JAKARTA, - Para petani dan aktivis terkait di
sejumlah wilayah Tanah Air memperingati Hari Tani Nasional, Senin
(24/9). Mereka menuntut penyelesaian konflik agraria yang kian marak,
antara lain, karena aktivitas pertambangan dan perkebunan bercorak
kapitalistis. Mereka juga menyoroti impor pangan yang dinilai sebagai
pemiskinan petani.
Aksi mereka berlangsung di Sumatera mencakup Medan, Jambi, dan
Palembang. Di Pulau Jawa, aksi digelar di Jakarta, Surabaya, Jember,
Madiun, dan Salatiga. Adapun di Sulawesi berlangsung di Kendari dan
Gorontalo.
Di Palembang, Sumatera Selatan, ribuan petani mendatangi kantor Badan
Pertanahan Nasional (BPN) untuk menyampaikan ketidakpastian atas
pengelolaan lahan garapan. Kehidupan mereka makin terdesak oleh
kehadiran perusahaan yang memegang hak kuasa pengelolaan lahan di daerah
mereka.
Suratman (62), petani karet Musi Banyuasin, mengatakan, masa depan
petani di desanya kian tak terjamin karena lahan-lahan telah dikuasai
perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri. ”Lahan kami saat ini
sudah dikelilingi sembilan PT, tak bisa lagi menambah lahan garapan,”
katanya.Saat ini, Suratman menggarap lahan karet seluas 1 hektar dengan
pendapatan sekitar Rp 1 juta sebulan. Karena minimnya lahan,
putra-putrinya tak dapat lagi menyambung hidup sebagai petani.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat
mengatakan, saat ini kepemilikan lahan kian timpang. Luas lahan di
Sumsel mencapai 8,7 juta hektar. Sebanyak 4,9 juta hektar atau sekitar
56,32 persen lahan dikuasai perusahaan perkebunan sawit dan
pertambangan. ”Penduduk Sumsel yang mencapai 7 juta jiwa rata-rata hanya
punya lahan setengah hektar,” katanya.
Di Jambi, sekitar 500 petani dari Desa Kunangan Jaya II dan Petani
Mekar Jaya di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun, Jambi, berunjuk rasa
di halaman kantor gubernur. Mereka menuntut hak enklave atau dikeluarkan
dari status konsesi hutan tanaman industri. Petani Kunangan Jaya II
Kabupaten Batanghari, menuntut hak enklave seluas 8.000 hektar, petani
Mekar Jaya Kabupaten Sarolangun menuntut 3.482 hektar dan komunitas Suku
Anak Dalam (SAD) 113 di Kabupaten Batanghari menuntut pembebasan hak
kelola seluas 3.550 hektar.
Asisten III Sekretaris Daerah Provinsi Jambi Ridham Priskab hanya
menampung aspirasi para pendemo. ”Nanti saya sampaikan kepada Pak
Gubernur,” ujar Ridham.
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, puluhan orang dari Partai Rakyat
Demokratik Sulawesi Tenggara menuntut pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 dan
UU Agraria 1960 yang menjamin hak tanah bagi rakyat. ”Karena Pasal 33
UUD 1945 dan UU Agraria tak pernah ditegakkan, maka saat petani
berbenturan dengan kepentingan asing, seperti pertambangan, petani
selalu dikorbankan,” kata Ketua Komite Pimpinan Wilayah Sultra PRD
Badaruddin.
Terkait kesejahteraan petani, massa mengkritisi minimnya kepemilikan
tanah, teknologi, modal, dan akses pasar. Di sisi lain, massa juga
menentang kebijakan yang merugikan petani, seperti impor beras.
Di Gorontalo, puluhan mahasiswa yang mengatasnamakan Gerakan
Mahasiswa Peduli Tani mendesak pemerintah menyejahterakan petani di
Indonesia. Menurut mahasiswa, banyak kebijakan pemerintah yang merugikan
petani di Indonesia.
”Arah pembangunan pertanian di Indonesia tidak jelas. Banyak
kebijakan yang justru merugikan petani, seperti impor garam dan beras,”
ujar Abdul Karim, koordinator aksi tersebut.Di Medan, ratusan petani
dari dua kelompok di Sumatera Utara, yakni Sekber Reforma Agraria dan
Komite Tani Menggugat, menuntut pemerintah melakukan reformasi agraria
yang sejati.
Hal senada dilontarkan Serikat Rakyat Miskin Indonesia yang menggelar unjuk rasa di Madiun, Jawa Timur.
Ketua DPRD Kabupaten Madiun Yohanes Ristu, yang menemui pengunjuk rasa, berjanji menyampaikan tuntutan itu kepada pemerintah.
Adapun di Jember, Jawa Timur, ratusan petani memperingati Hari Tani
Nasional di halaman DPRD Jember. Mereka mendesak pemerintah melepas
sejumlah lahan hak guna usaha kepada rakyat, terutama pada lahan yang
dikuasai BUMN dan BUMD.
Sementara itu, aksi di Surabaya menekankan penghentian impor pangan.
Sektor pertanian dinilai didominasi dengan kebijakan liberalisasi impor
pangan. Impor pangan terus mengalir. Akibatnya petani kian
miskin.
0 komentar:
Posting Komentar