|
Rumah adat palembang di Kelurahan 5 Ulu |
(Jakarta, 14/10/2016) Pada 3-9 Oktober 2016, telah berlangsung pertemuan tahunan Bank Dunia dan IMF di Washington DC, Amerika Serikat, yang juga dihadiri oleh LSM dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pertemuan ini menjadi penting, selain karena maraknya dampak buruk dari pembangunan yang dibiayai Bank Dunia, juga karena telah disahkannya perlindungan lingkungan dan sosial yang disebut ESF (Enviromental and Social Framework) menggantikan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial sebelumnya.
Pembangunan infrastruktur adalah penting bagi setiap negara. Namun, di sisi lain pembangunan infrastuktur juga terbukti bisa merugikan dan menimbulkan pemiskinan, kerusakan ekologis termasuk pengrusakan hutan dan ekosistem sungai, dan menyebabkan penderitaan bagi kelompok-kelompok rentan yang pada akhirnya tujuan awal pembangunan infrastruktur tidak tercapai, atau justru menimbulkan masalah baru seperti kemiskinan, ketidakadilan jender dan perusakan lingkungan. Karena itu menjadi penting setiap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi proyek pembangunan itu mengedepankan perlindungan pada lingkungan dan masyarakat, bukan sekedar mendirikan bangunan fisik semata, yang akan merusak .
Pemerintah Indonesia saat ini ingin memperbaiki kesenjangan infrastruktur di Indonesia melalui Program Percepatan Pembangunan “Fast Track Program” (FTP). Pembangunan infrastruktur diantaranya, akan membangun lebih dari 40 PLT Batubara, 40 PLT Panas Bumi, proyek waduk raksasa, PLT Nuklir, ribuan kilometer jalan, dan jalan kereta api batubara yang akan melalui hutan lindung maupun hutan adat. Untuk membiayai mega-proyek tersebut, Pemerintahan Joko Widodo mencari pembiayaan melalui Bank Pembangunan Multilateral, seperti kelompok Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang berpusat di Beijing.
Pembangunan mega infrastruktur sudah barang tentu berdampak terhadap lingkungan, dan masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Namun, sayangnya di Indonesia proyek pembangunan bisa dilakukan walaupun belum memiliki izin lingkungan bahkan kalaupun ada, hal tersebut justru hanya menjadi syarat formil dalam proses perizinan pelaksanaan proyek. Sehingga, kualitas AMDAL dan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah tersebut berdampak pada rusaknya mata pencaharian masyarakat serta ruang hidup mereka.
National Slum Upgrading Project, Proyek Resiko Tinggi Yang Kemungkinan Akan Memiskinkan Masyarakat
Hutang negara Indonesia sampai dengan bulan Agustus 2016 berjumlah 3.438,29 triliun rupiah. Dan pada 12 Juli 2016, Badan Direksi Bank Dunia telah menyetujui hutang pemerintah Indonesia sebesar $ 216.5 juta atau setara dengan 2,814 trilyun rupiah untuk proyek “National Slum Upgrading.” Selain itu, juga diputuskan bahwa pemerintah indonesia akan mendapat pinjaman perdana dari Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) dengan jumlah yang sama yaitu $ 216,5 juta atau setara dengan Rp 2,814 triliun untuk proyek itu.
Pemberian utang tersebut untuk mendukung program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), atau dalam istilah Bank Dunia dan AIIB disebut National Slum Upgrading Project/NSUP. Dengan demikian pemerintah Indonesia menambah utang dari Bank Dunia dan AIIB untuk melaksanakan proyek KOTAKU ini dengan total pinjaman sebesar $ 433 juta atau setara 5,629 trilyun rupiah. Skema pembiayaan bersama ini merupakan kerjasama pertama antara AIIB dan Bank Dunia untuk lima tahun ke depan, dan menjadi projek pertama AIIB sejak pendirian AIIB pada tahun 2016.
AIIB merupakan Bank baru yang belum memiliki sistem perlindungan lingkungan dan sosial yang kuat dengan staff yang sangat terbatas, sehingga dalam proyek ini AIIB mengikuti safeguard Bank Dunia. Awalnya, proyek ini dikategorikan beresiko tingkat A (berisiko tinggi) namun belakangan diubah menjadi resiko dengan tingkat B (lebih rendah). Padahal, NSUP ini bagian dari Program KOTAKU, dan Bank Dunia beserta AIIB akan membiayai di 153 kota dan 1 propinsi DKI Jakarta. Untuk tahun 2016-2017 kedua bank multilateral ini akan membiayai kegiatan proyek di 20 kota terlebih dahulu. Dari analisa terhadap dokumen pinjaman dan kerangka perlindungan lingkungan dan sosial, kami menemukan banyak masalah dalam proyek ini, seperti tidak adanya konsultasi dengan warga terdampak, diturunkannya status resiko dari A menjadi B, dan potensi kuat akan terjadi pemindahan atau penggusuran paksa walaupun istilah “pemindahan secara sukarela” dipakai oleh sponsor proyek.
Selain itu, dari 153 kota yang akan dibiayai oleh utang Bank Dunia/AIIB melalui proyek National Slum Upgrading, kami memprediksi 9,7 juta jiwa penghuni pemukiman kumuh di seluruh indonesia akan mengalami dampak sosial, dan 4,85 juta jiwa diantaranya merupakan perempuan.
Salah satu kota yang akan diintervensi oleh proyek utang Bank Dunia/AIIB terkait NSUP adalah Kota Makassar. Selama ini Pemerintah Kota Makassar tidak pernah terbuka soal proyek KOTAKU ini kepada publik.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan WALHI Sulsel, ditemukan bahwa proyek ini beresiko tinggi memiskinkan masyarakat miskin di Kota Makassar, yang menurutnya juga beresiko memiskinkan masyarakat miskin di 20 Kota lainnya. NSUP ini sangat beresiko menghilangkan tanah, tempat tinggal serta penghidupan masyarakat miskin. Menurut masyarakat yang diwawancarai, rumor-rumor beredar di daerah proyek bahwa proyek ini akan menghilangkan pemukiman orang-orang miskin yang diidentikkan sebagai pemukiman kumuh. Resiko yang lain adalah kerusuhan sosial yang kemungkinan akan muncul kalau masyarakat yang sangat menentang dipindakan dan tanahnya diambil paksa, termasuk oleh pihak bersenjata, terutama terkait dengan penggusuran yang akan mereka alami.
Data yang dihimpun oleh WALHI Sulsel, proyek NSUP di Kota Makassar akan berpotensi menghilangkan tempat tinggal dan tanah 17.114 kepala keluarga miskin, yang bila 1 KK memiliki anggota keluarga sebanyak 4 orang, maka terdapat 68.456 orang miskin di Kota Makassar yang akan kehilangan rumah dan tanah. Hal ini tentu sangat berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Selain itu, proyek ini pun sangat tidak partisipatif dan cenderung tidak diawali dengan konsultasi publik yang berarti. Hal yang justru bertentangan dengan safeguard Bank Dunia tentang perlindungan sosial dan lingkungan hidup.
Kelurahan Tallo di Makassar adalah lokasi awal proyek ini dijalankan. Tidak diketahui bagaimana pemerintah menetapkan lokasi tersebut sebagai pemukiman kumuh yang mesti ditingkatkan (upgrade). Pemerintah tidak pernah menggelar konsultasi publik dengan masyarakat atau perwakilan masyarakat. Hal ini telah memicu gejolak di tengah masyarakat.
Warga terdampak proyek ini mengakui tidak mengetahui bahwa pemukiman mereka masuk dalam kategori kumuh, dan akan diubah melalui proyek utang Bank Dunia/AIIB. Masyarakat yang akan terdampak proyek tidak akan mau dipindahkan ke tempat lain, karena mereka telah bermukim di tempat tersebut selama 30 tahun lebih, dan pemukiman mereka juga terintegrasi dengan sumber penghidupan mereka di muara Sungai Tallo. Artinya proyek ini sangat beresiko menghilangkan sumber penghidupan masyarakat juga. Dan ini tidak pernah dibicarakan oleh pemerintah dengan masyarakat.
Pola penggusuran di Indonesia yang represif juga menambah kekhawatiran akan pelaksanaan proyek ini. Beberapa model penggusuran di kota-kota Indonesia selalu memakai cara kekerasan. Contoh yang paling nyata adalah saat penggusuran di Bukit Duri, Kampung Pulo dan tempat-tempat lain di Jakarta. Terlihat bagaimana aparat kepolisian dikerahkan untuk turut menggusur masyarakat dari pemukiman mereka. Berdasarkan data Bank Dunia, penggusuran Bukit Duri merupakan tahapan untuk konstruksi dan peningkatan kapasitas kanal untuk mencegah masalah genangan air, salah satu titik dari proyek Jakarta Urgent Flood Mitigation Project/Jakarta Emergency Dredging Initiative Project – JUFMP/JEDIP (lihat Dredging of Rivers and Waduks Phase 1 (JUFMP/JEDI), March 2010). Dengan kata lain, Bank Dunia telah terlibat dalam penggusuran paksa di Bukit Duri.
Jika benar proyek utang NSUP ini ingin menghilangkan pemukiman kumuh di Indonesia, maka bisa diprediksi akan ada bentuk kekerasan yang terjadi di 20 kota di Indonesia dalam tahun pertama, termasuk di Kota Makassar.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemantau Infrastruktur melalui perwakilannya telah menyampaikan bahaya-bahaya akan NSUP dalam Annual Meeting Bank Dunia 2016 di Washington kepada para Executive Director Bank Dunia, dan di berbagai forum saat berlangsungnya acara tersebut.
Koalisi Pemantau Infrastruktur menyampaikan:
- Bank Dunia harus meninjau ulang pemberian utang untuk National Slum Upgrading Project ini. Karena kami tidak menginginkan dana utang digunakan untuk menghilangkan hak sosial ekonomi masyarakat;
- Bank Dunia harus kembali meningkatkan status resiko tingkat B menjadi tingkat A, menggunakan sistem pengamanan bank dunia dan dilakukan konsultasi publik yang bermakna dengan warga terdampak proyek di kota-kota yang sudah ditargetkan untuk digusur;
- Kerangka perlindungan berbasis Negara yang dimiliki Indonesia kian hari diperlemah untuk memudahkan investasi. Sehingga demi memberikan perlindungan maksimal terhadap masyarakat, maka Bank Dunia pun harus konsisten akan standar safeguard yang dimilikinya ketika menilai resiko akan sosial dan lingkungan terhadap proyek-proyek di Indonesia, termasuk NSUP;
- Harus dilakukan due diligence secara substantif atas proyek ini, termasuk dampak yang akan dialami perempuan;
- Harus dilakukan penilaian risiko akan potensi kekerasan yang terjadi, khususnya dari pihak bersenjata termasuk militer (TNI), Polisi, Satpol dan preman-preman, terkait dengan proyek;
- Harus ada larangan secara hukum yang secara eksplisit mengikat tentang penggunaan pasukan keamanan bersenjata dan kekerasan terhadap masyarakat, dengan klausul yang mengikat secara hukum bahwa setiap penggunaan seperti kekerasan terhadap masyarakat akan mengakibatkan pembatalan proyek;
- Penilaian dampak lingkungan dan sosial (termasuk ESMF) perlu ditulis ulang dan tunduk konsultasi publik yang kuat. Hal ini untuk menghindari dampak lingkungan dan sosial, termasuk dampak pada masyarakat adat, perempuan dan kelompok rentan;
- Mengingat bahwa daftar kota-kota yang diusulkan untuk proyek, termasuk untuk tahap pertama proyek sudah diketahui, maka harus ada konsultasi publik yang bermakna di setiap daerah direncanakan akan berdampak sebelum keputusan untuk melaksanakan proyek ini. Jika implementasi berjalan di depan, harus dipastikan bahwa masyarakat yang terkena dampak dapat berpartisipasi dan menentukan proses “perbaikan” dari daerah mereka;
- Pemerintah Indonesia harus memberikan informasi lengkap tentang asal usul dana (WB/AIIB) serta informasi mengenai hak untuk menolak menyerahkan tanah harus dicantumkan dalam dokumen proyek;
Koalisi Pemantau Infrastruktur
Ecological Justice – WALHI – ILRC – Tuk Indonesia – ELSAM – WALHI Sulawesi Selatan – PUSAKA – WALHI Jawa Barat – DebtWatch – INFID – INDIES
Selengkapnya...