JAKARTA - Polisi telah menetapkan dua aktivis Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) sebagai tersangka. Kepala Divisi Hubungan
Masyarakat Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Inspektur
Jenderal Abubakar Nataprawira mengatakan keduanya menjadi tersangka
karena dianggap melanggar Pasal 167 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Mereka dianggap memaksa masuk wilayah orang lain tanpa izin dengan
melanggar hukum. Mereka terancam hukuman 9 bulan penjara.
Direktur Eksekutif Walhi Berry Nadian Furqan dan Kepala Departemen
Regional Walhi Erwin Usman ditangkap polisi setelah menggelar unjuk
rasa di Pantai Malalayang, Manado, Sulawesi Utara. "Setelah selesai
pemeriksaan kemarin (Senin) malam, polisi menahan kami hingga saat
ini," kata Erwin dalam pesan singkatnya kepada Tempo kemarin.
Berry dan Erwin menggelar unjuk rasa bersama nelayan untuk menyambut
World Ocean Conference, yang berlangsung di Manado sejak Senin lalu
hingga 15 Mei mendatang. Dalam aksinya, mereka mendesak agar dalam
perhelatan akbar itu peserta konferensi tidak menghasilkan keputusan
yang menggusur nelayan.
Sonny Keraf, Wakil Ketua Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan
Perwakilan Rakyat, menilai penangkapan keduanya akan menjadi preseden
buruk Indonesia di mata dunia internasional. Namun, dia mengakui
konferensi ini memang tidak mengusung agenda nelayan dalam bagian
perubahan iklim. "Nelayan tidak punya suara di sini," katanya.
Hingga kemarin, penangkapan Berry dan Erwin masih ditanggapi dengan
berbagai unjuk rasa. Walhi Bengkulu menyatakan penangkapan ini
merupakan bentuk pembungkaman suara masyarakat sipil yang ingin
menyampaikan aspirasinya di forum internasional. Direktur Walhi
Bengkulu Zenzei Suhadi mendesak Kepolisian Daerah Bengkulu membantu
pembebasan dua aktivisnya.
Walhi Kalimantan Timur juga mengecam tindakan polisi itu. Dalam surat
kepada polisi, yang dikirimkan pula ke Komisi III DPR dan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Walhi menilai penangkapan itu merupakan
sikap reaktif polisi dan negara. Direktur Walhi Kalimantan Timur Isal
Wardana menyatakan aksi damai yang digelar bersama koalisi masyarakat
nelayan di Manado merupakan penyampaian aspirasi warga negara. "Tapi
usaha masyarakat malah dihalang-halangi, dihambat, bahkan
diintimidasi," kata Isal kemarin. Dia menuntut pembebasan dua rekannya itu.
Aksi serupa digelar di Palembang, Sumatera Selatan. Walhi Sumatera
Selatan memprotes sikap brutal yang dilakukan aparat kepolisian
Sulawesi Utara.
Artikel Terkait:
- Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa
- Jadi Desa Ekologis di Sumsel : Berkonflik Panjang, Nusantara Menjaga Padi dari Kepungan Sawit
- Hari Pangan Se-Dunia, Walhi dan masyarakat Sipil Deklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis.
- Pidato Sambutan Direktur Walhi Sumsel dalam Peringatan Hari Pangan Se-Dunia dan Deklarasi Nusantara Menuju Desa Ekologis
- Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU
- Melanggar HAM, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
- Sinarmas Forestry company found guilty of unlawful conduct by High Court over peat fires
- Diduga Rugikan Negara Rp3,6 Triliun, Walhi Laporkan Perusahaan Sawit dan Tambang ke KPK
- Peringati Hari Bumi, Walhi secara Nasional Gelar Karnaval di Palembang
- Indonesia suffers setback in fight against haze after suit rejected
0 komentar:
Posting Komentar