Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel bersama perwakilan petani
dari empat desa yakni Desa Bumi Makmur, Gedung Rejo dan Sidomulyo di
Kecamatan Mesuji Raya dan Desa Tanjung Sari Kecamatan Lempuing Jaya
menuntut pembebasan dua warga yang dituduh mencuri getah karet.Suhodo dan Sumarto warga Desa Bumi Makmur Kecamatan Mesuji Raya ditahan oleh Polres OKI karena diduga mencuri getah karet milik PT Waymusi Agro Indah, Selasa (29/10/2013).
Menurut Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel, keduanya mengambil getah karet dari tanaman sendiri.
"Suhodo
dan Sumarto adalah warga transmigrasi sejak tahun 1986 dari Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Barat. Mereka telah menanam sejak itu tapi
justru dituduh mencuri tanaman mereka sendiri oleh perusahaan yang
mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) tahun 1990," kata Anwar dalam jumpa
pers di Kopitiam Senopati Palembang, Rabu (30/10/2013).
Anwar
menuding PT Waymusi Agro Indah yang memiliki HGU dari BPN seluas 3.223
hektar berusaha melakukan ekspansi ke lahan milik warga transmigrasi
yang masing-masing memiliki luas tanah 0,25 hektar sebagai areal
perkarangan dan sekitar 2 hektar untuk lahan pertanian.
"Ada usaha pemanfaatan lahan milik warga menjadi usaha perkebunan oleh perusahaan itu. Makanya kita menuntut Pemkab dan BPN OKI mengukur ulang luas wilayah izin HGU PT Waymusi Agro Indah," tegasnya.
Selengkapnya...
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Kamis, Oktober 31, 2013
Walhi dan Petani tuntut pembebasan Dua Warga di OKI
Petani desak Pengembalian Lahan Transmigran oleh Perusahaan Karet
ALEMBANG- Diduga menggunakan
lahan di luar setifikat hak guna usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Ogan Komering Ilir, petani dan
warga yang ada di Desa Bumi Makmur Kecamatan Mesuji Raya meminta agar
pihak perusahaan yang telah menguasai lahan transmigrasi untuk sesegera
mungkin mengembalikan lahan dimaksud.
Pasalnya, warga beranggapan lahan seluas 3.223 hektar yang tertera di dalam sertifikat HGU salahsatu perusahaan karet setempat, sekitar 1.400 hektar merupakan lahan transmigrasi yang dihuni oleh 425 kepala keluarga. Petani yang merupakan warga transmigrasi yang berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Jogyakarta dan Jawa Timur telah mengelola lahan sejak tahun 1986 atau pertama kali ditempatkan di lahan tersebut oleh Menakertrans kala itu.
Namun sejak tahun 1988, lahan yang sebelumnya ditanami berbagai tanaman sayur mayur termasuk karet mulai dikuasasi oleh perusahaan swasta. “Konflik mulai muncul sejak tahun 1988, saat itu adanya usaha karet di lahan transmigrasi yang katanya telah mendapatkan izin HGU. Dimana setahu kami, berdasarkan aturan tidak boleh ada kelompok atau badan usaha yang mengelola lahan transmigrasi kecuali warga transmigrasi,” Suwito (61), warga Desa Bumi Makmur didampingi ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat di cafĂ© Kopi Tiam Jl Senopati, rabu (30/10).
Bahkan diakuinya, untuk menuntut haknya tersebut, beberapa kali warga sudah mempertanyakannya. Hanya saja, bukan yang positif diterima warga. Melainkan, sejak tahun 2003 hingga terakhir 29 September 2013, beberapa warga ditangkap oleh Polres OKI. “Kami tanpa tahu alasannya, dua petani yang juga warga transmigrasi ditangkap. Tuduhannya telah mencuri karet, padahal sepengetahuan kami karet yang disadap merupakan milik warga yang sudah ada dan ditanam sebelum dikuasai oleh pihak perusahaan,” bebernya. (afi)
Pasalnya, warga beranggapan lahan seluas 3.223 hektar yang tertera di dalam sertifikat HGU salahsatu perusahaan karet setempat, sekitar 1.400 hektar merupakan lahan transmigrasi yang dihuni oleh 425 kepala keluarga. Petani yang merupakan warga transmigrasi yang berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Jogyakarta dan Jawa Timur telah mengelola lahan sejak tahun 1986 atau pertama kali ditempatkan di lahan tersebut oleh Menakertrans kala itu.
Namun sejak tahun 1988, lahan yang sebelumnya ditanami berbagai tanaman sayur mayur termasuk karet mulai dikuasasi oleh perusahaan swasta. “Konflik mulai muncul sejak tahun 1988, saat itu adanya usaha karet di lahan transmigrasi yang katanya telah mendapatkan izin HGU. Dimana setahu kami, berdasarkan aturan tidak boleh ada kelompok atau badan usaha yang mengelola lahan transmigrasi kecuali warga transmigrasi,” Suwito (61), warga Desa Bumi Makmur didampingi ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat di cafĂ© Kopi Tiam Jl Senopati, rabu (30/10).
Bahkan diakuinya, untuk menuntut haknya tersebut, beberapa kali warga sudah mempertanyakannya. Hanya saja, bukan yang positif diterima warga. Melainkan, sejak tahun 2003 hingga terakhir 29 September 2013, beberapa warga ditangkap oleh Polres OKI. “Kami tanpa tahu alasannya, dua petani yang juga warga transmigrasi ditangkap. Tuduhannya telah mencuri karet, padahal sepengetahuan kami karet yang disadap merupakan milik warga yang sudah ada dan ditanam sebelum dikuasai oleh pihak perusahaan,” bebernya. (afi)
Walhi Minta KPK Bongkar Korupsi Perkebunan Di Sumsel
PALEMBANG- Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Sumatera Selatan
meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mulai membongkar indikasi korupsi
pengelolaan perusahaan perkebunan badan usaha milik negara dan swasta
yang beroperasi di provinsi setempat.
"Selain itu juga KPK diminta
membongkar dugaan suap pengurusan sertifikat hak guna usaha (HGU)
perkebunan terutama yang berada di lokasi bersengketa dengan masyarakat
atau petani," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat di
Palembag, Senin (14/10).
Menurutnya, masyarakat menaruh harapan
besar dengan KPK untuk segera mengembangkan target pemberantasan kasus
korupsi dan suap di sektor perkebunan.
Indikasi dugaan korupsi dan
suap di sektor perkebunan sangat jelas, karena bagaimana mungkin
perusahaan perkebunan milik pemerintah melakukan kegiatan produksi
dengan bahan baku yang dihasilkan dari lahan di luar luasan HGU resmi
milik perusahaan.
Begitu juga ada lahan perusahaan perkebunan yang
sedang bersengketa dengan masyarakat memperoleh sertifikat HGU, serta
dugaan manipulasi pembayaran pajak.
Indikasi dugaan korupsi dan
suap dalam kegiatan pengelolaan perkebunaan serta pengurusan sertifikat
HGU, perlu ditindak lanjuti sehingga tidak semakin merugikan negara dan
masyarakat, katanya.
Sebelumnya aktivis Walhi Sumsel Hadi Jatmiko
mengatakan, dia bersama aktivis lainnya tim Indonesia Corruption Watch
(ICW) melakukan penyelidikan sejumlah perusahaan perkebunan milik
pemerintah dan swasta di daerah ini.
Berdasarkan penyelidikan
aktivis lingkungan dan tim ICW, ditemukan beberapa pola korupsi yang
berpotensi dilakukan oleh pengelola perusahaan perkebunan milik negara
dan swasta yang beroperasional di Sumsel.
Pola korupsi dilakukan
pengelola perusahaan perkebunan mulai dari proses pengurusan perizinan
hingga hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak, kata Hadi.
Sementara
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho
ketika melakukan koordinasi dengan aktivis Walhi pada Mei 2013
menjelaskan sedikitnya ada 22 perusahaan perkebunan milik negara dan
swasta di sejumlah provinsi di Tanah Air termasuk di Sumsel terindikasi
korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp9,8 triliun.
Melihat
besarnya kerugian negara dari indikasi korupsi di perusahaan perkebunan
itu, pihanya mengharapkan temuan tim ICW tersebut mendapat perhatian
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tindak pidana korupsi dan
praktik suap yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakatan secara luas, ujar Emerson. (Antara 14/10/13)
Jumat, Oktober 11, 2013
Mengabaikan Lingkungan Hidup dan Melupakan Rakyat, WALHI Gugat Presiden
Jakarta, 9 Oktober 2013.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hari ini secara hukum
menggugat Presiden Republik Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, terkait dengan kebakaran hutan di Sumatera.
Abetnego Tarigan,
Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan,"WALHI mengajukan gugatan
hukum untuk kembali mengingatkan pemerintah akan tanggung jawab
konstitusionalnya dalam menjamin keselamatan lingkungan hidup dan
hak-hak rakyat Indonesia atas lingkungan hidup yang sehat sebagai hak
asasi manusia."
"Penerbitan berbagai
ijin perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri yang marak
tanpa disertai tanggung jawab pemerintah atas keselamatan lingkungan dan
hak rakyat, serta ketiadaan kontrol terhadap perilaku pemegang hak
usaha, telah membawa situasi lingkungan hidup di Indonesia pada fase
berbahaya untuk ditinggali." lanjut Abetnego.
Musim-musim yang selama
ini menjadi pedoman kehidupan pertanian dan budaya rakyat di berbagai
tempat telah berubah menjadi musim banjir, kekeringan, asap dan krisis
pangan serta air. Daya dukung lingkungan diabaikan sehingga aktivitas
industri ekstraktif skala besar telah menciptakan situasi ekstrim di
atas ambang batas kemampuan alam untuk menjaga keseimbangannya.
Akibat kelalaian
menjalankan kewajiban konstitusi oleh pemerintah, kehidupan rakyat dan
kekayaan alam akan semakin tergerus oleh paradigma kebijakan yang
berorientasi kepada investasi ekstraktif, yang akan mempersulit negara
di masa depan dengan beban bencana dan pemulihan lingkungan hidup.
Gugatan WALHI diajukan melalui 15 kuasa hukum yang tergabung dalm Tim Advokasi Pulihkan Indonesia.
Muhnur, SH., Manager
Kebijakan dan Pembelaan Hukum WALHI sekaligus salah satu anggota Tim
dalam gugatan ini menambahkan,"Gugatan ini adalah respon karena somasi
kami tidak ditanggapi oleh Presiden. Pemerintah telah melakukan
perbuatan melawan hukum dengan tidak melaksanakan perintah hukum." Lebih
lanjut Muhnur menjelaskan bahwa gugatan ini diharapkan dapat mencegah
kerusakan hutan agar tidak semakin parah.
Wahyu Wagiman, SH.,
ketua Tim Advokasi Pulihkan Indonesia, menerangkan,"Gugatan WALHI
dikuasakan kepada 15 pengacara dan konsultan hukum yang tergabung dalam
Tim Advokasi Pulihkan Indonesia. Gugatan diajukan terhadap 19 pihak
terdiri dari Presiden RI , 3 kementerian termasuk POLRI, 2 gubernur di
Sumatera , serta 11 bupati dan 2 walikota di Sumatera, yang dinilai
bertanggung jawab terhadap terus terjadinya kebakaran hutan di
Indonesia."
[selesai]
Kontak Person :
Wahyu Wagiman, Ketua Tim Advokasi Pulihkan Indonesia - 085218664128
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan WALHI - 081384502601
Selengkapnya...
Langganan:
Postingan (Atom)