Wajah hutan Merang Kepayang di Kabupaten Musi Banyuasin tak jauh berbeda dengan wajah hutan-hutan konservasi lainnya di Indonesia. Hutan gambut terakhir yang berfungsi sebagai penyeimbang tata air tanah dan cadangan karbon terbesar di Sumatera Selatan ini hanya tinggal menanti saat-saat kehancuran.
Potret kerusakan hutan ini terlihat saat Kompas bersama puluhan akademisi dan aktivis pencinta lingkungan se-Sumatera Selatan menjelajahi hutan Merang Kepayang yang terletak di perbatasan Sumatera Selatan- Jambi akhir tahun 2009.
Sejumlah lembaga yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Merang Redd Pilot Project (MRPP), GTZ, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Wahana Bumi Hijau, Telapak, Warsi, Universitas Muhammadiyah Palembang, dan kalangan pencinta alam lainnya.
Secara umum, ancaman kepunahan ekosistem hutan Merang Kepayang disebabkan faktor perilaku manusia yang tak berwawasan lingkungan. Ditinjau lebih spesifik, penyebabnya meliputi aktivitas penebangan resmi maupun liar yang tak terkontrol, masuknya industri pengolahan ke dalam hutan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan perambahan masyarakat.
Penggundulan hutan primer dan pembukaan rawa gambut ini sudah merambah ke empat alur sungai yang melintasi hutan Merang Kepayang, yakni Sungai Buring, Tembesu Daro, Beruhun, dan Kepayang.
Melihat kondisi ini, para pencinta lingkungan pun lantas menyuarakan keprihatinan yang mendalam. Alasannya, peran penting hutan Merang Kepayang ini tak hanya terletak pada karakteristiknya sebagai lahan gambut tertutup, tetapi juga terkait dengan potensi ekonomisnya sebagai hutan yang menyimpan cadangan karbon terbesar di Sumsel.
Salah satu langkah penyelamatan lalu digagas MRPP-GTZ dengan cara melakukan penelitian ilmiah terhadap kondisi kekinian hutan itu.
Tim dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) dipercaya melaksanakan studi kekinian atas kondisi hutan tersebut.
Menurut Ketua Tim Peneliti UMP Lulu Yuningsih, pihaknya berhasil memotret aktivitas perusakan hutan yang mengerikan, mulai dari penebangan liar dan penebangan yang berizin, perambahan lahan, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit. Kategori kerusakan sudah kompleks karena terlihat mulai dari kawasan daerah aliran sungai, lahan gambut, sampai kawasan hutan primer.
Adapun berdasarkan hasil survei MRPP, saat ini ada lebih dari 9.000 hektar lahan kritis di hutan Merang dari luas total 24.000 hektar. Sisanya mulai mengalami kerusakan bertahap hingga menjadi lahan kritis sebelum akhirnya hancur.
”Jika tak segera dilakukan gerakan penyelamatan, saya pastikan dalam dua-tiga tahun lagi mayoritas kawasan hutan Merang Kepayang menjadi lahan kritis. Kurang dari lima tahun, hutan, termasuk flora-fauna di dalamnya, bakal punah,” katanya.
Penelitian tim Universitas Muhammadiyah juga memperlihatkan bahwa faktor utama perusak hutan Merang Kepayang antara lain aktivitas penebangan liar, industri pengolahan, alih fungsi hutan karena ekspansi perkebunan sawit, serta perambahan oleh masyarakat setempat.
Anggota staf Penyidikan dan Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan, Siswoyo, mengatakan, aktivitas perusakan hutan sulit diberantas karena pelakunya adalah masyarakat, cukong kayu, aparat desa, dinas kehutanan, dan kepolisian. Hal tersebut terjadi karena mispersepsi kebijakan, yakni munculnya anggapan bahwa perlindungan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Sumber: Kompas
(ONI)
Potret kerusakan hutan ini terlihat saat Kompas bersama puluhan akademisi dan aktivis pencinta lingkungan se-Sumatera Selatan menjelajahi hutan Merang Kepayang yang terletak di perbatasan Sumatera Selatan- Jambi akhir tahun 2009.
Sejumlah lembaga yang terlibat dalam kegiatan tersebut antara lain Merang Redd Pilot Project (MRPP), GTZ, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Wahana Bumi Hijau, Telapak, Warsi, Universitas Muhammadiyah Palembang, dan kalangan pencinta alam lainnya.
Secara umum, ancaman kepunahan ekosistem hutan Merang Kepayang disebabkan faktor perilaku manusia yang tak berwawasan lingkungan. Ditinjau lebih spesifik, penyebabnya meliputi aktivitas penebangan resmi maupun liar yang tak terkontrol, masuknya industri pengolahan ke dalam hutan, ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan perambahan masyarakat.
Penggundulan hutan primer dan pembukaan rawa gambut ini sudah merambah ke empat alur sungai yang melintasi hutan Merang Kepayang, yakni Sungai Buring, Tembesu Daro, Beruhun, dan Kepayang.
Melihat kondisi ini, para pencinta lingkungan pun lantas menyuarakan keprihatinan yang mendalam. Alasannya, peran penting hutan Merang Kepayang ini tak hanya terletak pada karakteristiknya sebagai lahan gambut tertutup, tetapi juga terkait dengan potensi ekonomisnya sebagai hutan yang menyimpan cadangan karbon terbesar di Sumsel.
Salah satu langkah penyelamatan lalu digagas MRPP-GTZ dengan cara melakukan penelitian ilmiah terhadap kondisi kekinian hutan itu.
Tim dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) dipercaya melaksanakan studi kekinian atas kondisi hutan tersebut.
Menurut Ketua Tim Peneliti UMP Lulu Yuningsih, pihaknya berhasil memotret aktivitas perusakan hutan yang mengerikan, mulai dari penebangan liar dan penebangan yang berizin, perambahan lahan, serta ekspansi perkebunan kelapa sawit. Kategori kerusakan sudah kompleks karena terlihat mulai dari kawasan daerah aliran sungai, lahan gambut, sampai kawasan hutan primer.
Adapun berdasarkan hasil survei MRPP, saat ini ada lebih dari 9.000 hektar lahan kritis di hutan Merang dari luas total 24.000 hektar. Sisanya mulai mengalami kerusakan bertahap hingga menjadi lahan kritis sebelum akhirnya hancur.
”Jika tak segera dilakukan gerakan penyelamatan, saya pastikan dalam dua-tiga tahun lagi mayoritas kawasan hutan Merang Kepayang menjadi lahan kritis. Kurang dari lima tahun, hutan, termasuk flora-fauna di dalamnya, bakal punah,” katanya.
Penelitian tim Universitas Muhammadiyah juga memperlihatkan bahwa faktor utama perusak hutan Merang Kepayang antara lain aktivitas penebangan liar, industri pengolahan, alih fungsi hutan karena ekspansi perkebunan sawit, serta perambahan oleh masyarakat setempat.
Anggota staf Penyidikan dan Perlindungan Hutan Departemen Kehutanan, Siswoyo, mengatakan, aktivitas perusakan hutan sulit diberantas karena pelakunya adalah masyarakat, cukong kayu, aparat desa, dinas kehutanan, dan kepolisian. Hal tersebut terjadi karena mispersepsi kebijakan, yakni munculnya anggapan bahwa perlindungan hutan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Sumber: Kompas
(ONI)
0 komentar:
Posting Komentar