inikah yang diinginkan terjadi oleh generasi sekarang tanpa mau peduli terhadap kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang? Sekarang semuanya berpulang kepada pribadi masing-masing. Namun Seandainya setiap orang di dunia atau di Indonesia pada khususnya sepakat meninggalkan pemakaian kertas tisu dan mengantikan atau mengembalikan kebiasaan bersih bersih dengan menggunakan Sapu tangan seperti orang tua di zaman belum “Modern” dulu, barangkali laju kerusakan hutan dapat diredam dan kelestarian hutan di Indonesia dijamin terjaga dan secara langsung kita telah berpartisipasi dalam mencegah terjadinya percepatan bencana bagi seluruh Umat Manusia : Global Warming
Oleh : Hadi jatmiko
Pemakaian Tisu dalam Kehidupan Modern.
Kehidupan modern banyak mengubah kebiasaan manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempermudah, mempercepat, memperefisien dan memperingan banyak pekerjaan manusia. Walaupun demikian, harus diakui bahwa tidak semua orang mau dan menyadari bahwa pola kehidupan modern sekarang sangat memengaruhi lingkungan terutama kelestarian hutan .
Salah satu produk kehidupan modern adalah tisu. Pemakaian tisu di negara-negara maju dan di kota-kota besar Indonesia adalah lumrah dijumpai. Saat ini sudah jarang ditemui – atau dapat dikatakan tidak ada sama sekali - kaum muda, terlebih-lebih para remaja sekolah, menggunakan saputangan kecuali kaum orangtua yang berusia 55 (lima puluh lima) tahun ke atas. Tisu (barangkali) telah menjadi ciri budaya kehidupan modern manusia, yaitu kepraktisan Hampir setiap Remaja yang ada di Indonesia menggunakan Tisu baik itu untuk membersikan Hidung dari kotoran disebabkan terkena Flu, mengelap Muka dari keringat, aktifitas di kamar mandi (BAB,BAK),sampai dengan hanya untuk mengelap Mulut setelah makan, hal yang terakhir disebutkan ini didukung hampir semua restoran dan rumah makan yang ada di seluruh tempat, yang menyediakan tisu sebagai bagian dari pelayanan kepada pelanggan. Semuanya dilakukan dengan sangat sederhana sekali, yaitu ambil, lap lalu dibuang setelah tisu-nya kotor. Kalau masih belum juga merasa bersih, ambil lagi, lap, lalu ya buang, sangat Praktiskan! Tidak usah pusing untuk memikirkan mencuci. dan tidak usah khawatir kantong akan menjadi kotor karena menyimpan bekas tisu seperti orang yang menggunakan Sapu tangan untuk mengelap. Penggunaan tisu yang berlebihan tersebut barangkali telah menjadi ciri budaya kehidupan modern manusia di abad ini
Proses Rusaknya Hutan Alam Indonesia dan Global Warming
Tisu dibuat dari pulp (bubur kertas). Pulp berasal dari batang pohon akasia dan eucalyptus yang diproses secara kimia. Untuk membuat tisu, produsen harus membuat perkebunan akasia dan eucalyptus (contohnya usaha yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada di Muara enim Sumatera Selatan ), lalu setelah pohon tersebut besar maka dilakukan penebangan untuk mendapatkan kayunya. Yang berarti suatu penggundulan hutan menyebabkan luas hutan alam semakin menyusut karena digantikan oleh Perkebunan Akasia dan eucalyptus. Berikut saya cantumkan kutipan tulisan saudara Koesnadi dari Sekjend Sarekat Hijau Indonesia ( SHI ) tentang Hitungan sederhana bagaimana penyusutan Hutan Alam Indonesia akibat dari penggunaan tisu oleh masyarakat."Jika jumlah Penduduk Indonesia 200 juta orang dan setiap satu harinya 1 orang menggunakan ½ gulung kertas tisu Artinya penggunaan kertas tissu bisa mencapai 100 juta gulung tissu per hari, berarti per bulan nya pemakaian tisu di indonesia mencapai 3 milyar gulung. Bila berat kertas tissu itu 1 gulung mencapai ¼ kg, maka 3 milyar dihasilkan angka kira-kira 750.000.000 kg setara dengan 750.000 Ton, Bila untuk menghasilkan 1 ton pulp diperlukan 5 m3 kayu bulat, dengan asumsi kayu bulat 120 m3 per hektar (diameter 10 up) maka sudah bisa ditebak penggunaan hutan untuk urus kebersihan mencapai ratusan ribu hektar setiap bulannya". Dan untuk Hutan yang telah ditebang memerlukan waktu puluhan tahun dalam proses pemulihan kembali ke keadaan semula seperti sebelum ditebang. Singkat kata kecepatan penyusutan hutan akibat penebangan lebih cepat daripada kecepatan pemulihan atau suksesi dan berdasarkan catatan WALHI jika hal ini terus terjadi maka WALHI memprediksikan kurang lebih 10 tahun kedepan Indonesia tidak akan memiliki Hutan lagi. .
