Disamping itu, dari sisah hutan produksi alam yang masih cukup baik dan bernilai penting bagi kehidupan liar yang dilindungi serta penyimpan karbon hutan terbesar di Sumatera Selatan (± 47 jutan ton Carbon) adalah Kawasan Hutan Gambut Merang – Kepayang, kecamatan Bayung Lencir (MUBA) seluas ± 204.000 ha. Namun pada beberapa tempat telah dialokasikan sebagai konsesi HTI, bahkan pada akhir tahun 2006 pada lokasi gambut tebal (feat dome) juga telah dialokasikan menjadi HTI oleh Menteri Kehutanan atas rekomendasi Bupati MUBA dan Gubernur Sumsel seluas 55.150 ha. Sehingga total areal pada kawasan HRGMK yang telah menjadi konsesi HTI adalah seluas 108.945 ha, kawasan hutan yang belum dialokasikan mencakup areal seluas 87.399 ha. Berdasarkan kajian kami, bahwa pemberian izin konsesi HTI pada kawasan HRGMK bertentangan dengan berbagai kebijakan, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002, yang menyebutkan bahwa: areal yang dialokasikan untuk konsesi HTI adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif (semak belukar, padang ilalang), tetapi faktanya dilapangan bahwa kawasan HRGMK masih memiliki tegakan kayu yang cukup banyak (baik). Sebagai perbandingan bahwa PT. Rimbah Hutani Mas (group Sinar Mas) yang memiliki konsesi seluas 67.100 ha, yang akan diland clearing (berdasarkan Rencana Kerja Tahunan 2008 PT. Rimbah Hutani Mas) sebagai tanaman pokok seluas 32.425 ha akan memanfaatkan kayu alamnya sebesar 2.686.850,48 M3. Jika diambil rata-rata per-hektarnya bahwa potensi kayu alam yang masih ada tersebut adalah sebesar 83 M3. Sehingga skema pemberian izin konsesi HTI tersebut merupakan skenario penghancuran hutan alam pada kawasan HRGMK yang masih cukup produktif tersebut.
2. Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dalam Keppres tersebut dijelaskan bahwa lahan gambut yang kedalamannya di atas 3 meter dilindungi (dijadikan kawasan lindung), dan disamping itu didalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) juga menyebutkan kawasan HRGMK sudah direncanakan sebaga kawasan Lindung Gambut. Akan tetapi faktanya sekarang, dibeberapa tempat pada kawasan HRGMK telah dijadikan konsesi HTI bahkan telah melakukan land clearing dan pembuatan kanal. Sehingga kami menilai bahwa keberadaan HTI-HTI pada kawasan tersebut diduga tidak sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut di atas.
Pada pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang menggunakan kawasan Lindung Air Telang seluas 600 ha, juga menjadi catatan penting didalam skenario pengrusakan Hutan Lindung di Sumatera Selatan. Karena pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah dimulai pada awal tahun 2008 sedangkan proses perizinan dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) belum dikaji secara mendalam, sehingga akan berdampak penting terhadap kawasan sebaran kawasan lindung dan Taman Nasional Sembilang yang ada di sekitarnya.
PERKEBUNAN (Kelapa Sawit)
Luas usaha perkebunan di Sumatera Selatan saat ini mencapai 2 juta hektar, yang terdiri dari 1 juta hektar perkebunan karet, 600 ribu hektar kelapa sawit, dan sisanya tanaman kopi, jagung, dan komoditas lainnya.
Persoalan yang kerap muncul dalam sub sektor perkebunan, yaitu kelapa sawit. Hal itu cukup beralasan, berbeda dengan perkebunan karet yang 98% dimiliki rakyat – usaha kelapa sawit sebagian besar dimiliki oleh perusahaan. Belum lagi ambisi Pemerintah Sumsel yang menargetkan perluasan kebun kelapa sawit pada tahum 2010 yang mencapai 900 ribu hektar, kiranya telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan.
Dari deretan kasus tanah yang muncul pada tahun 2008, 13 kasus yang terjadi merupakan konflik yang diakibatkan oleh usaha perkebunan kelapa sawit. Konflik tersebut biasanya lahir, dikarenakan pemerintah tidak pernah mensosialisasikan kepada masyarakat setempat bahwa tanah mereka akan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Hal itu diperparah, karena kebanyakan perusahaan kelapa sawit tidak pernah mengindahkan aturan main yang telah ditetapkan, misalnya memberikan ganti-rugi ataupun mengin-inclave tanah rakyat yang menolak lahannya dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Di lapangan, banyak pula perusahaan kelapa sawit memperluas usahanya melebihi dari tata batas perizinan yang telah ditetapkan.
Optimalisasi usaha perkebunan kelapa sawit di Sumsel sebenarnya juga mengalami kemandekan. Cukup banyak perusahaan yang telah diberi izin usaha, namun di lapangan tidak melakukan kegiatan. Di Kabupaten Banyuasin, tidak kurang dari enam perusahaan diancam dicabut izin usahanya karena tidak merealisasikan pengelolaan lahan sesuai dengan kontrak yang disepakati.
KONFLIK LAHAN
Konflik lahan yang merupakan bagian dari persoalan sosial bangsa yang merupakan warisan masalah pemerintahan masa lalu (orde baru), terus saja terjadi di Sumatera Selatan. Pemerintah daerah termasuk kelembagaan BPN yang sesungguhnya harus berperan aktif dalam mengatasi dan meminimalisir kasus-kasus tersebut, sepertinya malah semakin memperparah kompleksitas persoalan itu.
Dikeluarkanya berbagai izin-izin baru, khususnya yang diperuntukkan bagi usaha perkebunan skala besar dan hutan tanaman industri, yang berada di dalam lahan kehidupan rakyat telah memperluas konflik-konflik pertanahan di Sumsel. Sedikitnya di tahun 2008 WALHI Sumsel mencatat telah terjadi 24 kasus konflik tanah yang terekam, yang merupakan kategori kasus tanah struktural. Terhadap kasus yang terjadi tersebut, banyak masyarakat juga harus mengalami berbagai persoalan lainnya, seperti dipenjarakan dan gangguan keterbelakangan mental (stress).
Dalam menyikapi berbagai kasus tanah tersebut, di dalam peringatan hari agraria nasional ke-48, Kepala BPN Sumsel, H. Suhaily Syam menyatakan bahwa pada tahun 2007 ada sekitar 114 kasus sengketa tanah yang belum selesai. Diperkirakan untuk tahun ini (2008) terjadi penurunan sekitar 42 kasus atau 38,6%. Dari jumlah tersebut, sebanyak tujuh kasus telah berhasil diselesaikan. Saat ini ada sekitar 35 kasus yang sedang berusaha diselesaikan. Kiranya patut dipertanyakan beberapa hal (1) Jika melihat grafik peningkatan kasus tanah yang terjadi, tentunya apa yang disampaikan oleh Kepala BPN Sumsel tersebut adalah keliru; (2) Jika terdapat kasus-kasus yang telah berhasil diselesaikan, kiranya patut dipertanyakan pula kasus yang mana?.
Beberapa kasus tanah yang sempat mencuat dipermukaan, seperti konflik masyarakat di beberapa desa di Kabupaten OKI melawan PT. Persada Sawit Mas – tercatat meski telah 23 orang dipenjara, 2 orang meninggal dunia, dan puluhan orang distatuskan daftar pencarian orang (DPO), hingga saat ini belum ada keseriusan pemerintah untuk menyelesikan kasus itu. Demikian pula yang dialami masyarakat Desa Sinar Harapan Kabupaten MUBA melawan PT. Berkat Sawit Sejati, maupun Desa Sido Mulyo Kabupaten Banyuasin melawan PTPN VII – hingga saat ini belum juga diselesaikan oleh pemerintah (termasuk BPN di dalamnya). Padahal bukti kepemilikan tanah masyarakat cukup kuat, dimana tanah-tanah masyarakat tersebut banyak yang telah bersertifikat dan sebagian diantaranya beralaskan SPH/SKT.
BENCANA BANJIR
Rentetan bencana alam berupa banjir dan tanah longsor merupakan persoalan yang terus melanda daerah ini. Bahwa merupakan pengetahuan umum, Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi dengan tingkat kerentanan bencana yang tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat dari 33 Provinsi di tanah air, hingga akhir tahun 2008 terdapat 27 provinsi yang secara serius rentan tertimpa bencana banjir dan tanah longsor, dan Sumsel merupakan satu diantaranya. Hal ini dapat dibuktikan, karena setidaknya sejak bulan Januari hingga pertengahan Desember 2008 telah terjadi 39 kali bencana banjir dan lonsor yang tersebar di kota/kabupaten di Sumatera Selatan, yang meliputi; Palembang, MUBA, MURA, Banyuasin, OKI, Muara Enim, Lahat, Prabumulih, dan OKU Timur.
Berbagai sumber penghidupan masyarakat, seperti sawah, ladang dan perkebunan rakyat (sawit, karet, dan jagung) terpaksa hilang dan terancam akibat bencana banjir. Setidaknya di tahun ini diperkirakan sedikitnya 11 ribu ha sawah petani di Sumsel rusak dan terancam puso (gagal panen). Jika di dalam 1 hektarnya petani menderita kerugian sekitar 2 juta, maka diperkirakan total kerugian yang menimpa petani mencapai angka 22 milyar. Hal itu belum dihitung dengan berbagai kerugian material lainnya, seperti; ratusan rumah masyarakat yang harus terbenam hingga menyebabkan ribuan orang harus mengungsi, ribuan rumah terendam termasuk berbagai fasilitas umum, seperti jalan desa, jalan lintas, jembatan, sekolahan, dan tempat ibadah.
Akibat bencana banjir tersebut pula, di beberapa tempat telah menyebabkan pasokan sayur-mayur menjadi terhambat, yang berpengaruh kepada meningginya harga akibat menipisnya stok atau persediaan. Diperparah lagi, banjir juga telah mengisolasi perkampungan masyarakat, termasuk sulitnya ribuan orang untuk memperoleh air bersih (bencana banjir di OKU Timur di Bulan Februari 2008 yang melanda 46 Desa di 13 Kecamatan).
Di Kota Pelembang, dalam tahun ini tercatat 11 perisitiwa banjir yang terjadi di sejumlah tempat. Dalam pantauan dan catatan WALHI tempat-tempat tersebut diantaranya; beberapa titik di Kelurahan Ario Kemuning, beberapa tempat di Kecamatan Sematang Borang, sejumlah titik di kawasan Jl. R. Sukamto dan Jl. Mayor Ruslan (8 Ilir), Kelurahan Pakjo, Jl. A. Yani (Kecamatan Seberang Ulu II), beberapa tempat di Kelurahan 5 Ilir (IT II), Kelurahan 2 Ilir, Kolonel H. Burlian, dan Alang-alang Lebar – merupakan daerah langganan banjir.
PENCEMARAN
Kasus pencemaran merupakan salah satu persoalan lingkungan yang kerap terjadi di Sumsel. Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2008, lebih banyak dilakukan oleh berbagai aktifitas perusahaan dan industri seperti Migas dan Crude Palm Oil (pengolahan minyak sawit). Setidaknya pada tahun ini, dalam catatan WALHI telah terjadi 11 kali pencemaran, yang diantaranya diakibatkan oleh kebocoran pipa dan tumpahan minyak (7 kali) dan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit (4 kali).
Tumpahan minyak dan kebocoran pipa paling banyak terjadi pada PT. Pertamina. Beberapa kejadian tersebut selain berdampak kepada tercemarnya air sungai (sungai Rebo di Banyuasin I, dan sungai Kelekar di Prabumulih Barat) juga banyak merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. Selain PT. Pertamina, tercatat PT. Elnusa Oilfield Services (PT. EOS) juga pernah mengalami kebocoran pipa. Kejadian yang terjadi di Kelurahan Betung Kabupaten Banyuasin tersebut menyebabkan air-air sumur warga rusak dan tercemarnya sungai Sedompok sehingga menyebabkan ratusan ikan mati.
Demikian pula pencemaran yang terjadi oleh limbah kelapa sawit. Beberapa kali usaha PT. Ciptu Futera (Cifu) telah mencemari sungai Lagan dan Nau. Atas peristiwa yang telah menyebabkan bau busuk dan matinya ikan di kedua sungai itu, masyarakat Desa Ulak Bandung Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Muara Enim telah melaporkan peristiwa tersebut kepada Pemkab Muara Enim. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat di Pangkalan Benteng Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Pencemaran yang dilakukan oleh limbah pabrik juga telah merusak air sungai yang kerap digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, minum, dan memasak.
PENUTUP
Kiranya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di tahun ini, tidaklah juga mencerminkan adanya perbaikan dan pembenahan dari periode tahun-tahun sebelumnya. Berbagai gambaran persoalan di atas merupakan realitas, bahwa politik ekologi belumlah diletakkan sebagai asfek dasar bagi kebijakan pembangunan di Sumsel.
Adalah tidak keliru misalkan Pemerintah saat ini telah memasukkan program penanggulangan bencana di dalam politik anggarannya (Pemerintah Provinsi sebesar 8 milyar, dan Pemerintah Kota Palembang sebesar 1 milyar). Bahwa tidak salah pula jika di Sumsel saat ini pemerintah menggalakan program ”pananaman” ratusan ribu pohon. Namun jika program tersebut tidak diimbangi dengan perubahan sistem kebijakan lingkungan yang selama ini dianut, maka persoalan-persoalan ekologi dan kemanusiaan akan terus berlangsung di daerah ini.
Palembang, 31 Desember 2008