WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Februari 28, 2009

Sumsel Masuk Daerah Terparah Dilanda Krisis

Tim Indonesia Bangkit (TIB) yang terdiri atas beberapa pengamat ekonomi menyatakan, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) termasuk di antara enam provinsi yang terkena dampak krisis keuangan global paling parah.


Anggota TIB Iman Sugema mengatakan, selain Sumsel,provinsi lain yang juga merasakan dampak parah krisis keuangan global adalah Sumatera Utara, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat. Sebab,menurut Iman, komoditas unggulan daerah-daerah tersebut adalah ekspor produk hasil perkebunan dan pertambangan.“Seperti yang kita ketahui, krisis kemarin membuat harga komoditas perkebunan dan pertambangan serta produk turunannya menjadi anjlok.

Padahal, jumlah rakyat yang menggantungkan hidupnya di sektor itu sangat banyak,” ujarnya saat temu wartawan di Riverside Restaurant,Palembang,kemarin. Menurut Iman, terkenanya beberapa daerah di Indonesia oleh krisis finansial yang bermula di Amerika Serikat tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah Indonesia. Saat ini kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah lebih mengarah ke neoliberalisme.

Padahal, kebijakan yang memihak pada pasar itu bisa menimbulkan krisis berulangulang, kelangkaanberbagaikebutuhan masyarakat,dan kesengsaraan massal. Menurut dia, berbagai indikasi yang menunjukkan Indonesia menjalankan kebijakan neoliberalisme cukup jelas. Di antaranya, di bidang pertambangan, saat pemerintahan SBY-JK menghibahkan Blok Cepu kepada Exxon Mobile serta perpanjangan kontrak karya PT Freeport.

Selain itu, liberalisasi perdagangan yang dilakukan Menteri Perdagangan juga sangatmerugikanrakyat, diantaranya dibukanya keran ekspor rotan dan kuningan membuat para perajin bangkrut karena kehilangan bahan baku. “Di saat perajin kita gulung tikar karena bahan baku diekspor semua,justru China yang tidak punya tanaman rotan malah bisa menjadi eksportir terbesar furnitur dari bahan rotan.

Ini tidak boleh dibiarkan,kita harus melakukan perubahan arah kebijakan ekonomi sekarang juga,”tutur Direktur International Center for Applied Finance and Economics (Inter CAFE) ini. Pernyataan itu didukung anggota TIB lainnya, Ichsanudin Noorsy.Menurut pengamat ekonomi politik ini, berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan TIB,setiap provinsi yang basis perekonomiannya perkebunan dan pertambangan akan memiliki angka produk domestik regional bruto (PDRB) yang timpang.

Pasalnya, pengaruh kekuatan korporasi di daerah tersebut terlalu besar sehingga mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Menurut Ichsanudin, Pemprov Sumsel harus segera memperbaiki PDRB-nya agar pertumbuhan ekonomi di provinsi nomor lima terkaya di Indonesia ini bisa kembali meningkat. “Setidaknya pemerintah harus mengubah paradigma pengelolaan SDA yang saat ini ditempatkan sebagai komoditas ekspor menjadi sumber energi.

Dengan paradigma baru itu,SDA pertambangan dan perkebunan yang dimiliki Sumsel akan menjadi modal bagi pembangunan daerah dan nasional menuju kemajuan dan kemandirian sesuai UUD 1945,” tandasnya. Pengamat ekonomi dari Universitas Sriwijaya Didiek Susetyo mengatakan,pernyataan TIB itu mungkin hanya didasarkan pada pengamatan sektor ekonomi makro Sumsel saja.

Memang perekonomian makro Sumsel yang didominasi sektor perkebunan dan pertambangan sempat mengalami penurunan.Sebab, produk kedua sektor itu orientasinya ekspor ke negaranegara yang terkena dampak krisiskeuanganglobal.“Kalau itu yang dijadikan dasar TIBya memang itu yang terjadi. Tapi, kalau untuk produk menengah dan mikro, saya melihat masih stabil ya,”ucapnya.

Sumber : Seputar Indonesia







Artikel Terkait:

0 komentar: