WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, Agustus 26, 2008

Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional

Oleh
M Riza Damanik

Adalah Aliman seorang nelayan Banten yang tewas diempas gelombang Laut Jawa, di awal Januari 2008 lalu. Entah karena tidak sempat mendengar peringatan Badan Meteorologi dan Geofisika akan bahaya gelombang tinggi yang menerpa Selat Sunda dan Perairan Jawa—atau justru sudah mendengar—namun tiga minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi menjadi alasan yang tidak relevan di tengah keterdesakan kebutuhan hidup keluarga. Aliman dan keluarganya adalah satu dari ribuan bahkan jutaan nelayan Indonesia yang kurang beruntung tersebut.
Sejumlah peristiwa; perubahan iklim, gelombang pasang, tsunami, banjir, kenaikan harga BBM dan langkanya minyak tanah dan solar, telah berhasil menghentikan hampir seluruh kegiatan perikanan nelayan tradisional dan tanpa adanya dukungan nyata dari negara untuk membenahinya dan meminimalisasi dampak yang disebabkannya; dan bahkan di banyak kasus seolah diabaikan (by omission).
Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Namun terlepas dari samarnya rekam jejak perjuangan nelayan dalam catatan sejarah, faktanya perjuangan nelayan terus menggelinding menuju satu tujuan yakni terbebasnya dari kemiskinan.
Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari—Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia.
Paradigma Darat
Namun kini, cerita ini bak cerita usang. Bahkan tidak ada dalam mozaik sejarah kebangkitan bangsa kini. Kemunduran ekonomi pun terjadi, sejalan dengan perhatian para penguasa negeri yang berpindah ke wilayah daratan dan semakin masuk ke wilayah pedalaman—era Mataram melanjutkannya—hingga kemampuan dan teknologi kelautan yang telah dikuasai ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan secara perlahan-lahan.
Armada nelayan, armada perang, dan armada dagang tidak lagi menjadi fokus. Kultur pedalaman inilah yang selanjutnya diwariskan dan dan dikokohkan oleh Orde Baru (Orba). Paradigma pembangungan kelautan telah bergeser menjadi “paradigma pedalaman”.
Mulai dari kebijakan politik ekologis konservasi laut yang anti nelayan, kebijakan industeri yang menempatkan perairan pesisir sebagai kantung-kantung pembuangan limbah, kebijakan moderenisasi alat tangkap—hingga penggunaan alat tangkap trawl di wilayah tangkap tradisional—yang semua menjadi bagian kelam kebijakan negara yang merugikan nelayan tradisional Indonesia.
Keterpurukan ini diikuti pula dengan sistem pendidikan dan doktrinasi sosio-kultural yang tidak menempatkan arah pembangunan negeri kepulauan sebagai landas pikir dan tindak. Akibatnya, nelayan pun jauh dari kebutuhan akan pendidikan, dan tertinggal dalam aktivitas politik.
Ditambah lagi, politik orientasi pertahanan keamanan yang juga mengandalkan “paradigma darat” dengan indikasi kekuatan di darat lebih dominan ketimbang kekuatan di laut. Akibatnya, ruang laut justeru dikuasai oleh kapal-kapal asing yang setiap saat mengeruk sumber daya perikanan kita, padahal dalam sebuah kesempatan seorang pemikir kebangsaan pernah mengatakan, melalui daratan Indonesia hanya mampu menemukan provinsi, atau bahkan tidak lebih dari 3 negara yang bersandingan langsung dengannya. Berbeda melalui laut, Indonesia bisa menemukan banyak negara, dan bahkan sejumlah benua lain di muka bumi.
Salah satu sektor sumber daya yang diutamakan dalam liberalisasi perdagangan adalah sektor perikanan, yang justru paling rentan. Lembaga Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa 70 persen stok ikan komersial telah mengalami over-exploitation.
Mengapa tidak, lebih dari 2,6 miliar masyarakat dunia atau 20 persen protein hewani masyarakat dunia berasal dari ikan. Sektor ini merupakan sumber utama lapangan pekerjaan, pangan dan pendapatan.
Bisa dibayangkan, antara tahun 1994-2004, ekspor bersih negara berkembang tumbuh dari 4,6 miliar dolar AS menjadi 20,4 miliar dolar AS. Namun di sisi yang lain, FAO juga memperkirakan jutaan masyarakat dunia yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari adalah mereka yang hidup dari kegiatan perikanan. Lalu kemana sesunguhnya sumberdaya perikanan tersebut termanfaatkan?

Organisasi Nelayan Nasional
Agenda liberalisasi sektor perikanan telah memaksa Indonesia untuk menambah produksi perikanannya hingga 12,73 juta ton pada tahun 2009, yang merupakan rentetan target ekspor perikanan sebesar 2,8 miliar dolar AS di tahun yang sama.
Apa yang salah dari hal tersebut? Penetapan target kuota perikanan yang ambisius, telah memberikan keleluasaan sektor industi untuk menguasai kegiatan perikanan Indonesia. Sejumlah regulasi dalam “mematangkan” agenda privatisasi sudah disiapkan.
Sebut saja UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memandatkan pengusahaan perairan pesisir pada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun.
Juga lahirnya keputusan menteri yang mengisyaratkan pemberian izin beroperasinya trawl di perairan Indonesia. Hal ini tidak hanya telah mengancam kebutuhan ikan dalam negeri, juga turut mengkebiri fitrah nelayan dan petambak tradisional Indonesia.
Menjelang 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (1945-2008), tepatlah kiranya mengambil pelajaran dari gerakan nelayan selama ini, utamanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mempercayakan agenda tersebut kepada penyelenggara negara dalam waktu yang cukup panjang, telah menghantarkan agenda kesejahteraan nelayan pada nomor akhir dari prioritas negara, bahkan tidak banyak pemimpin negeri yang berani lantang menyuarakan pentingnya perubahan yang fundamental.
Hadirnya Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) yang digagas oleh lebih dari 17 organisasi nelayan kepulaun diawal tahun 2008 lalu, dapat dipandang sebagai jawaban dari kegelisahan yang telah mengkristal di seluruh penjuru negeri. Terapi yang ditawarkan adalah hadirnya semangat solidaritas dan kemandirian gerakan nelayan nusantara; serta pentingnya mengawali pendidikan masif bagi seluruh nelayan Indonesia. Pilihan akhirnya, hanya dengan organisasi nelayan yang solid, cerdas dan mandiri, keluarga nelayan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya.
Chalid Muhammad, seorang tokoh muda Indonesia pernah mengatakan bahwa karakter nelayan adalah mereka yang pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ketidak-adilan. Dengan begitu, sebagai pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan, nelayan sepatutnya mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya di negeri bahari Indonesia.

Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sekaligus Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI).




Selengkapnya...

Rabu, Juli 16, 2008

Kasus TAA : KPK Tahan Yusuf Emir Faishal

JAKARTA(SINDO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan mantan Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Yusuf Emir Faishal yang telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi alih fungsi hutan bakau di TanjungApiApi, Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel).

Sebelum ditahan, politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini sempat menjalani pemeriksaan di Gedung KPK sejak pukul 10.00 WIB.Sekitar pukul 23.55 WIB,Yusuf dibawa ke Rumah Tahanan (Rutan) Polres Jakarta Pusat. Sebelum masuk ruang pemeriksaan, Yusuf sempat menunjukkan dokumen tentang aliran dana ke sejumlah pihak di PKB.

Dana yang dia berikan merupakan gratifikasi terkait alih fungsi hutan bakau di TanjungApiApi. Dokumen yang ditunjukkan Yusuf kepada wartawan antara lain bukti penyerahan uang untuk pengobatan Gus Dur sebesar Rp300 juta. Dalam formulir kiriman uang melalui Bank BNI tertulis nama penerima Aris Junaidi untuk biaya rumah sakit KH AW (Abdurrahman Wahid) sebesar Rp300 juta. Dia juga menunjukkan surat penyerahan gratifikasi ke KPK oleh Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) DPR EffendyChoiriedanSekretaris Fraksi FKB Anisah Mahfudz, tertanggal 25 Juni 2008.

Namun, surat tersebut tidak dibubuhitandatanganolehEffendy maupun Anisah.Surat itu pada intinya menyebutkan bahwa FKB membenarkan bahwa Yusuf pernah menerima gratifikasi, kemudiandiserahkanke KPK melalui fraksinya. Dokumen terakhir yang dibawa Yusuf adalah kuitansi sebesar Rp500 juta untuk penitipan bantuan dari pihak lain untuk pembangunan Gedung LPP DPP PKB.

Dokumen itu akan dia serahkan kepada penyidik KPK sebagai bukti aliran dana yang dia terima. Menurut Yusuf,berdasarkan Undang-Undang (UU) Partai Politik (Parpol), tidak ada larangan bagi parpol untuk menerima sumbangan dari pihak swasta.

“Terutamauntukkonstituen daerah anggota,”katanya. Dia pun merasa sudah menunjukkan iktikad baik dalam kasus ini dengan menyerahkan uang suap yang didapat terkait alih fungsi hutan bakau tersebut ke partai. Istri Yusuf, Hetty Koes Endang, yang mendampingi anggota DPR dari daerah pemilihan Banten itu, meminta agar KPK juga memeriksa pengurus PKB yang diduga terlibat dalam penerimaan uang dari suaminya.

Dia mendukung permintaan Gus Dur agar pimpinan PKB mempertanggungjawabkan kepada seluruh jajaran partai seluruh dana yang diterima. “Bendahara partai harus diaudit oleh KPK,”kata Hetty. Penasihat hukum Yusuf, Mario C Bernardo,membeberkan kliennya dicecar 30 pertanyaan oleh penyidik dalam pemeriksaan kemarin. Pertanyaan yang diajukan lebih banyak mengenai penerimaan dana dalam alih fungsi hutan di Tanjung Api Api.

Dia mengaku tidak ingat jumlah uang yang diterima Yusuf. Kepada penyidik, kliennya mengaku bahwa uang itu diterima dari pengembang proyek Pelabuhan Tanjung Api Api,Direktur PT Chandra Tex Chandra Antonio Tan. “Saya tidak ingat jumlahnya karena bertahap,”katanya. Aris Junaidi,yang merupakan wakil bendahara PKB, membantah keras adanya penyerahan uang oleh Yusuf untuk biaya pengobatan Gus Dur.Menurut dia,uang itu ada hubungannya dengan posisi Yusuf sebagai bendahara tim koordinasi pemenangan pilkada (pemilihan kepala daerah) PKB.

Ketika tim koordinasi pemenangan pilkada dibubarkan, kas yang masih tersisa sebesar Rp900 juta. Setelah pembubaran tim,menurutnya, Yusuf baru menyetor ke Aris sebesar Rp300 juta. ”Jadi itu kewajiban dia. Jelas salah itu (bukti). Saya punya buktinya,”ujar Aris. Aris mengaku,sebelumnya Yusuf sudah memintanya untuk memberi keterangan kepada KPK mengenai pemberian dana kepada Gus Dur.Namun, dia menolak permintaan Yusuf karena alasan tersebut dirasa tidak benar.

”Kalau diminta memberi keterangan, saya bersedia menjelaskan kepada KPK,”katanya. Di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal DPP PKB hasil Muktamar Luar Biasa (MLB) Parung,Zannuba Arifah Chafsoh Wahid (Yenny Wahid), mengklarifikasi pemberitaan yang menyebutkan uang dari Yusuf diterima oleh DPP PKB dan untuk pengobatan Gus Dur. Menurut Yenny, uang mantan Ketua Komisi IV itu memang diterima PKB, tapi oleh kubu Muhaimin.

“Sebagaimana surat yang kami terima dari YF (Yusuf) dari list (daftar penerima dana), YF menyetor ke Muhaimin hampir Rp1 miliar. Lalu ke Muamir Syam, orang dekat Muhaimin, Rp1 miliar lebih,” katanya dalam keterangan pers kemarin. Dia membantah pernyataan Yusuf yang mengklaim telah memberikan uang ke partai .Sebaliknya, justru Yusuf belum mempertanggungjawabkan dana partai sebesar Rp600 juta.

Menurut dia,Yusuf dulunya adalahsekretaris Tim Pemenangan Pilkada. Diajugamembantah klaim Yusuf mengenai dana sebesar Rp500 juta untuk pembangunan Gedung LPP dengan kuitansi tertanggal 20 Juli 2007. Sebab,saatituLPPPKB belum dibentukdanbarudibentukpada bulan Januari 2008.

Rumah Digeledah

Setelah diperiksa di KPK, Yusuf dibawa sejumlah penyidik dari KPK ke kediamannya di Bumi Serpong Damai (BSD) Blok X No 11 Giri Loka 3 Lengkong Wetan,Kecamatan Serpong, Banten, kemarin. PetugasKPKlantasmenggeledah kediaman Yusuf. Sejumlah penyidik tiba di sana pada pukul 16.30 WIB dengan Toyota Kijang Innova B 1532 VQ. Setiba di lokasi, penyidik disambut oleh enam orang anggota keluarga Yusuf, termasuk Hetty Koes Endang. Sesaat kemudian penyidik langsung melakukan pemeriksaan.

Berita diatas Diambil dari Koran Sindo :
Kasus Pelabuhan Tanjung api-api memang harus serius di tanggapi oleh Pihak KPK karena jika ini tidak di Blejetin, akan banyak lagi kasus-kasus Penyuapan seperti ini terjadi , selain itu juga Menjadi harapan kita semua dengan terungkapnya kasus ini pemerintah Sumatera selatan maupun PEmerintahan Pusat dapat menghentikan segala proses pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api karena Pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api adalah sebuah kejahatan Lingkungan yang paling besar yang akan menghabiskan ratusan Hektar Hutan Mangrove yang Mempunyai banyak Fungsi dalam keseimbangan Ekologi yang ada di Daerah tersebut.
Selengkapnya...

Pelindo Berminat Investasi di TAA



PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) menyatakan siap berinvestasi di Tanjung Api-Api (TAA). Namun, berapa nilai investasi belum diketahui, karena Pelindo masih menunggu mekanisme dan ketentuan dari pemerintah setempat.

General Manager (GM) PT Pelindo cabang Palembang Susetyo mengungkapkan, pihaknya sudah membahas TAA sebagai pelabuhan internasional. ”Kita yakin bisa memberikan kontribusi terhadap rencana pembangunan Pelabuhan TAA,” ujarnya saat bertemu Wali Kota Palembang kemarin.

Menurut dia, investasi yang ditanamkan diyakini mampu memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan.Namun,berapa nilai investasinya, hingga kini masih dikaji.Pelindo sendiri,mampu membangun fisik pelabuhan, seperti dermaga bongkar muat barang atau penumpang. Terlebih core bisnis Pelindo lebih menitikberatkan pada sektor peti kemas dan kargo.

Saat ini, pihaknya mengaku kesulitan untuk mengembangkan Pelabuhan Boom Baru sebagai pelabuhan sungai. Pasalnya, selain luas areal yang sangat terbatas, perairan Sungai Musi mulai mengalami pendangkalan, sehingga upaya pengembangan Pelabuhan TAA harus diikuti dengan pengalihan Pelabuhan Boom Baru.

Susetyo menilai,Pelabuhan Boom Baru dapat dialihkan menjadi pelabuhan pengumpan yang diperuntukkan bagi kapal kecil dan sedang untuk alur dan suplai hasil komoditas ke Kota Palembang, sehingga Pelabuhan TAA nanti akan menjadi pelabuhan utama bagi kapalkapal berbobot raksasa.

”Dengan adanya Pelabuhan TAA,biaya transportasi antarbenuadiakuiakanlebihmurah, selain menciptakan dampakekonomiyangsangatluas,” tuturnya seraya menjelaskan, Pelindo sendiri sudah mendaftarkan diri sebagai calon investor di Badan Otorita Pengembangan Pelabuhan TAA.

Untuk tindak lanjutnya, kata Susetyo, masih menunggu keputusan pemerintah setempat dan koordinasi dengan Pelindo pusat,sehingga kajian untuk mengikuti tender dapat segera dipenuhi. ”Kita masih susun drafnya. Kita yakin dapat menginvestasikan sebesar-besarnya,karena kita sudah putuskan akan turut andil,”paparnya.

Sementara itu,Wali Kota Palembang H Eddy Santana Putra mengungkapkan, dalam pertemuan dengan pihak Pelindo, tertuang wacana untuk perluasan Boom Baru, sekaligus memindahkan kapal penumpang ke Pelabuhan 35 Ilir, Palembang. Meski begitu, Eddy berharap pelayanan yang diberikan PT Pelindo dapat terus ditingkatkan. ”Jadi,Pelabuhan 35 Ilir khusus untuk penumpang tujuan Muntok (Bangka Belitung). Namun masih perlu dipelajari antara Dishub dan Pelindo,” ucapnya.




Selengkapnya...

Selasa, Juli 15, 2008

Petani Datangi Departemen Kehutanan sumsel

Ratusan massa Front Perjuangan Tani Merdeka Sumsel (FPTMS) berunjuk rasa ke Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel kemarin.

Warga yang berasal dari Bayung Lencir,Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), ini nekat menggelar aksi di bawah guyuran hujan lebat.Aksi dimulai sekitar pukul l4.00 WIB yang berlangsung tertib dan damai.

Dalam tuntutannya, massa mendesak Dinas Kehutanan memublikasikan hasil peninjauan tim Departemen Kehutanan (Dephut) terkait kawasan hutan warga di Desa Mangsang Mendis Laut, Kaliberau, dan Pulau Bayung Lencir, yang diambil paksa PT Perkebunan Mitra Ogan.

”Kami sudah berjuang sejak 2006 lalu.Tapi hingga sekarang belum ada kepastian lahan warga akan dikembalikan,” kata Koordinator Lapangan M Ardiansyah sambil berteriak seraya menambahkan, mereka juga telah mendapatkan surat rekomendasi Bupati Muba tertanggal 23 November 2007 dan surat rekomendasi Gubernur Sumsel tertanggal 23 Februari 2008,yang mana hutan produksi di kawasan Mangsa Mendis diberikan kepada warga seluas 7.370 hektare.

Selain itu,massa meminta Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel segera menangkap dan mengadili Dirut PT Perkebunan Mitra Ogan karena sudah merampas tanah warga.” Segera tangkap dirut,karena ketika warga melanggar ketentuan, langsung ditangkap dan dipenjara, sedangkan Dirut PT Mitra Ogan tidak,” ujarnya.

Hal senada dikatakan Koordinator Aksi M Khadafi NA. Dia menegaskan, jika mengacu surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan 337/II/ 2005,apabila di areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) terdapat lahan yang telah menjadi tanah milik perkampungan, tegalan, persawahan, atau telah diduduki dan digarap pihak ketiga, lahan itu harus dikeluarkan dari IUPHHK pada hutan tanaman industri.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumsel Dodi Supriyadi mengaku tidak dilibatkan dalam peninjauan yang dilakukan tim dari Dephut. ”Dishut Sumsel tidak bisa beri keterangan apapun juga karena kita tidak dilibatkan,” katanya.
Selengkapnya...