Truk pengangkut batubara hilir mudik melintasi desa yang semula berbasis
ekonomi pertanian-perkebunan ini. Warga Desa Darmo pun sejak dua tahun terakhir
memegang uang.
Namun, sampai kapan rezeki ini
bertahan? Sawah dan tanaman karet pun berganti lubang-lubang galian
sedalam 2 hingga 13 meter di Desa Darmo, Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim,
Sumatera Selatan.
Tadinya, masyarakat enggan
mengambil batubara karena menganggap kandungan energi bumi ini sebagai aset
negara yang harus dijaga. Mereka kaget mengetahui perusahaan swasta
memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) yang mencakup desa tersebut.
”Jangankan kebun, rumah kami pun
ternyata masuk IUP perusahaan itu,” ujar Yandri (32), warga Desa Darmo, Rabu
(12/10).
Masyarakat begitu kecewa. Niat
baik menjaga batubara berubah dalam sekejap. Penolakan atas kehadiran swasta
pun tumbuh. Rakyat menggali sendiri lahan mereka dan mengambil batubara.
Kompas mendapati begitu luas galian
batubara di Desa Darmo. Setidaknya 100 hektar kebun karet telah beralih menjadi
lubang-lubang sedalam 2 hingga 13 meter. Setiap lubang yang hanya berjarak 1
hingga 2 meter itu berisi hingga lima buruh penggali, yang menggunakan linggis
untuk menggerus lapisan hitam batubara.
Yandri, yang bergabung dalam
Asosiasi Masyarakat Penambang Batubara (Asmara) Muara Enim, menyebutkan, 7.824
petani beralih menjadi penggali batubara. Ribuan orang lagi menjadi tukang ojek
pengantar hasil galian ke dalam truk, sopir pengangkut, dan mandor. Penjual makanan dan minuman marak
mengitari area galian.
Satu lokasi galian rata-rata
menghasilkan 1.000-1.500 karung batubara per hari. Satu karung rata-rata berisi
1 kuintal. Oleh karena itu, setiap buruh tambang memperoleh hasil yang jauh
lebih besar dibandingkan penghasilan buruh sawah atau kebun karet. Penggali
yang menyetor 50-100 karung batubara mendapat upah Rp 3.000 per karung. Jadi Rp
150.000-Rp 300.000 per hari. Kuli angkut dan tukang ojek mendapat Rp 1.000 per
karung. Pemilik lahan kebagian Rp 2.000 per karung yang dihasilkan dari tanah
miliknya.
Apa boleh buat, kandungan
batubara begitu menyilaukan banyak orang. Hery (50), misalnya, nekat jadi buruh
tambang, meninggalkan pekerjaannya sebagai petugas satpam di Pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta.
Penggali lain, Darson (38),
mengatakan, buruh tambang tak membutuhkan keterampilan khusus. Semula ia petani
kopi dari Way Tenung, Lampung Barat. Bersama seorang teman, Darson meninggalkan
kebun dan keluarga setelah gagal panen dua tahun berturut-turut.
Sejumlah petani karet lokal pun
meninggalkan kebun dan menjadi buruh tambang. Syahwal (49) dari Desa Lubuk
Raman, Kecamatan Rambang Dangku, menceritakan, sudah 350 hektar kebun karet di
Tanjung Enim menjadi IUP perusahaan galian batubara. Kebun karet ditinggalkan.
”Masyarakat diiming-imingi ganti
rugi sehingga mau menyerahkan lahan,” ujar Syahwal. Sudah dua kali Syahwal
menolak bujukan untuk menyerahkan 9 hektar kebun karetnya menjadi tambang
batubara skala besar.
Dampak penggalian batubara sudah
muncul. Alur sungai di Desa Darmo rusak parah karena berada tepat di tengah
areal galian. Aliran sungai terhenti dan hanya menyisakan sejumlah kubangan
berwarna kehitaman.
Usaha galian batubara yang tumbuh
pesat di Tanjung Enim kini seolah bom waktu. Bukan cuma di Desa Darmo,
pertambangan dan kerusakan lingkungan juga menjalar ke desa-desa sekitarnya,
seperti Tanjung Agung, Gunung Megang, dan Rambang Dangku.
Dan tak satu pun usaha rakyat itu
berizin. Itu sebabnya, Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Muara
Enim Febriansyah Nang Ali membenarkan bahwa pertambangan itu telah menggerakkan
perekonomian masyarakat, tetapi pihaknya menyebut pertambangan tersebut sebagai
tambang liar karena tak memberikan pemasukan pajak.
Di sisi lain, kawasan galian
rakyat juga tumpang tindih dengan izin usaha penambangan swasta. Ada 68
perusahaan swasta mengantongi IUP dari pemerintah kabupaten setempat. Sementara
tambang rakyat, yang marak sejak 2010, juga amat mengkhawatirkan sebab
berlangsung tanpa prosedur keamanan manusia dan kajian lingkungan. ”Sudah tiga
petambang tewas karena tanah longsor,” kata dia.
Reklamasi pascatambang tak pernah
dilakukan. Akibatnya, areal bekas tambang tak bisa ditanami hingga puluhan
tahun mendatang karena kadar asam tanah sangat tinggi. Selain merusak alur
sungai, tambang di dekat aliran air pun menjadi pencemaran baru karena sisa
batubara terbawa ketika turun hujan.
Juni 2011, Pemerintah Kabupaten Muara Enim mengeluarkan surat edaran
penghentian sementara semua tambang rakyat. Namun, nyatanya, penambangan liar
terus menjalar
Sumber : Kompas Cetak
0 komentar:
Posting Komentar