Wednesday, 28 July 2010
PALEMBANG – Keberadaan lahan pertambangan masih tumpang tindih dengan pemanfaatan lahan pada sektor kehutanan,pertanian ataupun pemukiman.
Akibatnya,kelangsungan sejumlah bisnis pertambangan ikut terancam. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makasar Abrar Saleng mengatakan, pengaturan pengelolaan pertambangan antara Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), Tata Ruang dan UU Kehutanan masih belum terintegrasi dengan baik.Kondisi ini,berimplikasi banyak terhadap pengelolaan pertambangan. UU Minerba yang desentralistik telah menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1967 yang sentralistik.
Namun, pada prosesnya aturan ini tidak sekaligus mengakhiri beberapa produk yang menjadi dasar pelaksanaan pengusahaan pertambangan di era otonomi daerah.Disisi lain,keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN) nyatanya telah menghambat pemberian izin pertambangan. Bahkan, akibat hal ini sejumlah perusahaan pertambangan juga terpaksa harus berhenti berproduksi. “Sehingga kedepan pertambangan akan mendapat tantangan dari sejumlah sektor luar,mulai dari lingkungan hidup, hukum, birokrasi, sosial budaya ataupun kehutanan.
Namun,sektor kehutanan ini disinyalir akan menjadi yang paling banyak menyita waktu,”ujar Abrar salam Seminar Nasional Pertambangan “Pengelolaan Pertambangan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan”di Gedung Serbaguna Pascasarjana Universitas Sriwijaya (Unsri), Bukit Besar, Palembang, kemarin. Sebab,kata dia,baik dalam UU Minerba ataupun UU kehutanan dengan beragam peraturan dan pelaksanaannya, tak satupun ketentuan mengatur kapan pengelolaan pertambangan diprioritaskan dari sektor kehutanan ataupun sebaliknya. Sementarapadafaktanya,hampir 80% mineral dan batu bara bersentuhan dengan sektor kehutanan.
Selanjutnya, secara kontadiktif pengelolaan pertambangan akan selalu mengubah bentang alam. Disisi lain,sektor kehutanan justru ingin selalu mempertahankan kelestariannya. “Ketiadaan masa depan bagi sektor pertambangan tak hanya akan menghilangkan kesempatan bagi insan-insan pertambangan mengelolasumberdaya bumisecaraoptimal. Lebih dari itu,hal ini juga dapat menjadi ancaman bagi laju pembangunan nasional,”papar Abrar dengan makalahnya yang berjudul “UU Minerba dan Tumpang Tindih Regulasi Pengelolaan Pertambangan Dengan Kehutanan”.
Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Imam Santoso Ernawi mengatakan, keberadaan potensi bahan tambang seperti mineral, batu bara dan minyak bumi dibawah permukaan tanah telah mengakibatkan tumpang tindih pada penggunaan lahan. Baik dengan kehutanan, pertanian ataupun pemukiman. Sejauh ini, pembangunan pertambangan belum dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu dengan pembangunan wilayah dalam satu kerangka yang terintegrasi. Dalam hal ini,lanjut dia,ada tiga pilar pembangunan yang harus diintegrasikan dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Yakni ekonomi yang meliputi pertumbuhan dan dampak ekonomi.Selanjutnya sosial seperti tingkat partisipasi masyarakat, dampak terhadap struktur sosial serta lingkungan hidup yakni dampak terhadap kualitas air, udara, lahan serta ekosistem. “Sehingga, untuk memecahkan masalah pertambangan ini dibutuhkan solusi lintas sektoral antar semua pihak terkait. Seperti Kementrian ESDM, kehutanan ataupun pekerjaan umum,”sebutnya. Sementara itu,ketua panitia kegiatan Hartini Iskadar menuturkan, seminar digelar dalam rangka memperingati 50 tahun jurusan teknik pertambangan Unsri.
Turut hadir dalam seminar ini Wakil Gubernur Sumsel eddy Yusuf, pembicara dariKementrian ESDM Bambang Setiawan, Dirjen Kementrian Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Soetrisno,Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Imam Santoso Ernawi,Kementrian Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman, Direktur ESDM danUmumPT.Bukit Asam TbkMahbub Iskandar dan Ahli Hukum Pertambangan Abrar Saleng.
“Kami harap seminar ini mampu menghimpun kejelasan tentang permasalahan tumpang tindih peraturan wilayah pertambangan dengan sektor lainnya,”katanya.
Sumber : Seputar Indonesia
PALEMBANG – Keberadaan lahan pertambangan masih tumpang tindih dengan pemanfaatan lahan pada sektor kehutanan,pertanian ataupun pemukiman.
Akibatnya,kelangsungan sejumlah bisnis pertambangan ikut terancam. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makasar Abrar Saleng mengatakan, pengaturan pengelolaan pertambangan antara Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba), Tata Ruang dan UU Kehutanan masih belum terintegrasi dengan baik.Kondisi ini,berimplikasi banyak terhadap pengelolaan pertambangan. UU Minerba yang desentralistik telah menggantikan UU Nomor 11 Tahun 1967 yang sentralistik.
Namun, pada prosesnya aturan ini tidak sekaligus mengakhiri beberapa produk yang menjadi dasar pelaksanaan pengusahaan pertambangan di era otonomi daerah.Disisi lain,keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional (RTRWN) nyatanya telah menghambat pemberian izin pertambangan. Bahkan, akibat hal ini sejumlah perusahaan pertambangan juga terpaksa harus berhenti berproduksi. “Sehingga kedepan pertambangan akan mendapat tantangan dari sejumlah sektor luar,mulai dari lingkungan hidup, hukum, birokrasi, sosial budaya ataupun kehutanan.
Namun,sektor kehutanan ini disinyalir akan menjadi yang paling banyak menyita waktu,”ujar Abrar salam Seminar Nasional Pertambangan “Pengelolaan Pertambangan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan”di Gedung Serbaguna Pascasarjana Universitas Sriwijaya (Unsri), Bukit Besar, Palembang, kemarin. Sebab,kata dia,baik dalam UU Minerba ataupun UU kehutanan dengan beragam peraturan dan pelaksanaannya, tak satupun ketentuan mengatur kapan pengelolaan pertambangan diprioritaskan dari sektor kehutanan ataupun sebaliknya. Sementarapadafaktanya,hampir 80% mineral dan batu bara bersentuhan dengan sektor kehutanan.
Selanjutnya, secara kontadiktif pengelolaan pertambangan akan selalu mengubah bentang alam. Disisi lain,sektor kehutanan justru ingin selalu mempertahankan kelestariannya. “Ketiadaan masa depan bagi sektor pertambangan tak hanya akan menghilangkan kesempatan bagi insan-insan pertambangan mengelolasumberdaya bumisecaraoptimal. Lebih dari itu,hal ini juga dapat menjadi ancaman bagi laju pembangunan nasional,”papar Abrar dengan makalahnya yang berjudul “UU Minerba dan Tumpang Tindih Regulasi Pengelolaan Pertambangan Dengan Kehutanan”.
Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Imam Santoso Ernawi mengatakan, keberadaan potensi bahan tambang seperti mineral, batu bara dan minyak bumi dibawah permukaan tanah telah mengakibatkan tumpang tindih pada penggunaan lahan. Baik dengan kehutanan, pertanian ataupun pemukiman. Sejauh ini, pembangunan pertambangan belum dilaksanakan, ditata, dan dikembangkan secara terpadu dengan pembangunan wilayah dalam satu kerangka yang terintegrasi. Dalam hal ini,lanjut dia,ada tiga pilar pembangunan yang harus diintegrasikan dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan.
Yakni ekonomi yang meliputi pertumbuhan dan dampak ekonomi.Selanjutnya sosial seperti tingkat partisipasi masyarakat, dampak terhadap struktur sosial serta lingkungan hidup yakni dampak terhadap kualitas air, udara, lahan serta ekosistem. “Sehingga, untuk memecahkan masalah pertambangan ini dibutuhkan solusi lintas sektoral antar semua pihak terkait. Seperti Kementrian ESDM, kehutanan ataupun pekerjaan umum,”sebutnya. Sementara itu,ketua panitia kegiatan Hartini Iskadar menuturkan, seminar digelar dalam rangka memperingati 50 tahun jurusan teknik pertambangan Unsri.
Turut hadir dalam seminar ini Wakil Gubernur Sumsel eddy Yusuf, pembicara dariKementrian ESDM Bambang Setiawan, Dirjen Kementrian Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Soetrisno,Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum Imam Santoso Ernawi,Kementrian Lingkungan Hidup Masnellyarti Hilman, Direktur ESDM danUmumPT.Bukit Asam TbkMahbub Iskandar dan Ahli Hukum Pertambangan Abrar Saleng.
“Kami harap seminar ini mampu menghimpun kejelasan tentang permasalahan tumpang tindih peraturan wilayah pertambangan dengan sektor lainnya,”katanya.
Sumber : Seputar Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar