WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Januari 06, 2010

Banyak Mengendap, Berpotensi Terulang

PALEMBANG(SI) – Walhi Sumsel mencatat ada 56 kasus konflik pertanahan (lahan) selama 2007–2009. Namun,sebagian besar kasus masih mengendap dan berpotensi tinggi konflik berulang dan memuncak.

Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat menyatakan, untuk 2009, sebanyak 21 kasus lahan terjadi, dengan korban 1.424 kepala keluarga (KK) dan luasan konflik lahan mencapai 24.243 ha. “Konflik agraria di Sumsel cukup tinggi.Hal tersebut terlihat secara kuantitas dan kualitas. Adapun rekaman kasus berdimensi struktural memang sebagian muncul ke permukaan.Sebenarnya banyak kasus lahan yang laten atau tidak muncul,” ujarnya, Minggu (3/1). Sadat mengatakan, sengketa lahan tersebut memiliki kecenderungan peningkatan yang konstan.

Selain itu, konflik lahan tersebut tidak terselesaikan dan kecenderungan akan muncul lagi ke permukaan dalam waktu selanjutnya. Selain itu, tercatat pada 2008, konflik lahan yang terjadi sebanyak 24 kasus lahan, dengan korban 1.629 KK dan luasan konflik lahan mencapai 42.515 ha. Angka tersebut meningkat dibandingkan pada 2007 yang hanya 11 kasus dengan korban 2.806 kepala keluarga, dengan sengketa lahan seluas 8.774 ha. “Berdasarkan analisis kami, konflik tersebut berlarut-larut sehingga menyebabkan dua faktor, yakni kejenuhan rakyat atau korban dan bentuk perlawanan untuk mencoba mempertahankan hak mereka atas tanah,” katanya.

Mengenai interpretasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang mengklaim banyak kasus yang terselesaikan, kata Sadat lagi, sepertinya keliru.Seharusnya pemerintah lebih fairterhadap publik. Sadat menambahkan,kasus lahan yang terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin yakni masyarakat Desa Sinar Harapan hingga kini belum final dan masih jalani proses. Pihaknya menyayangkan sikap pemerintah dan pihak terkait yang belum serius menuntaskan kasus lahan tersebut.Malah,mereka bertindak ketika rakyat atau petani benar-benar bereaksi.

“Saat di-pressure dengan aksiaksi massa, mereka baru menyikapi, tetapi sebagian besar diabaikan sehingga belum clear,mulai sejarah kepemilikan lahan,hak kepemilikan lahan, sehingga berlarutlarut. Belum lagi persoalan izin hak guna usaha (HGU) yang tidak ada oleh perusahaan.Makanya,wajar masyarakat menuntut hak mereka atas perampasan tanah,”bebernya. Menurut dia,dalam penyelesaian konflik lahan tersebut,sebagian besar melibatkan aparat penegak hukum,terutama kepolisian.Menurut dia, dari seluruh kasus yang mencuat,mayoritas terjadi tindak kekerasanaparat,mulaipemuk
ulan, penangkapan,hingga penembakan sehingga mengakibatkan dampak psikis dan psikologis bagi rakyat.

“Tentu saja masyarakat merasa khawatir dan ketakutan. Terutama, ketika aparat mulai menjaga aset-aset milik perusahaan besar, seperti tanah dan lainnya. Belum lagi jika perusahaan menggunakan jasa preman.Kami melihat,desain penyelesaian lahan yang dilakukan cenderung secara legal melalui aparat kepolisian, preman, penciptaan konflik horizontal antar warga hingga menggunakan perpanjangan tangan lewat tokoh adat dan kepala desa,”urainya. Sementara itu, dominasi konflik lahan terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan besar hampir 75%.

