WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, November 30, 2011

Konflik SDA di Sumsel capai 268 kasus

Palembang - Konflik Sumber Daya Alam (SDA) berdimensi struktural di sektor kehutanan dan perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang terjadi dari tahun 1989 hingga 2011, telah mencapai 268 kasus.

Menurut Masrun Jawawi, peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, di Palembang, Sabtu, sejak 1989 hingga saat ini setidaknya ada 268 konflik SDA di daerah ini.

Umumnya konflik SDA itu, hingga kini belum mendapatkan penyelesaian secara permanen dan sewaktu-waktu dapat terpicu hingga menimbulkan bentrokan fisik, kata dia.

Secara khusus peneliti Walhi Sumsel itu membeberkan hasil kajiannya dalam konsultasi publik yang diselenggarakan Walhi dengan tema "Studi Pemahaman dan Praktek ADR/Alternative Dispute Resolution, Konflik Sumber Daya Alam di Provinsi Sumsel, di Hotel Bumi Asih Palembang, Jumat (25/11).

"Konflik SDA itu melibatkan masyarakat dan petani, perusahaan perkebunan swasta, PTPN VII, dan perusahaan HTI yang menimbulkan korban jiwa dan kekerasan fisik," ujar dia.

Dia menyebutkan, kasus SDA itu, di antaranya adalah kasus di Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Desa Suka Damai, Kabupaten Musi Banyuasin, Desa Gersik Belido, Kabupaten Musi Banyuasin, serta Desa Pulau Kabal, Kabupaten Ogan Ilir.

Salah satu konflik yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya adalah di Desa Pulau Kabal yang merupakan konflik tapal batas dengan Desa Kayuara Batu, Kabupaten Muaraenim.

"Konflik di sini terjadi sejak 2005 lalu, dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya," kata dia.

Perlu ada negosiasi yang benar dengan mekanisme ADR, untuk menyelesaikan masalah ini, ujar dia lagi.

Dalam konsultasi publik itu, Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Sumsel, mengatakan banyak kasus sengketa tanah ini dikarenakan adanya undang-undang yang tumpang tindih.

"Misalnya pelaksanaan UU No 60 Tahun 1960 tentang Agraria banyak tumpang tindih dengan UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU BPN, dan lainnya," kata dia.

Mengenai penanganan konflik menggunakan mekasnisme ADR, pihaknya sangat sependapat.

Karena itu, saat ini BPN juga bertindak sebagai mediator konflik, kata dia lagi.


Sumber : antaranewa.com Selengkapnya...

Selasa, November 29, 2011

Warga Palembang cemas Jembatan Ampera runtuh

Palembang, (ANTARA News) - Sebagian warga Kota Palembang mengaku mencemaskan kondisi Jembatan Ampera setelah mendengar informasi bahwa Jembatan Mahakam II di Kalimantan Timur, runtuh dan mengakibatkan sejumlah orang tewas serta ratusan warga yang tengah melintas terluka.

"Saya mencemaskan kejadian runtuhnya Jembatan Mahakam itu bisa menimpa Jembatan Ampera, karena berdasarkan informasi, salah satu penyebab runtuhnya Jembatan Mahakam II karena sering ditabrak kapal pengangkut batu bara yang sering juga dialami jembatan Ampera," kata Yori Halim, warga Kertapati, Palembang, Minggu.

Menurut dia, sebagai masyarakat awam yang selalu melintasi jembatan penghubung kawasan Seberang Ulu dan Seberang Ilir di Kota Palembang itu, tidak berlebihan kalau mencemaskan kondisi Jembatan Ampera yang telah berusia tua dan sering ditabrak kapal pengangkut batubara.

Jembatan Ampera yang dibangun pada 1962 itu, saat ini bebannya semakin berat karena kendaraan yang melintas di atasnya semakin ramai, bahkan sering terjadi kemacetan arus lalu lintas terutama pada jam sibuk pagi, siang dan sore hari.

Untuk menyelamatkan jembatan kebanggaan masyarakat dan sebagai ikon Kota Palembang itu, perlu dilakukan pemeriksaan kondisi jembatan secara menyeluruh dan renovasi besar-besaran.

Melalui upaya tersebut, diharapkan dapat dideteksi secara dini kemungkinan hal-hal yang dapat mengakibatkan kerusakan jembatan yang berdiri megah di atas Sungai Musi itu, serta segera dilakukan upaya penyelamatannya, kata dia.

Warga lainnya, salah seorang dosen perguruan tinggi swasta di kawasan Plaju mengatakan, berita runtuhnya Jembatan Mahakam sangat mengejutkan dan langsung terbayang dengan Jembatan Ampera yang hampir setiap hari dilalui.

Jembatan Ampera, pada kondisi macet sangat mengerikan karena goyangan bentang ruas jalan ketika berada di tengah Sungai Musi semakin hari bertambah kuat, ujar dia.

Menurut Yudi Farola Bram yang juga politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) Sumatera Selatan, kecemasan warga kota tersebut sangat logis dan perlu segera mendapatkan perhatian pemerintah kota dan provinsi setempat.

Seluruh pihak terkait harus segera melakukan koordinasi antisipasi kemungkinan terjadi hal terburuk menimpa jembatan tersebut, kata dia.

"Seingat saya hampir sepuluh kali Jembatan Ampera ditabrak kapal ponton pengangkut ribuan ton batubara dan kapal sarat muatan lainnya, belum lagi di atas jembatan sering terjadi kemacetan yang parah. Jika dibiarkan kondisi ini bisa saja mengakibatkan jembatan ini runtuh seperti Jembatan Mahakam," ujar dia lagi.

Jembatan Ampera memiliki panjang total 1.117 m, lebar 22 meter, dengan dua menara yang tingginya mencapai 63 meter, berdiri megah di atas Sungai Musi Palembang.

Jembatan ini dibangun mulai tahun 1962, dan diresmikan pemakaiannya untuk umum pada tahun 1965.

Guna menyelamatkan jembatan agar tetap bisa digunakan warga kota berpenduduk hampir dua juta jiwa ini, pemerintah daerah setempat sejak beberapa tahun terakhir membuat aturan larangan keras bagi kendaraan pengangkut barang (truk) melintas di atas Jembatan Ampera dan membuat beton pelindung dari "serudukan kapal bertonase besar" di tiang jembatan itu.

Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Hadi Jatmiko, Jembatan Kutai Kartanegara/Mahakam II di Kaltim yang roboh, diduga karena sering ditabrak oleh kapal pembawa batu bara.

"Artinya Jembatan Ampera di Palembang pun bisa jadi akan mengalami nasib yang sama," ujar dia.

Catatan Walhi Sumsel menyebutkan, setidaknya selama 2009-2010 ada lebih empat kali kejadian ponton pengangkut batubara menabrak tiang Jembatan Ampera.

"Belum lagi ditambah dengan beban kendaraan yang setiap harinya sering mengalami kemacetan di atasnya, setiap saat dapat mengancam jembatan tersebut," ujar Hadi lagi.

Kondisi Jembatan Musi II di Palembang yang menjadi alternatif bagi truk dan kendaraan bertonase besar lewat--setelah dibatasi melalui Jembatan Ampera--juga mengkhawatirkan pengguna jembatan itu, karena tingkat getaran dan goyangannya yang dinilai sudah membahayakan.

Sumber : Antaranews.com Selengkapnya...

Walhi Sumsel gelar konsultasi publik mediasi konflik

Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan bekerja sama dengan LPPL Universitas IBA Palembang dan didukung Sustainable Social Development Partnership (Scale Up) Riau, menggelar konsultasi publik mediasi penanganan konflik sumberdaya alam, di Palembang, Jumat.

Acara yang digelar di Palembang itu, menghadirkan dua narasumber yakni Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumsel, dan Masrun Jawawi, Peneliti Walhi Sumsel.

Konsultasi publik ini juga dihadiri oleh Dinas Kehutanan Sumsel, BPN Sumsel, Pengadilan Tinggi Sumsel, BKSDA Sumsel, Polda Sumsel, advokat, LSM, dan perwakilan masyarakat Sumsel.

Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan, konsultasi publik ini bertujuan untuk menghimpun masukan dalam rangka memperkuat kelembagaan dan praktik Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam penanganan konflik sumber daya alam (SDA) di Sumsel.

Menurut dia, penyelesaian konflik melalui mekanisme di luar pengadilan (ADR) itu di Sumsel selama ini belum muncul.

"Konflik SDA di Sumsel ini tergolong tinggi, namun penyelesaian secara ADR belum muncul," kata dia lagi.

Pemerintah yang menjadi mediator konflik SDA dan diharapkan menyelesaikan konflik, cenderung mengarahkan penyelesaian melalui jalur pengadilan, ujar dia lagi.

Penyelesaian konflik SDA melalui pengadilan cenderung memakan waktu lama dan tidak memuaskan para pihak, sedangkan penyelesaian secara ADR dapat lebih memuaskan semua pihak, kata Sadat pula.

"Penyelesaian konflik SDA secara ADR dapat memuaskan semua pihak karena dilaksanakan dengan jalan musyawarah, sehingga dapat diterima para pihak," ujar dia.

Terungkap bahwa di Sumsel masih terdapat sejumlah persoalan konflik lahan, terutama antara masyarakat dengan pihak perusahaan, sehingga kerap memunculkan pertikaian dan kekisruhan maupun bentrok antarpihak, mengingat belum ada penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak secara permanen. (ANT-311/A023)


Sumber : Antara.com
Selengkapnya...

Sungai Musi Tak Layak Konsumsi


PALEMBANG– Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, pada akhir pekan kemarin diketahui derajat keasaman (pH) air Sungai Musi terus mengalami penurunan.

Dalam pengukuran tersebut, Walhi mengambil dua titik pantau, yakni di anak Sungai Musi kawasan Ki Marogan, Kertapati, dan aliran anak Sungai Musi di kawasan Pusri. Dalam pengukuran terakhir terlihat jika keasaman Sungai Musi sudah makin berkurang, yakni berkisar 5,3–5,4 derajat. Untuk ukuran normal, air yang layak digunakan baik untuk kehidupan sehari-hari dan dikonsumsi, yakni berada di derajat keasaman 5,5 – 7.
Dengan kondisi ini, tingkat kelayakan guna konsumsi air yang bersumber dari Sungai Musi akan semakin berkurang.

“Dengan kata lain, Sungai Musi makin tidak layak konsumsi,” kata Kadiv Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian Masyarakat Walhi Sumsel Hadi Jatmiko. Atas kondisi ini,Walhi khawatir terhadap kesehatan masyarakat yang masih mengonsumsi air Sungai Musi ber-Phrendah.“ Yangjelas,SungaiMusi sudah makin tercemar dan tidak baik bagi kesehatan,”ingatnya.

Pengurangan derajat keasamanairSungaiMusidisebabkan berbagai faktor, di antaranya kebiasaan buruk masyarakat dalam menjaga sungai, hingga masih ditemukan proses pengolahan limbah perusahaan yang tidak sesuai analisis dampak lingkungan (amdal). “Perusahaan dan masyarakat di bantaran Sungai Musi sangat perlu disadarkan agar menjaga sungai, misalnya tidak membuang sampah atau limbah ke sungai,”katanya.

Hadi berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang harus mengaudit kembali beberapa izin amdal yang pernah dikeluarkan kepada perusahaan yang beroperasi di pinggiran Sungai Musi. Yang tak kalah penting, pemerintah juga harus menambah akses air bersih bagi masyarakat. “Solusinya,distribusi PDAM diprioritaskan bagi masyarakat di Sungai Musi dengan membuatkan lokasi penampungan air bersih,”ujarnya.

Sebelumnya, hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang juga menyebutkan, kadar garam dalam air Sungai Musi meningkat sebagai imbas menyusutnya level air dari ambang batas normal. “Debit air saat ini sudah berkurang 3 meter dari permukaan normal air sungai.Hal ini berpengaruh pada segala aspek kegiatan masyarakat di Palembang,terutama yang berhubungan dengan aktivitas Sungai Musi,”ujar Kepala BLH Kota Palembang Kemas Abubakar.
Selengkapnya...

Kamis, November 17, 2011

Alih fungsi RTH,Walhi Sumsel adukan gubernur ke Polda

"Save RTH " aksi aktifis Walhi sesaat menjelang Pembukaan Sea games (11.11.11) di Mapolda Sumsel,Guna melaporkan Gubernur Sumsel yang secara Ilegal Melakukan Pengalih Fungsian RTH.
Palembang, - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menyampaikan pengaduan ke Polda setempat, berkaitan dugaan tindak pidana dalam alihfungsi GOR Palembang telah dilakukan pejabat daerah ini.
Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat, di Palembang, Jumat, siang ini menandai pengaduan itu mereka melakukan aksi di depan kantor Mapolda Sumsel.
Sadat menyebutkan, pengaduan tertulis ke Polda Sumsel itu, berisikan laporan adanya dugaan tindak pidana dalam alihfungsi GOR Palembang dan lapangan parkir Bumi Sriwijaya beserta Pengerjaannya oleh gubernur dan pelaku usaha di daerahnya.
Sadat menguraikan, pada akhir Oktober tahun 2010, aktivitas pembangunan Palembang Sport and Convention Center (PSCC), hotel dan Town Square yang terletak di Jalan Balap Sepeda kawasan Kampus Palembang mulai dikerjakan, sebelumnya tempat tersebut merupakan kawasan ruang terbuka hijau (RTH) salah satunya ditandai dengan berdiri bangunan Gedung Olah Raga (GOR).

Walhi menuntut Pihak Kepolisian untuk segera melakukan pengusutan atas beralih fungsian RTH menjadi mall dan Hotel, yang artinya telah melanggar tata Ruang kota Palembang.

Sejak Februari tahun 2011, tidak jauh dari pembangunan proyek tersebut dilakukan juga kegiatan dan usaha yang diinformasikan kepada publik akan dibangun under ground mall atau mal bawah tanah dan rumah sakit di atas kawasan RTH lapangan parkir Bumi Sriwijaya.
Kedua proyek tersebut dibangun atas kebijakan Gubernur Sumsel dengan pelaksana proyek PT Griya Inti Sejahtera Insani (GISI), dan di lapangan tertera pula nama perusahaan PT Waskita Karya (pelaksana proyek PSCC) dan LIPPO Group (pelaksana proyek mal bawah tanah).
Adapun alasan pembangunan adalah sebagai penunjang pelaksanaan SEA Games XXVI di Palembang, ujar Sadat, kenyataannya dapat dilihat bahwa pembangunan di atas RTH GOR dan RTH lapangan parkir Bumi Sriwijaya tersebut tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan olah raga akbar itu.
"Artinya dalam hal ini kami memandang bahwa Gubernur Sumsel telah melakukan pembohongan kepada publik di daerahnya, khususnya masyarakat Kota Palembang," kata dia.
Walhi Sumsel menilai bahwa pengerjaan kedua proyek tersebut telah melanggar tata aturan yang ada.
Dia menjelaskan, berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Pelembang tahun 1999/2009 Pasal 30 huruf (c), GOR dan lapangan parkir Bumi Sriwijaya merupakan kawasan RTH Kota.
Artinya pengerjaan kedua proyek itu berada pada objek Ruang Terbuka Hijau Publik, dan berdasarkan pemanfaatan ruangnya hingga saat ini belum berubah status RTRW-nya, ujar Sadat.
Dalam pengerjaan usaha dan atau kegiatan proyek tersebut, disinyalir hingga saat ini tidak terdapat atau belum memiliki izin lingkungan serta tidak dilengkapi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) atau UKL-UPL.
Karena itu, atas nama organisasi yang selama ini peduli terhadap upaya perjuangan untuk perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, Walhi Sumsel, menurut dia, melaporkan terjadi dugaan pidana terhadap pelaksanaan kedua proyek itu.
Walhi : Alih Fungsi RTH adalah Pidana

Hal itu sebagaimana tertuang di dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 73 ayat (1) dan (2), serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 109 dan Pasal 111 ayat (1) dan (2).
Sadat mengemukakan, dalam pengaduan tertulis itu melampirkan pula dokumen-dokumen terkait.
"Saat bersamaan, kami ingin pula menanyakan surat laporan terdahulu dari WALHI Sumsel kepada Polda tanggal 10 Agustus 2011 perihal Pengaduan/Laporan dugaan aktivitas illegal Pertambangan Galian Golongan C, di sekitar Kecamatan Rambutan," katanya.
Menurut dia, pengaduan/laporan itu diterima oleh AKP Hendry A pada 15 Agustus 2011, yang hingga saat ini belum ada respon, informasi, jawaban atau pun klarifikasi dari Polda setempat. (T.B014)
Sumber : sumsel.antaranews.com
Selengkapnya...

Selasa, November 15, 2011

SEA Games Ke XXVI Paling Kacau

KabarIndonesia -  SEA Games ke XXVI yang di selenggarakan di Indonesia, Palembang dan Jakarta, sebagai tuan rumah penyelenggara .Merupakan SEA Games Paling Buruk sepanjang sejarah perhelatan event olahraga. Berita miring soal kacaunya SEA Games di Palembang di muat beberapa media local,nasional bahkan di Negara peserta SEA Games.

Salah satunya seperti diberitakan Koran Singapura Straits Times melaporkan keracunan makanan melanda para pemain sepak bola dari Singapura, Malaysia, Kamboja dan Indonesia, yang menginap di hotel berbintang di Jakarta.

Harian Philipina, Daily Inquirer. Dalam beritanya Daily mengutip komentar ofisial  dari Filipina yang menyatakan SEAGames XXVI 2011 merupakan event "paling kacau" sepanjang sejarah. Terlebih lagi ketika menyinggung parahnya soal penginapan dan transportasi.

Kemudian ketika obor SEA Games tiba di Palembang, koresponden AFP menyaksikan ribuan pekerja masih bekerja keras di beberapa tempat termasuk untuk menyelesaikan pengaliran air (drainage).   Di Jakarta, sekitar 500 kilometer dari Palembang, sekitar 12.000 atlet, ofisial dan media akan berlalu-lalang, belum lagi ditambah ribuan penonton. Masalah kemacetan lalu lintas jadi hambatan utama, sehingga para siswa sekolah diliburkan. Tapi itu kelihatannya tidak menyelesaikan masalah.

Sementara itu Thailand mengkritik penyelenggaraan SEA Games di dua kota yaitu Jakartadan Palembang."Menggelar even ini di dua kotaadalah melawan piagam SEA Games yang berusaha mempromosikan kebersamaan di antara para partisipan," sindir Charoen Wattanasin, wakil presiden Komite Olimpiade Nasional Thailand sebagaimana dikutip Bangkok Post.

Menurut Koran lokal dan nasional "kota penyelenggara tampaknya tak siap untuk perhelatan ini dengan komunikasi dan kerja sama yang buruk antara Jakarta dan Palembang."Prof Charoen, yang juga anggota Dewan SEA Games, mengatakan itu adalah akibat campur tangan politisi yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi.

Selain itu Gerakan go green yang dicanangkan kepanitiaan SEAGames Sumatera Selatan hanya menjadi isapan jempol belaka, ratusan kendaraan roda dua dan empat dengan leluasa berlalu lalang di Kompleks Jakabaring Sport City (JSC).Sehingga, jalan di kawasan depan Venue Aquatik seperti pasar

Penanggung Jawab Aset Provinsi Sumsel di Jakabaring, Rusli Nawi, membenarkan penerapaan "eco green" di Komplek Olahraga Jakabaring telah bobol. "Memang sudah bobol. Kami tidak dapat mengendalikannya lagi, karena kekurangan personel.KegiatanSEA Games ini sangat besar, sementara pengendalian hanya mengandalkan Satgas Jakabaring saja," ujar dia.

Dia menerangkan, terdapat lima pintu yang dapat dilalui pengunjung untuk masuk Komplek Olahraga Jakabaring itu."Untuk dua pintu pada gerbang utama memang bisa diawasi secara ketat, tapi untuk tiga pintu lainnya yang merupakan jalan alternatif sangat sulit. Apalagi jumlah petugas kepolisian yang membantu sangat sedikit," ujar dia.

Dia pun mengharapkan,Panitia PelaksanaSEA Games Indonesia (InaSOC) untuk segera mengatasi permasalahan itu."Banyak aset Pemprov Sumsel di dalam Komplek Olahraga Jakabaring itu, jika dibebaskan seperti ini apa InaSOC mau bertanggung jawab bila ada yang rusak. Seharusnya dilakukan penambahan personel untuk menerapkan `eco green`," ujar dia.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, mengingatkan bahwa penerapan ketentuan "eco green" tersebut harus dikontrol dan diawasi secara ketat serta perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.

"Tidak bisa seenaknya mengklaim SEA Games di Palembang ini sebagai ramah lingkungan, tapi tidak jelas penerapan ketentuan dan lembaga yang mengesahkannya," kata dia. Ia menilai, penerapan SEA Games yang ramah lingkungan itu hendaknya tidak sekadar slogan, tapi benar-benar dijalankan dalam praktik di lapangan secara utuh, katanya.

Sumber : http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=2&jd=SEA+Games+Ke+XXVI+Paling+Kacau&dn=20111114141301 
Selengkapnya...

Minggu, November 13, 2011

Bebas kendaraan bermotor Jakabaring cuma berumur sehari


Palembang (ANTARA News) - Kawasan "Eco Green" atau ramah lingkungan di Komplek Olahraga Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan sudah "jebol" pada hari kedua pelaksanaan SEA Games XXVI, Sabtu.

Komplek Olahraga Jakabaring yang ditetapkan hanya boleh dilaluui kendaraan berbahan bakar gas (BBG) selama perhelatan SEA Games itu--untuk memecahkan rekor pelaksanaan SEA Games yang ramah lingkungan--telah dimasuki sejumlah kendaraan berbahan bakar minyak/bensin (BBM) sejak Sabtu siang.

Pantauan di lokasi tersebut, semula hanya beberapa kendaraan saja, tapi menjelang sore sudah seperti tidak terkendali lagi.

Beberapa arena terlihat mulai padat dengan kendaraan bermotor berbahan bakar BBM, seperti areal parkir voli pantai, Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, arena menembak, Gedung Olahraga Ranau, dan Gedung Olahraga Dempo.

Malahan satu unit mobil Gegana Polda Sumsel terlihat terparkir di Gedung Ranau Jakabaring yang merupakan arena senam, sejak siang.

Para pengunjung menggunakan kendaraan ber-BBM itu, memanfaatkan akses jalan alternatif di belakang dan samping Komplek Olahraga Jakabaring Palembang yang tidak dijaga oleh petugas.

Para pengunjung memanfaatkan jalan di samping Gedung Bank SumselBabel dan di samping arena bisbol.

Sedangkan akses jalan utama melalui gerbang utama tetap memberlakukan ketentuan "eco green" yang melarang kendaraan bermotor ber-BBM masuk.

Selain itu, para pengunjung yang juga menggunakan kendaraan roda dua, terlihat memanfaatkan area parkir di badan jalan menuju stadion.

Padahal, panitia pelaksana menyediaan areal parkir di beberapa tempat dengan luas mencapai 3 hektare.

Penanggung Jawab Aset Provinsi Sumsel di Jakabaring, Rusli Nawi, membenarkan penerapaan "eco green" di Komplek Olahraga Jakabaring telah bobol.

"Memang sudah bobol. Kami tidak dapat mengendalikannya lagi, karena kekurangan personel. Kegiatan SEA Games ini sangat besar, sementara pengendalian hanya mengandalkan Satgas Jakabaring saja," ujar dia.

Dia menerangkan, terdapat lima pintu yang dapat dilalui pengunjung untuk masuk Komplek Olahraga Jakabaring itu.

"Untuk dua pintu pada gerbang utama memang bisa diawasi secara ketat, tapi untuk tiga pintu lainnya yang merupakan jalan alternatif sangat sulit. Apalagi jumlah petugas kepolisian yang membantu sangat sedikit," ujar dia.

Dia pun mengharapkan, Panitia Pelaksana SEA Games Indonesia (InaSOC) untuk segera mengatasi permasalahan itu.

"Banyak aset Pemprov Sumsel di dalam Komplek Olahraga Jakabaring itu, jika dibebaskan seperti ini apa InaSOC mau bertanggung jawab bila ada yang rusak. Seharusnya dilakukan penambahan personel untuk menerapkan `eco green`," ujar dia.

Rahman Hakim, salah seorang pengunjung mengatakan, jebolnya "eco green" itu karena masyarakat Kota Palembang belum memiliki semangat disiplin mentaati peraturan.

"Jika dikendorkan pengamanannya maka semua akan melanggar, termasuk panitia pelaksana yang sudah membawa sepeda motor atau mobil ke dalam stadion," ujar dia.

Dia pun menyayangkan, kurangnya kesadaran masyarakat itu.

"Memang sulit mengubah pola pikir masyarakat kita. Padahal SEA Games merupakan ajang internasional, sehingga Palembang menjadi pusat perhatian dunia," ujar karyawan perusahaan swasta ini.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, mengingatkan bahwa penerapan ketentuan "eco green" tersebut harus dikontrol dan diawasi secara ketat serta perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.

"Tidak bisa seenaknya mengklaim SEA Games di Palembang ini sebagai ramah lingkungan, tapi tidak jelas penerapan ketentuan dan lembaga yang mengesahkannya," kata dia.

Ia menilai, penerapan SEA Games yang ramah lingkungan itu hendaknya tidak sekadar slogan, tapi benar-benar dijalankan dalam praktik di lapangan secara utuh.
Selengkapnya...

S. Sumatra railway will harm protected forests: Walhi

The Indonesian Forum for the Environment (Walhi) on Friday rejected South Sumatra administration’s plan to construct a 273-kilometer railway through the province, saying it will destroy up to 709 hectares of forests.

The railway is expected to help transport coal produced by state miner PT Bukit Asam, from Tanjungenim to Tanjungcarat, both in South Sumatra, and is planned to run through Muaraenim, Musi Banyuasin and Banyuasin regencies.

The plan was initiated by PT Adani Sumsel, a subsidiary of PT Adani Global India, which specializes in coal transportation.

Walhi South Sumatra executive director Anwar Sadat said in Palembang on Friday that along with the railway construction project, a special port for coal, covering a 107-hectare area, was also planned.

Anwar said the construction of both the railway and the port would potentially harm 709.25 hectares of forests and affect other surrounding areas, some of which are part of the Air Telang protected mangrove forest reserve.

The project could also lead to the exploitation of coal in the province, since it was expected to help boost coal production from 12 million tons per year up to 50 million tons per year after the targeted completion of the project in 2013, he said.

Anwar further said that the production increase was meant to support exports to countries such as Thailand, Singapore and Malaysia, but not local needs.

“Walhi South Sumatra rejects the plan, and urges the government to immediately carry out efforts to save coal that belongs to South Sumatra, and at the same time save the forests and the people,” Anwar said as quoted by Antara.

Selengkapnya...

Sabtu, November 12, 2011

Berebut lahan Demi Batubara

Truk pengangkut batubara hilir mudik melintasi desa yang semula berbasis ekonomi pertanian-perkebunan ini. Warga Desa Darmo pun sejak dua tahun terakhir memegang uang.
Namun, sampai kapan rezeki ini bertahan? Sawah dan tanaman karet pun berganti lubang-lubang galian sedalam 2 hingga 13 meter di Desa Darmo, Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Tadinya, masyarakat enggan mengambil batubara karena menganggap kandungan energi bumi ini sebagai aset negara yang harus dijaga. Mereka kaget mengetahui perusahaan swasta memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) yang mencakup desa tersebut.
”Jangankan kebun, rumah kami pun ternyata masuk IUP perusahaan itu,” ujar Yandri (32), warga Desa Darmo, Rabu (12/10).
Masyarakat begitu kecewa. Niat baik menjaga batubara berubah dalam sekejap. Penolakan atas kehadiran swasta pun tumbuh. Rakyat menggali sendiri lahan mereka dan mengambil batubara.
Kompas mendapati begitu luas galian batubara di Desa Darmo. Setidaknya 100 hektar kebun karet telah beralih menjadi lubang-lubang sedalam 2 hingga 13 meter. Setiap lubang yang hanya berjarak 1 hingga 2 meter itu berisi hingga lima buruh penggali, yang menggunakan linggis untuk menggerus lapisan hitam batubara.
Yandri, yang bergabung dalam Asosiasi Masyarakat Penambang Batubara (Asmara) Muara Enim, menyebutkan, 7.824 petani beralih menjadi penggali batubara. Ribuan orang lagi menjadi tukang ojek pengantar hasil galian ke dalam truk, sopir pengangkut, dan mandor. Penjual makanan dan minuman marak mengitari area galian.
Satu lokasi galian rata-rata menghasilkan 1.000-1.500 karung batubara per hari. Satu karung rata-rata berisi 1 kuintal. Oleh karena itu, setiap buruh tambang memperoleh hasil yang jauh lebih besar dibandingkan penghasilan buruh sawah atau kebun karet. Penggali yang menyetor 50-100 karung batubara mendapat upah Rp 3.000 per karung. Jadi Rp 150.000-Rp 300.000 per hari. Kuli angkut dan tukang ojek mendapat Rp 1.000 per karung. Pemilik lahan kebagian Rp 2.000 per karung yang dihasilkan dari tanah miliknya.
Apa boleh buat, kandungan batubara begitu menyilaukan banyak orang. Hery (50), misalnya, nekat jadi buruh tambang, meninggalkan pekerjaannya sebagai petugas satpam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Penggali lain, Darson (38), mengatakan, buruh tambang tak membutuhkan keterampilan khusus. Semula ia petani kopi dari Way Tenung, Lampung Barat. Bersama seorang teman, Darson meninggalkan kebun dan keluarga setelah gagal panen dua tahun berturut-turut.
Sejumlah petani karet lokal pun meninggalkan kebun dan menjadi buruh tambang. Syahwal (49) dari Desa Lubuk Raman, Kecamatan Rambang Dangku, menceritakan, sudah 350 hektar kebun karet di Tanjung Enim menjadi IUP perusahaan galian batubara. Kebun karet ditinggalkan.
”Masyarakat diiming-imingi ganti rugi sehingga mau menyerahkan lahan,” ujar Syahwal. Sudah dua kali Syahwal menolak bujukan untuk menyerahkan 9 hektar kebun karetnya menjadi tambang batubara skala besar.
Dampak penggalian batubara sudah muncul. Alur sungai di Desa Darmo rusak parah karena berada tepat di tengah areal galian. Aliran sungai terhenti dan hanya menyisakan sejumlah kubangan berwarna kehitaman.
Usaha galian batubara yang tumbuh pesat di Tanjung Enim kini seolah bom waktu. Bukan cuma di Desa Darmo, pertambangan dan kerusakan lingkungan juga menjalar ke desa-desa sekitarnya, seperti Tanjung Agung, Gunung Megang, dan Rambang Dangku.
Dan tak satu pun usaha rakyat itu berizin. Itu sebabnya, Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Muara Enim Febriansyah Nang Ali membenarkan bahwa pertambangan itu telah menggerakkan perekonomian masyarakat, tetapi pihaknya menyebut pertambangan tersebut sebagai tambang liar karena tak memberikan pemasukan pajak.
Di sisi lain, kawasan galian rakyat juga tumpang tindih dengan izin usaha penambangan swasta. Ada 68 perusahaan swasta mengantongi IUP dari pemerintah kabupaten setempat. Sementara tambang rakyat, yang marak sejak 2010, juga amat mengkhawatirkan sebab berlangsung tanpa prosedur keamanan manusia dan kajian lingkungan. ”Sudah tiga petambang tewas karena tanah longsor,” kata dia.
Reklamasi pascatambang tak pernah dilakukan. Akibatnya, areal bekas tambang tak bisa ditanami hingga puluhan tahun mendatang karena kadar asam tanah sangat tinggi. Selain merusak alur sungai, tambang di dekat aliran air pun menjadi pencemaran baru karena sisa batubara terbawa ketika turun hujan.
Juni 2011, Pemerintah Kabupaten Muara Enim mengeluarkan surat edaran penghentian sementara semua tambang rakyat. Namun, nyatanya, penambangan liar terus menjalar
 
Sumber : Kompas Cetak 
Selengkapnya...

Jumat, November 11, 2011

Walhi Tolak Rel KA Batubara


Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan secara tegas menolak rencana pembangunan rel kereta api dan dermaga khusus batu bara di daerahnya, karena dinilai akan berdampak merusak lingkungan dan menguras kekayaan energi daerahnya.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat, didampingi Stafnya, Hadi Jatmiko, di Palembang, Jumat, menanggapi hasil pertemuan Komisi AMDAL yang diadakan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel, untuk membahas rencana pembangunan rel KA dan dermaga khusus batu bara di daerah ini.

Pembangunan rel KA itu diprakarsai oleh PT Adani Sumsel yang didirikan pada Oktober 2010, merupakan anak perusahaan PT Adani Global India yang bergerak di bidang usaha dan produksi jasa pertambangan, berupa pengangkutan batu bara.

"Walhi Sumsel menyatakan menolak rencana tersebut, dan mendesak pemerintah segera melakukan upaya untuk menyelamatkan batu bara milik Sumsel, sekaligus berarti menyelamatkan hutan dan rakyat di daerah ini," kata Sadat pula.

Berdasarkan analisis Walhi Sumsel, rencana pembangunan rel KA sepanjang 273 km yang akan digunakan untuk mengangkut batu bara dari Tanjungenim ke Tanjungcarat, Banyuasin yang mayoritas merupakan hasil tambang PT Bukit Asam (PTBA) itu, akan melintasi Kabupaten Muaraenim, Musi Banyuasin dan Banyuasin, diikuti dengan pembangunan dermaga khusus batu bara seluas 107 hektare, berpotensi merusak kawasan hutan produksi dan hutan lindung Air Telang (hutan mangrove) dengan total luas mencapai 709,25 ha.

Hal tersebut artinya akan memperparah kerusakan hutan yang ada di Sumsel saat ini dari 3,7 juta ha luas kawasan hutan tersisa, dengan kondisinya yang masih baik tidak lebih dari 1 juta ha.

Sisanya, menurut Sadat, telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, hutan tanaman industri, illegal logging, dan pembangunan lainnya.

Rencana ini juga akan semakin mempercepat kehilangan kekayaan alam batu bara yang terkandung dalam perut Bumi Sriwijaya, khususnya di kawasan pertambangan batu bara yang ada di Muaraenim dan Lahat, kata dia.

Selama ini produksi rata rata batu bara Sumsel hanya 12 juta ton per tahun, dengan dibangun rel KA dan dermaga khusus batu bara yang ditargetkan selesai pada 2013 nanti, produksi akan ditingkatkan menjadi 50 juta ton per tahun.

Namun menurut Sadat, hasil batu bara itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi negara lain, seperti India, Thailand, Singapura, Malaysia dan lainnya.

Padahal kondisi energi di daerah penghasilnya, yaitu Sumsel, justru masih terus mengalami krisis, ujar dia pula.

Sedikitnya ada 600 desa di Sumsel yang sampai saat ini belum menikmati aliran listrik dan dalam kondisi byar pet atau mati-hidup yang terus saja dirasakan oleh masyarakat Sumsel, kata dia.

Dia menilai, kebijakan itu bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Hadi Jatmiko menambahkan, selain itu rencana tersebut juga akan menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan hidup di Sumsel secara cepat dan merata, karena setidaknya dalam waktu maksimal 20 tahun seluruh potensi kekayaan alam batu bara Sumsel akan habis terkeruk.

Hasilnya, kata dia, akan menyisakan ratusan bahkan ribuan lubang lubang tambang dan danau-danau beracun yang berada di lahan seluas 66 ribu hektare, khususnya pada area izin usaha pertambangan (IUP) yang dikuasai oleh PTBA, seperti yang terjadi Kalimantan khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Karena itu, kata dia, Walhi Sumsel secara tegas menolak rencana pembangunan rel KA dan dermaga khusus batu bara dan segala proses yang saat ini sedang dilakukan oleh pihak perusahaan, yaitu pembuatan AMDAL dan pengajuan pinjam pakai kawasan hutan seluas 709,25 ha.

Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksploitasi secara besar besaran terhadap kekayaan alam batu bara di Sumsel dengan melakukan pencabutan terhadap izin-izin usaha pertambangan yang saat ini sedikitnya terdapat 278 IUP tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Sumsel.

Walhi Sumsel juga mendesak Menteri Kehutanan untuk menolak segala bentuk pengalihfungsian, pinjam pakai dan perubahan status kawasan hutan yang saat ini telah diajukan oleh Pemprov Sumsel dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat, karena faktanya tidak ada pengajuan tersebut yang diperuntukkan perbaikan nasib rakyat.

"Semuanya hanya untuk memfasilitasi mayoritas kebutuhan lahan bagi industri pertambangan, perkebunan, infrastruktur jalan, rel KA, dermaga khusus batu bara dan industri kehutanan," ujar Hadi lagi. (B014)

Sumber :
Selengkapnya...

Rabu, November 09, 2011

Selamatkan Batubara Sumsel,Untuk Selamatkan Hutan dan Rakyat


Siaran Pers WALHI Sumsel

“ Selamatkan Batubara Sumsel, untuk selamatkan Hutan dan rakyat“


Menyikapi pertemuan komisi AMDAL yang diadakan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel pada hari ini Kamis, 3 Nopember 2011 guna membahas rencana pembangunan Rel Kereta Api dan Dermaga Khusus Batubara yang diprakarsai oleh PT. ADANI SUMSEL yang didirikan pada Oktober 2010, merupakan anak perusahaan PT. ADANI GLOBAL Milik India yang bergerak di bidang usaha dan produksi jasa pertambangan, berupa pengangkutan batubara. Dengan ini WALHI Sumsel menyatakan MENOLAK rencana tersebut, dan mendesak Pemerintah segera  melakukan “Selamatkan Batubara Sumsel, untuk selamatkan Hutan dan Rakyat”

Berdasarkan Analisis kami rencana pembangunan Rel Kereta Api sepanjang 273 KM yang akan digunakan untuk mengangkut Batubara dari Tanjung enim yang mayoritas milik PT.Bukit Asam  – Tanjung Carat Banyuasin yang melintasi kabupaten Muara Enim, Musi Banyuasin dan Banyuasin, diikuti dengan pembangunan Dermaga Khusus Batubara dengan Luas 107 Hektar tersebut, Berpotensi merusak kawasan hutan Produksi dan Hutan Lindung air Telang (mangrove) dengan total luas mencapai 709,25 Hektar.

Hal tersebut artinya memperparah kerusakan hutan yang ada di Sumsel yang saat ini dari 3,7 Juta Hektar luas kawasan Hutan, kondisinya masih baik tidak lebih dari 1 juta Hektar. Sisanya telah dialih Fungsikan menjadi perkebunan Kelapa sawit, Pertambangan, Hutan Tanaman Industri, Ilegal logging dan pembangunan lainnya.

Rencana ini juga akan semakin mempercepat hilangnya kekayaan alam Batubara yang terkandung dalam Perut Bumi Sriwijaya, khususnya di kawasan pertambangan batubara yang ada di Muara enim dan lahat.

Selama ini produksi rata rata Sumatera Selatan hanya 12 Juta Ton/Tahun, dengan dibangunnya Rel Kereta dan Dermaga khusus Batubara yang ditargetkan selesai pada 2013 nanti, Produksi akan ditingkatkan menjadi 50 Juta ton/tahun, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan Negara Negara rakus energi seperti India, Thailand, Singapura, Malaysia dan lainnya. Sedangkan kondisi energi didaerah penghasil yaitu Sumsel terus mengalami krisis. Sedikitnya ada 600 desa di Sumsel yang  sampai dengan saat ini belum menikmati Listrik dan kondisi Byar pet yang terus saja dirasakan oleh masyarakat Sumsel. Tindakan ini bertentangan dengan Amanat UUD 45 Pasal 33 ayat 3, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan di pergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Selain itu rencana ini juga akan menyebabkan terjadinya kerusakan Lingkungan hidup di Sumsel secara cepat dan merata, karena setidaknya dalam waktu maksimal 20 Tahun seluruh Potensi kekayaan alam batubara Sumsel akan habis terkeruk dan menyisakan ratusan bahkan ribuan Lubang lubang tambang dan danau danau beracun yang berada di lahan seluas 66 ribu hektar khususnya di Izin Usaha Produksi (IUP) yang kuasai oleh PT. Bukit Asam, seperti yang terjadi Kalimantan khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.

Atas dasar hal itu maka kami Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan menyatakan Sikap :

  1. Menolak rencana pembangunan Rel Kereta Api dan Dermaga Khusus Batubara dan segala proses yang saat ini sedang dilakukan oleh Pihak Perusahaan yaitu Pembuatan Amdal dan Pengajuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Seluas 709,25 Hektar.
  2. Pemerintah harus segera Hentikan Rencana Eksploitasi secara besar besaran terhadap Kekayaan Alam batubara di Sumatera Selatan dengan melakukan pencabutan terhadap Izin Izin Usaha Pertambangan yang saat ini sedikitnya terdapat 278 IUP yang tersebar di seluruh Kabupaten Kota Sumatera selatan.
  3. Mendesak Menteri Kehutanan untuk menolak segala bentuk pengalih fungsian,pinjam pakai dan perubahan Status kawasan Hutan, yang saat ini telah diajukan oleh Pemerintah Sumatera Selatan dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat, karena faktanya tidak ada pengajuan tersebut yang di peruntukan untuk rakyat. Semuanya hanya untuk memfasilitasi mayoritas kebutuhan lahan bagi Industri Pertambangan, Perkebunan, Infarstruktur Jalan,Rel Kereta,Dermaga Khsus Batubara dan Industri Kehutanan.


Palembang, 9 Nopember 2011
Eksekutif Daerah Walhi Sumsel

 DTO,

Anwar Sadat
Eksekutif Diretur

Kontak Person :
Anwar Sadat : 0812 785 5725
Hadi Jatmiko : 0812 731 2042
Selengkapnya...