Represi Tidak Mungkin Mampu menyelesaikan Krisis!
Jakarta (13/05/2009). Front Perjuangan Rakyat (FPR) mengecam penangkapan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry Nahdian Furqan dan Kepala Departemen Penguatan Regional WALHI Eksekutif Nasional Erwin Usman, yang dilakukan pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Utara.
Peristiwa penangkapan kedua aktivis Walhi tersebut terjadi di sela-sela penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC). Kedua aktivis Walhi tersebut ditangkap pihak kepolisian karena posisi keduanya selaku penanggungjawab kegiatan “Forum Keadilan, Kelautan dan Perikanan” dan aksi nelayan pada pembukaan WOC, 12 Mei 2009 lalu. Baik Berry Nahdian Furqon maupun Erwin Usman sama-sama dikenai tuduhan melanggar pasal 261 KUHP.
WOC sendiri adalah konferensi internasional yang membahas masalah-masalah kelautan yang terkait dengan perubahan iklim, merumuskan pola pemanfaatan potensi laut yang berkelanjutan, serta menciptakan visi dan komitmen global untuk meningkatkan pengelolaan sumber-daya kelautan. Konferensi kali ini adalah konferensi pertama yang diselenggarakan sejak 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara.
Rudi HB Daman, Koordinator FPR, mensinyalir penangkapan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengucilkan keberadaan dan substansi masalah yang dibahas dalam Forum Keadilan, Kelautan, dan Perikanan. Tujuannya tidak lain, selain mengamankan agenda korporasi yang hendak melanjutkan pengerukkan kekayaan laut dunia untuk mendanai pemulihan krisis global. “Korporasi-korporasi besar perusak kekayaan laut itu membutuhkan ‘stempel ramah lingkungan’ yang harapannya bisa didapat dalam WOC,” tegas Rudi.
Karena itulah, wacana tandingan yang berbasis pada kenyataan riil di lapangan yang diusung Walhi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang peduli pada masalah lingkungan dan kelautan adalah ancaman serius bagi korporasi-korporasi tersebut, lanjut Rudi. “Apalagi di bawah pemerintahan yang dipimpin rejim komprador seperti duet SBY-JK yang paling berkuasa di Indonesia saat ini. Penangkapan dan tindakan represi seperti itu adalah fenomena yang sudah pasti akan mereka lakukan untuk mengamankan kepentingan dari tuan-nya,” tandas Rudi.
Krisis Kelautan
Dalam pandangan FPR, baik rejim SBY-JK maupun korporasi-korporasi multinasional yang mensponsori penyelenggaraan WOC sebenarnya sudah tidak lagi memiliki legitimasi untuk berbicara tentang kondisi kelautan dan dampak-dampak perubaham iklim terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Krisis lingkungan yang cukup parah dialami Indonesia, termasuk krisis lingkungan laut, adalah bukti ketidakmampuan rejim SBY-JK dan korporasi-korporasi multinasional dalam mengelola potensi kelautan secara berkelanjutan.
Krisis ini telah berdampak buruk bagi jutaan kaum nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang berdiam di sepanjang pantai. Dampak yang paling dirasakan kaum nelayan tradisional, khususnya di Indonesia, adalah semakin berkurangnya cadangan sumber-daya kelautan yang bisa dieksplorasi untuk menyambung kehidupan akibat meningginya permukaan laut, hancurnya kawasan hutan mangrove, perubahan cuaca ekstrem yang kian tidak menentu, serta perampokan-perampokan kekayaan laut (illegal fishing) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan penangkapan ikan besar.
Akibatnya, puluhan nelayan tradisional dari negara-negara tropis seperti Indonesia dan Filipina, kian terbenam dalam kubangan kemiskinan ekstrem yang kian parah, jelas Rudi. Parahnya, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan potensi kelautan, cenderung tidak memperhatikan nasib dan kepentingan kaum nelayan. Akibatnya, tidak sedikit kaum nelayan miskin yang mengalami kebangkrutan dan terjerat dalam utang yang sangat besar terhadap rentenir.
Pada saat ini, ketika masyarakat dunia berada dalam situasi resesi, rejim SBY-JK dan para pemimpin dunia lainnya sebenarnya dihadapkan pada pilihan untuk mendengarkan aspirasi dan memenuhi keinginan-keinginan rakyat. Kecuali itu, tidak ada lagi rumus yang bisa mereka ajukan untuk mengatasi krisis, terlebih ketika rumus-rumus tersebut justru mendulang krisis yang kian parah.
Akan tetapi, pembubaran dan penyegelan tempat acara FKKP berikut dengan penangkapan terhadap aktivis-aktivis Walhi selaku penanggungjawab kegiatan tersebut, semakin menegaskan tidak adanya perhatian pemerintah terhadap nasib puluhan juta nelayan miskin tradisional, khususnya dari Indonesia. Tindakan represif aparat kepolisian dibawah pimpinan SBY-JK akan menjadi penanda-penting akan kian memburuknya krisis lingkungan kawasan pesisir dan laut dan kian memburuknya kehidupan nelayan miskin tradisional.***
Jakarta (13/05/2009). Front Perjuangan Rakyat (FPR) mengecam penangkapan Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry Nahdian Furqan dan Kepala Departemen Penguatan Regional WALHI Eksekutif Nasional Erwin Usman, yang dilakukan pihak Kepolisian Daerah Sulawesi Utara.
Peristiwa penangkapan kedua aktivis Walhi tersebut terjadi di sela-sela penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC). Kedua aktivis Walhi tersebut ditangkap pihak kepolisian karena posisi keduanya selaku penanggungjawab kegiatan “Forum Keadilan, Kelautan dan Perikanan” dan aksi nelayan pada pembukaan WOC, 12 Mei 2009 lalu. Baik Berry Nahdian Furqon maupun Erwin Usman sama-sama dikenai tuduhan melanggar pasal 261 KUHP.
WOC sendiri adalah konferensi internasional yang membahas masalah-masalah kelautan yang terkait dengan perubahan iklim, merumuskan pola pemanfaatan potensi laut yang berkelanjutan, serta menciptakan visi dan komitmen global untuk meningkatkan pengelolaan sumber-daya kelautan. Konferensi kali ini adalah konferensi pertama yang diselenggarakan sejak 11-15 Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara.
Rudi HB Daman, Koordinator FPR, mensinyalir penangkapan tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengucilkan keberadaan dan substansi masalah yang dibahas dalam Forum Keadilan, Kelautan, dan Perikanan. Tujuannya tidak lain, selain mengamankan agenda korporasi yang hendak melanjutkan pengerukkan kekayaan laut dunia untuk mendanai pemulihan krisis global. “Korporasi-korporasi besar perusak kekayaan laut itu membutuhkan ‘stempel ramah lingkungan’ yang harapannya bisa didapat dalam WOC,” tegas Rudi.
Karena itulah, wacana tandingan yang berbasis pada kenyataan riil di lapangan yang diusung Walhi dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang peduli pada masalah lingkungan dan kelautan adalah ancaman serius bagi korporasi-korporasi tersebut, lanjut Rudi. “Apalagi di bawah pemerintahan yang dipimpin rejim komprador seperti duet SBY-JK yang paling berkuasa di Indonesia saat ini. Penangkapan dan tindakan represi seperti itu adalah fenomena yang sudah pasti akan mereka lakukan untuk mengamankan kepentingan dari tuan-nya,” tandas Rudi.
Krisis Kelautan
Dalam pandangan FPR, baik rejim SBY-JK maupun korporasi-korporasi multinasional yang mensponsori penyelenggaraan WOC sebenarnya sudah tidak lagi memiliki legitimasi untuk berbicara tentang kondisi kelautan dan dampak-dampak perubaham iklim terhadap kehidupan masyarakat pesisir. Krisis lingkungan yang cukup parah dialami Indonesia, termasuk krisis lingkungan laut, adalah bukti ketidakmampuan rejim SBY-JK dan korporasi-korporasi multinasional dalam mengelola potensi kelautan secara berkelanjutan.
Krisis ini telah berdampak buruk bagi jutaan kaum nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang berdiam di sepanjang pantai. Dampak yang paling dirasakan kaum nelayan tradisional, khususnya di Indonesia, adalah semakin berkurangnya cadangan sumber-daya kelautan yang bisa dieksplorasi untuk menyambung kehidupan akibat meningginya permukaan laut, hancurnya kawasan hutan mangrove, perubahan cuaca ekstrem yang kian tidak menentu, serta perampokan-perampokan kekayaan laut (illegal fishing) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan penangkapan ikan besar.
Akibatnya, puluhan nelayan tradisional dari negara-negara tropis seperti Indonesia dan Filipina, kian terbenam dalam kubangan kemiskinan ekstrem yang kian parah, jelas Rudi. Parahnya, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan potensi kelautan, cenderung tidak memperhatikan nasib dan kepentingan kaum nelayan. Akibatnya, tidak sedikit kaum nelayan miskin yang mengalami kebangkrutan dan terjerat dalam utang yang sangat besar terhadap rentenir.
Pada saat ini, ketika masyarakat dunia berada dalam situasi resesi, rejim SBY-JK dan para pemimpin dunia lainnya sebenarnya dihadapkan pada pilihan untuk mendengarkan aspirasi dan memenuhi keinginan-keinginan rakyat. Kecuali itu, tidak ada lagi rumus yang bisa mereka ajukan untuk mengatasi krisis, terlebih ketika rumus-rumus tersebut justru mendulang krisis yang kian parah.
Akan tetapi, pembubaran dan penyegelan tempat acara FKKP berikut dengan penangkapan terhadap aktivis-aktivis Walhi selaku penanggungjawab kegiatan tersebut, semakin menegaskan tidak adanya perhatian pemerintah terhadap nasib puluhan juta nelayan miskin tradisional, khususnya dari Indonesia. Tindakan represif aparat kepolisian dibawah pimpinan SBY-JK akan menjadi penanda-penting akan kian memburuknya krisis lingkungan kawasan pesisir dan laut dan kian memburuknya kehidupan nelayan miskin tradisional.***
0 komentar:
Posting Komentar