PALEMBANG (SINDO) – Frekuensi konflik sengketa lahan antara petani dan pengusaha di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) cukup tinggi.
Bahkan dalam 18 tahun terakhir, terdapat 218 kasus yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota. ”Sebagian besar kasus tersebut merupakan buntut permasalahan pertanahan masa lalu yang belum terselesaikan,” kata aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Anuar Sadat yang mendampingi anggota Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Syafruddin Ngulma Simeulue kemarin.
Dalam rapat yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Sumsel Musyrif Suardi, Komnas HAM bermaksud mengumpulkan data terkait laporan warga Desa Sinar Harapan yang menuding PT Berkat Sawit Sejati (BSS) telah menyerobot 75 hektare lahan mereka. Di pihak lain, PT BSS mengklaim bahwa lahan tersebut sudah menjadi hak guna usaha (HGU). Sehingga sebagian lahan tersebut, yakni 50 hektare, telah dibangun parit oleh pihak perusahaan.
Meningkatnya jumlah sengketa lahan disebabkan konflik pertanahan yang terjadi tidak segera ditangani sehingga permasalahan tersebut terus berkembang dan akhirnya memicu konflik di tengah masyarakat. Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, ujar Anuar, kasus sengketa pertanahan di Sumsel mulai memperlihatkan intensitas meningkat yang mana pada 1994, tercatat 12 kasus pertanahan, sementara pada 1995, meningkat menjadi 18 kasus.Bahkan,hingga Desember 2002, jumlahnya membengkak menjadi 117 kasus.
Kemudian pada 2007,konflik agraria di Sumsel meningkat tajam menjadi 218 kasus, dan itu terjadi hampir di seluruh wilayah kabupaten/ kota di Sumsel.Tetapi, akibat penyelesaian yang lamban, muncul perlawanan dari korban penggusuran lahan perkebunan.Perlawanan ini direspons negara dengan cara mengalihkan perkara pokok menjadi perkara pidana.
Menurut dia, seharusnya kasus sengketa lahan antara pengusaha dan masyarakat dapat diselesaikan pihak terkait secara proporsional. Sebab, hasil penyelesaian ini akan sangat berpengaruh terhadap iklim investasi di Sumsel. Salah satu solusi yang dapat ditempuh, yakni dengan menerapkan konsep sertifikasi murah bagi masyarakat. Selama ini,masyarakat tidak pernah tahu jumlah biaya dalam pembuatan sertifikat setiap hektare. Malah sebagian warga beranggapan,mengurus sertifikat tanah itu sangat mahal.
Namun, dengan adanya sertifikasi,parapelaku usaha dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam membuka usaha secara massal. Sementara itu, Komnas HAM diminta menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa 75 hektare lahan di Desa Sinar Harapan, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).
Sebab selama ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muba sudah berupaya maksimal menyelesaikan kasus ini, tapi belum ada hasil. Anggota Komnas HAM sekaligus Komisioner Subkomisi Mediasi Komnas HAM RI Syafruddin Ngulma Simeulue mengungkapkan,pihaknya diminta dapat mencarikan solusi terbaik untuk kasus ini.
”Maksud kedatangan kita untuk mengumpulkan data dan informasi terkait pengaduan warga Sinar Harapan,” ujar Syafruddin kepada wartawan seusai bertemu pejabat Pemprov Sumsel kemarin. Dia mengungkapkan, dalam laporannya,warga Sinar Harapan menuding PT BSS telah melakukan perbuatan yang melanggar HAM. Hanya, informasi tersebut baru diterima secara sepihak dari warga.
Karena itu, Komnas HAM meminta bantuan pemprov dan Pemkab Muba dalam mengumpulkan data-data terkait sengketa lahan di Desa Sinar Harapan. Selain mengumpulkan informasi, lanjut dia, Komnas HAM juga akan mengumpulkan informasi dari warga Desa Sinar Harapan,PT BSS,dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). ”Tugas kami hanya mengumpulkan data dan informasi. Tidak lebih dari itu. Sementara untuk menyimpulkan benar tidaknya dugaan pelanggaran HAM,itu bukan tugas kami,”tuturnya.
Di tempat terpisah,Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan Sumatera Selatan (GPPSS) Syamsir Syahbana menilai sengketa lahan yang dihadapi investor bidang perkebunan dengan masyarakat akan berdampak buruk bagi pencapaian iklim investasi di Sumsel. ”Dampaknya itu pasti ada, tapi saya belum dapat merincinya. Apalagi, saat ini Sumsel sedang membutuhkan investasi yang besar,”ucapnya. (ashariansyah)
Bahkan dalam 18 tahun terakhir, terdapat 218 kasus yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota. ”Sebagian besar kasus tersebut merupakan buntut permasalahan pertanahan masa lalu yang belum terselesaikan,” kata aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Anuar Sadat yang mendampingi anggota Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Syafruddin Ngulma Simeulue kemarin.
