WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Desember 17, 2015

Pernyataan Sikap : COP 21 Paris, Reclaim Demi Keselamatan Rakyat dan Bumi.

Akhiri Berikan Kesempatan kepada Korporasi Pelaku Pencemar

Paris- Konferensi Para Pihak atau Conference Of Parties (COP) akan dimulai pada tanggal 30 November 2015 di Paris. Para Kepala Negara, termasuk Presiden Jokowi diagendakan menyampaikan pidato di dalam UNFCCC pada tanggal 30 November 2015.

Sebagai sebuah momentum yang menentukan paska selesainya Kyoto Protokol, tentulah COP Paris ini diharapkan dapat merumuskan langkah-langkah yang mendesak dan konkrit oleh Para Pihak khususnya Kepala Negara, demi keselamatan seluruh makhluk bumi. Desakan kuat dari organisasi masyarakat sipil, agar COP21 Paris ini menghasilkan kesepakatan yang kuat, untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat celcius seperti sebelum masa industri. Target ini bisa dilihat ambisius dari sebelumnya 2 derajat celcius, tapi justru ini kesempatan terbaik bagi pemimpin dunia jika ingin memberi terobosan yang signifikan.

Selama ini kami menilai, Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal, dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD salah satunya, korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat. Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harusnya berubah.
Bagaimana dengan Indonesia? Kami meyakini bahwa mata dunia akan tertuju kepada Indonesia. Namun sayangnya sorotan tersebut bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia memenuhi komitmennya menurunkan emisi 26% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sampai tahun 2020. Lagi-lagi, komitmen tersebut tidak terpenuhi, karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam adaptasi perubahan iklim. Apa faktanya? Jika sumber emisi GRK Indoesia terbesar dari land use land use change and deforestation (LULUCF), maka peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Artinya, selama ini nyaris tidak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan dibalik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi project REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahan justru parah, menjadi gambaran jelas bahwa solusi palsu penaganan perubahan iklim, hanya melahirkan krisis.  
Kegagalan tersebut dan rentetan bencana ekologis ini, mestinya memberi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. COP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk merubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. Jalannya adalah dengan memberikan kepastian alas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya.
WALHI berharap kehadiran Presiden Jokowi ke COP 21 dan pidatonya di UNFCCC  untuk menyampaikan komitmen menurunkan emisi GRK dengan baseline jelas dan menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi dari sektor energi kotor seperti batubara. Karenanya, INDC’s Indonesia yang masih menunjukkan keraguan komitmen/kontribusi Indonesia yang dapat dilihat dari hanya memasukkan indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme business as usual (BAU), harus dikoreksi.
Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kami mendesak tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan  korporasi yang akan semakin melanggengkan komodifikasi dan finansialisasi sumber daya alam. Kami berharap dalam pidatonya, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim, bukan kepada korporasi termasuk dalam restorasi ekosistem. Kami percaya, bahwa ekonomi bangsa ini akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya.
Kami juga berharap, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik yang melakukan pembakaran maupun yang di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk dengan atas nama restorasi ekosistem. Jika dalam COP Paris nanti Presiden Jokowi masih memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme trading dalam penanganan perubahan iklim, maka sama artinya pemerintah melecehkan penderitaan korban asap. (selesai)

Contact Person:
1.      Kurniawan Sabar, Eksekutif Nasional WALHI: +6281241481868
2.      Pius Ginting, Eksekutif Nasional WALHI: +6281293993460
3.      Rio Rompas, Direktur WALHI Kalimantan Tengah: +628115200822
4.      Riko Kurniawan: Direktur WALHI Riau: +6181371302269
5.      Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi: +628117463789
6.      Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel: +628127312

Narahubung: Khalisah Khalid di +6281311187498



Artikel Terkait:

0 komentar: