WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, April 27, 2009

Palembang Krisis Rawa

Atas nama pembangunan, Palembang kini berada pada titik krisis rawa-rawa. Potensi banjir dan peningkatan temperatur udara membayangi kenyamanan warga. Sementara Perda No 5 Tahun 2008 tentang rawa jusru membuka peluang pengusaha menimbun daerah resapan air sesuka hati.
Pembangunan rumah toko, real estate, pertokoan, dan perkantoran lagi marak di Kota Palembang. Ironisnya, pembangunan itu kebanyakan dilakukan di atas rawa-rawa, yang notebene, berfungsi sebagai daerah resapan air.
Di daerah Sukamaju, Sako, sejauh mata memandang hampir tidak terlihat rawa-rawa. Yang terlihat komplek perumahan. Pengembangan kawasan perumahan masih dilakukan hingga saat ini karena lahan rawa sudah ditimbun tanah merah siap bangun.
Kondisi serupa di kawasan Talangkelapa. Di sepanjang Jl Soekarno-Hatta juga sudah sedikit rawa, berganti bangunan perkantoran atau sudah ditimbun. Bahkan penimbunan tanah sudah tembus ke kawasan Talangkelapa di belakangnya.
Beberapa bangunan menyediakan kolam resapan air. Tetapi sebagian besar tidak memilikinya. Terdapat lahan besar di pinggir jalan yang sudah ditimbun dengan menyisakan satu kolam seukuran 100 meter persegi penuh air bewarna coklat. Lahan sudah dipagar dan kemungkinan kolam bakal ditimbun pula oleh pemiliknya.
Di atas lahan resapan air di wilayah Kecamatan Kemuning banyak berdiri pertokoan. Di Seberang Ulu kawasan Jakabaring, usaha real estate laris manis. Tidak hanya perumahan, tanah juga ditawarkan secara kredit.
Tinggal 25 PersenSripo tidak mendapat data terbaru luas rawa dari instansi pemerintahan di Kota Palembang. Yang ada data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel. Itu pun tahun 2003 lalu, yakni seluas 11.750,50 hektare.
Manajer Advokasi Walhi Sumsel, Yuliusman, mengatakan, luas rawa di Palembang 200 kilometer persegi (50 persen dari luas Palembang 400,061 Km persegi) susut menjadi 105 kilometer persegi atau tinggal 25 persen dari luas Kota Palembang. Ini belum termasuk dampak pembangunan di Palembang dalam enam tahun terakhir.
Letak geografis Palembang pada ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut dengan pengaruh pasang surut antara 3-5 meter. Kondisi ini memosisikan Palembang rawan banjir. Lebih dari 20 kawasan kerap banji. Paling parah di Sekip Bendung.
Air pasang setinggi pinggang orang dewasa di kawasan perumahan penduduk Kelurahan 9 Ilir, November 2008 lalu. Luapan air juga menggenangi Kelurahan 11 Ilir. Warga mengatakan, banjir setinggi itu baru dua tahun terakhir terjadi.
Pasang Sungai Musi terulang pada Desember 2008. Kali ini imbasnya lebih luas. Rumah-rumah warga yang berada dekat pinggir Musi dan anak-anak sungai terendam. Air juga meluber ke badan jalan.
Catatan Walhi Sumsel, hampir tiap tahun terjadi peningkatan volume air pasang ke darat.
“Sepanjang tahun 2009 telah terjadi 49 kali banjir. Ini bahaya. Hujan setengah jam saja masyarakat resah. Penimbunan rawa dengan dalih pembangunan menjadikan pemukiman warga sebagai daerah buangan air,” kata Yulius.
Tanpa disadari, penimbunan rawa berdampak pula pada peningkatan temperatur udara di Kota Palembang. Menurut Fitri Agustian, dosen Jurusan Kelautan Unsri, rawa yang seyogianya meresap panas matahari menjadi tidak berfungsi.
“Banyaknya timbunan membuat uap panas matahari terpantul kembali. Itu menyebabkan suhu udara menjadi lebih panas,” katanya.
Pentingkan PADPerda No 5 Tahun 2008 tentang Pembinaan dan Retribusi Pengendalian serta Pemanfaatan Rawa lebih mengedepankan bagaimana Pemerintah Kota Palembang meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda mengatur besaran per hektare yang didapatkan pemkot dari pengembang apabila ingin memanfaatkan rawa.
Untuk luas 0- 1.000 meter persegi dengan jarak 0-100 m dari daerah milik jalan (DMJ) biayanya sebesar Rp 10 juta. Untuk jarak dari DMJ di atas 100 meter sebesar Rp 5 juta. Untuk luas rawa di atas 1.000 m2 dengan luas 1.000-5.000 meter persegi biaya Rp 5 juta, luas 5.000-10.000 meter persegi biaya Rp 15 juta, luas 10.000-20.000 meter persegi biaya 35 juta, dan di atas 20.000 meter persegi sebesar Rp 50 juta.
Menurut Deputi Direktur Walhi Sumsel Muhammad Fadli tindakan yang dilakukan kepada pengusaha bukan hal yang substantif. Para pengembang mendapatkan Izin Retribusi Rawa (IRR). Seharusnya, hal terpenting adalah mengawasi pengembang yang telah mendapatkan izin.
“Agar mereka membuat saluran dan pembuangan air terakhir yang layak yang tidak berdampak bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. ini tidak pernah dilakukan,” tegas Fadli.
“Akibatnya, setelah perumahan baru berdiri, air akan menggenangi pemukiman masyarakat di sekitar perumahan itu,” lanjutnya.
Pada Perda No 13/2004, rawa yang dapat dibangun hanya seluas 1000 meter persegi, sedangkan pada Perda No 5/2008 pemerintah mengizinkan pengembang untuk membuka rawa di atas 20.000 meper persegi.
“Maka jelas bahwa Perda yang dibuat hanya memikirkan bagaimana pemerintah Kota Palembang dapat menambah PAD-nya tanpa memikirkan ekologi kawasan tersebut,” kata Fadli.
Ada AturanKepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Dinas PU Bina Marga Kota Palembang, Ir Affan, Jumat (24/4), mengatakan, pembebasan lahan rawa untuk pembangunan bukan tanggung jawab pihaknya.
Tugas Pokok PU Bina Marga adalah pengelolaan perizinan reklamasi dan pemanfaatan rawa serta pengembangan bahan galian golongan C. Tugas itu termasuk memetakan daerah rawa, pemeliharaan dan pemanfaatannya.
Menurut dia, rawa terbagi tiga peruntukan, yakni rawa konservasi, rawa budidaya, dan rawa reklamasi. Rawa konservasi adalah rawa yang harus dipelihara dan dibiarkan alami. Sedangkan rawa budidaya, jenis rawa yang dapat dimanfaatkan sebagai kolam ikan dan pertanian. Sementara rawa reklamasi adalah rawa yang boleh dialihfungsikan untuk membangun perumahan atau perkantoran.
“Memang ada aturannya, boleh menimbun rawa tapi harus menyediakan resapan air. Misal sebagian ditimbun tetapi sebagian lagi dijadikan resapan dan tampungan air,” jelasnya.
Dijelaskan, aturan tentang rawa dapat dilihat di Peraturan Daerah No 5 tahun 2008. Di Perda ini diatur masalah retribusi dan sanksi bagi warga yang melanggar peraturan tersebut. Sripo mencari data ini ke Pemkot Palembang tapi tidak didapat.
Upaya PSDA Dinas PU Bina Marga terhadap kelestarian rawa ini, diakui Affan, di antaranya menormalisasi saluran alam dan buatan. Membuat kolam retensi dan mengeruk kolam retensi yang sudah dangkal serta membersihkan sampah-sampah di aliran sungai dan drainase.
Ditambahkannya, kawasan rawa di Palembang tersebar hampir di seluruh wilayah kecamatan. Apalagi di daerah pinggiran seperti Gandus, Sako, Plaju, Kertapati, IB I, IB 2 termasuk Sukarami dan Kalidoni.
“Semuanya memiliki daerah rawa, rawa di Palembang ini masih cukup luas,” ujarnya. (trs/cr2/cr3/ahf)








Artikel Terkait:

0 komentar: