WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, November 21, 2010

REDD, Ladang Baru Korupsi

Upaya mereduksi emisi karbon melalui pelestarian hutan atau REDD+ bisa
jadi adalah peluang terbaik untuk menyelamatkan hutan yang tersisa
sekaligus memperlambat laju pemanasan global. Namun, mekanisme ini
juga bisa jadi ladang baru korupsi.

Pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan
(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+)
menjadi kontroversi sejak awal kemunculannya. Bagi penentangnya,
mekanisme ini dinilai sebagai siasat negara maju, yang merupakan
emiter karbon terbesar, untuk lari dari tanggung jawab. Daripada
mengubah gaya hidup agar lebih ramah lingkungan, mereka justru
menawarkan uang kepada negara berkembang asalkan mau melestarikan
hutan yang tersisa.

Di tengah kontroversi itu, negosiasi REDD+ ternyata paling cepat
kemajuannya dibandingkan proyek perubahan iklim lainnya, seperti
transfer teknologi dan bantuan dana untuk adaptasi. Negara-negara
berkembang yang memiliki hutan, seperti Indonesia, dengan gembira
menyambut REDD+, lebih karena melihat besaran dana yang akan didapat.
Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia memiliki 94
juta hektar hutan dari total 214 hutan tropis di 10 negara Asia
Tenggara sehingga berkepentingan besar terhadap REDD+.

Penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR)
menyebutkan, jika Indonesia sukses mengurangi deforestasi sebesar 5
persen saja, kita bisa memperoleh 765 juta dollar AS dalam setahun
melalui mekanisme REDD+. Jika berhasil mereduksi deforestasi hingga 30
persen, bisa memperoleh pendapatan hingga 4,5 miliar dollar AS setahun.

Dalam diskusi panel di International Anti-Corruption Conference (IACC)
Ke-14 di Bangkok, Tim Clairs, penasihat senior UN-REDD Programme,
mengatakan, dana yang telah siap untuk mekanisme REDD+ melalui
lembaganya mencapai 4 miliar dollar AS dalam kurun 2009-2012. Dana ini
di luar kerja sama langsung antarnegara, seperti komitmen bantuan 1
miliar dollar AS yang diperoleh Indonesia dari Norwegia yang
ditandatangani tahun ini.

Rentan korupsi

Namun, di tengah antusiasme negara donor dan juga negara penerima,
Bernd Markus Liss, penasihat kebijakan hutan dari Kerja Sama Teknis
Jerman di Filipina, mengatakan, REDD+ rentan menumbuhsuburkan korupsi.
Potensi korupsi dari REDD+ bisa terjadi sejak proses penentuan lahan,
penghitungan nilai karbon yang rentan dimanipulasi, munculnya broker
karbon, hingga penghilangan akses komunitas lokal terhadap hutan.

Menurut kajian UNDP (Tackling Corruption Risk in Climate Change,
2010), celah korupsi dalam penentuan lahan sangat mungkin terjadi
dengan menyuap petugas mengeluarkan terlebih dulu kayu-kayu bernilai
tinggi di area konsesi. Selain itu, perusahaan multinasional ataupun
industri agrobisnis juga bisa menyuap pejabat untuk memasukkan lahan
yang mereka punyai dalam proyek REDD+.

Liss menyarankan pemberian lisensi, audit, dan investasi REDD+
dilakukan secara transparan. Bahkan, transparansi saja tidak cukup
jika hal itu tidak memasukkan aspek kemanfaatan bagi masyarakat
tempatan. Jika masyarakat sekitar hutan justru bertambah sengsara
setelah hutan mereka dimasukkan dalam proyek REDD+, konflik pasti akan
terjadi.

Kekhawatiran tentang pembajakan oleh koruptor juga disampaikan Peter
Larmour dari The Australian National University. Menurut dia, jika
program REDD+ dikorup, masyarakat lokal sekitar hutan akan tambah
sengsara. Sebab, di satu sisi, REDD+ membuat mereka kehilangan akses
untuk memanfaatkan hutan secara langsung.

Karena itu, parameter antikorupsi telah disepakati sebagai kunci bagi
kesuksesan program REDD+ sehingga PBB mewajibkan negara yang ikut
program ini membuat sistem yang terukur, dapat dilaporkan, dan dapat
diverifikasi. Pemerintah Indonesia meresponsnya dengan membuat
Strategi Nasional (Stranas) REDD+.

Namun, kesangsian masih tinggi mengingat sektor kehutanan selama ini
merupakan ladang subur korupsi. Dan korupsi pula yang menggagalkan
program konservasi dan rehabilitasi hutan. Bahkan, dalam Stranas REDD+
2010 disebutkan, sektor hutan lekat dengan praktik mafia hukum.

Ahmad Dermawan, peneliti dari CIFOR, mengatakan, negara-negara yang
berpeluang mendapatkan dana REDD+ adalah negara yang memiliki reputasi
buruk dalam pemberantasan korupsi, salah satunya adalah Indonesia.

Ditetapkannya salah satu negosiator REDD+ Indonesia dalam Konferensi
Internasional tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen, Wandojo Siswanto,
sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menguatkan
kesangsian tentang integritas para pihak, terutama dari kalangan
pemerintah. Mantan Direktur Perencanaan dan Keuangan Kementerian
Kehutanan ini diduga menerima suap dari Direktur PT Masaro Radiokom
Anggoro Widjojo dalam perkara pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu.

Selain potensi korupsi dari kalangan pengelola negara, Dermawan juga
mengingatkan, beberapa perusahaan (baik skala nasional maupun
internasional), yang sebelumnya terlibat penghancuran hutan dan
lingkungan, kini ramai-ramai mengajukan proposal REDD+. Karena itu,
semestinya ada upaya untuk melacak rekam jejak sektor swasta agar
program REDD+ tidak menjadi area korupsi dan pencucian uang.

Julie Walters dari Australian Institute of Criminology mengatakan,
korupsi kehutanan sangat dekat dengan kejahatan pencucian uang. Karena
itu, untuk mengungkap kasus ini salah satunya adalah dengan melacak
uang hasil kejahatan sektor kehutanan ini.

Namun, menurut Ajit Joy, Country Manager UN Office on Drugs and Crime
(UNODC) Indonesia, upaya mengungkap pencucian uang ini tidak mudah
dilakukan. Apalagi hal ini juga melibatkan sindikat kejahatan
transnasional.

Dalam kasus di Indonesia, menurut Ketua Dewan Pengurus Transparency
International Indonesia Todung Mulya Lubis, masalahnya menjadi lebih
rumit lagi karena sejumlah perusahaan kayu juga memiliki bank sendiri
sehingga uang hasil dari korupsi di sektor kehutanan bisa dengan mudah
dicuci.

Tanpa memperbaiki komitmen antikorupsi para pihak, REDD+ tampaknya
akan menjadi ladang baru bagi korupsi baru. Dan rakyat sekitar hutan
menjadi pihak yang paling rentan terdampak dan secara global mitigasi
perubahan iklim bisa gagal

Ahmad Arif



Artikel Terkait:

0 komentar: