Oleh
Muhammad Fadli
Deputy Direktur Wahana Ligkungan Hidup
Sumatera Selatan
Musibah di Kawasan Situ Gintung Ciputat Tangerang Banten setidaknya telah menelan korban 21 orang meninggal dan 10 orang luka-luka berdasarkan data korban di RS Fatmawati yang dipantau oleh WALHI hingga Jumat (27/3) pukul 20.25 WIB. Sementara sumber lainnya menyebutkan sampai pukul 18.00 WIB, 38 orang meninggal dunia. Sumber lain menyebutkan 65 orang sudah meninggal dunia sampai dengan pukul 22.40 WIB.
Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Cireundeu, Tangerang Selatan, adalah akibat kelalaian pemerintah terhadap perawatan tanggul. Karena itu musibah ini tidak bisa disebut sebagai bencana alam. Dalam pandangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bahwa Musibah di Situ Gintung setidaknya disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, tidak adanya upaya serius pemerintah (Gubernur Banten) dalam pemeliharaan (maintenance) Situ Gintung yang sudah dibangun sejak tahun 1932. Pada bulan November 2008 bencana yang sama namun dalam skala yang lebih kecil sudah pernah terjadi dan sudah pula dilaporkan oleh masyarakat. Namun laporan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah setempat. Sementara jika dilihat dari jumlah situ di Jabotabek yang berjumlah sekitar 193 situ, dengan luas keseluruhan 2.281,90 hektar. Lebih dari separuhnya (± 68%) dalam keadaan rusak. Dengan data ini saja seharusnya pemerintah sudah bisa berbuat banyak untuk menjamin keselamatan warga, tapi hal ini tak pernah dilakukan.
Kedua, alih fungsi kawasan situ menjadi kawasan perumahan, restoran, hotel, tempat pembuangan sampah dan kawasan bisnis lainnya yang terus terjadi tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan faktor keselamatan rakyat (human security). Pemerintah juga telah mengakui hal ini lewat departemen PU pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan situ. Dimana dari total luas situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 ha. Saat ini hanya tinggal 1.462,78 ha saja. Dari jumlah tersebut, hanya 19 situ yang kondisinya baik.
Ketiga, lemahnya koordinasi antar pemerintah di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane. Keempat, tidak tersedianya sistem informasi dan sistim peringatan dini untuk masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa ketika bencana terjadi.
WALHI menyayangkan lemahnya tindakan pencegahan dan penanganan bencana di kawasan situ Gintung. Gubernur Banten dan Departemen Pekerjaan Umum harus dimintai pertanggungjawabann ya. Jika sejak awal Gubernur dan jajaran Pemerintah provinsi Banten sigap dan tanggap mendengar keluhan warga dan mencermati perubahan bentang alam dan kondisi situ gintung, bencana dan jatuhnya korban di pihak masyarakat tak perlu terjadi.
Selain itu juga WALHI mendesak dilakukannya penghentian alih fungsi kawasan situ, DAS dan wilayah tangkapan air (cathment area) lainnya di wilayah Jadebotabek untuk memberi ruang bagi pemulihan kawasan ekologi dan mencegah berulangnya bencana. Segera lakukan restorasi ekologi kawasan situ dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai upaya penyelamatan lingkungan mutlak dilakukan pemerintah. Sistem peringatan dini (early warning system) oleh pemerintah harus segera dibenahi untuk mencegah jatuhnya korban bencana.
Bagaimana dengan Sumsel !!!
Meluasnya area genangan air di setiap musim hujan, dan ancaman munculnya bencana banjir, longsor di beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Selatan yang dibuktikan dengan bertambahnya daerah rawan bencana setiap tahunnya, adalah akibat dari terjadinya kerusakan fungsi ekologis dan menurunnya daya tampung air, serta ketiadaan perhatian serius pemerintah merevitalisasi beberapa kebijakan yang justru berdampak bagi lingkungan.
