(Aliansi Manado) Hingga Minggu malam, 10 Mei 2009, Aliansi Manado belum mendapatkan ijin mengadakan pertemuan di lapangan Manado Square. Rencananya, mereka akan menggelar Forum Kelautan dan Keadilan Perikanan (FKKP), yang dihadiri perwakilan organisasi nelayan tradisional dari 17 propinsi di Indonesi. Ini terjadi karena ketakutan berlebihan penyelenggara WOC-CTI, terhadap para pengkritiknya.
Alasan awal aparat, Aliansi Manado dikhawatirkan akan menggalkan WOC-CTI. Belakangan, alasan ditambah, Aliansi Manado tak punya ijin peminjaman tempat ke kepala desa, camat dan tak menyerahkan daftar nama peserta.
Aparat pemerintah dan keamanan Sabtu pagi (9/5) memaksa panitia membongkar tenda dan sarana pertemuan FKKP lainnya. Padahal, panitia pelaksana telah mengantongi ijin dari Kapolda dan Kesbag Sulawesi Utara.
“Kami merasa tersanjung disebut-sebut akan menandingi dan mengagalkan WOC-CTI. Tapi, sungguh menggelikan. Bagaimana mungkin event kami sebesar mereka? Kami hanya mampu mengundang nelayan-nelayan tradisional dan kelompok pendukungnya. Sementara WOC dihadiri delegasi lebih 120 negara. Kami menggelar acara di tenda, sementara WOC di hotel paling baru dan megah, Grand Kawanua. Kami menggelar forum bebas, sementara WOC diamankan oleh lebih 4 ribu polisi dan tentara. Sungguh berlebihan perlakuan aparat pemerintah dan keamanan kepada kami”, ujar Siti Maemunah, salah satu panita pengarah Aliansi Manado.
Kabarnya WOC-CTI menghabiskan dana lebih Rp 380 milyar. Dan, sekitar 44 milyar menggunakan dana APBN dan APBD Sulut, anggaran rakyat Indonesia. Sudah sewajarnya, suara-suara rakyat, macam Aliansi Manado didengar di forum WOC-CTI.
Aliansi Manado ingin mengoreksi hal-hal yang alpa dibicarakan dalam WOC-CTI dan beresiko membahayakan nasib nelayan tradisional dan keluatan Indonesia, dan negara-negara pendukung CTI. Misalnya, pencemaran laut oleh industri pertambangan, kawasan konservasi yang malah meminggirkan hak-hak nelayan, hingga penangkapan ikan illegal.
Setelah menghentikan pembangunan sarana pertemuan, aparat keamanan malah melakukan tekanan kepada pemilik tanah Manado Square. “Akhirnya pemilik tanah tak berani dan membatalkan persetujuan sewa tanahnya. “Padahal kami sudah membayar lunas uang sewa tersebut, pembangunan WC bahkan sudah berjalan termasuk tiang-tiang untuk mendirikan tenda”, ujal Yul Takaliwang, salah satu anggota Aliansi Manado.
Akhirnya, diskusi-diskusi FKKP dipindahkan ke hotel Kolongan beach, tempat menginap sebagian panitia. Tapi paranoid aparat terus berlangsung. Para petugas intel dan polisi berpakaian sipil yang mengaku utusan Polsek, Polda, Poltabes hingga Mabes Polri. Mereka datang silih berganti ke hotel itu dan melakukan untuk membuat suasana pertemuan menjadi tak nyaman dan was-was, karena selalu dipantau.
Para petugas itu ada yang membawa handycam dan merekam kegiatan peserta, ada yang membawa kamera memotret sana-sini, ada yang membawa alat perekam. Ataupun yang hanya mondar-mandir tak tentu arah.
Kedatangan aparat tersebut mulai sangat mengganggu, disamping jumlahnya banyak, mereka mulai perintah sana-sini, meminta daftar absen dan foto copy data peserta. Cekcok sempat terjadi antara petugas keamanan yang memaksa panitia memberikan nama peserta kegiatan.
Perlakuan aparat keamanan ini berlebihan. Sebab, di sebuah stasiun TV beberapa bulan sebelum acara WOC-CTI digelar, Kapolda Sulut menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa panitia WOC menyediakan tempat untuk berpartisipasi di daerah ring II. Ini adalah kawasan berjarak sekitar 500 meter dari tempat penyelenggaraan, hotel Grand Kawanua.
FKKP sendiri adalah forum para nelayan yang ingin berbagi pengalaman dan cerita terkait dengan kondisi nelayan di masing-masing kawasan. Dari kegiatan ini diharapkan bahwa nelayan dapat memperoleh pengalaman baru yang nantinya dapat dibawa pulang untuk dibagikan kepada teman-teman mereka di kampung.
Perlakuan tak menyenangkan tak hanya dialami Aliansi Manado, tapi juga nelayan sekitar teluk Manado. Sehari sebelum pembukaan WOC-CTI, beberapa nelayan Teluk Manado mengeluhkan himbauan pemerintah setempat untuk tidak melaut, bahkan aparat keamanan melakukan sweeping dikawasan itu.
Tindakan aparat pemerintah dan keamanan yang berlebihan, akan mencederai WOC-CTI sebagai Forum internasional yang partisipatif. Bagaimana bisa berharap forum ini menghasilkan hal-hal yang akan menguntungkan nelayan trandisional, jika belum apa-apa sudah membungkam suara-suara para pengkritiknya? (M&L)
sumber : Jatam
Alasan awal aparat, Aliansi Manado dikhawatirkan akan menggalkan WOC-CTI. Belakangan, alasan ditambah, Aliansi Manado tak punya ijin peminjaman tempat ke kepala desa, camat dan tak menyerahkan daftar nama peserta.
Aparat pemerintah dan keamanan Sabtu pagi (9/5) memaksa panitia membongkar tenda dan sarana pertemuan FKKP lainnya. Padahal, panitia pelaksana telah mengantongi ijin dari Kapolda dan Kesbag Sulawesi Utara.
“Kami merasa tersanjung disebut-sebut akan menandingi dan mengagalkan WOC-CTI. Tapi, sungguh menggelikan. Bagaimana mungkin event kami sebesar mereka? Kami hanya mampu mengundang nelayan-nelayan tradisional dan kelompok pendukungnya. Sementara WOC dihadiri delegasi lebih 120 negara. Kami menggelar acara di tenda, sementara WOC di hotel paling baru dan megah, Grand Kawanua. Kami menggelar forum bebas, sementara WOC diamankan oleh lebih 4 ribu polisi dan tentara. Sungguh berlebihan perlakuan aparat pemerintah dan keamanan kepada kami”, ujar Siti Maemunah, salah satu panita pengarah Aliansi Manado.
Kabarnya WOC-CTI menghabiskan dana lebih Rp 380 milyar. Dan, sekitar 44 milyar menggunakan dana APBN dan APBD Sulut, anggaran rakyat Indonesia. Sudah sewajarnya, suara-suara rakyat, macam Aliansi Manado didengar di forum WOC-CTI.
Aliansi Manado ingin mengoreksi hal-hal yang alpa dibicarakan dalam WOC-CTI dan beresiko membahayakan nasib nelayan tradisional dan keluatan Indonesia, dan negara-negara pendukung CTI. Misalnya, pencemaran laut oleh industri pertambangan, kawasan konservasi yang malah meminggirkan hak-hak nelayan, hingga penangkapan ikan illegal.
Setelah menghentikan pembangunan sarana pertemuan, aparat keamanan malah melakukan tekanan kepada pemilik tanah Manado Square. “Akhirnya pemilik tanah tak berani dan membatalkan persetujuan sewa tanahnya. “Padahal kami sudah membayar lunas uang sewa tersebut, pembangunan WC bahkan sudah berjalan termasuk tiang-tiang untuk mendirikan tenda”, ujal Yul Takaliwang, salah satu anggota Aliansi Manado.
Akhirnya, diskusi-diskusi FKKP dipindahkan ke hotel Kolongan beach, tempat menginap sebagian panitia. Tapi paranoid aparat terus berlangsung. Para petugas intel dan polisi berpakaian sipil yang mengaku utusan Polsek, Polda, Poltabes hingga Mabes Polri. Mereka datang silih berganti ke hotel itu dan melakukan untuk membuat suasana pertemuan menjadi tak nyaman dan was-was, karena selalu dipantau.
Para petugas itu ada yang membawa handycam dan merekam kegiatan peserta, ada yang membawa kamera memotret sana-sini, ada yang membawa alat perekam. Ataupun yang hanya mondar-mandir tak tentu arah.
Kedatangan aparat tersebut mulai sangat mengganggu, disamping jumlahnya banyak, mereka mulai perintah sana-sini, meminta daftar absen dan foto copy data peserta. Cekcok sempat terjadi antara petugas keamanan yang memaksa panitia memberikan nama peserta kegiatan.
Perlakuan aparat keamanan ini berlebihan. Sebab, di sebuah stasiun TV beberapa bulan sebelum acara WOC-CTI digelar, Kapolda Sulut menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa panitia WOC menyediakan tempat untuk berpartisipasi di daerah ring II. Ini adalah kawasan berjarak sekitar 500 meter dari tempat penyelenggaraan, hotel Grand Kawanua.
FKKP sendiri adalah forum para nelayan yang ingin berbagi pengalaman dan cerita terkait dengan kondisi nelayan di masing-masing kawasan. Dari kegiatan ini diharapkan bahwa nelayan dapat memperoleh pengalaman baru yang nantinya dapat dibawa pulang untuk dibagikan kepada teman-teman mereka di kampung.
Perlakuan tak menyenangkan tak hanya dialami Aliansi Manado, tapi juga nelayan sekitar teluk Manado. Sehari sebelum pembukaan WOC-CTI, beberapa nelayan Teluk Manado mengeluhkan himbauan pemerintah setempat untuk tidak melaut, bahkan aparat keamanan melakukan sweeping dikawasan itu.
Tindakan aparat pemerintah dan keamanan yang berlebihan, akan mencederai WOC-CTI sebagai Forum internasional yang partisipatif. Bagaimana bisa berharap forum ini menghasilkan hal-hal yang akan menguntungkan nelayan trandisional, jika belum apa-apa sudah membungkam suara-suara para pengkritiknya? (M&L)
sumber : Jatam
0 komentar:
Posting Komentar