Palembang - Konflik Sumber Daya Alam (SDA) berdimensi struktural di sektor
kehutanan dan perkebunan di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) yang
terjadi dari tahun 1989 hingga 2011, telah mencapai 268 kasus.
Menurut Masrun Jawawi, peneliti dari Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Sumsel, di Palembang, Sabtu, sejak 1989 hingga saat
ini setidaknya ada 268 konflik SDA di daerah ini.
Umumnya konflik SDA itu, hingga kini belum mendapatkan penyelesaian
secara permanen dan sewaktu-waktu dapat terpicu hingga menimbulkan
bentrokan fisik, kata dia.
Secara khusus peneliti Walhi Sumsel itu membeberkan hasil kajiannya
dalam konsultasi publik yang diselenggarakan Walhi dengan tema "Studi
Pemahaman dan Praktek ADR/Alternative Dispute Resolution, Konflik Sumber
Daya Alam di Provinsi Sumsel, di Hotel Bumi Asih Palembang, Jumat
(25/11).
"Konflik SDA itu melibatkan masyarakat dan petani, perusahaan
perkebunan swasta, PTPN VII, dan perusahaan HTI yang menimbulkan korban
jiwa dan kekerasan fisik," ujar dia.
Dia menyebutkan, kasus SDA itu, di antaranya adalah kasus di Desa
Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Desa Suka Damai, Kabupaten
Musi Banyuasin, Desa Gersik Belido, Kabupaten Musi Banyuasin, serta Desa
Pulau Kabal, Kabupaten Ogan Ilir.
Salah satu konflik yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya
adalah di Desa Pulau Kabal yang merupakan konflik tapal batas dengan
Desa Kayuara Batu, Kabupaten Muaraenim.
"Konflik di sini terjadi sejak 2005 lalu, dan sampai saat ini belum ada penyelesaiannya," kata dia.
Perlu ada negosiasi yang benar dengan mekanisme ADR, untuk menyelesaikan masalah ini, ujar dia lagi.
Dalam konsultasi publik itu, Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan BPN Sumsel, mengatakan banyak
kasus sengketa tanah ini dikarenakan adanya undang-undang yang tumpang
tindih.
"Misalnya pelaksanaan UU No 60 Tahun 1960 tentang Agraria banyak
tumpang tindih dengan UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU BPN, dan
lainnya," kata dia.
Mengenai penanganan konflik menggunakan mekasnisme ADR, pihaknya sangat sependapat.
Karena itu, saat ini BPN juga bertindak sebagai mediator konflik, kata dia lagi.
Sumber : antaranewa.com
Selengkapnya...
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Rabu, November 30, 2011
Konflik SDA di Sumsel capai 268 kasus
Selasa, November 29, 2011
Warga Palembang cemas Jembatan Ampera runtuh
Palembang, (ANTARA News) - Sebagian warga Kota Palembang mengaku mencemaskan kondisi Jembatan Ampera setelah mendengar informasi bahwa Jembatan Mahakam II di Kalimantan Timur, runtuh dan mengakibatkan sejumlah orang tewas serta ratusan warga yang tengah melintas terluka.
"Saya mencemaskan kejadian runtuhnya Jembatan Mahakam itu bisa menimpa Jembatan Ampera, karena berdasarkan informasi, salah satu penyebab runtuhnya Jembatan Mahakam II karena sering ditabrak kapal pengangkut batu bara yang sering juga dialami jembatan Ampera," kata Yori Halim, warga Kertapati, Palembang, Minggu.
Menurut dia, sebagai masyarakat awam yang selalu melintasi jembatan penghubung kawasan Seberang Ulu dan Seberang Ilir di Kota Palembang itu, tidak berlebihan kalau mencemaskan kondisi Jembatan Ampera yang telah berusia tua dan sering ditabrak kapal pengangkut batubara.
Jembatan Ampera yang dibangun pada 1962 itu, saat ini bebannya semakin berat karena kendaraan yang melintas di atasnya semakin ramai, bahkan sering terjadi kemacetan arus lalu lintas terutama pada jam sibuk pagi, siang dan sore hari.
Untuk menyelamatkan jembatan kebanggaan masyarakat dan sebagai ikon Kota Palembang itu, perlu dilakukan pemeriksaan kondisi jembatan secara menyeluruh dan renovasi besar-besaran.
Melalui upaya tersebut, diharapkan dapat dideteksi secara dini kemungkinan hal-hal yang dapat mengakibatkan kerusakan jembatan yang berdiri megah di atas Sungai Musi itu, serta segera dilakukan upaya penyelamatannya, kata dia.
Warga lainnya, salah seorang dosen perguruan tinggi swasta di kawasan Plaju mengatakan, berita runtuhnya Jembatan Mahakam sangat mengejutkan dan langsung terbayang dengan Jembatan Ampera yang hampir setiap hari dilalui.
Jembatan Ampera, pada kondisi macet sangat mengerikan karena goyangan bentang ruas jalan ketika berada di tengah Sungai Musi semakin hari bertambah kuat, ujar dia.
Menurut Yudi Farola Bram yang juga politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) Sumatera Selatan, kecemasan warga kota tersebut sangat logis dan perlu segera mendapatkan perhatian pemerintah kota dan provinsi setempat.
Seluruh pihak terkait harus segera melakukan koordinasi antisipasi kemungkinan terjadi hal terburuk menimpa jembatan tersebut, kata dia.
"Seingat saya hampir sepuluh kali Jembatan Ampera ditabrak kapal ponton pengangkut ribuan ton batubara dan kapal sarat muatan lainnya, belum lagi di atas jembatan sering terjadi kemacetan yang parah. Jika dibiarkan kondisi ini bisa saja mengakibatkan jembatan ini runtuh seperti Jembatan Mahakam," ujar dia lagi.
Jembatan Ampera memiliki panjang total 1.117 m, lebar 22 meter, dengan dua menara yang tingginya mencapai 63 meter, berdiri megah di atas Sungai Musi Palembang.
Jembatan ini dibangun mulai tahun 1962, dan diresmikan pemakaiannya untuk umum pada tahun 1965.
Guna menyelamatkan jembatan agar tetap bisa digunakan warga kota berpenduduk hampir dua juta jiwa ini, pemerintah daerah setempat sejak beberapa tahun terakhir membuat aturan larangan keras bagi kendaraan pengangkut barang (truk) melintas di atas Jembatan Ampera dan membuat beton pelindung dari "serudukan kapal bertonase besar" di tiang jembatan itu.
Menurut aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Hadi Jatmiko, Jembatan Kutai Kartanegara/Mahakam II di Kaltim yang roboh, diduga karena sering ditabrak oleh kapal pembawa batu bara.
"Artinya Jembatan Ampera di Palembang pun bisa jadi akan mengalami nasib yang sama," ujar dia.
Catatan Walhi Sumsel menyebutkan, setidaknya selama 2009-2010 ada lebih empat kali kejadian ponton pengangkut batubara menabrak tiang Jembatan Ampera.
"Belum lagi ditambah dengan beban kendaraan yang setiap harinya sering mengalami kemacetan di atasnya, setiap saat dapat mengancam jembatan tersebut," ujar Hadi lagi.
Kondisi Jembatan Musi II di Palembang yang menjadi alternatif bagi truk dan kendaraan bertonase besar lewat--setelah dibatasi melalui Jembatan Ampera--juga mengkhawatirkan pengguna jembatan itu, karena tingkat getaran dan goyangannya yang dinilai sudah membahayakan.
Sumber : Antaranews.com Selengkapnya...
Walhi Sumsel gelar konsultasi publik mediasi konflik
Palembang (ANTARA
News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan
bekerja sama dengan LPPL Universitas IBA Palembang dan didukung
Sustainable Social Development Partnership (Scale Up) Riau, menggelar
konsultasi publik mediasi penanganan konflik sumberdaya alam, di
Palembang, Jumat.
Acara yang digelar di Palembang itu, menghadirkan dua narasumber
yakni Syahril, Kepala Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan
Konflik Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumsel, dan Masrun
Jawawi, Peneliti Walhi Sumsel.
Konsultasi publik ini juga dihadiri oleh Dinas Kehutanan Sumsel, BPN
Sumsel, Pengadilan Tinggi Sumsel, BKSDA Sumsel, Polda Sumsel, advokat,
LSM, dan perwakilan masyarakat Sumsel.
Anwar Sadat, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan, konsultasi
publik ini bertujuan untuk menghimpun masukan dalam rangka memperkuat
kelembagaan dan praktik Alternative Dispute Resolution (ADR) dalam
penanganan konflik sumber daya alam (SDA) di Sumsel.
Menurut dia, penyelesaian konflik melalui mekanisme di luar pengadilan (ADR) itu di Sumsel selama ini belum muncul.
"Konflik SDA di Sumsel ini tergolong tinggi, namun penyelesaian secara ADR belum muncul," kata dia lagi.
Pemerintah yang menjadi mediator konflik SDA dan diharapkan
menyelesaikan konflik, cenderung mengarahkan penyelesaian melalui jalur
pengadilan, ujar dia lagi.
Penyelesaian konflik SDA melalui pengadilan cenderung memakan waktu
lama dan tidak memuaskan para pihak, sedangkan penyelesaian secara ADR
dapat lebih memuaskan semua pihak, kata Sadat pula.
"Penyelesaian konflik SDA secara ADR dapat memuaskan semua pihak
karena dilaksanakan dengan jalan musyawarah, sehingga dapat diterima
para pihak," ujar dia.
Terungkap bahwa di Sumsel masih terdapat sejumlah persoalan konflik
lahan, terutama antara masyarakat dengan pihak perusahaan, sehingga
kerap memunculkan pertikaian dan kekisruhan maupun bentrok antarpihak,
mengingat belum ada penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak secara
permanen. (ANT-311/A023)
Sungai Musi Tak Layak Konsumsi
Dalam pengukuran tersebut, Walhi mengambil dua titik pantau, yakni di anak Sungai Musi kawasan Ki Marogan, Kertapati, dan aliran anak Sungai Musi di kawasan Pusri. Dalam pengukuran terakhir terlihat jika keasaman Sungai Musi sudah makin berkurang, yakni berkisar 5,3–5,4 derajat. Untuk ukuran normal, air yang layak digunakan baik untuk kehidupan sehari-hari dan dikonsumsi, yakni berada di derajat keasaman 5,5 – 7. Dengan kondisi ini, tingkat kelayakan guna konsumsi air yang bersumber dari Sungai Musi akan semakin berkurang.
“Dengan kata lain, Sungai Musi makin tidak layak konsumsi,” kata Kadiv Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian Masyarakat Walhi Sumsel Hadi Jatmiko. Atas kondisi ini,Walhi khawatir terhadap kesehatan masyarakat yang masih mengonsumsi air Sungai Musi ber-Phrendah.“ Yangjelas,SungaiMusi sudah makin tercemar dan tidak baik bagi kesehatan,”ingatnya.
Pengurangan derajat keasamanairSungaiMusidisebabkan berbagai faktor, di antaranya kebiasaan buruk masyarakat dalam menjaga sungai, hingga masih ditemukan proses pengolahan limbah perusahaan yang tidak sesuai analisis dampak lingkungan (amdal). “Perusahaan dan masyarakat di bantaran Sungai Musi sangat perlu disadarkan agar menjaga sungai, misalnya tidak membuang sampah atau limbah ke sungai,”katanya.
Hadi berharap Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang harus mengaudit kembali beberapa izin amdal yang pernah dikeluarkan kepada perusahaan yang beroperasi di pinggiran Sungai Musi. Yang tak kalah penting, pemerintah juga harus menambah akses air bersih bagi masyarakat. “Solusinya,distribusi PDAM diprioritaskan bagi masyarakat di Sungai Musi dengan membuatkan lokasi penampungan air bersih,”ujarnya.
Sebelumnya, hasil penelitian Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Palembang juga menyebutkan, kadar garam dalam air Sungai Musi meningkat sebagai imbas menyusutnya level air dari ambang batas normal. “Debit air saat ini sudah berkurang 3 meter dari permukaan normal air sungai.Hal ini berpengaruh pada segala aspek kegiatan masyarakat di Palembang,terutama yang berhubungan dengan aktivitas Sungai Musi,”ujar Kepala BLH Kota Palembang Kemas Abubakar. Selengkapnya...
Kamis, November 17, 2011
Alih fungsi RTH,Walhi Sumsel adukan gubernur ke Polda
"Save RTH " aksi aktifis Walhi sesaat menjelang Pembukaan Sea games (11.11.11) di Mapolda Sumsel,Guna melaporkan Gubernur Sumsel yang secara Ilegal Melakukan Pengalih Fungsian RTH. |
Walhi menuntut Pihak Kepolisian untuk segera melakukan pengusutan atas beralih fungsian RTH menjadi mall dan Hotel, yang artinya telah melanggar tata Ruang kota Palembang. |
Sejak Februari tahun 2011, tidak jauh dari pembangunan proyek tersebut dilakukan juga kegiatan dan usaha yang diinformasikan kepada publik akan dibangun under ground mall atau mal bawah tanah dan rumah sakit di atas kawasan RTH lapangan parkir Bumi Sriwijaya.
Walhi : Alih Fungsi RTH adalah Pidana |
Hal itu sebagaimana tertuang di dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 73 ayat (1) dan (2), serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 109 dan Pasal 111 ayat (1) dan (2).
Selasa, November 15, 2011
SEA Games Ke XXVI Paling Kacau
Salah satunya seperti diberitakan Koran Singapura Straits Times melaporkan keracunan makanan melanda para pemain sepak bola dari Singapura, Malaysia, Kamboja dan Indonesia, yang menginap di hotel berbintang di Jakarta.
Harian Philipina, Daily Inquirer. Dalam beritanya Daily mengutip komentar ofisial dari Filipina yang menyatakan SEAGames XXVI 2011 merupakan event "paling kacau" sepanjang sejarah. Terlebih lagi ketika menyinggung parahnya soal penginapan dan transportasi.
Kemudian ketika obor SEA Games tiba di Palembang, koresponden AFP menyaksikan ribuan pekerja masih bekerja keras di beberapa tempat termasuk untuk menyelesaikan pengaliran air (drainage). Di Jakarta, sekitar 500 kilometer dari Palembang, sekitar 12.000 atlet, ofisial dan media akan berlalu-lalang, belum lagi ditambah ribuan penonton. Masalah kemacetan lalu lintas jadi hambatan utama, sehingga para siswa sekolah diliburkan. Tapi itu kelihatannya tidak menyelesaikan masalah.
Sementara itu Thailand mengkritik penyelenggaraan SEA Games di dua kota yaitu Jakartadan Palembang."Menggelar even ini di dua kotaadalah melawan piagam SEA Games yang berusaha mempromosikan kebersamaan di antara para partisipan," sindir Charoen Wattanasin, wakil presiden Komite Olimpiade Nasional Thailand sebagaimana dikutip Bangkok Post.
Menurut Koran lokal dan nasional "kota penyelenggara tampaknya tak siap untuk perhelatan ini dengan komunikasi dan kerja sama yang buruk antara Jakarta dan Palembang."Prof Charoen, yang juga anggota Dewan SEA Games, mengatakan itu adalah akibat campur tangan politisi yang berusaha mengeruk keuntungan pribadi.
Selain itu Gerakan go green yang dicanangkan kepanitiaan SEAGames Sumatera Selatan hanya menjadi isapan jempol belaka, ratusan kendaraan roda dua dan empat dengan leluasa berlalu lalang di Kompleks Jakabaring Sport City (JSC).Sehingga, jalan di kawasan depan Venue Aquatik seperti pasar
Penanggung Jawab Aset Provinsi Sumsel di Jakabaring, Rusli Nawi, membenarkan penerapaan "eco green" di Komplek Olahraga Jakabaring telah bobol. "Memang sudah bobol. Kami tidak dapat mengendalikannya lagi, karena kekurangan personel.KegiatanSEA Games ini sangat besar, sementara pengendalian hanya mengandalkan Satgas Jakabaring saja," ujar dia.
Dia menerangkan, terdapat lima pintu yang dapat dilalui pengunjung untuk masuk Komplek Olahraga Jakabaring itu."Untuk dua pintu pada gerbang utama memang bisa diawasi secara ketat, tapi untuk tiga pintu lainnya yang merupakan jalan alternatif sangat sulit. Apalagi jumlah petugas kepolisian yang membantu sangat sedikit," ujar dia.
Dia pun mengharapkan,Panitia PelaksanaSEA Games Indonesia (InaSOC) untuk segera mengatasi permasalahan itu."Banyak aset Pemprov Sumsel di dalam Komplek Olahraga Jakabaring itu, jika dibebaskan seperti ini apa InaSOC mau bertanggung jawab bila ada yang rusak. Seharusnya dilakukan penambahan personel untuk menerapkan `eco green`," ujar dia.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, mengingatkan bahwa penerapan ketentuan "eco green" tersebut harus dikontrol dan diawasi secara ketat serta perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.
"Tidak bisa seenaknya mengklaim SEA Games di Palembang ini sebagai ramah lingkungan, tapi tidak jelas penerapan ketentuan dan lembaga yang mengesahkannya," kata dia. Ia menilai, penerapan SEA Games yang ramah lingkungan itu hendaknya tidak sekadar slogan, tapi benar-benar dijalankan dalam praktik di lapangan secara utuh, katanya.
Minggu, November 13, 2011
Bebas kendaraan bermotor Jakabaring cuma berumur sehari
Komplek Olahraga Jakabaring yang ditetapkan hanya boleh dilaluui kendaraan berbahan bakar gas (BBG) selama perhelatan SEA Games itu--untuk memecahkan rekor pelaksanaan SEA Games yang ramah lingkungan--telah dimasuki sejumlah kendaraan berbahan bakar minyak/bensin (BBM) sejak Sabtu siang.
Pantauan di lokasi tersebut, semula hanya beberapa kendaraan saja, tapi menjelang sore sudah seperti tidak terkendali lagi.
Beberapa arena terlihat mulai padat dengan kendaraan bermotor berbahan bakar BBM, seperti areal parkir voli pantai, Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, arena menembak, Gedung Olahraga Ranau, dan Gedung Olahraga Dempo.
Malahan satu unit mobil Gegana Polda Sumsel terlihat terparkir di Gedung Ranau Jakabaring yang merupakan arena senam, sejak siang.
Para pengunjung menggunakan kendaraan ber-BBM itu, memanfaatkan akses jalan alternatif di belakang dan samping Komplek Olahraga Jakabaring Palembang yang tidak dijaga oleh petugas.
Para pengunjung memanfaatkan jalan di samping Gedung Bank SumselBabel dan di samping arena bisbol.
Sedangkan akses jalan utama melalui gerbang utama tetap memberlakukan ketentuan "eco green" yang melarang kendaraan bermotor ber-BBM masuk.
Selain itu, para pengunjung yang juga menggunakan kendaraan roda dua, terlihat memanfaatkan area parkir di badan jalan menuju stadion.
Padahal, panitia pelaksana menyediaan areal parkir di beberapa tempat dengan luas mencapai 3 hektare.
Penanggung Jawab Aset Provinsi Sumsel di Jakabaring, Rusli Nawi, membenarkan penerapaan "eco green" di Komplek Olahraga Jakabaring telah bobol.
"Memang sudah bobol. Kami tidak dapat mengendalikannya lagi, karena kekurangan personel. Kegiatan SEA Games ini sangat besar, sementara pengendalian hanya mengandalkan Satgas Jakabaring saja," ujar dia.
Dia menerangkan, terdapat lima pintu yang dapat dilalui pengunjung untuk masuk Komplek Olahraga Jakabaring itu.
"Untuk dua pintu pada gerbang utama memang bisa diawasi secara ketat, tapi untuk tiga pintu lainnya yang merupakan jalan alternatif sangat sulit. Apalagi jumlah petugas kepolisian yang membantu sangat sedikit," ujar dia.
Dia pun mengharapkan, Panitia Pelaksana SEA Games Indonesia (InaSOC) untuk segera mengatasi permasalahan itu.
"Banyak aset Pemprov Sumsel di dalam Komplek Olahraga Jakabaring itu, jika dibebaskan seperti ini apa InaSOC mau bertanggung jawab bila ada yang rusak. Seharusnya dilakukan penambahan personel untuk menerapkan `eco green`," ujar dia.
Rahman Hakim, salah seorang pengunjung mengatakan, jebolnya "eco green" itu karena masyarakat Kota Palembang belum memiliki semangat disiplin mentaati peraturan.
"Jika dikendorkan pengamanannya maka semua akan melanggar, termasuk panitia pelaksana yang sudah membawa sepeda motor atau mobil ke dalam stadion," ujar dia.
Dia pun menyayangkan, kurangnya kesadaran masyarakat itu.
"Memang sulit mengubah pola pikir masyarakat kita. Padahal SEA Games merupakan ajang internasional, sehingga Palembang menjadi pusat perhatian dunia," ujar karyawan perusahaan swasta ini.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, mengingatkan bahwa penerapan ketentuan "eco green" tersebut harus dikontrol dan diawasi secara ketat serta perlu dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.
"Tidak bisa seenaknya mengklaim SEA Games di Palembang ini sebagai ramah lingkungan, tapi tidak jelas penerapan ketentuan dan lembaga yang mengesahkannya," kata dia.
Ia menilai, penerapan SEA Games yang ramah lingkungan itu hendaknya tidak sekadar slogan, tapi benar-benar dijalankan dalam praktik di lapangan secara utuh.
S. Sumatra railway will harm protected forests: Walhi
Sabtu, November 12, 2011
Berebut lahan Demi Batubara
Jumat, November 11, 2011
Walhi Tolak Rel KA Batubara
Palembang (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan secara tegas menolak rencana pembangunan rel kereta api dan dermaga khusus batu bara di daerahnya, karena dinilai akan berdampak merusak lingkungan dan menguras kekayaan energi daerahnya.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, Anwar Sadat, didampingi Stafnya, Hadi Jatmiko, di Palembang, Jumat, menanggapi hasil pertemuan Komisi AMDAL yang diadakan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumsel, untuk membahas rencana pembangunan rel KA dan dermaga khusus batu bara di daerah ini.
Pembangunan rel KA itu diprakarsai oleh PT Adani Sumsel yang didirikan pada Oktober 2010, merupakan anak perusahaan PT Adani Global India yang bergerak di bidang usaha dan produksi jasa pertambangan, berupa pengangkutan batu bara.
"Walhi Sumsel menyatakan menolak rencana tersebut, dan mendesak pemerintah segera melakukan upaya untuk menyelamatkan batu bara milik Sumsel, sekaligus berarti menyelamatkan hutan dan rakyat di daerah ini," kata Sadat pula.
Berdasarkan analisis Walhi Sumsel, rencana pembangunan rel KA sepanjang 273 km yang akan digunakan untuk mengangkut batu bara dari Tanjungenim ke Tanjungcarat, Banyuasin yang mayoritas merupakan hasil tambang PT Bukit Asam (PTBA) itu, akan melintasi Kabupaten Muaraenim, Musi Banyuasin dan Banyuasin, diikuti dengan pembangunan dermaga khusus batu bara seluas 107 hektare, berpotensi merusak kawasan hutan produksi dan hutan lindung Air Telang (hutan mangrove) dengan total luas mencapai 709,25 ha.
Hal tersebut artinya akan memperparah kerusakan hutan yang ada di Sumsel saat ini dari 3,7 juta ha luas kawasan hutan tersisa, dengan kondisinya yang masih baik tidak lebih dari 1 juta ha.
Sisanya, menurut Sadat, telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, hutan tanaman industri, illegal logging, dan pembangunan lainnya.
Rencana ini juga akan semakin mempercepat kehilangan kekayaan alam batu bara yang terkandung dalam perut Bumi Sriwijaya, khususnya di kawasan pertambangan batu bara yang ada di Muaraenim dan Lahat, kata dia.
Selama ini produksi rata rata batu bara Sumsel hanya 12 juta ton per tahun, dengan dibangun rel KA dan dermaga khusus batu bara yang ditargetkan selesai pada 2013 nanti, produksi akan ditingkatkan menjadi 50 juta ton per tahun.
Namun menurut Sadat, hasil batu bara itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi negara lain, seperti India, Thailand, Singapura, Malaysia dan lainnya.
Padahal kondisi energi di daerah penghasilnya, yaitu Sumsel, justru masih terus mengalami krisis, ujar dia pula.
Sedikitnya ada 600 desa di Sumsel yang sampai saat ini belum menikmati aliran listrik dan dalam kondisi byar pet atau mati-hidup yang terus saja dirasakan oleh masyarakat Sumsel, kata dia.
Dia menilai, kebijakan itu bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Hadi Jatmiko menambahkan, selain itu rencana tersebut juga akan menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan hidup di Sumsel secara cepat dan merata, karena setidaknya dalam waktu maksimal 20 tahun seluruh potensi kekayaan alam batu bara Sumsel akan habis terkeruk.
Hasilnya, kata dia, akan menyisakan ratusan bahkan ribuan lubang lubang tambang dan danau-danau beracun yang berada di lahan seluas 66 ribu hektare, khususnya pada area izin usaha pertambangan (IUP) yang dikuasai oleh PTBA, seperti yang terjadi Kalimantan khususnya Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
Karena itu, kata dia, Walhi Sumsel secara tegas menolak rencana pembangunan rel KA dan dermaga khusus batu bara dan segala proses yang saat ini sedang dilakukan oleh pihak perusahaan, yaitu pembuatan AMDAL dan pengajuan pinjam pakai kawasan hutan seluas 709,25 ha.
Pemerintah harus segera menghentikan rencana eksploitasi secara besar besaran terhadap kekayaan alam batu bara di Sumsel dengan melakukan pencabutan terhadap izin-izin usaha pertambangan yang saat ini sedikitnya terdapat 278 IUP tersebar di seluruh kabupaten dan kota di Sumsel.
Walhi Sumsel juga mendesak Menteri Kehutanan untuk menolak segala bentuk pengalihfungsian, pinjam pakai dan perubahan status kawasan hutan yang saat ini telah diajukan oleh Pemprov Sumsel dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat, karena faktanya tidak ada pengajuan tersebut yang diperuntukkan perbaikan nasib rakyat.
"Semuanya hanya untuk memfasilitasi mayoritas kebutuhan lahan bagi industri pertambangan, perkebunan, infrastruktur jalan, rel KA, dermaga khusus batu bara dan industri kehutanan," ujar Hadi lagi. (B014)
Rabu, November 09, 2011
Selamatkan Batubara Sumsel,Untuk Selamatkan Hutan dan Rakyat
- Menolak rencana pembangunan Rel Kereta Api dan Dermaga Khusus Batubara dan segala proses yang saat ini sedang dilakukan oleh Pihak Perusahaan yaitu Pembuatan Amdal dan Pengajuan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Seluas 709,25 Hektar.
- Pemerintah harus segera Hentikan Rencana Eksploitasi secara besar besaran terhadap Kekayaan Alam batubara di Sumatera Selatan dengan melakukan pencabutan terhadap Izin Izin Usaha Pertambangan yang saat ini sedikitnya terdapat 278 IUP yang tersebar di seluruh Kabupaten Kota Sumatera selatan.
- Mendesak Menteri Kehutanan untuk menolak segala bentuk pengalih fungsian,pinjam pakai dan perubahan Status kawasan Hutan, yang saat ini telah diajukan oleh Pemerintah Sumatera Selatan dengan alasan untuk kesejahteraan rakyat, karena faktanya tidak ada pengajuan tersebut yang di peruntukan untuk rakyat. Semuanya hanya untuk memfasilitasi mayoritas kebutuhan lahan bagi Industri Pertambangan, Perkebunan, Infarstruktur Jalan,Rel Kereta,Dermaga Khsus Batubara dan Industri Kehutanan.