WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, November 12, 2011

Berebut lahan Demi Batubara

Truk pengangkut batubara hilir mudik melintasi desa yang semula berbasis ekonomi pertanian-perkebunan ini. Warga Desa Darmo pun sejak dua tahun terakhir memegang uang.
Namun, sampai kapan rezeki ini bertahan? Sawah dan tanaman karet pun berganti lubang-lubang galian sedalam 2 hingga 13 meter di Desa Darmo, Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Tadinya, masyarakat enggan mengambil batubara karena menganggap kandungan energi bumi ini sebagai aset negara yang harus dijaga. Mereka kaget mengetahui perusahaan swasta memperoleh izin usaha pertambangan (IUP) yang mencakup desa tersebut.
”Jangankan kebun, rumah kami pun ternyata masuk IUP perusahaan itu,” ujar Yandri (32), warga Desa Darmo, Rabu (12/10).
Masyarakat begitu kecewa. Niat baik menjaga batubara berubah dalam sekejap. Penolakan atas kehadiran swasta pun tumbuh. Rakyat menggali sendiri lahan mereka dan mengambil batubara.
Kompas mendapati begitu luas galian batubara di Desa Darmo. Setidaknya 100 hektar kebun karet telah beralih menjadi lubang-lubang sedalam 2 hingga 13 meter. Setiap lubang yang hanya berjarak 1 hingga 2 meter itu berisi hingga lima buruh penggali, yang menggunakan linggis untuk menggerus lapisan hitam batubara.
Yandri, yang bergabung dalam Asosiasi Masyarakat Penambang Batubara (Asmara) Muara Enim, menyebutkan, 7.824 petani beralih menjadi penggali batubara. Ribuan orang lagi menjadi tukang ojek pengantar hasil galian ke dalam truk, sopir pengangkut, dan mandor. Penjual makanan dan minuman marak mengitari area galian.
Satu lokasi galian rata-rata menghasilkan 1.000-1.500 karung batubara per hari. Satu karung rata-rata berisi 1 kuintal. Oleh karena itu, setiap buruh tambang memperoleh hasil yang jauh lebih besar dibandingkan penghasilan buruh sawah atau kebun karet. Penggali yang menyetor 50-100 karung batubara mendapat upah Rp 3.000 per karung. Jadi Rp 150.000-Rp 300.000 per hari. Kuli angkut dan tukang ojek mendapat Rp 1.000 per karung. Pemilik lahan kebagian Rp 2.000 per karung yang dihasilkan dari tanah miliknya.
Apa boleh buat, kandungan batubara begitu menyilaukan banyak orang. Hery (50), misalnya, nekat jadi buruh tambang, meninggalkan pekerjaannya sebagai petugas satpam di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Penggali lain, Darson (38), mengatakan, buruh tambang tak membutuhkan keterampilan khusus. Semula ia petani kopi dari Way Tenung, Lampung Barat. Bersama seorang teman, Darson meninggalkan kebun dan keluarga setelah gagal panen dua tahun berturut-turut.
Sejumlah petani karet lokal pun meninggalkan kebun dan menjadi buruh tambang. Syahwal (49) dari Desa Lubuk Raman, Kecamatan Rambang Dangku, menceritakan, sudah 350 hektar kebun karet di Tanjung Enim menjadi IUP perusahaan galian batubara. Kebun karet ditinggalkan.
”Masyarakat diiming-imingi ganti rugi sehingga mau menyerahkan lahan,” ujar Syahwal. Sudah dua kali Syahwal menolak bujukan untuk menyerahkan 9 hektar kebun karetnya menjadi tambang batubara skala besar.
Dampak penggalian batubara sudah muncul. Alur sungai di Desa Darmo rusak parah karena berada tepat di tengah areal galian. Aliran sungai terhenti dan hanya menyisakan sejumlah kubangan berwarna kehitaman.
Usaha galian batubara yang tumbuh pesat di Tanjung Enim kini seolah bom waktu. Bukan cuma di Desa Darmo, pertambangan dan kerusakan lingkungan juga menjalar ke desa-desa sekitarnya, seperti Tanjung Agung, Gunung Megang, dan Rambang Dangku.
Dan tak satu pun usaha rakyat itu berizin. Itu sebabnya, Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Muara Enim Febriansyah Nang Ali membenarkan bahwa pertambangan itu telah menggerakkan perekonomian masyarakat, tetapi pihaknya menyebut pertambangan tersebut sebagai tambang liar karena tak memberikan pemasukan pajak.
Di sisi lain, kawasan galian rakyat juga tumpang tindih dengan izin usaha penambangan swasta. Ada 68 perusahaan swasta mengantongi IUP dari pemerintah kabupaten setempat. Sementara tambang rakyat, yang marak sejak 2010, juga amat mengkhawatirkan sebab berlangsung tanpa prosedur keamanan manusia dan kajian lingkungan. ”Sudah tiga petambang tewas karena tanah longsor,” kata dia.
Reklamasi pascatambang tak pernah dilakukan. Akibatnya, areal bekas tambang tak bisa ditanami hingga puluhan tahun mendatang karena kadar asam tanah sangat tinggi. Selain merusak alur sungai, tambang di dekat aliran air pun menjadi pencemaran baru karena sisa batubara terbawa ketika turun hujan.
Juni 2011, Pemerintah Kabupaten Muara Enim mengeluarkan surat edaran penghentian sementara semua tambang rakyat. Namun, nyatanya, penambangan liar terus menjalar
 
Sumber : Kompas Cetak 



Artikel Terkait:

0 komentar: