MANADO -- Sekelompok organisasi masyarakat (ormas/NGO) menilai pelaksanaan Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) di Manado, Sulut, sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
WOC itu sendiri mengusung tema "Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change" berlangsung di Manado, Sulawesi Utara, 11-14 Mei 2009, dan dilanjutkan dengan Coral Triangle Initiative (CTI) pada tanggal 15 Mei 2009.
Padahal, diadakannya ajang CTI yang dihadiri enam kepala negara tersebut bertujuan melindungi terumbu karang, sumber daya perikanan yang berkelanjutan, dan ketahanan pangan.
“WOC sarat dengan pelanggaran HAM dan memiliki agenda penggerusan kedaulatan sebuah negara melalui kesepakatan yang dihasilkan dalam WOC tersebut,'' ujar Dewan Nasional WALHI, Khalisah Khalid, yang bertindak sebagai juru bicara kelompok ormas, Selasa siang (12/5).
Karena itu, gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari gerakan lingkungan, hak asasi manusia dan organisasi petani dan organisasi nelayan menyerukan kepada negara-negara yang terlibat dalam WOC menarik delegasinya dari World Ocean Conference (WOC). ''Kami dari masyarakat sipil menyatakan tidak menyetujui deklarasi Manado yang akan disepakati dalam WOC,'' tambahnya.
Selain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sejumlah ormas yang memprotes ajang WOC dan CTI tersebut - Friends of The Earth Internasional (FOEI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Koalisi Keadilan Rakyat untuk Perikanan (KIARA), AMMALTA, YSN, PKP2M, COMMIT, Koalisi Anti Utang, SINAR, SEAFish, Perkumpulan Kelola, KPNNI, Institut Hijau Indonesia, Sarekat Hijau Indonesia, KontraS, LBH Jakarta, IHCS, PBHI, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch dan KpSHK.
Dalam penjelasannya, Khalisah mengatakan, WOC sarat dengan pelanggaran hak sipil dan politik (Sipol). Contohnya, suara nelayan tradisional tidak diberikan tempat untuk menyuarakan hak-hak dasarnya, tindakan repressif aparat kepolisian yang membubarkan penyelenggaraan kegiatan masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan, aksi penangkapan terhadap aktifis dan deportasi kepada nelayan dan aktifis lingkungan yang sedang menyuarakan hak-hak dasar dan krisis yang dialami oleh masyarakat nelayan yang tidak pernah menjadi perhatian WOC.
''Praktek-praktek yang dilakukan oleh aparat keamanan mencerminkan bahwa Negara telah mengabaikan hak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.
Indikasi pelanggaran hak sipil dan politik juga berpotensi kuat akan terjadi, ketika negara dan delegasi negara-negara mengambil kesepakatan yang tidak pernah melibatkan masyarakat pesisir atau nelayan, dan nelayan akan terancam kriminalisasi oleh aparat keamanan karena melanggar kesepakatan yang dibuat oleh negara. Padahal selama ini, nelayan tradisional diabaikan dan hak-hak kelola tradisionalnya tidak diakui oleh negara dan actor-aktor yang terlibat dalam WOC.
Khalisah menambahkan, selain pelanggaran HAM diatas, WOC juga melakukan pelanggaran hak ekonomi, social dan budaya (ekosob). Ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang melarang nelayan melaut sepanjang pelaksanaan WOC.
''Jika demikian, jargon WOC sebagai forum dunia untuk kepentingan rakyat jauh dari kenyataan. WOC justru jauh dari potret krisis kelautan dan krisis yang dirasakan oleh nelayan,'' tegasnya.
Persoalan-persoalan pokok yang dilupakan dalam kedua pertemuan internasional ini bertolak dari hak-hak konstitusional nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, baik laki-laki maupun perempuan. Jika WOC melenggang mulus dengan agendanya, nasib nelayan yang menjadi lumbung dan penyedia protein tersingkir dari ruang hidupnya dan semakin menenggelamkan nelayan dalam kemiskinan.
Bagi gerakan masyarakat sipil, khususnya gerakan lingkungan dan nelayan di Indonesia, WOC tidak lebih hanya menjadi alat untuk melegitimasi liberalisasi sumber daya laut dan semakin memiskinkan nelayan oleh berbagai kebijakan pembangunan. WOC merupakan ancaman yang serius bagi kedaulatan negara-negara maritim seperti Indonesia. Proyek CTI sesungguhnya menjadi legitimasi oleh pengurus Negara untuk “menjual” kekayaan laut Indonesia.
Sedangkan, CTI sebagai sebuah inistiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan Negara kepulauan seperti Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC - CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi.
Bukti terakhir adalah dari perluasan konservasi laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektar, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerjasama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu tradisonal paus sejak April 2009, ini menjadi indikator untuk menjelaskan nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka.
Selanjutnya, indikasi pasar bebas konservasi ini terkait dengan pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Programme, kerjasama WWF, TNC dan CI dan lainnya dengan lembaga keuangan internasional dan perusahaan tambang migas seperti Shell, Rio Tinto, Nwmont dan Anglo American.
Program ini, menurut Khalisah, akan menjadi pemakluman pembongkaran kawasan konservasi menjadi kawasan pengerukan bahan tambang melalui skema kompensasi keragaman hayati (biodiversity offset). ''Melihat dari sini jelas, agenda WOC juga semakin melegalkan pembuangan limbah atau tailing ke laut negara-negara kepulauan dan Negara-negara dunia ketiga,'' jelasnya.
Untuk itulah, Gerakan masyarakat sipil di Indonesia juga mengutuk keras tindakan repressif orde baru yang masih dipraktekkan oleh pemerintah SBY-JK, untuk membungkam suara kritis rakyat yang menyampaikan pendapatnya dimuka umum yang sesungguhnya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi Negara.(republika)
WOC itu sendiri mengusung tema "Climate Change Impacts to Ocean and The Role of Ocean to Climate Change" berlangsung di Manado, Sulawesi Utara, 11-14 Mei 2009, dan dilanjutkan dengan Coral Triangle Initiative (CTI) pada tanggal 15 Mei 2009.
Padahal, diadakannya ajang CTI yang dihadiri enam kepala negara tersebut bertujuan melindungi terumbu karang, sumber daya perikanan yang berkelanjutan, dan ketahanan pangan.
“WOC sarat dengan pelanggaran HAM dan memiliki agenda penggerusan kedaulatan sebuah negara melalui kesepakatan yang dihasilkan dalam WOC tersebut,'' ujar Dewan Nasional WALHI, Khalisah Khalid, yang bertindak sebagai juru bicara kelompok ormas, Selasa siang (12/5).
Karena itu, gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari gerakan lingkungan, hak asasi manusia dan organisasi petani dan organisasi nelayan menyerukan kepada negara-negara yang terlibat dalam WOC menarik delegasinya dari World Ocean Conference (WOC). ''Kami dari masyarakat sipil menyatakan tidak menyetujui deklarasi Manado yang akan disepakati dalam WOC,'' tambahnya.
Selain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sejumlah ormas yang memprotes ajang WOC dan CTI tersebut - Friends of The Earth Internasional (FOEI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Koalisi Keadilan Rakyat untuk Perikanan (KIARA), AMMALTA, YSN, PKP2M, COMMIT, Koalisi Anti Utang, SINAR, SEAFish, Perkumpulan Kelola, KPNNI, Institut Hijau Indonesia, Sarekat Hijau Indonesia, KontraS, LBH Jakarta, IHCS, PBHI, Konsorsium Pembaruan Agraria, Sawit Watch dan KpSHK.
Dalam penjelasannya, Khalisah mengatakan, WOC sarat dengan pelanggaran hak sipil dan politik (Sipol). Contohnya, suara nelayan tradisional tidak diberikan tempat untuk menyuarakan hak-hak dasarnya, tindakan repressif aparat kepolisian yang membubarkan penyelenggaraan kegiatan masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan, aksi penangkapan terhadap aktifis dan deportasi kepada nelayan dan aktifis lingkungan yang sedang menyuarakan hak-hak dasar dan krisis yang dialami oleh masyarakat nelayan yang tidak pernah menjadi perhatian WOC.
''Praktek-praktek yang dilakukan oleh aparat keamanan mencerminkan bahwa Negara telah mengabaikan hak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimana yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi.
Indikasi pelanggaran hak sipil dan politik juga berpotensi kuat akan terjadi, ketika negara dan delegasi negara-negara mengambil kesepakatan yang tidak pernah melibatkan masyarakat pesisir atau nelayan, dan nelayan akan terancam kriminalisasi oleh aparat keamanan karena melanggar kesepakatan yang dibuat oleh negara. Padahal selama ini, nelayan tradisional diabaikan dan hak-hak kelola tradisionalnya tidak diakui oleh negara dan actor-aktor yang terlibat dalam WOC.
Khalisah menambahkan, selain pelanggaran HAM diatas, WOC juga melakukan pelanggaran hak ekonomi, social dan budaya (ekosob). Ini dapat dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang melarang nelayan melaut sepanjang pelaksanaan WOC.
''Jika demikian, jargon WOC sebagai forum dunia untuk kepentingan rakyat jauh dari kenyataan. WOC justru jauh dari potret krisis kelautan dan krisis yang dirasakan oleh nelayan,'' tegasnya.
Persoalan-persoalan pokok yang dilupakan dalam kedua pertemuan internasional ini bertolak dari hak-hak konstitusional nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil, baik laki-laki maupun perempuan. Jika WOC melenggang mulus dengan agendanya, nasib nelayan yang menjadi lumbung dan penyedia protein tersingkir dari ruang hidupnya dan semakin menenggelamkan nelayan dalam kemiskinan.
Bagi gerakan masyarakat sipil, khususnya gerakan lingkungan dan nelayan di Indonesia, WOC tidak lebih hanya menjadi alat untuk melegitimasi liberalisasi sumber daya laut dan semakin memiskinkan nelayan oleh berbagai kebijakan pembangunan. WOC merupakan ancaman yang serius bagi kedaulatan negara-negara maritim seperti Indonesia. Proyek CTI sesungguhnya menjadi legitimasi oleh pengurus Negara untuk “menjual” kekayaan laut Indonesia.
Sedangkan, CTI sebagai sebuah inistiatif yang semakin menghilangkan kedaulatan Negara kepulauan seperti Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga, khususnya nelayan tradisional. WOC - CTI mengarahkan pada pasar bebas konservasi.
Bukti terakhir adalah dari perluasan konservasi laut Sawu dari 40 ribu ha menjadi 400 ribu ha, dan rencananya menjadi 4 juta hektar, yang akan diumumkan pada ajang WOC. Inilah hasil kerjasama The Nature Conservancy (TNC) beserta Departemen Kelautan dan Perikanan. Mereka bahkan melarang masyarakat Bajo Lamalera menghentikan tradisi mereka berburu tradisonal paus sejak April 2009, ini menjadi indikator untuk menjelaskan nelayan dijauhkan dari akses dan kontrolnya terhadap sumber daya laut mereka.
Selanjutnya, indikasi pasar bebas konservasi ini terkait dengan pengembangan program BBOP-Business and Biodiversity Offsets Programme, kerjasama WWF, TNC dan CI dan lainnya dengan lembaga keuangan internasional dan perusahaan tambang migas seperti Shell, Rio Tinto, Nwmont dan Anglo American.
Program ini, menurut Khalisah, akan menjadi pemakluman pembongkaran kawasan konservasi menjadi kawasan pengerukan bahan tambang melalui skema kompensasi keragaman hayati (biodiversity offset). ''Melihat dari sini jelas, agenda WOC juga semakin melegalkan pembuangan limbah atau tailing ke laut negara-negara kepulauan dan Negara-negara dunia ketiga,'' jelasnya.
Untuk itulah, Gerakan masyarakat sipil di Indonesia juga mengutuk keras tindakan repressif orde baru yang masih dipraktekkan oleh pemerintah SBY-JK, untuk membungkam suara kritis rakyat yang menyampaikan pendapatnya dimuka umum yang sesungguhnya dijamin dan dilindungi oleh konstitusi Negara.(republika)
0 komentar:
Posting Komentar