Sedangkan 25% konflik dengan perusahaan di sektor hutan tanaman industri (HTI),karet,dan tebu.Dengan proporsi luasan perkebunan sebanyak 1,7 ha HTI,800.000 ha untuk sawit, 6.000 ha tebu dan karet. “Dalam proses produksi tersebut sebagian besar memiliki permasalahan HGU.Di mana, perusahaan besar tersebut menguasai atau bahkan merampas lahan rakyat tanpa HGU,yang terkadang seolah menjadi legal dengan izin lokasi yang diberikan pejabat setempat serta ekspansi yang tak ada izin lokasi,”katanya.

Sementara itu,Kadiv Advokasi Walhi Sumsel Yuliusman mengatakan, keberadaan Undang-undang (UU) Perkebunan No 18/2004 maupun UU Penanaman Modal Asing (PMA) No 25/2007 cenderung merugikan petani atau masyarakat. “Dengan UU Perkebunan tersebut, rakyat setempat tak dapat masuk dalam wilayah perkebunan atau menghindari reclaiming dan UUPMA sendiri.Terutama,terkait jangka waktu yang cukup panjang bagi perusahaan dalam menguasai lahan dan terkadang lahan tak dikembalikan ke rakyat,”kata dia.

Untuk itu,Walhi Sumsel mengharapkan pemerintah dapat melakukan reformasi agraria secara konsisten, kemudian memastikan jaminan perlindungan hak atas tanah, land reform tanah untuk petani tak memiliki tanah,dan memberikan jaminan kelangsungan pengelolaan lahan untuk kesejahteraan rakyat. “Hentikan pula industrialisasi pertanian dan hentikan proyek-proyek liberalisasi pertanian yang mengancam petani, paling tidak penerapan UUPA No 5/1960,”katanya.

Selain itu, Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sumsel Eti Gustina menyatakan, pihaknya telah mencatat 81 kasus sengketa lahan selama lima tahun terakhir. Menurut dia, masih banyak pula petani di Sumsel yang hidup di garis kemiskinan dan mendapatkan perlakuan tidak adil dalam proses pembangunan. “Salah satu kebijakan Pemprov Sumsel yang berdampak seperti lumbung pangan, karena cenderung tidak pro-poor, karena targetnya peningkatan produksi bukan untuk penduduk miskin yang berada di sektor pertanian,”katanya. Selain itu, lanjut dia, peningkatan CPO dan perkebunan akasia memiliki tujuan ekspor dan melegitimasi ekspansi investor yang lapar tanah dan berimbas pada perampasan tanah hingga mengancam ketahanan pangan nasional.

Etimenilai,berbagaikonflikpertanahan hampir selalu mewarnai hidup kaum petani di Sumsel sebagai korban.Menurut dia,kasus tanah yang berdimensi struktural masih didominasi sengketa antara masyarakat dengan perkebunan besar yang di-back upaparat keamanan. “Malah kasus-kasus reclaiming lahan, aksi panen paksa, disikapi secara represif dan meng-akibatkan korban dari kalangan rakyat. Seperti baru-baru ini, kasus Rengas Ogan Ilir versus PTPN VII Cinta Manis dengan aksi penembakan aparat,”tandasnya.

Belum lagi,lanjut Eti,dalam kasus kekerasan aparat yang terjadi di Tanjung Enim terhadap warga setempat yang mayoritas merupakan buruh tani. Di mana, konflik perebutan lahan antara warga dengan perusaan (PT MHP) juga berujung dalam tindakan kekerasan aparat Brimob/Polres setempat dan terjadi aksi penembakan terhadap 10 warga setempat. Di lain pihak,Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Selatan (Sumsel) Rohman menegaskan, dua pelanggaran terkadang dilakukan aparat, yakni bentuk kekerasan,pemukulan,hingga penembakan, dan basis persoalan terletak pada perampasan hak atas tanah petani.

“Untuk itu, kami meminta penegakan hukum seadil-adilnya. Kasus pelanggaran HAM seperti ini kerap terjadi dan menuntut aparat pemerintah cepat tanggap. Jika pressure terjadi, rakyat semakin tidak percaya adanya bentuk keadilan dan peningkatan kesejahteraan yang sering dijargonkan,” tandasnya.






Artikel Terkait:

0 komentar: