WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Januari 03, 2011

Batubara dan Gerbong Penarik Kematian.

“..... Duduk aku menunggu tanya loket dan penjaga, Kereta Tiba Pukul Berapa. Biasanya Kereta terlambat, Dua Jam itu Biasa”. Lirik Kereta tiba pukul berapa, by Iwan fals.


Lirik lagu diatas sama hal nya dengan apa yang dialami penumpang kereta api di Sumatera Selatan tujuan Palembang – Lampung, Palembang – Lubuk Linggau.Menurut Yuniar Ibu satu anak yang ditemui oleh Penulis di stasiun Kertapati Palembang beberapa waktu yang lalu mengatakan, selain tidak adanya perubahan fasilitas kereta api yang seperti “Kandang Ayam” ini, keterlambatan kereta api yang mencapai 3 -5 Jam itu terlalu sering dialami penumpang, apalagi kalo naik kereta Ekonomi,kenyamanan dan keselamatan ± 600 penumpang diatasnya tidaklah menjadi perhatian. PT. Kereta Api Indonesia (KAI) lebih mendahulukan angkutan Batubara daripada Kereta Penumpang sehingga ketika melewati beberapa stasiun, kereta penumpang harus berhenti (15 – 60 menit) menunggu kereta “Babaranjang” (Batubara Rangkaian Panjang) lewat terlebih dahulu.

Cerita diatas merupakan salah satu kisah bagaimana Industri Ekstratif Batubara merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat, diabaikannya fasilitas umum yang seharusnya wajib didahulukan dan diberikan oleh penyelenggara Negara kepada seluruh rakyat Indonesia.

Hal lainnya bagaimana Batubara merusak sumber sumber kehidupan masyarakat di Sumatera Selatan, terjadi di Kecamatan Merapi Kabupaten Lahat, akibat dari aktifitas Eksploitasi Batubara yang dilakukan oleh PT.SMS, Sungai larangan Payo yang sehari harinya digunakan masyarakat untuk mandi dan mencuci, tercemar oleh limbah Batubara perusahaan dan menyebabkan warna air sungai menjadi kecoklatan dan keruh (Baca; Sripo 16/12). Begitupun yang terjadi di Kecamatan Merapi Barat kabupaten Lahat, ratusan warga ketakutan terserang penyakit akibat tercemarnya sungai Nipai oleh Limbah Pertambangan yang diduga dilakukan oleh PT. Andalas (Sripo,25/07).

Pepatah lama “Kecil Kecil Cabe Rawit” dapat mengambarkan bagaimana industri ekstratif Batubara ini bekerja, Produksi yang kecil ternyata tidaklah menjamin bahwa pertambangan Batubara tidaklah mempunyai dampak besar terhadap ekonomi, sosial, Budaya dan Lingkungan hidup. Berdasarkan Data BPS tahun 2009, Produksi batubara Sumatera Selatan hanya 12 juta Ton pertahun (6 Persen dari Produksi batubara Propinsi Kalimantan timur) yang berasal dari 10 Kuasa Pertambangan/KP (Dalam UU No 1 tahun 2009 tentang Minerba di sebut Izin Usaha Pertambangan/IUP), dari 270 KP yang ada di Sumatera selatan.

Respon Pemerintah terhadap Daya Rusak Batubara

Papan Reklame 5 M x 6 M bertuliskan “Gerbong Penarik Kemakmuran”, berwarna ungu dengan background bergambar Kereta api, hampir dapat kita temui di sudut kota Palembang. Iklan “Gerbong Kemakmuran” ini, dalam rangka mensosialisasikan rencana pemerintah Sumsel yang akan menambah (jalur lama tetap dipakai) tiga jalur baru kereta api khusus Pengangkutan Batubara, dimana sebelumnya hanya satu jalur tujuan Muara enim - Palembang – Tanjung karang yang digabungkan dengan rel transportasi umum(penumpang).

Rel kereta api yang akan dibangun oleh Pemprov Sumsel tersebut atas kerjasama dengan beberapa pihak seperti PT. BA dan PT. Adani Global India untuk pembagunan jalur Double Track sepanjang 270 Km, tujuan Tanjung enim - Tanjung Api Api (Okezone,25/8), PT.BA dan PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI) untuk pembangunan jalur Tanjung Enim – Kertapati – Tarahan, dan Pembangunan rel Tanjung Enim – Srengsem Lampung yang bekerjasama dengan PT. Bukit Asam transpacipic Railway, PT. Transpacifik Railway Infrastruktut dan China Railway enginering Coorporation ( Lihat AR PT. BA 2009).

Program pembangunan rel ini merupakan respon Gubernur Sumatera Selatan H. Alex noerdin terhadap Industri Ekstartif Batubara, Kerusakan yang selama ini terjadi akibat Pertambangan Batubara, tidaklah menyurutkan langkah Gubernur untuk mengeruk habis isi Perut Bumi dan malah mendesak kepada seluruh Pemilik KP yang ada di Sumatera Selatan untuk dapat meningkatkan Produksi 40 Kali lipat, sehingga di tahun 2014 nanti saat semua Infrastruktur transportasi Seperti Rel khusus batubara selesai dibangun, Produksi Batubara Sumsel minimal mencapai 50 Juta Ton/tahun.

Belajar Daya Rusak batubara dari Kalimantan Timur

Sebelum kita terperosok jauh kedalam manisnya bahasa iklan Gerbong Kemakmuran ada baiknya kita melihat bagaimana daya rusak Industri Ekstratif batubara di Propinsi yang telah terlebih dahulu mengeruk habis Kekayaan perut Buminya (batubara).

Kalimantan timur merupakan salah satu Propinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia, setiap tahun sebanyak 200 juta ton Bongkahan “Emas Hitam” ini, dipaksa untuk dimuntahkan kepermukaan Bumi oleh sekitar 1.212 kuasa pertambangan (KP),33 ijin PKP2B (Baca; Deadly Coal, Jatam.org) dan dijual ke Asia dan Eropa yang Rakus energi seperti Jepang, Cina, Belanda,Amerika, Italia dan lainnya.

“Jauh panggang dari api “ Seiring dengan dikeluarkannya Bongkahan Emas Hitam dari perut Bumi Kalimantan ternyata kesejahteraan yang diharapkan tidaklah terwujud, malah mengantarkan Rakyatnya ke jurang kemiskinan. Hasil survey SUSENAS 2007 terjadi peningkatan angka kemiskinan 25,7 persen, yang sebelumnya hanya berjumlah 299,1 Ribu Jiwa namun ditahun 2007 menjadi 324,8 Ribu Jiwa dari total 2.957.465 Jiwa penduduk, dan parahnya sebaran penduduk miskin tersebut terbanyak berada di tiga kota/kabupaten yang memiliki wilayah konsesi batubara terbanyak yaitu Kota Samarinda, Balikpapan dan kabupaten Kutai kertanegara.Hal ini dapat diartikan juga bahwa angka pengganguran yang dikandung dalam perut Propinsi ini, tak akan beda jauh dengan angka kemiskinan padahal jika kita menggunakan akal sehat dengan banyaknya Perusahaan dan Industri di sebuah wilayah, otomatis akan dapat menghisap angka pengganguran yang artinya meningkatnya taraf hidup rakyat.

Hal terparah lainnya adalah rusaknya lingkungan Hidup dikawasan kawasan yang merupakan Penopang hidup Rakyat, setidaknya sejak tahun 2000 ada sekitar 9.000 Hektar hutan di Propinsi ini hilang, digantikan oleh Lobang Lobang raksasa dari aktifitas penggalian Batubara, yang membuat masyarakat adat Dayak Basap di Kecamatan Bengalon, Sangatta harus rela kehilangan tempat mereka mencari makan yang sejatinya terbiasa memenuhi kebutuhan hidup mereka dari hasil berburu dan berladang.

Selain dari kerugian yang di derita oleh masyarakat adat dayak tadi, hancurnya Hutan juga telah menyebabkan beberapa wilayah di kota samarinda (Ibukota Propinsi Kaltim)yang dihuni oleh Ribuan jiwa, dipaksa harus “menenggelamkan” sebagian tubuhnya di dalam air yang turun (hujan) hanya selama 2-3 jam.

Tidak hanya sebatas itu Daya Rusak Batubara pun juga telah menyapa serta meluluh lantakan lahan lahan Pertanian masyarakat contohnya Desa Makroman, Samarinda Ilir yang dahulu dikenal sebagai lumbung beras bagi Kota Samarinda,kini harus rela membuang jauh semua predikat tersebut, karena sejak perusahaan pertambangan mulai beroperasi di sekitar desa, Belasan hektar lahan pertanian penduduk mengalami kerusakan parah karena sumber air bagi sawah mereka tercemar oleh limbah pertambangan batubara, yang seenaknya dibuang ke sungai yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat.

Hilangnya lahan (lumbung) pangan ini, memaksa pemerintah harus mendatangkan tambahan beras sebesar 20 ribu ton bagi 3,7 Jiwa penduduk nya dari luar Propinsi seperti sulawesi selatan dan jawa.ditambah dengan mendatangkan sedikitnya 490 ekor sapi dari Nusa Tengara barat dan Sulawesi selatan guna memenuhi kebutuhan proteinnya.

Saatnya bertindak, Batubara Pembunuh

”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Qs.Ar-rum 41)

Semua gambaran kerusakan dan di abaikannya keselamatan rakyat akibat Pengerukan “Emas Hitam” yang dilakukan pemerintah baik itu skala kecil dan besar ,sudah terpampang jelas di depan mata kita, sehingga jika Pemerintah Sumsel tetap bersih keras untuk melanjutkan program peningkatan produksi Batubaranya maka hal yang patutlah kita lakukan adalah melakukan pemeriksaan terhadap “Kartu Identitas Penduduk (KTP)” para penyelenggara negara di propinsi ini, apakah benar mereka Warga Negara Indonesia Sumsel?,dan jika benar, maka demi Pulihnya Lingkungan Hidup dan keselamatan rakyat Sumsel,segera hentikan ekploitasi Batubara karena Batubara pembunuh.

ditulis oleh : Hadi Jatmiko, ST
Kadiv POPER WALHI Sumsel



Artikel Terkait:

0 komentar: