Katanya program biofuel merupakan upaya mengurangi emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global. Tapi, kenapa banyak ahli yang menyatakan proses produksi biofeul menghasilkan emisi karbon yang tidak sedikit. Disisi lain Biofuel dipandang sebagai ancaman kebutuhan pangan.
Karena itu Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Sumsel bersama Sawit Watch mengadakan mensosialisasikan Hasil Riset yang dilakukan Walhi Sumsel dan Organisasi Mitranya dan untuk mendapatkan masukan dari semua pihak.
“Sebenarnya Biofuel yang menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan energi selain ramah lingkungan juga dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan,” ujar Hadi Jatmiko, Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel, pada Fokus Group Discussion (FGD) tentang Sosialisasi Riset Biofuel Sumatra, Senin (7/12/2009) pukul 09.30 WIB, di Hotel Sahid Imara, Jalan Jendral Sudirman Palembang.
Dalam paparannya, Hadi mengatakan, didasari hal ini juga pemerintah Indonesia gencar meningkatkan produksi Biofuel dengan bahan baku CPO dan minyak jarak. Tidak hanya untuk memenuhi konsumsi global, tapi konsumsi domestik juga tak bisa dikatakan kecil.
“Sementara pada kenyataannya pihak yang diuntungkan dalam project Biofuel ini adalah Negara Besar dan para Individu yang punya perusahaan besar,” ujar Hadi Jatmiko.
Dalam paparannya Hadi menjelaskan bahwa Biofuel, adalah pertarungan antara mesin dan manusia.“Petarungan antara komoditas mesin dan manusia, memicu kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Dengan menaikan harga minyak goreng, mentega, susu, beras, gandum, kedele, barakibat bertambahnya jumlah orang miskin baru mencapai 15,68 juta,” katanya.
Hadi menambahkan, petani-petani padi, jagung, dan kedele mengubah pola tanam dari subsistem menjadi petani modern yang sangat tergantung dari kebutuhan industri besar. Dan dengan bertambah luasan perkebunan maka semakin berkuranglah luas lahan pertanian lokal seperti jagung, padi dan kedele.
“Selain itu Biofuel juga telah melenggangkan kaki investor untuk menambah kegundulan hutan, sehingga menyingkirkan masyarakat yang menjadi satu kesatuan dengan ekosistemnya, dan menjadikan petani sebagai pihak penderita dalam lingkaran konsep pembangunan perkebunan diantara pihak lainnya,” tungkas Hadi.
Sumber: Beritamusi.com
Karena itu Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Sumsel bersama Sawit Watch mengadakan mensosialisasikan Hasil Riset yang dilakukan Walhi Sumsel dan Organisasi Mitranya dan untuk mendapatkan masukan dari semua pihak.
“Sebenarnya Biofuel yang menjadi pilihan untuk memenuhi kebutuhan energi selain ramah lingkungan juga dapat menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan,” ujar Hadi Jatmiko, Manajer Pengembangan Sumber Daya Organisasi (PSDO) Walhi Sumsel, pada Fokus Group Discussion (FGD) tentang Sosialisasi Riset Biofuel Sumatra, Senin (7/12/2009) pukul 09.30 WIB, di Hotel Sahid Imara, Jalan Jendral Sudirman Palembang.
Dalam paparannya, Hadi mengatakan, didasari hal ini juga pemerintah Indonesia gencar meningkatkan produksi Biofuel dengan bahan baku CPO dan minyak jarak. Tidak hanya untuk memenuhi konsumsi global, tapi konsumsi domestik juga tak bisa dikatakan kecil.
“Sementara pada kenyataannya pihak yang diuntungkan dalam project Biofuel ini adalah Negara Besar dan para Individu yang punya perusahaan besar,” ujar Hadi Jatmiko.
Dalam paparannya Hadi menjelaskan bahwa Biofuel, adalah pertarungan antara mesin dan manusia.“Petarungan antara komoditas mesin dan manusia, memicu kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Dengan menaikan harga minyak goreng, mentega, susu, beras, gandum, kedele, barakibat bertambahnya jumlah orang miskin baru mencapai 15,68 juta,” katanya.
Hadi menambahkan, petani-petani padi, jagung, dan kedele mengubah pola tanam dari subsistem menjadi petani modern yang sangat tergantung dari kebutuhan industri besar. Dan dengan bertambah luasan perkebunan maka semakin berkuranglah luas lahan pertanian lokal seperti jagung, padi dan kedele.
“Selain itu Biofuel juga telah melenggangkan kaki investor untuk menambah kegundulan hutan, sehingga menyingkirkan masyarakat yang menjadi satu kesatuan dengan ekosistemnya, dan menjadikan petani sebagai pihak penderita dalam lingkaran konsep pembangunan perkebunan diantara pihak lainnya,” tungkas Hadi.
Sumber: Beritamusi.com
0 komentar:
Posting Komentar