Dalam rapat yang dipimpin Sekretaris Daerah (Sekda) Sumsel Musyrif Suardi, Komnas HAM bermaksud mengumpulkan data terkait laporan warga Desa Sinar Harapan yang menuding PT Berkat Sawit Sejati (BSS) telah menyerobot 75 hektare lahan mereka. Di pihak lain, PT BSS mengklaim bahwa lahan tersebut sudah menjadi hak guna usaha (HGU). Sehingga sebagian lahan tersebut, yakni 50 hektare, telah dibangun parit oleh pihak perusahaan.
Meningkatnya jumlah sengketa lahan disebabkan konflik pertanahan yang terjadi tidak segera ditangani sehingga permasalahan tersebut terus berkembang dan akhirnya memicu konflik di tengah masyarakat. Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, ujar Anuar, kasus sengketa pertanahan di Sumsel mulai memperlihatkan intensitas meningkat yang mana pada 1994, tercatat 12 kasus pertanahan, sementara pada 1995, meningkat menjadi 18 kasus.Bahkan,hingga Desember 2002, jumlahnya membengkak menjadi 117 kasus.
Kemudian pada 2007,konflik agraria di Sumsel meningkat tajam menjadi 218 kasus, dan itu terjadi hampir di seluruh wilayah kabupaten/ kota di Sumsel.Tetapi, akibat penyelesaian yang lamban, muncul perlawanan dari korban penggusuran lahan perkebunan.Perlawanan ini direspons negara dengan cara mengalihkan perkara pokok menjadi perkara pidana.
Menurut dia, seharusnya kasus sengketa lahan antara pengusaha dan masyarakat dapat diselesaikan pihak terkait secara proporsional. Sebab, hasil penyelesaian ini akan sangat berpengaruh terhadap iklim investasi di Sumsel. Salah satu solusi yang dapat ditempuh, yakni dengan menerapkan konsep sertifikasi murah bagi masyarakat. Selama ini,masyarakat tidak pernah tahu jumlah biaya dalam pembuatan sertifikat setiap hektare. Malah sebagian warga beranggapan,mengurus sertifikat tanah itu sangat mahal.
Namun, dengan adanya sertifikasi,parapelaku usaha dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam membuka usaha secara massal. Sementara itu, Komnas HAM diminta menjadi mediator dalam penyelesaian sengketa 75 hektare lahan di Desa Sinar Harapan, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba).
Sebab selama ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muba sudah berupaya maksimal menyelesaikan kasus ini, tapi belum ada hasil. Anggota Komnas HAM sekaligus Komisioner Subkomisi Mediasi Komnas HAM RI Syafruddin Ngulma Simeulue mengungkapkan,pihaknya diminta dapat mencarikan solusi terbaik untuk kasus ini.
”Maksud kedatangan kita untuk mengumpulkan data dan informasi terkait pengaduan warga Sinar Harapan,” ujar Syafruddin kepada wartawan seusai bertemu pejabat Pemprov Sumsel kemarin. Dia mengungkapkan, dalam laporannya,warga Sinar Harapan menuding PT BSS telah melakukan perbuatan yang melanggar HAM. Hanya, informasi tersebut baru diterima secara sepihak dari warga.
Karena itu, Komnas HAM meminta bantuan pemprov dan Pemkab Muba dalam mengumpulkan data-data terkait sengketa lahan di Desa Sinar Harapan. Selain mengumpulkan informasi, lanjut dia, Komnas HAM juga akan mengumpulkan informasi dari warga Desa Sinar Harapan,PT BSS,dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). ”Tugas kami hanya mengumpulkan data dan informasi. Tidak lebih dari itu. Sementara untuk menyimpulkan benar tidaknya dugaan pelanggaran HAM,itu bukan tugas kami,”tuturnya.
Di tempat terpisah,Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan Sumatera Selatan (GPPSS) Syamsir Syahbana menilai sengketa lahan yang dihadapi investor bidang perkebunan dengan masyarakat akan berdampak buruk bagi pencapaian iklim investasi di Sumsel. ”Dampaknya itu pasti ada, tapi saya belum dapat merincinya. Apalagi, saat ini Sumsel sedang membutuhkan investasi yang besar,”ucapnya. (ashariansyah)
0 komentar:
Posting Komentar