Menyusutnya luas hutan dapat mengakibatkan erosi tanah. Selain erosi, kemampuan hutan untuk menyerap CO2 juga menurun. Tingginya konsentrasi CO2 di atmosfir menyebabkan tingginya suhu bumi yang berdampak pada gangguan keseimbangan lingkungan hidup di biosfir bumi yang menyebabkan terjadinya pemanasan global ( Global Warming ). Seperti kita ketahui bahwa pada tahun 2007 tepatnya tanggal 3 – 11 Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah dalam Penyelengaraan United Nation For Climate Change (UNFCC) yaitu pertemuan Negara – Negara di dunia yang membahas tentang Global Warming, dalam pertemuan tersebut disebutkan Global Warming telah menjadi ancaman yang sangat nyata bagi penduduk dunia karena Global Warming telah mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap muka air laut (Sea Level Change). Diperkirakan terjadi kenaikan muka air laut 50 cm pada tahun 2100 (IPCC, 1992). Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, meskipun perubahan muka air laut juga dipengaruhi oleh kondisi geologi lokal (tektonic), peningkatan muka air laut (Sea Level Rise) akan membawa dampak negatif yang cukup signifikan. Peningkatan muka air laut akan menggenangi banyak areal ekonomis penting, seperti : permukiman dan prasarana wilayah, lahan pertanian, tambak, resort wisata, dan pelabuhan. Tergenangnya jaringan jalan penting seperti di pesisir utara Jawa, jelas berpengaruh terhadap kelancaran transportasi orang dan barang. Diproyeksikan 3.306.215 penduduk akan menghadapi masalah pada tahun 2070. Lima kota pantai (Medan, Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makasar) akan menghadapi masalah serius karena kenaikan muka air laut setinggi 60 cm (ADB, 1994). Demikian pula dengan perkiraan hilangnya 4 ribu pulau (Menteri Kimpraswil, Kompas 8 Agustus 2002). Hal yang mengerikan ini hanya dimulai dari pengundulan Hutan yang digunakan untuk Pembuatan Tisu dan belum lagi ditambah oleh dampak yang dihasilkan dari proses untuk mendapatkan warna putih pada Tisu, pemutihan warna pada tisu diperlukan proses pemutihan dengan gas chlor (Cl) terhadap pulp yang berwarna hitam. Bahan baku gas Cl adalah toksik, yang limbahnya juga masih mengandung racun.
Semua yang dikemukakan di atas akan tampak dampaknya dalam jangka waktu panjang dan akan dirasakan akibatnya oleh generasi mendatang. Inikah yang diinginkan terjadi oleh generasi sekarang tanpa mau peduli terhadap kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang? Sekarang semuanya berpulang kepada pribadi masing-masing. Namun Seandainya setiap orang di dunia atau di Indonesia pada khususnya sepakat meninggalkan pemakaian kertas tisu dan mengantikan atau mengembalikan kebiasaan bersih bersih dengan menggunakan Sapu tangan seperti orang tua di zaman belum “Modern” dulu, barangkali laju kerusakan hutan dapat diredam dan kelestarian hutan di Indonesia dijamin terjaga dan secara langsung kita telah berpartisipasi dalam mencegah terjadinya percepatan bencana bagi seluruh Umat Manusia : Global Warming
Oleh : Hadi jatmiko
0 komentar:
Posting Komentar