Apa artinya pelaksanaan pertemuan kelautan internasional jika diwarnai oleh tindakan represif terhadap masyarakat sipil dan nelayan tradisional? Apa artinya pelaksanaan pertemuan kelautan internasional jika agenda-agenda penjajahan sumberdaya alam kelautan oleh negara maju diabiarkan melenggang?
Ajang WOC (Wolrd Ocean Conference) seakan menjadi saksi tindakan reprsif aparat keamanan terhadap kelompok masyarakat sipil dan nelayan tradisional. “Ratusan aparat kepolisian terus mengitimidasi aksi nelayan tradisional di pesisir Pantai Malalayang, Manado,” ungkap Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah dalam pesan singkatnya kepada SatuDunia (11/5), “Nyanyian yang dikumandangkan oleh nelayan tradisional dipaksa berhenti,”
Padahal masyarakat sipil dan nelayan tradisional hanya melakaukan aksi damai dan menuntut dihentikannya privatisasi kawasan pesisir, menolak penggunaan pukat harimau dan meminta agar seluruh delegasi WOC mengakui hak-hak nelayan tradisional.
Jika melihat tuntutan kelompok nelayan dan tindakan represif aparat keamanan, tentu akal sehat kita akan mengatakan bahwa WOC di Manado jelas tidak akan membawa manfaat apa-apa bagi nelayan Indonesia. Ajang internasional itu hanya akan menjadi proyek baru negara-negara kaya guna mengesploitasi sumberdaya kelautan Indonesia.
Ekploitasi sumberdaya kelautan itu kali ini dengan mengatasnamakan perubahan iklim. Lembaga-lembaga bisnis internasional dipastikan akan menjadi fasilitator kepentingan mereka. Sebuah penjajahan modern yang ditampakan secara nyaris telanjang.
Sebagai bangsa Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, kita pantas malu sebagai tuan rumah WOC. Malu, karena ajang itu diwarnai tindakan represif aparat keamanan terhadap kelompok masyarakat sipil dan nelayan. Malu, karena agenda penjajahan atas sumberdaya kelautan Indonesia (dan negara-negara berkembang) oleh negara maju dibiarkan melenggang justru di negeri dengan sejuta lautan seperti Indonesia.
Sumber Satu Dunia
div class="fullpost">
Ajang WOC (Wolrd Ocean Conference) seakan menjadi saksi tindakan reprsif aparat keamanan terhadap kelompok masyarakat sipil dan nelayan tradisional. “Ratusan aparat kepolisian terus mengitimidasi aksi nelayan tradisional di pesisir Pantai Malalayang, Manado,” ungkap Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maemunah dalam pesan singkatnya kepada SatuDunia (11/5), “Nyanyian yang dikumandangkan oleh nelayan tradisional dipaksa berhenti,”
Padahal masyarakat sipil dan nelayan tradisional hanya melakaukan aksi damai dan menuntut dihentikannya privatisasi kawasan pesisir, menolak penggunaan pukat harimau dan meminta agar seluruh delegasi WOC mengakui hak-hak nelayan tradisional.
Jika melihat tuntutan kelompok nelayan dan tindakan represif aparat keamanan, tentu akal sehat kita akan mengatakan bahwa WOC di Manado jelas tidak akan membawa manfaat apa-apa bagi nelayan Indonesia. Ajang internasional itu hanya akan menjadi proyek baru negara-negara kaya guna mengesploitasi sumberdaya kelautan Indonesia.
Ekploitasi sumberdaya kelautan itu kali ini dengan mengatasnamakan perubahan iklim. Lembaga-lembaga bisnis internasional dipastikan akan menjadi fasilitator kepentingan mereka. Sebuah penjajahan modern yang ditampakan secara nyaris telanjang.
Sebagai bangsa Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah lautan, kita pantas malu sebagai tuan rumah WOC. Malu, karena ajang itu diwarnai tindakan represif aparat keamanan terhadap kelompok masyarakat sipil dan nelayan. Malu, karena agenda penjajahan atas sumberdaya kelautan Indonesia (dan negara-negara berkembang) oleh negara maju dibiarkan melenggang justru di negeri dengan sejuta lautan seperti Indonesia.
Sumber Satu Dunia
div class="fullpost">
0 komentar:
Posting Komentar