”Peluklah
pohon-pohon kita, selamatkan mereka dari penebangan. Kekayaan bukit-bukit kita,
selamatkan dari penjarahan (Vandana Shiva)”
Undang-undang Republik Indonesia No. 41/1999 Tentang “Kehutanan”, dijelaskan
bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan
kepada Bangsa Indonesia, merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki
manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik
manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis.
Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara
berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi
sekarang maupun yang akan datang.
Selanjutnya disebutkan pula, sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 – yang mewajibkan agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, maka penyelenggaraan kehutanan harus senantiasa mengandung
jiwa dan semangat kerakyatan, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu
penyelenggaraan kehutanan harus dilakukan dengan asas manfaat dan lestari,
kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan dengan dilandasi
akhlak mulia dan bertanggung-gugat.
Dengan demikian terdapat dua kata kunci urgensi atau tujuan Pengelolaan Sumber
Daya Hutan (PSDH); yaitu kesejahteraan dan pelestarian. Umum mengetahui, selama
kurun waktu orde baru berkuasa, hutan telah dijadikan sebagai salah satu sektor
utama penghasil devisa negara yang dijarah tanpa terkendali. Praktek atau model
yang diterapkan ketika itu, yang cendrung sentralistik, eksploitatif, tidak ada
pengakuan atas hak adat/masyarakat lokal, tidak adanya supremasi hukum, tidak
adanya ruang penyelesaian konflik (resolusi) – telah menyisakan berbagai
persoalan struktural (kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial dan
rentetan bencana lingkungan). Kekuasaan orde baru yang ditopang oleh kekuatan
militer telah memaksa rakyat untuk menyerahkan hutannya, membatasi ruang/akses
rakyat terhadap hutan yang sesungguhnya selama ini telah menghidupi mereka.
Situasi tersebut kemudian telah berdampak secara luas, baik terhadap asfek
kemanusian maupun terhadap lingkungan hidup. Proses pemiskinan terhadap
masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan, kenyataannya
telah memunculkan persoalan-persoalan sosial tersendiri bagi masyarakat. Di
sisi lain eksploitasi yang dilangsungkan telah turut pula menyokong kerusakan
lingkungan dengan impak bencana-bencana ekologi yang mulai dirasakan oleh
masyarakat saat ini.
Kondisi Hutan Tropis Di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu
negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas di dunia setelah Brasil
dengan hutan tropis Amazone-nya. Indonesia memiliki sebaran hutan tropis yang
sangat luas di hampir seluruh wilayah kepulauannya. Data Departemen Kehutanan
menyebutkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 120 juta
hektar
Namun luas kawasan yang ditetapkan ataupun diklaim tersebut bukan merupakan
jaminan bahwa kondisi hutan di Indonesia dalam keadaan baik dan aman.
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat
mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 persen [World Resource Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia
yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya
penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode
1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000
menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah
satu Negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasarkan
hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 setidaknya terdapat 101,73 juta
hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam
kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003].
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa laju deforestasi (kerusakan hutan alam)
mencapai 2,4 juta hektar per tahun, sementara dalam dua tiga tahun terakhir
meningkat mencapai lebih dari tiga juta hektar per tahun. Seperti yang
disampaikan Menteri Kehutanan, MS Kaban bahwa luas kawasan hutan Indonesia
mencapai 120,3 juta hektar, dan saat ini telah mengalami degradasi total dengan
luasan sekitar 59 juta hektar.
Bahkan jika hendak dikalkulasikan, Indonesia telah menghancurkan wilayah
hutannya kira-kira 51 kilometer persegi setiap harinya, setara dengan luasan
300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari kalkulasi
berdasarkan data laporan ’State of The World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan
the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO). Laporan ini juga
menempatkan Indonesia, Meksiko, Papua dan Brasil dalam deretan nagara yang
mengalami kerusakan hutan terparah sepanjang waktu 2000 hingga 2005.
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar
kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik
bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga
pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia
dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, dimana 85% dari bencana
tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan oleh kerusakan
hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003]. Sementara ditahun 2007, WALHI
Nasional mencatat telah terjadi 205 kali bencana, dan pada tahun 2008
intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali.
Selain itu, Indonesia juga telah kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang
selama ini menjadi kebanggaan bangsa. Sementara itu kita fahami bagi sebagian
masyarakat, hutan juga memiliki erat hubungannya dengan asfek religi,
selain hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan, serta
menjadi tempat hidup dan sumber kehidupan.. Dengan hilangnya hutan di Indonesia,
telah menyebabkan demoralisasi atau tereduksinya kebudayaan masyarakat,
hilangnya sumber kehidupan, sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan
meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, telah pula semakin meningkatkan angka
kemiskinan rakyat Indonesia, karena berdasarkan laporan khusus Down to Earth,
juni 2002; diperkirakan setidaknya sebanyak 100 juta dari 216 juta penduduk
Indonesia secara langsung menggantungkan hidup mereka pada hutan dan hasil jasa
hutan.
Tanggung Jawab Pemerintah
Sejak dulu, dalam buku sejarah manapun di Nusantara, interaksi antara
masyarakat dan sumber daya alam dan hutan sangatlah akrab. Manusia Indonesia di
awal peradabannya memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik
sebagai pemburu maupun sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat
diperoleh dari hutan alam.
Walaupun tidak memiliki sertifikat atau pengakuan tanah secara tertulis,
masyarakat lokal/adat amat memahami bagaimana bentuk tradisional pengelolaan
sumber daya alam/hutan mereka. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang arif dan
berkelanjutan, terbukti masyarakat mampu berdikari atas penghidupan mereka.
Namun dalam kurun waktu yang cukup lama, akses masyarakat terhadap lahan dan
hutan semakin dibatasi. Meski secara konstitusi, keberadaan masyarakat adat di
akui oleh Negara, namun jika kita perhatikan alih-alih demi kepentingan
pembangunan/investasi telah membatasi kesempatan masyarakat untuk memperoleh
hak atas pemanfaatan lahan dan hutan.
Dengan kenyataan tersebut, sepertinya pemerintah masihlah setengah hati dalam
mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat/lokal yang berada atau berdiam
di dalam dan sekitar hutan. Padahal penegasian terhadap keberadaan mereka,
tentunya merupakan ancaman social yang kelak harus dibayar mahal oleh
pemerintah, jika pemerintah sendiri tetap berpijak pada paradigma lama dalam
pengelolaan SDA/Hutan. Dengan jumlah sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang
mengelola lahan di sekitar dan di dalam hutan, merupakan potensi sosial yang
tidak kecil jika keberadaan mereka terus dimarjinalisasi.
Memperhatikan dampak, khususnya efek sosial terhadap pembatasan rakyat untuk
memperoleh manfaat dari kekayaan hutan, paska reformasi, muncul berbagai
kebijakan yang memberi ruang keterlibatan masyarakat. Respon tersebut diawali
dengan diterbitkannya SK Menhutbun No. 677/Kpts-/1998 tentang ”Hutan
Kemasyarakatan (HKm)”, yang diperbaharui melalui SK No. 31/Kpts-II/2001. Selain
itu Departemen Kehutanan juga menerbitkan Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004,
tentang ”social forestry”. Selanjutnya di dalam PP No. 6/2007, pengganti PP
34/2002, yang kemudian direvisi menjadi PP 3/2008, tentang ”Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan hutan” – juga
mengakomodir hak masyarakat, termasuk mereka yang tinggal dan berada di kawasan
konservasi untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasil hutan, dalam bentuk
HKm, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan lain-lain.
Dengan dasar kebijakan tersebut, kemudian banyak Kelompok Swadaya Masyarakat
(KSM) dan Organisasi Rakyat (OR) mulai mendorong perwujudan partisipasi rakyat
dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Di Provinsi Lampung misalnya,
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan telah
diimplmentasikan sejak tahun 1998. Pada waktu itu izin HKm pertama kali
diberikan kepada dua kelompok masyarakat di kawasan hutan Register 19 Gunung
Betung, dan pada tahun 1999 melalui SK Menteri Kehutanan No. 865/Kpts-II/1999,
kebijakan ditekankan pada pemanfaatan kawasan hutan Negara oleh masyarakat.
Ketika itu, setidaknya pemerintah Propinsi Lampung melalui fihak Kehutanan,
telah menetapkan pencadangan areal HKm seluas ± 291.727 ha yang meliputi Hutan
Lindung seluas 198.470 ha, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 ha dan Hutan
Produksi seluas 33.360 ha yang tersebar hampir diseluruh kabupaten/kota di
Propinsi Lampung.
Selain di Provinsi Lampung, beberapa propinsi lainnya juga mengimplementasikan
hal yang serupa, dengan memberi peluang kepada masyarakat untuk mengelola dan
memanfaatkan lahan di kawasan hutan Negara. Di Sumut-Aceh, Pemerintah
mengeluarkan SK Menhut No. 227/95 yang kemudian diganti dengan Keppres No.
33/1998 – tentang pengelolaan Kawasan Konservasi Ekosistem Leuser – dan
terdapat lagi beberapa contoh keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan dan
pelestarian hutan.
Bagaimana dengan provinsi Sumatera Selatan?. Berdasarkan sumber dari Dinas
Kehutanan Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan dan GERHAN,
menunjukan bahwa kawasan hutan Sumatera Selatan seluas 3.777.457 hektar atau
3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Luas kawasan hutan Sumsel
tersebut terdiri dari; Hutan Lindung seluas 539.645 hektar, Hutan Konservasi
711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar.
Dari luas kawasan hutan yang ada di Sumsel tersebut, berbeda dengan beberapa
contoh di provinsi lain, senyatanya akses pengelolaan rakyat terhadap sumber
daya hutan begitu dibatasi oleh pemerintah. Malah terjadi di banyak tempat,
pengusiran terhadap masyarakat kerap dilakukan. Dengan alasan proteksi terhadap
kawasan hutan dan pengembangan investasi, banyak masyarakat yang berada di
dalam dan sekitar hutan telah dipaksa menyingkir. Tidak jarang kebijakan
tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sesungguhnya tidaklah lagi tepat untuk
diterapkan dalam situasi politik saat ini.
Berbanding terbalik dengan pembatasan rakyat terhadap akses lahan dan hutan,
sebaliknya pemerintah justru membuka ruang seluas-luasnya bagi kelompok
investasi menjamah kehidupan hutan Sumsel. Berbagai bisnis seperti
Pertambangan, HTI, dan perkebunan kelapa sawit terus digalakkan, yang celakanya
usaha-usaha tersebut justru berada di dalam kawasan hutan yang semestinya tidak
diperuntukkan bagi kepentingan bisnis/industri
Orientasi pengelolaan hutan selama ini yang cendrung hanya diperuntukkan bagi kepentingan
bisnis, dengan mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat, pada prakteknya
telah memunculkan banyak konflik dan keresahan sosial. Deretan kasus agraria
yang berhubungan dengan pembatasan ruang rakyat untuk memperoleh akses kelola
terhadap hutan, semakin menjadikan masyarakat semakin sulit dan terjepit. Tidak
jarang dari sengketa tersebut, beragam persoalanpun banyak menyertai kehidupan
masyarakat, seperti; mendekam dalam kurungan penjara, predikat sebagai daftar
pencarian orang (DPO), konflik horizontal, dan keterbelakangan mental. Bahkan
diantaranya ada yang hingga menemui ajal, hanya karena hendak mempertahankan
sejengkal wilayah dan tanah penghidupannya.
Realitas telah mengguratkan, masyarakat selalu berada pada pihak yang
dimarjinalkan kepentingannya, khususnya jika modal telah mulai bekerja.
Pembatasan dan Penggusuran hak masyarakat selalu menyertai setiap berjalannya
program investasi. Keadilan bukanlah hal yang mudah masyarakat dapatkan, karena
terjadi di banyak tempat, rakyat harus mengalami nasib semakin dijauhkan dari
sarana pokok produksi kehidupannya (lahan dan hutan). Tidak hanya sebatas itu,
teror, intimidasi, dan pengkriminalan, merupakan hal yang selalu diterima.
Alih-alih demi investasi, selalu menjadi senjata pemerintah dalam memaksakan
kehendak terhadap rakyatnya.
Memperhatikan persoalan konflik penguasaan sumber daya hutan di Sumatera
Selatan saat ini yang tengah berada pada situasi yang cukup memprihatinkan,
sudah selayaknya bagi Bupati/Walikota, dan Gubernur untuk memberi ruang yang
luas bagi rakyat untuk memperoleh akses kelola dan manfaat dari kekayaan hutan
Sumsel. Hal ini penting dilakukan oleh pemerintah, karena hilangnya hak atas
akses kelola terhadap lahan dan hutan, secara nyata dapat berakibat kepada
merebaknya kemiskinan yang selanjutnya akan melahirkan serta meningkatnya
kriminalitas dan kekacauan.
