Tanggal 13 Maret 2013, Tim Penasehat Hukum Anwar
Sadat dan Dedek Chaniago memberikan nota tanggapan terhadap Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (eksepsi). Nota tanggapan ini sengaja
disampaikan, setelah Tim Penasehat Hukum melihat Jaksa Penuntut Umum
tidak tepat, tidak cermat dan tidak jelas membuat surat dakwaannya.
Walaupun
berbagai anggota Tim Penasehat Hukum tidak berada di Palembang, namun
Nota tanggapan disusun dengan menggunakan email dan berbagai perangkat
lainnya seperti SMS, Telephone, bbm dan sebagainya.
Setelah
disepakati, tanggal finishing akhir yaitu tanggal 8 Maret 2013,
teman-teman yang di Palembang kemudian mengirimkan draft eksepsi yang
kemudian dikirimi via email. Tanggapanpun bermunculan. Materi draf
kemudian dikritisi, diberi input, dianalisis sehingga pada tanggal 10
Maret 2013 disepakati rapat untuk finishing. Sehingga eksepsi yang
disusun telah mengalami pembahasan yang cukup baik untuk dibacakan pada
sidang ke II tanggal 11 Maret 2013
Dalam
Eksepsi dimulai dari pendahuluan yang menceritakan “latar belakang”
bagaimana sikap politik yang diambil oleh Saudara Anwar Sadat dan Dede
Chaniago. Walhi Sumsel yang mendampingi korban PTPN VI Cinta Manis
menguraikan dengan jelas, berbagai areal konflik yang membuat Walhi
Sumsel harus bekerja keras. Termasuk rangkaian peristiwa yang berujung
dengan aksi di Mapolda Sumsel.
Dalam
paparan yang dikutip dari Eksepsi diterangkan “Konflik agraria
diprovinsi Sumatera Selatan sudah mencapai titik mengkhawatirkan.
Lemahnya kemauan politik pengambil kebijakan dan Penegakan Hukum
menjadikan sengketa agraria di Sumatera Selatan bertambah kronis. Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menyebutkan,
ketimpangan penguasaan lahan ini merupakan faktor utama timbulnya
konflik agraria yang saat ini banyak bermunculan. Menurut catatan Walhi
Sumsel, luas wilayah adminitratif provinsi ini hanya 8,7 juta hektar
(ha). Kini sebanyak 4,9 juta Ha atau sekitar 56,32 persen lahannya
dikuasai perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha hutan tanaman industri
(HTI), 1 juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta ha pertambangan
batubara. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk mencapai 7 juta
jiwa, maka penguasaan lahan setiap jiwa berkisar 0,5 Ha saja”
Jadi
tidak heran jika selama tiga tahun terakhir jumlah sengketa agraria
yang diadukan masyarakat terus meningkat. Tahun 2009 terdapat 18 aduan
sengketa agraria, tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 27, tahun 2011
terdapat 32 aduan.
Secara umum
proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982 disetiap wilayah
di Sumatera Selatan realtif sama. Di zaman Orde Baru warga tidak
memiliki pilihan selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka
digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi
tahun 1982 diakui warga diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif
aparat keamanan. Ganti rugi itupun sangat tidak adil, contohnya dari 5
ha lahan, hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini
masih ada tanah warga yang belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII.
Berbagai
upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII
selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan yang tegas.
Akhirnya, sekitar bulan Mei 2012, warga memutuskan untuk memblokade
akses jalan menuju pabrik pengolahan gula PTPN VII, selain itu warga pun
mendirikan tenda dan mematok lahan seluas 3000 ha. Hal lain adalah,
dari luas lahan kurang lebih 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta
Manis hanya 6,500 ha saja yang sudah bersertifikat Hak Guna Usaha,
selebihnya adalah tanah yang digarap tanpa alas hak yang jelas. Disisi
lain aktifitas perkebunan PTPN VII Unit Cinta Manis diduga juga
berkontribusi terhadap pencemaran diwilayah sekitar.
Atas
berbagai kondisi tersebutlah pada tanggal 28 januari 2013 dan pada
tanggal 29 Januari 2013 disepekatai bahwa petani yang didampingi Wahana
Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan melakukan aksi didepan Markas
Kepolisian Daerah Sumatera Selatan. Aksi tersebut menuntut kapolda
Sumatera Selatan untuk mencopot Kapolres Ogan Ilir karena diduga
bertanggung jawab atas meninggalnya Angga bin Dharmawan (13th) dan
Rusman yang harus diamputasi tangannya. Kedua menyelesaikan kasus
penyerobotan tanah yang dilakukan oleh PTPN VII unit Cinta Manis.
Dari uraian yang disampaikan, maka “terkesan” jelas, bagaimana pihak kepolisian sangat “Bernafsu” untuk memenjarakan Anwar Sadat dkk sebagai bagian dari pembungkaman sikap kritis dan sikap tidak mau kompromi.
Pertama. Penembakan yang menyebabkan korban “Angga bin Dharmawan” tidak jelas bagaimana penyelesaiannya secara hukum.
Kedua.
Bagaimana mungkin pagar yang didorong oleh Massa aksi ternyata bisa
dipakai lagi. Apakah begitu serius menangkap Anwar Sadat ?
Uraian
ini sengaja dipaparkan selain ingin melihat persoalan ini secara jelas
kepada Hakim yang memeriksa perkara ini, juga dapat meminta kepada Hakim
agar tidak memutuskan perkara ini berdasarkan tekanan ataupun opini
yang sengaja dikembangkan.
Setelah
paparan dari peristiwa yang sebenarnya, maka Tim Penasehat Hukum
kemudian menguraikan secara teknis yuridis hukum yang dapat menjadi
pembelajaran bagi kita semua.
Sudah
jamak menjadi pengetahuan dalam praktek hukum acara pidana, istilah
keberatan selalu mendasarkan kepada tiga kata penting. Tidak cermat,
tidak jelas dan tidak lengkap. Pengertian “Cermat” adalah
ketelitian dalam merumuskan Surat dakwaan, sehingga tidak terdapat
adanya kekurangan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan tidak dapat
dibuktikannya dakwaan itu sendiri. Pengertian “Jelas” adalah
kejelasan mengenai rumusan unsur – unsur dari deliks yang didakwakan,
sekaligus dipadukan dengan uraian perbuatan materiel/fakta perbuatan
yang dilakukan oleh Terdakwa dalam Surat Dakwaan. Sedangkan Pengertian “Lengkap” adalah
uraian dari Surat Dakwaan yang mencangkup semua unsur delik yang
dimaksud yang dipadukan dengan uraian mengenai keadaan, serta peristiwa
dalam hubungannya dengan perbuatan materiel yang didakwa sebagai telah
dilakukan oleh Terdakwa.
Untuk
memahami penjelasan yang telah disampaikan oleh Tim Penasehat Hukum,
maka penulis mencoba untuk menyoroti tentang bagaimana bentuk surat
dakwaan itu disusun.
Dalam teori
dan praktek yang sering digunakan oleh Mahkamah Agung, maka terdapat
Bentuk Surat Dakwaan. Pertama Bentuk surat dakwaan tunggal. Kedua bentuk
surat dakwaan alternatif. Ketiga. Bentuk surat dakwaan kumulatif. Dan
terakhir. Bentuk surat dakwaan subsidaritas (berlapis).
- Dakwaan tunggal. Dakwaan ini lebih dikenal dengan dakwaan biasa. Ditinjau dari segi pembuatannya maka dakwaan ini merupakan dakwaan yang sifatnya sederhana, mudah dibuat oleh karena itu dirumuskan satu tindak pidana saja didalamnya, misalnya melakukan tindak pidana perkosaan (pasal 285 KUHP), atau melarikan perempuan dibawah umur (Pasal 332 KUHP), atau dapat berupa tindak pidana penadahan (Pasal 480 KUHP) dan sebagainya. Umumnya lazim terjadi dalam praktek peradilan apabila Jaksa mendakwa seseorang dengan “dakwaan tunggal” maka Jaksa telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidak-tidaknya terdakwa tidak lepas dari jerat tindak pidana yang didakwakan.
- Dakwaan alternatif. Dalam praktek peradilan, sering dakwaan alternatif disebut dengan istilah dakwaan saling mengecualikan atau dakwaan alternative atau berupa istilah dakwaan pilihan (keuze tenlastelegging)”. Pada dakwaan alternatif maka hakim dapat langsung memilih menentukan dakwaan mana yang sekira cocok serta sesuai dengan hasil pembuktian di persidangan. Ciri utama dari dakwaan alternative adalah adanya kata hubung ”ATAU” antara dakwaan satu dengan lainnya sehingga dakwaan jenis ini sifatnya adalah “alternative accusation” atau “alternative tenlastelegging”.
- Dakwaan Kumulatif. Pada dakwaan kumulatif dibuat oleh Jaksa apabila seseorang atau terdakwa melakukan lebih dari satu perbuatan pidana perbuatan tersebut harus dianggap berdiri sendiri atau juga dapat dikatakan tidak ada kaitan satu dengan lainnya. Pada dasarnya dalam praktek peradilan dakwaan ini disebut juga dakwaan “berangkai” atau “cumulatieve ten taste legging”. Ciri utama dakwaan ini adalah dengan mempergunakan istilah DAKWAAN KESATU (1) KEDUA (2) KETIGA (3) DAN SETERUSNYA.
- Dakwaan Subsidair. Lazimnya dakwaan dalam praktek peradilan disebut sebagai dakwaan “pengganti”, dakwaan “subsidair ten laste legging”, dakwaan “with the alternative of” dan sebagainya. Ciri utama dari dakwaan ini adalah disusun secara berlapis dimulai dari dakwaan terberat sampai yang ringan (an inferior portion or capacity), berupa susunan secara primer, subsidair, lebih subsidair, lebih-lebih subsidair, dan seterusnya atau dapat pula disusun dengan istilah terutama, pengganti, penggantinya lagi dan seterusnya (Putusan Mahkamah Agung RI No. 133/K/Kr/1958 Tanggal 11 November 1958.)
Setelah Tim Penasehat Hukum menguraikannya, maka Tim kemudian melihat bagaimana bentuk surat dakwaan itu disusun.
Didalam
surat dakwaan, konstruksi hukum yang hendak dibangun oleh Jaksa
Penuntut umum dapat dilihat diterapkannya dua pasal yaitu pasal 170 ayat
(2) Ke 1 KUHP dan pasal 160 KUHP.
Didalam
KUHP, keduanya termasuk kedalam kategori BAB V yaitu tentang Kejahatan
Terhadap ketertiban umum. Pasal 170 ayat (2) ke 2 KUHP ancamannya lebih
berat dibandingkan dengan pasal 160 KUHP.
Khusus
terhadap pasal 160 KUHP sudah dipertimbangkan oleh MK, bahwa apabila
sebelumnya termasuk kedalam kategori perbuatan pidana formil dimana
perbuatan telah selesai dilakukan tanpa melihat akibat dari perbuatan
terdakwa menjadi perbuatan pidana materiil, dengan melihat akibat
perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa.
Maka
setelah memperhatikan baik-baik terhadap surat dakwaan yang dibuat oleh
Jaksa penuntut umum, maka bahwa terhadap bentuk surat dakwaan yang
disusun menggunakan kata-kata “atau” diantara dua dakwaan (antara Dakwaan kesatu pasal 170 ayat (2) ke 1 KUHP dan pasal 160 KUHP).
Padahal apabila diperhatikan baik-baik, maka diantara dua pasal, ada kata-kata “atau”. Padahal menggunakan kata-kata “atau” merupakan bentuk dakwaan alternatif.
Selain itu juga menggabungkan antara kata-kata “atau” dengan dakwaan kedua juga mengacaukan bagaimana bentuk dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kata-kata “Dakwaan kedua” setelah kata-kata “atau” dan seterusnya adalah ciri khas dari bentuk dakwaan kumulatif.
Berangkat
dari penjelasan yang disampaikan, maka bentuk surat dakwaan yang
disusun oleh Jaksa Penuntut umum tidak sesuai dengan dalil-dalil yang
telah disampaikan.
Atau dengan kata lain, pertanyaan berangkat dari konstrukti hukum yang hendak dibangun oleh Saudara Jaksa Penuntut Umum adalah “Apakah bentuk surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum ?. Bentuk surat dakwaan “alternatif” yang ditandai dengan kata-kata “atau” atau bentuk surat dakwaan kumulatif yang ditandai dnegna kata-kata “Dakwaan kedua” dan seterusnya.
Menggabungkan
antara kata-kata “atau” dengan kata-kata “dakwaan kedua” selain
menyesatkan kepada pengetahuan hukum, karena tidak jelas bentuk dakwaan
disusun, juga mengakibatkan secara hukum, dakwaan tidak disusun secara
cermat. Dan sebagaimana telah kami sampaikan, surat dakwaan yang disusun
dengna tidak cermat mengakibatkan surat dakwaan batal demi hukum.
Dengan
pertimbangan itulah, maka kemudian, Tim Penasehat Hukum meminta kepada
Hakim agar dapat menyatakan Surat Dakwaan batal demi hukum.
Tentu saja perjuangan masih panjang. Belum apa-apa.
Ditulis oleh Musri Nauli salah satu Team kuasa hukum Anwar sadat sekaligus Direktur Walhi jambi
0 komentar:
Posting Komentar