Berdasarkan data terakhir dari seluruh hutan di Sumsel saat ini, yang kondisinya masih baik dalam artinya belum mengalami kerusakan akibat ulah tangan manusia tersisa 30 persen., luas areal hutan di Sumsel mencapai 3,7 juta hektar. Terdiri dari 539.645 hektar hutan lindung, 711.778 hektar hutan konservasi, dan 2,5 juta hutan hutan produksi. Artinya, berdasar kondisi terakhir, hutan yang tersisa tinggal 1.110.000 hektar. Yang lebih mirisya lagi dari luasan hutan yang tersisa tersebut, saat ini terus berlangsung penghancuran mulai dari adanya illegal logging sampai dengan dikeluarkannya beberapa kawasan hutan untuk dijadikan konsesi perkebunan beberapa perusahaan besar, dan pembangunan infrastruktur mengatasnamakan kepentingan pembangunan dan kepentingan publik.
Kegiatan usaha hutan tanaman industri (HTI), ikut pula menyokong laju percepatan kerusakan hutan alam di Sumsel. Spirit yang dimunculkan, bahwa HTI merupakan jenis usaha guna memulihkan kondisi hutan tidaklah demikian realitasnya. Tercatat hingga saat ini dengan luas lahan investasi HTI di Sumsel yang mencapai 1.103.870 ha, banyak diantaranya berada di dalam kawasan hutan tropis Sumsel. bahkan pada akhir tahun 2006 pada lokasi gambut tebal (feat dome) juga telah dialokasikan menjadi HTI oleh Menteri Kehutanan atas rekomendasi Bupati MUBA dan Gubernur Sumsel seluas 55.150 ha. Sehingga total areal pada kawasan HRGMK yang telah menjadi konsesi HTI adalah seluas 108.945 ha. Ambisi Pemerintah Sumsel yang menargetkan perluasan kebun kelapa sawit pada tahum 2010 yang mencapai 900 ribu hektar, kiranya telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan dan berubahnya .
Daerah aliran sungai di hulu Sungai Musi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, semakin gundul. Situasi memprihatinkan itu, terutama akibat penebangan liar serta perambahan hutan lindung Bukit Barisan dan kawasan lindung di sempadan sungai untuk membuka lahan pertanian kopi dan palawija. Berdasarkan pemantauan, di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, oleh TIM Susur Sungai Musi Gemapala Wigwam FH Unsri, kondisi daerah aliran sungai (DAS) Sungai Musi di bagian hulu semakin kritis. Kawasan sempadan Sungai Musi di Ulu Musi, Tebing Tinggi (Empat Lawang), Muara Kelingi, dan Muara Lakitan sudah tidak memiliki pepohonan yang besar. kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar, perdu, atau pepohonan kecil. Sebanyak 2,3 juta hektar kawasan lindung milik masyarakat yang umumnya berada di DAS juga tidak ditumbuhi pepohonan besar lagi Akibatnya, erosi di tepian sungai bertambah parah, sedangkan jalur sungai semakin lebar dan dangkal. Belum lagi dibeberapa anak sungai yang mengalir menuju Sungai Musi, air yang mengalir tampak begitu keruh dan kotor akibat beberapa aktivitas perusahaan yang membuang limbahnya di aliran anak sungai musi tersebut.
Reboisasi dan penghijauan dalam program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) yang dilakukan sejak tahun 2004 lalu yang menghabiskan dana Rp. 37,78 milyar lebih tidak tampak hasilnya. Bahkan, beberapa titik yang gundul menciptakan longsor dan erosi yang menggerus jalan, seperti longsor di beberapa titik di jalan raya antara Pendopo-Padang Tepong, Kecamatan Ulu Musi. Kawasan itu juga rawan banjir bandang.. Program gerhan Sumsel menargetkan merehabilitasi 109.730 Hektar gagal total karena program ini dibumbuhi oleh beberapa kasus korupsi baik dari pemenang tender maupun pemda yang menjadi fasilitatornya. Bukan rahasia lagi kalau tender-tender yang dimenangkan para pihak harus juga dapat menyetor kepada fasilitator.
Belum lagi proyek Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terhadap kawasan Tanjung Api-Api yang membuka kawasan Hutan Mangrove seluas 600 H2. Walaupun proses izin yang didapatkan melalui proses klausul yang tidak halal (istilah hukum) dan tentunya dianggap suatu perbuatan melanggar hukum karena adanya gravitasi. Terus akan dilaksanakan, sedangkan kita tahu dibeberapa provinsi lain sedang galak-galaknya untuk mengkonservasi kawasan pantainya dengan hutan mangrove untuk mencegah naiknya air laut ke daratan dan mencegah Tsunami. Kita ketahui bahwa Hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang dijadikan sebagai benteng terakhir masuknya air ke daratan, juga berfungsi sebagai ekosistem bagi organisme ikan dan beberapa hewan laut lainnya. Kita tidak tahu apa yang ada dibenak pemerintah, lebih mementingkan investasi yang masuk ataukah hak hidup bagi para manusia yang mendiami wilayah tersebut.
Bagaimana dibagian hilir, hancurnya kawasan Hulu DAS Sungai Musi diperparah lagi dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kota Palembang dengan memberikan keleluasaan bagi para pengembang perumahan untuk memanfaatkan lahan rawa sebagai areal pembangunan perumahan. Dampak yang telah dirasakan saat ini di beberapa titik penimbunan rawa terbaru antara lain ada di jalan Soekarno-Hatta, sebelah Hotel Novotel, jalan R Sukamto, di belakang lapangan golf Kenten, Perumnas sako dan beberapa kawasan lain merupakan areal yang menjadi langganan banjir setiap musim penghujan.
Keluarnya Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa lebih mengedepankan bagaimana Pemerintah Kota Palembang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dimana didalamnya mengatur besaran perhektar yang didapatkan pemkot dari pengembang apabila ingin memanfaatkan rawa, untuk luas 0- 1.000 m2 dengan jarak 0-100 m dari daerah milik jalan (DMJ) biayanya sebesar Rp10 juta dan untuk jarak dari DMJ di atas 100 meter sebesar Rp5 juta.Sementara, lanjut dia, untuk luas rawa di atas 1.000 m2 dengan luas 1.000-5.000 m2 biaya Rp5 juta, luas 5.000-10.000 m2 biaya Rp15 juta, luas 10.000รข€“20.000 m2 biaya 35 juta, dan di atas 20.000 m2 sebesar Rp50 juta.
Tindakan yang dilakukan kepada pengusaha, bukan hal yang substantive, yaitu sudahkan para pengembang mendapatkan IRR, sedangkan hal yang penting melakukan pengawasan terhadap pengembang yang telah mendapatkan izin, agar mereka membuat saluran dan pembuangan air terakhir yang layak yang tidak berdampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar tidak pernah dilakukan. Hal inilah yang berakibat setelah perumahan baru berdiri air akan menggenangi pemukiman masyarakat yang terdapat disekitar perumahan tersebut.
Berkaca pada perda kota Palembang sebelumnya yaitu Perda No.13 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa. Pada Perda No.5 Tahun 2008, Pemerintah Kota Palembang juga menambahkan porsi bagi pengembang untuk menggarap lebih banyak lagi rawa. Pada Perda 13 tahun 2003, rawa yang dapat dibangun hanya seluas 1000 M2 , sedangkan pada Perda No.5 Tahun 2008 pemerintah mengizinkan pengembang untuk membuka rawa diatas 20.000 M2. Nampak jelas bahwa Perda yang dibuat hanya memikirkan bagaimana pemerintah Kota Palembang dapat menmbah PAD-nya tanpa memikirkan ekologi kawasan tersebut.
Dari fakta hulu dan hilir yang terus semakin parah dan juga fakta kerugian yang terus melanda masyarakat dari banjir dan longsor yang terus terjadi, tanpa adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah daerah menyangkut masalah lingkungan, bukan tidak mungkin Palembang yang merupakan daerah hilir lambat laun akan seperti sediakala dimana seluruh wilayahnya akan tergenang air dan hanya menyisakan beberapa titik wilayah daratan. Apakah hal ini akan terus di diamkan ? menunggu murka alam yang terus menelan korban dan kerugian harta benda.
Perlu solusi tepat dan cepat dalam menyikapi permasalahn ini, dengan membuang seluruh pikiran yang hanya mementingkan keuntungan sesaat, kita harus baerkaca pada pengalaman pahit yang telah terjadi selama ini, berapa nyawa yang harus dikorbankan lagi, apakah dosa-dosa kita pada alam saat ini harus ditanggung anak cucu kita kemudian.
Adapun solusi yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yaitu :
Muhammad Fadli
Deputy Direktur Wahana Ligkungan Hidup
Sumatera Selatan
Musibah di Kawasan Situ Gintung Ciputat Tangerang Banten setidaknya telah menelan korban 21 orang meninggal dan 10 orang luka-luka berdasarkan data korban di RS Fatmawati yang dipantau oleh WALHI hingga Jumat (27/3) pukul 20.25 WIB. Sementara sumber lainnya menyebutkan sampai pukul 18.00 WIB, 38 orang meninggal dunia. Sumber lain menyebutkan 65 orang sudah meninggal dunia sampai dengan pukul 22.40 WIB.
Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Cireundeu, Tangerang Selatan, adalah akibat kelalaian pemerintah terhadap perawatan tanggul. Karena itu musibah ini tidak bisa disebut sebagai bencana alam. Dalam pandangan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bahwa Musibah di Situ Gintung setidaknya disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, tidak adanya upaya serius pemerintah (Gubernur Banten) dalam pemeliharaan (maintenance) Situ Gintung yang sudah dibangun sejak tahun 1932. Pada bulan November 2008 bencana yang sama namun dalam skala yang lebih kecil sudah pernah terjadi dan sudah pula dilaporkan oleh masyarakat. Namun laporan tersebut tidak ditanggapi oleh pemerintah setempat. Sementara jika dilihat dari jumlah situ di Jabotabek yang berjumlah sekitar 193 situ, dengan luas keseluruhan 2.281,90 hektar. Lebih dari separuhnya (± 68%) dalam keadaan rusak. Dengan data ini saja seharusnya pemerintah sudah bisa berbuat banyak untuk menjamin keselamatan warga, tapi hal ini tak pernah dilakukan.
Kedua, alih fungsi kawasan situ menjadi kawasan perumahan, restoran, hotel, tempat pembuangan sampah dan kawasan bisnis lainnya yang terus terjadi tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan faktor keselamatan rakyat (human security). Pemerintah juga telah mengakui hal ini lewat departemen PU pada tahun 2007 yang menyatakan bahwa telah terjadi alih fungsi kawasan situ. Dimana dari total luas situ di Jabodetabek sekitar 2.337,10 ha. Saat ini hanya tinggal 1.462,78 ha saja. Dari jumlah tersebut, hanya 19 situ yang kondisinya baik.
Ketiga, lemahnya koordinasi antar pemerintah di wilayah Jabodetabek untuk memulihkan kawasan hulu dan wilayah tangkapan air, khususnya untuk kawasan DAS Ciliwung dan Cisadane. Keempat, tidak tersedianya sistem informasi dan sistim peringatan dini untuk masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa ketika bencana terjadi.
WALHI menyayangkan lemahnya tindakan pencegahan dan penanganan bencana di kawasan situ Gintung. Gubernur Banten dan Departemen Pekerjaan Umum harus dimintai pertanggungjawabann ya. Jika sejak awal Gubernur dan jajaran Pemerintah provinsi Banten sigap dan tanggap mendengar keluhan warga dan mencermati perubahan bentang alam dan kondisi situ gintung, bencana dan jatuhnya korban di pihak masyarakat tak perlu terjadi.
Selain itu juga WALHI mendesak dilakukannya penghentian alih fungsi kawasan situ, DAS dan wilayah tangkapan air (cathment area) lainnya di wilayah Jadebotabek untuk memberi ruang bagi pemulihan kawasan ekologi dan mencegah berulangnya bencana. Segera lakukan restorasi ekologi kawasan situ dan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai upaya penyelamatan lingkungan mutlak dilakukan pemerintah. Sistem peringatan dini (early warning system) oleh pemerintah harus segera dibenahi untuk mencegah jatuhnya korban bencana.
Bagaimana dengan Sumsel !!!
Meluasnya area genangan air di setiap musim hujan, dan ancaman munculnya bencana banjir, longsor di beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Selatan yang dibuktikan dengan bertambahnya daerah rawan bencana setiap tahunnya, adalah akibat dari terjadinya kerusakan fungsi ekologis dan menurunnya daya tampung air, serta ketiadaan perhatian serius pemerintah merevitalisasi beberapa kebijakan yang justru berdampak bagi lingkungan.
Berdasarkan data terakhir dari seluruh hutan di Sumsel saat ini, yang kondisinya masih baik dalam artinya belum mengalami kerusakan akibat ulah tangan manusia tersisa 30 persen., luas areal hutan di Sumsel mencapai 3,7 juta hektar. Terdiri dari 539.645 hektar hutan lindung, 711.778 hektar hutan konservasi, dan 2,5 juta hutan hutan produksi. Artinya, berdasar kondisi terakhir, hutan yang tersisa tinggal 1.110.000 hektar. Yang lebih mirisya lagi dari luasan hutan yang tersisa tersebut, saat ini terus berlangsung penghancuran mulai dari adanya illegal logging sampai dengan dikeluarkannya beberapa kawasan hutan untuk dijadikan konsesi perkebunan beberapa perusahaan besar, dan pembangunan infrastruktur mengatasnamakan kepentingan pembangunan dan kepentingan publik.
Kegiatan usaha hutan tanaman industri (HTI), ikut pula menyokong laju percepatan kerusakan hutan alam di Sumsel. Spirit yang dimunculkan, bahwa HTI merupakan jenis usaha guna memulihkan kondisi hutan tidaklah demikian realitasnya. Tercatat hingga saat ini dengan luas lahan investasi HTI di Sumsel yang mencapai 1.103.870 ha, banyak diantaranya berada di dalam kawasan hutan tropis Sumsel. bahkan pada akhir tahun 2006 pada lokasi gambut tebal (feat dome) juga telah dialokasikan menjadi HTI oleh Menteri Kehutanan atas rekomendasi Bupati MUBA dan Gubernur Sumsel seluas 55.150 ha. Sehingga total areal pada kawasan HRGMK yang telah menjadi konsesi HTI adalah seluas 108.945 ha. Ambisi Pemerintah Sumsel yang menargetkan perluasan kebun kelapa sawit pada tahum 2010 yang mencapai 900 ribu hektar, kiranya telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan dan berubahnya .
Daerah aliran sungai di hulu Sungai Musi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, semakin gundul. Situasi memprihatinkan itu, terutama akibat penebangan liar serta perambahan hutan lindung Bukit Barisan dan kawasan lindung di sempadan sungai untuk membuka lahan pertanian kopi dan palawija. Berdasarkan pemantauan, di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, oleh TIM Susur Sungai Musi Gemapala Wigwam FH Unsri, kondisi daerah aliran sungai (DAS) Sungai Musi di bagian hulu semakin kritis. Kawasan sempadan Sungai Musi di Ulu Musi, Tebing Tinggi (Empat Lawang), Muara Kelingi, dan Muara Lakitan sudah tidak memiliki pepohonan yang besar. kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar, perdu, atau pepohonan kecil. Sebanyak 2,3 juta hektar kawasan lindung milik masyarakat yang umumnya berada di DAS juga tidak ditumbuhi pepohonan besar lagi Akibatnya, erosi di tepian sungai bertambah parah, sedangkan jalur sungai semakin lebar dan dangkal. Belum lagi dibeberapa anak sungai yang mengalir menuju Sungai Musi, air yang mengalir tampak begitu keruh dan kotor akibat beberapa aktivitas perusahaan yang membuang limbahnya di aliran anak sungai musi tersebut.
Reboisasi dan penghijauan dalam program gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (Gerhan) yang dilakukan sejak tahun 2004 lalu yang menghabiskan dana Rp. 37,78 milyar lebih tidak tampak hasilnya. Bahkan, beberapa titik yang gundul menciptakan longsor dan erosi yang menggerus jalan, seperti longsor di beberapa titik di jalan raya antara Pendopo-Padang Tepong, Kecamatan Ulu Musi. Kawasan itu juga rawan banjir bandang.. Program gerhan Sumsel menargetkan merehabilitasi 109.730 Hektar gagal total karena program ini dibumbuhi oleh beberapa kasus korupsi baik dari pemenang tender maupun pemda yang menjadi fasilitatornya. Bukan rahasia lagi kalau tender-tender yang dimenangkan para pihak harus juga dapat menyetor kepada fasilitator.
Belum lagi proyek Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan terhadap kawasan Tanjung Api-Api yang membuka kawasan Hutan Mangrove seluas 600 H2. Walaupun proses izin yang didapatkan melalui proses klausul yang tidak halal (istilah hukum) dan tentunya dianggap suatu perbuatan melanggar hukum karena adanya gravitasi. Terus akan dilaksanakan, sedangkan kita tahu dibeberapa provinsi lain sedang galak-galaknya untuk mengkonservasi kawasan pantainya dengan hutan mangrove untuk mencegah naiknya air laut ke daratan dan mencegah Tsunami. Kita ketahui bahwa Hutan mangrove merupakan suatu kawasan yang dijadikan sebagai benteng terakhir masuknya air ke daratan, juga berfungsi sebagai ekosistem bagi organisme ikan dan beberapa hewan laut lainnya. Kita tidak tahu apa yang ada dibenak pemerintah, lebih mementingkan investasi yang masuk ataukah hak hidup bagi para manusia yang mendiami wilayah tersebut.
Bagaimana dibagian hilir, hancurnya kawasan Hulu DAS Sungai Musi diperparah lagi dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kota Palembang dengan memberikan keleluasaan bagi para pengembang perumahan untuk memanfaatkan lahan rawa sebagai areal pembangunan perumahan. Dampak yang telah dirasakan saat ini di beberapa titik penimbunan rawa terbaru antara lain ada di jalan Soekarno-Hatta, sebelah Hotel Novotel, jalan R Sukamto, di belakang lapangan golf Kenten, Perumnas sako dan beberapa kawasan lain merupakan areal yang menjadi langganan banjir setiap musim penghujan.
Keluarnya Perda No. 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa lebih mengedepankan bagaimana Pemerintah Kota Palembang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Dimana didalamnya mengatur besaran perhektar yang didapatkan pemkot dari pengembang apabila ingin memanfaatkan rawa, untuk luas 0- 1.000 m2 dengan jarak 0-100 m dari daerah milik jalan (DMJ) biayanya sebesar Rp10 juta dan untuk jarak dari DMJ di atas 100 meter sebesar Rp5 juta.Sementara, lanjut dia, untuk luas rawa di atas 1.000 m2 dengan luas 1.000-5.000 m2 biaya Rp5 juta, luas 5.000-10.000 m2 biaya Rp15 juta, luas 10.000รข€“20.000 m2 biaya 35 juta, dan di atas 20.000 m2 sebesar Rp50 juta.
Tindakan yang dilakukan kepada pengusaha, bukan hal yang substantive, yaitu sudahkan para pengembang mendapatkan IRR, sedangkan hal yang penting melakukan pengawasan terhadap pengembang yang telah mendapatkan izin, agar mereka membuat saluran dan pembuangan air terakhir yang layak yang tidak berdampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar tidak pernah dilakukan. Hal inilah yang berakibat setelah perumahan baru berdiri air akan menggenangi pemukiman masyarakat yang terdapat disekitar perumahan tersebut.
Berkaca pada perda kota Palembang sebelumnya yaitu Perda No.13 Tahun 2003 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian Pemanfaatan Rawa. Pada Perda No.5 Tahun 2008, Pemerintah Kota Palembang juga menambahkan porsi bagi pengembang untuk menggarap lebih banyak lagi rawa. Pada Perda 13 tahun 2003, rawa yang dapat dibangun hanya seluas 1000 M2 , sedangkan pada Perda No.5 Tahun 2008 pemerintah mengizinkan pengembang untuk membuka rawa diatas 20.000 M2. Nampak jelas bahwa Perda yang dibuat hanya memikirkan bagaimana pemerintah Kota Palembang dapat menmbah PAD-nya tanpa memikirkan ekologi kawasan tersebut.
Dari fakta hulu dan hilir yang terus semakin parah dan juga fakta kerugian yang terus melanda masyarakat dari banjir dan longsor yang terus terjadi, tanpa adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah daerah menyangkut masalah lingkungan, bukan tidak mungkin Palembang yang merupakan daerah hilir lambat laun akan seperti sediakala dimana seluruh wilayahnya akan tergenang air dan hanya menyisakan beberapa titik wilayah daratan. Apakah hal ini akan terus di diamkan ? menunggu murka alam yang terus menelan korban dan kerugian harta benda.
Perlu solusi tepat dan cepat dalam menyikapi permasalahn ini, dengan membuang seluruh pikiran yang hanya mementingkan keuntungan sesaat, kita harus baerkaca pada pengalaman pahit yang telah terjadi selama ini, berapa nyawa yang harus dikorbankan lagi, apakah dosa-dosa kita pada alam saat ini harus ditanggung anak cucu kita kemudian.
Adapun solusi yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah, yaitu :
- Segera revisi beberapa kebijakan pemerintah daerah dengan menjadikan Undang-Undang Lingkungan hidup sebagai payung utama dari kebijakan-kebijakan lain, karena selama ini Undang-Undang Lingkungan hanya dijadikan sebagai pelengkap. Dapat kita ambil contoh kebijakan perkebunan, kehutanan, pertambangan dan kebijakan lainnya otomatis akan berimbas pada lingkungan. Jika hanya bertumpuh pada satu Undang Undang yang dijadikan acuan hal inilah yang memberikan jalan keluar bagi setiap perusak lingkungan menghancurkan ekologi. Tentunya selain revisi peraturan undang-undang ini, dalam hal pelaksanaan perlunya pengawasan yang ketat.
- Cukuplah untuk “menghimbau, mengingatkan” pada pelaku perusak lingkungan. Langkah kongrit yang perlu dilakukan adalah dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu, karena fakta yang telah terjadi sudah sangat mengancam bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar.
- Jangan jadikan masyarakat bawah sebagai biang kerok dari permasalahan lingkungan, apakah selama ini pemerintah telah berperan aktif untuk mensosialisasikan perlunya lingkungan yang baik dan sehat, sejauh apakah yang telah dilakukan pemerintah selama ini memperhatikan hak-hak EKOSOB mereka.
- Ingat bahwa bumi ini merupakan titipan anak cucu kita nanti.
0 komentar:
Posting Komentar