JAKARTA - Frase minyak sawit mentah tiba-tiba saja
menembus kenangan masa lalu saya hingga ke kampung halaman, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Mamak kala itu sering meminta saya untuk membeli
minyak goreng Bimoli di warung Pipit, yang terletak dekat ujung gang rumah kami.
Kadang
sambil bersungut, saya menerima uang dari tangannya dan tergopoh-gopoh
menuju warung. Permintaan mamak terkadang menghentikan permainan sepak
bola plastik—hobi yang dilakukan sejak sekolah dasar hingga sekolah
menengah pertama—pada suatu sore.
Biasanya sebagian kawan
beristirahat dengan mengambil air minum, sedangkan saya bergegas
kembali. Ini adalah lintasan kecil hampir 25 tahun silam.
Namun kini, cerita tentang minyak sawit tak sesederhana serpihan-serpihan masa lalu.
-Perbankan domestik menggelontorkan US$2 miliar untuk sedikitnya 19 perusahaan besar kelapa sawit sepanjang 2002—2011.
-Bank Indonesia meminta perbankan memperhatikan aspek perlindungan lingkungan para debitur sebelum pemberian kredit.
-Pembukaan kebun kelapa sawit kerapkali tak ramah lingkungan dan menimbulkan konflik.
Perluasan
bisnis perkebunan sawit kini menjadi narasi tersendiri. Sepanjang
menyusuri hutan di Riau maupun Jambi dalam 2 tahun terakhir, saya mulai
memahami kelapa sawit seringkali menimbulkan masalah. Ada perampasan
lahan hingga meletusnya gas rumah kaca. Mulai dari Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi hingga Papua. Namun sebaliknya, industri sawit telah menjadi
salah satu bisnis yang menggurita, setidaknya dalam 10 tahun terakhir.
Produksi minyak sawit mentah hingga akhir tahun lalu mencapai 26 juta
ton dan diperkirakan melonjak dua kali lipat pada 2020. Masalah lainnya,
gurita bisnis itu juga didukung oleh sektor keuangan domestik hingga
internasional. Memahami Bimoli—yang masih menghiasi rak-rak toko kelontong maupun swalayan besar—menjadi kian kompleks.
Laporan bersama Financing Oil Palm Expansion in Indonesia and Malaysia yang
dirilis pada bulan lalu oleh Profundo, Rainforest Action Network (RAN)
dan Tranformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, paling tidak mengurai
bagaimana bisnis tersebut tumbuh dalam 10 tahun terakhir. Profundo dan
RAN masing-masing berbasis di Amsterdam, Belanda dan San Fransisco,
Amerika Serikat, sedangkan TuK Indonesia di Jakarta. Riset tersebut
memaparkan sedikitnya 19 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di
Tanah Air—di antaranya adalah Indofood Agro Resources, si pencipta Bimoli—mendapatkan pendanaan besar dari kalangan perbankan.
Bank
memang menjadi sumber pendanaan terbesar kedua setelah kapital
perusahaan sepanjang 2002—2011. Dalam kurun waktu tersebut, kucuran
kredit bank domestik untuk 19 perusahaan itu sedikitnya mencapai US$2
miliar, sedangkan bank asing lebih rendah, yakni US$1,7 miliar. Namun di
sisi lain, penambahan lahan maupun kapasitas produksi secara
keseluruhan untuk perkebunan sawit, terjadi dalam skala raksasa. Lahan
ekstra seluas 3,45 juta hektare telah dipakai dari semula hanya 3,03
juta hektare. Sedangkan kapasitas produksi, bertambah sebesar 14,78
juta ton dari 10,37 juta ton. Jika dipersentasikan pertumbuhannya,
penambahan lahan mencapai 114%, sedangkan produksi minyak sawit mentah
naik hingga 143%.
“Bank, menyediakan pinjaman ke perusahaan
dengan investasi terbesar, telah memainkan peranan penting pada
perluasan sektor kelapa sawit,” demikian laporan itu. “Terutama pada
perusahaan-perusahaan multinasional.”
Perusahaan
raksasa kelapa sawit yang dimaksud di antaranya adalah Astra Agro
Lestari, Bakrie Sumatra Plantations, BW Plantations, First Resources,
Golden Agri Resources, Indofood Agri Resources, Kencana Agri, Sampoerna
Agro, Tunas Baru Lampung, dan Wilmar International. Sebagian
besar—kecuali Bakrie Sumatra Plantations—adalah anggota dari
the roundtable on sustainable palm oil (RSPO), asosiasi multipihak yang mempromosikan produk sawit berkelanjutan.
Adapun
untuk pendanaan, sejumlah bank besar yang menyokong sektor tersebut
adalah Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, serta Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Ini belum ditambah dengan pelbagai bank domestik maupun
asing macam Bank Negara Indonesia (BNI), Credit Suisse, The Dutch
Rabobank, Raiffeisen Zentralbank dan Standard Chartered.
Namun
apakah perbankan turut mempertimbangkan upaya menjaga lingkungan debitur
perusahaan sawit? Saya bisa jadi pesimistis. Ketidakyakinan ini
membuncah usai menemui pelbagai kesaksian maupun mempelajari beberapa
laporan tentang dampak lingkungan akibat ekspansi bisnis tersebut.
Narasi
soal kelapa sawit, bagi saya, adalah narasi yang dipenuhi konflik
berkepanjangan. Pelbagai sumber yang saya temui—dari investigator
lingkungan di Riau, warga lokal asal Merauke, petani di Jambi hingga
pekerja pada perusahaan sawit di Kalimantan Selatan—memaparkan bagaimana
bisnis tersebut mengakibatkan seteru dengan petani atau berdampak buruk
pada lingkungan.
Laporan terbaru Greenpeace berjudul Certifying Destruction: Why Consumer Companies Need to Go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction?
juga memaparkan tentang pentingnya kritik terhadap standar asosiasi
multipihak tersebut. Riset yang dirilis pada September itu menegaskan
bagaimana RSPO pun tak sanggup menahan kerusakan lingkungan oleh
perusahaan sawit. Salah satunya, pembakaran hutan—untuk membuka
kebun—yang mengakibatkan kabut asap di Riau pada Juni. Pembakaran
tersebut diduga dilakukan di dalam konsesi milik Asian Agri, Jatim Jaya
Perkasa, Sime Darby, dan Wilmar International. Bahkan, organisasi itu
menemukan area seluas 5,5 juta hektare berisikan konsesi yang
tumpang-tindih antara sektor perkayuan, hutan tanaman industri, kelapa
sawit hingga pertambangan.
“RSPO
melarang penggunaan api untuk pembukaan lahan, tetapi gagal mengatasi
sumber kebakaran dahsyat di Sumatra,” demikian riset tersebut. “Juga
membolehkan anggotanya untuk mengeringkan lahan gambut. Padahal gambut,
sekali kering, mudah menyala dan menyebar cepat.”
Tentunya, ini
tak sekadar analisis. Delapan organisasi sipil lainnya bahkan
menyampaikan laporan dugaan pembakaran hutan oleh sedikitnya enam
korporasi besar perkebunan ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
Koalisi itu terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi),
Walhi Daerah Riau, Walhi Daerah Jambi, Walhi Daerah Sumatra Selatan,
Indonesian Center for Environment Law, Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, Sawit Watch dan YLBHI.
Beberapa korporasi yang
dianggap bermasalah diantaranya adalah Asian Agri, Duta Palma, Indofood
Agri Resources, Jatim Jaya Perkasa, Sinar Mas hingga Surya Dumai.
Semua kelompok bisnis tersebut—yang sebagian memiliki sejumlah anak
usaha—termasuk dalam keanggotaan RSPO. Data yang diserahkan koalisi itu
pun beragam. Dari citra satelit, hasil penyelidikan di lapangan, foto
hingga analisis penggabungan peta titik api dengan area konsesi.
“Pembakaran
dilakukan sebagai penghematan biaya untuk pembukaan lahan dibandingkan
dengan cara manual.” kata Muhnur Stayahaprabu, Manajer Advokasi Hukum
dan Kebijakan Walhi, seusai menyampaikan laporan itu. “Penerima
manfaatnya adalah perusahaan perkebunan dan kertas.”
Namun, RSPO
akhirnya hanya menyelidiki lima perusahaan perkebunan yang kerap
diberitakan oleh pelbagai media. Mereka adalah Golden Agri Resources,
Kuala Lumpur Kepong, Jatim Jaya Perkasa, Sime Darby dan Tabung Haji
Plantations. Asosiasi itu juga menggandeng the World Resources Institute
(WRI) untuk menganalisis titik api di Riau.
Khusus Tabung Haji
Plantations, hasil analisis tersebut tak menemukan titik api, sedangkan
Jatim Jaya Perkasa tak kunjung menyerahkan dokumen konsesinya. Lainnya
adalah Golden Agri Resources (tiga titik), Kuala Lumpur Kepong (satu
titik), dan Sime Darby (enam titik).
Namun, KLH tidak tinggal
diam. Kementerian tersebut telah menetapkan sedikitnya tiga perusahaan
perkebunan sebagai tersangka dalam dugaan pembakaran hutan sejak memulai
penyelidikannya sepanjang Juli— Agustus. Semua tersangka adalah anggota
RSPO dan satu adalah anak usaha perusahaan terbuka. Penyelidikan atas
perusahaan lain pun terus dilakukan. Kritik muncul pula. Kali ini, tak
hanya untuk perusahaan kelapa sawit.
“Untuk memastikan nol
deforestasi, kami menyerukan pihak perbankan untuk memutuskan hubungan
dengan para produsen dan penyuplai yang membuka hutan,” kata Norman
Jiwan, Direktur TuK Indonesia. “Sektor keuangan agar memastikan untuk
melarang konversi lahan atau pembakaran pada lahan gambut.”
MEMORANDUM KESEPAHAMAN
Kalau
ingin ditelusuri, KLH dan Bank Indonesia (BI) sebenarnya punya
memorandum kesepahaman untuk mendorong sektor perbankan agar menjaga
lingkungan sejak 2004. Istilah populernya kini, green banking.
Kegiatan hasil memorandum itu meliputi harmonisasi peraturan,
sosialisasi, penelitian bersama hingga peningkatan kapasitas sumber daya
manusia. Saya kira, belum ada perubahan besar hingga kesepakatan kedua
kalinya ditandatangani pada 2010.
Walaupun demikian, aturan BI
mengenai masalah lingkungan sebenarnya sudah diterbitkan melalui
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/2/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank
Umum. Bank diminta memperhatikan aspek perlindungan lingkungan saat
menilai kualitas kredit. Tak melulu soal kinerja debitur atau kemampuan
membayar.
Aturan lainnya diterbitkan 7 tahun kemudian, melalui
PBI No.14/15/2012, tentang persoalan serupa. Statistik BI mencatat,
penyaluran kredit perbankan untuk sektor agribisnis mencapai 5% dari
total kredit nasional yang menyentuh Rp2.700 triliun. Sektor yang
mendominasi pun dapat ditebak: kelapa sawit. Kredit untuk sektor
perkebunan sawit skala besar, minimal bagi saya, seharusnya diawasi
lebih ketat.
Saya pun mengirimkan sejumlah pertanyaan melalui
surat elektronik ke tiga bank penyokong industri kelapa sawit, yang
beraset ratusan triliun tersebut. Ini tentunya, tentang pertimbangan
mereka mengenai aspek lingkungan. Salah satunya, menyangkut pembukaan
lahan. Mulai dari BCA, Bank Mandiri hingga BRI. Khusus BNI, saya
mempelajari pemaparan resminya dalam satu diskusi pada akhir Agustus.
Peminjam
dana mereka pun bermacam-macam a.l. dari Indofood Agri Resources, Musim
Mas, Sampoerna Agro hingga Tunas Baru Lampung. Ada juga yang mendanai
perusahaan asal Malaysia Gozco Plantations. Standar soal lingkungan pun
bervariasi. Dari Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sertifikat
hak, penilaian Proper, hingga aturan RSPO. Rata-rata kredit korporasi
di sektor agribisnis empat bank tersebut berkisar 4%—10% lebih dari
total pinjaman yang masing-masing berkisar Rp200 triliun—Rp300 triliun
pada tahun lalu.
“Kami memperhatikan
ketaatan calon debitur dalam penerapan regulasi serta aspek
lingkungan,” kata Wakil Presiden Eksekutif Corporate Banking Agro—Base
Bank Mandiri, Rafjon Yahya. “Seperti peraturan tentang pembukaan lahan,
konversi lahan gambut maupun hutan menjadi kebun sawit.”
“BRI
menitikberatkan adanya jaminan legalitas lahan, yakni sertifikat hak
guna usaha [SHGU],”kata Sekretaris Perusahaan BRI Muhammad Ali.
“Legalitas yang diperoleh relatif ketat, dengan syarat antara lain hutan
produktif, bukan hutan lindung.”
“BCA memperhatikan calon debitur
memenuhi peraturan terkait, mencakup pula masalah lingkungan. Misalnya
Amdal,” kata Sekretaris Perusahaan BCA Inge Setiawati. “Itu sebagai
salah satu upaya untuk memastikan calon debitur tak membawa dampak buruk
bagi lingkungan.”
“Perbankan masih menunggu diberlakukannya PBI tentang Green Banking.
Dengan absennya aturan itu, BNI menghadapi tarik ulur,” kata Vice CEO
BNI Felia Salim, dalam satu diskusi. “[Antara] melayani jasa
intermediasi atau pelayanan nyata untuk memimpin agenda lingkungan.”
Jawaban
mereka memang cukup beragam. Namun, saya kira, pihak perbankan juga
sebaiknya tak melupakan soal Amdal dan SHGU yang kerapkali bermasalah.
Ini macam dugaan suap dan minimnya partisipasi publik di dalamnya.
Survei Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2010,
misalnya, menemukan praktik dugaan suap dalam empat kategori pelayanan
Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Ini terdiri dari layanan
pengukuran dan pemetaan kadastral, layanan balik nama hak tanah, layanan
hak tanggungan serta pembuatan sertifikat tanah. Masalah itu belum
ditambah dengan izin yang tumpang tindih dalam satu kawasan. Namun
KLH, paling tidak, meminta secara tak langsung agar perbankan
menghentikan pinjamannya ketika perusahaan sawit bermasalah dengan
lingkungan. Baik dari proses pembukaan lahan sampai operasi perkebunan.
“Perusahaan
tak mungkin memakai duit sendiri. Jadi perbankan harus melihat proses
[perkebunan sawit] dari hulu sampai hilir,” kata Imam Hendargo, Deputi
Bidang Tata Lingkungan KLH. “Ketika perusahaan tidak [menjaga
lingkungan], perbankan harus setop. Kalau tidak disetop, kurangi
kreditnya.”
Gencarnya kritik atas RSPO—sebagai salah satu standar
yang diperhatikan perbankan—juga tak dapat dikesampingkan. Laporan
terbaru dari Rainforest Action Network (RAN) berjudul Conflict Palm Oil: How US Snack Food Brands Are Contributing to Orangutan Extinction, Climate Change and Human Rights Violation
mengkritik keras tentang produk bersertifikat RSPO. Konsumsi minyak
sawit mentah oleh Amerika Serikat (AS), yang didominasi dari Indonesia
dan Malaysia itu, memang melonjak enam kali lipat dalam 12 tahun
terakhir. Pada akhir tahun lalu, penggunaannya sudah mencapai 1,25 juta
ton.
Saya menyadari komposisi ekspor minyak sawit mentah asal
Indonesia masih dominan hingga 70%, sedangkan sisanya dipakai di dalam
negeri. Negara-negara tujuan ekspor komoditas itu adalah AS, China,
India, dan Uni Eropa. Ada yang digunakan untuk makanan dan minyak
goreng, atau untuk komoditas yang turut melonjak permintaannya:
biodiesel.
Perkebunan kelapa sawit, demikian RAN, dinilai terus
menghancurkan hutan hujan—habitat orangutan—yang tinggal 60.600 ekor di
Sumatra dan Kalimantan. Organisasi tersebut pun berkampanye agar 60.600
individu, di mana pun mereka berada, mendesak para produsen kudapan
untuk memangkas pasokan minyak sawit penuh konflik—salah satunya dari
RSPO—ke dalam produknya.
“Minyak sawit mentah berkelanjutan RSPO
diencerkan oleh asosiasi dengan standar sertifikasi yang lemah,” tulis
laporan yang dirilis pada September. “Konsumen disesatkan dengan label
produk yang berkelanjutan, tapi justru berasal dari penghancuran hutan
hujan dan lahan gambut.”
sumber : http://m.bisnis.com/mission-impossible-green-banking
Selengkapnya...