Pemerintah juga harus meninggalkan tradisi klasik, melalui penggunaan cara-cara
kekerasan (baik fisik maupun fsikis). Hal tersebut, selain tidaklah tepat lagi
untuk diterapkan dalam situasi demokrasi politik saat ini, juga hanya akan
memperkental kefrustasian masyarakat. Sejarah dan realitas telah mengguratkan
bahwa di bawah sebuah kekuasaan yang menindas, rakyat senantiasa berada dalam
gemilang penderitaan dan kekerasan. Hal itu pula yang membuat rakyat selalu
gagal untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik
potensi alamnya, maupun potensi dirinya.
Dalam konteks inilah, dengan belajar dari pengalaman pengurusan hutan selama
ini yang diakibatkan oleh kebijakan yang keliru. Untuk itu, memberikan akses
pengelolaan dan pemanfaatan hutan kepada masyarakat, khususnya masyarakat
lokal, adalah solusi dalam mengatasi berbagai persoalan sosial yang kerap
muncul selama ini, termasuk masalah ekologi akibat hancurnya hutan kita.
Dengan adanya spirit dari para fihak, khususnya pemerintah dalam mendorong
partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan, tinggal lagi
diperlukan beberapa pra syarat yang perlu dipersiapkan, diantaranya: (1)
Kejelasan dan kepastian wilayah kelola hutan oleh masyarakat; (2) Organisasi
masyarakat yang kuat, solid, dan terarah; (3) Kemampuan masyarakat untuk
mengelola hutan.
Pemenuhan terhadap prasyarat tersebut merupakan sebuah agenda yang membutuhkan
perjuangan yang tidaklah mudah. Di dalamnya diperlukan komitmen dan keseriusan
pemerintah untuk merealisasikannya. Namun hal ini wajib dilakukan, agar
keadilan sosial dan keberlanjutan ekologi tidaklah hanya sekedar sajian
retorika dan jargon semata.
Ditulis oleh Anwar sadat Walhi sumsel
Data luasan hutan departemen kehutanan RI; disampaikan
pertama kali oleh Presiden Soeharto dalam pidato tanpa teks tahun 1961 di Solo
WALHI; Hutan Indonesia menjelang kepunahan
salah satunya bagi Warga Benakat di Kabupaten Muara Enim –
Suamtera Selatan. Di wilayah tersebut terdapat “Hutan Larangan Rimbo
Sekampung”. Kawasan hutan larangan Rimbo Sekampung merupakan hutan milik marga
Benakat yang keberadaannya dilindungi secara adat. Hutan tersebut secara resmi
dikukuhkan pada 26 April 1920, yang oleh pemerintah Belanda memang
diperuntukkan bagi masyarakat Benakat. Pada 25 Oktober 1932 pemerintah Belanda
menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan cadangan (boschwezen), sehingga luas
keseluruhan hutan larangan Rimbo Sekampung adalah 3.000 ha. Namun sejak sejak
tahun 1992 PT. MHP menjarah hutan milik masyarakat tersebut.
Di Kabupaten MUBA kita dapat menyaksikan, sepanjang jalan
Palembang – Jambi, di Desa Peninggalan dan Simpang Tungkal Kecamatan Bayung
Lincir, berdiri perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sentosa Mulya Bahagia
(SMB). Perusahaan tersebut diperkirakan telah mencaplok hutan konservasi SM
Bentayan hingga mencapai ribuan hektar. Demikian juga terjadi di Kabupaten
Lahat, beberapa perusahaan Pertambangan beroperasi di dalam kawasan hutan
konservasi, HL, dan HP, dimana perusahaan-perusahaan tersebut belum memiliki
izin.
Dalam kurun waktu 19 tahun sejak 1989 hingga tahun 2008,
setidaknya di Sumatera Selatan terdapat 244 kasus sengketa tanah yang terekam,
yang merupakan kategori kasus tanah struktural.
Di Kabupaten OKI, sengketa tanah yang terjadi antara
masyarakat dibeberapa desa dengan PT. Persada Sawit Mas (PSM) telah menyebabkan
dua orang meninggal dunia, 23 orang dipenjarakan, dan puluhan orang distatuskan
sebagai DPO. Sementara di Muba, sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. SMB
selain telah menyebabkan enam orang dipenjara, beberapa orang mengalami defresi
karena tanah penghidupannya diserobot perusahaan, hingga akhirnya meninggal
dunia. Situasi demikian, banyak pula terjadi dibanyak tempat di tanah air dan
di daerah ini.