WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Senin, Desember 30, 2013
Indonesia: Gold in Bukit Tiga Jurai affecting food sovereignty
PDLH Walhi Sumsel tetapkan Hadi jatmiko Menjadi Direktur
Hadi Jatmiko Direktur Walhi Sumsel 2013 - 2017 saat memaparkan Visi Misi di depan Anggota Forum Walhi Sumsel |
Kamis, Oktober 31, 2013
Walhi dan Petani tuntut pembebasan Dua Warga di OKI
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel bersama perwakilan petani
dari empat desa yakni Desa Bumi Makmur, Gedung Rejo dan Sidomulyo di
Kecamatan Mesuji Raya dan Desa Tanjung Sari Kecamatan Lempuing Jaya
menuntut pembebasan dua warga yang dituduh mencuri getah karet.Suhodo dan Sumarto warga Desa Bumi Makmur Kecamatan Mesuji Raya ditahan oleh Polres OKI karena diduga mencuri getah karet milik PT Waymusi Agro Indah, Selasa (29/10/2013).
Menurut Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel, keduanya mengambil getah karet dari tanaman sendiri.
"Suhodo
dan Sumarto adalah warga transmigrasi sejak tahun 1986 dari Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Barat. Mereka telah menanam sejak itu tapi
justru dituduh mencuri tanaman mereka sendiri oleh perusahaan yang
mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) tahun 1990," kata Anwar dalam jumpa
pers di Kopitiam Senopati Palembang, Rabu (30/10/2013).
Anwar
menuding PT Waymusi Agro Indah yang memiliki HGU dari BPN seluas 3.223
hektar berusaha melakukan ekspansi ke lahan milik warga transmigrasi
yang masing-masing memiliki luas tanah 0,25 hektar sebagai areal
perkarangan dan sekitar 2 hektar untuk lahan pertanian.
"Ada usaha pemanfaatan lahan milik warga menjadi usaha perkebunan oleh perusahaan itu. Makanya kita menuntut Pemkab dan BPN OKI mengukur ulang luas wilayah izin HGU PT Waymusi Agro Indah," tegasnya.
Selengkapnya...
Petani desak Pengembalian Lahan Transmigran oleh Perusahaan Karet
Pasalnya, warga beranggapan lahan seluas 3.223 hektar yang tertera di dalam sertifikat HGU salahsatu perusahaan karet setempat, sekitar 1.400 hektar merupakan lahan transmigrasi yang dihuni oleh 425 kepala keluarga. Petani yang merupakan warga transmigrasi yang berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Jogyakarta dan Jawa Timur telah mengelola lahan sejak tahun 1986 atau pertama kali ditempatkan di lahan tersebut oleh Menakertrans kala itu.
Namun sejak tahun 1988, lahan yang sebelumnya ditanami berbagai tanaman sayur mayur termasuk karet mulai dikuasasi oleh perusahaan swasta. “Konflik mulai muncul sejak tahun 1988, saat itu adanya usaha karet di lahan transmigrasi yang katanya telah mendapatkan izin HGU. Dimana setahu kami, berdasarkan aturan tidak boleh ada kelompok atau badan usaha yang mengelola lahan transmigrasi kecuali warga transmigrasi,” Suwito (61), warga Desa Bumi Makmur didampingi ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat di café Kopi Tiam Jl Senopati, rabu (30/10).
Bahkan diakuinya, untuk menuntut haknya tersebut, beberapa kali warga sudah mempertanyakannya. Hanya saja, bukan yang positif diterima warga. Melainkan, sejak tahun 2003 hingga terakhir 29 September 2013, beberapa warga ditangkap oleh Polres OKI. “Kami tanpa tahu alasannya, dua petani yang juga warga transmigrasi ditangkap. Tuduhannya telah mencuri karet, padahal sepengetahuan kami karet yang disadap merupakan milik warga yang sudah ada dan ditanam sebelum dikuasai oleh pihak perusahaan,” bebernya. (afi)
Walhi Minta KPK Bongkar Korupsi Perkebunan Di Sumsel
Jumat, Oktober 11, 2013
Mengabaikan Lingkungan Hidup dan Melupakan Rakyat, WALHI Gugat Presiden
Senin, September 30, 2013
Setelah Raja Hutan tak punya Istana dan wilayah kuasa
Beredar Video Harimau Sumatera Dibantai di Muara Enim
Perburuan melibatkan oknum warga desa setempat sebagai penunjuk jalan. Ironisnya, aktivitas perburuan itu direkam dalam bentuk video berjudul judul ‘Harimau Blk 66 Sbn’ dan telah menyebar luas.
Jumat, September 27, 2013
Mission Impossible: Green Banking
-Perbankan domestik menggelontorkan US$2 miliar untuk sedikitnya 19 perusahaan besar kelapa sawit sepanjang 2002—2011.
-Bank Indonesia meminta perbankan memperhatikan aspek perlindungan lingkungan para debitur sebelum pemberian kredit.
-Pembukaan kebun kelapa sawit kerapkali tak ramah lingkungan dan menimbulkan konflik.
Laporan terbaru Greenpeace berjudul Certifying Destruction: Why Consumer Companies Need to Go Beyond the RSPO to Stop Forest Destruction? juga memaparkan tentang pentingnya kritik terhadap standar asosiasi multipihak tersebut. Riset yang dirilis pada September itu menegaskan bagaimana RSPO pun tak sanggup menahan kerusakan lingkungan oleh perusahaan sawit. Salah satunya, pembakaran hutan—untuk membuka kebun—yang mengakibatkan kabut asap di Riau pada Juni. Pembakaran tersebut diduga dilakukan di dalam konsesi milik Asian Agri, Jatim Jaya Perkasa, Sime Darby, dan Wilmar International. Bahkan, organisasi itu menemukan area seluas 5,5 juta hektare berisikan konsesi yang tumpang-tindih antara sektor perkayuan, hutan tanaman industri, kelapa sawit hingga pertambangan.
Peminjam dana mereka pun bermacam-macam a.l. dari Indofood Agri Resources, Musim Mas, Sampoerna Agro hingga Tunas Baru Lampung. Ada juga yang mendanai perusahaan asal Malaysia Gozco Plantations. Standar soal lingkungan pun bervariasi. Dari Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), sertifikat hak, penilaian Proper, hingga aturan RSPO. Rata-rata kredit korporasi di sektor agribisnis empat bank tersebut berkisar 4%—10% lebih dari total pinjaman yang masing-masing berkisar Rp200 triliun—Rp300 triliun pada tahun lalu.
Konflik Lahan Semakin Bermunculan
Jakarta - Konflik lahan yang melibatkan masyarakat dengan
perusahaan di Sumatera Selatan terus terjadi. Kasus baru muncul,
sementara penyelesaian kasus yang sudah ada berlangsung lambat. Konflik
lahan itu terjadi karena lahan garapan masyarakat terdesak perusahaan.
Salah
satu konflik lahan yang baru muncul adalah terkait tuntutan warga Desa
Bakung, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan
(Sumsel). Mereka mengajukan klaim terhadap lahan seluas 2.080 hektar
(ha) yang kini dikuasai empat perusahaan perkebunan kelapa sawit.
”Dari
peta lama yang kami dapat, lahan tersebut lahan desa yang dijual ke
perusahaan-perusahaan itu oleh oknum kepala desa dari Kabupaten Muara
Enim. Statusnya lahan hutan produktif. Kami menuntutnya dikembalikan,”
kata juru bicara warga, Faizal (41), Kamis (26/9/2013).
Meskipun
sudah dikuasai perusahaan sejak 2008, Faizal mengatakan, warga baru
mengetahui masalah itu 2012. Selama sebulan terakhir, sekitar 1.000
warga Bakung melakukan berbagai aksi terkait hal itu, antara lain
menduduki lahan dan berunjuk rasa ke Markas Polda Sumsel.
Sekretaris
Jenderal Serikat Petani Sriwijaya (SPS) Anwar Sadat mengatakan, konflik
lahan dipicu ketimpangan penguasaan lahan karena sebagian besar lahan
dikuasai perusahaan. Petani semakin kehilangan lahan garapan karena
terdesak perusahaan.
Dari data Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, sekitar 4,9 juta ha atau sekitar 56,32
persen lahan dikuasai perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha hutan
tanaman industri (HTI), 1 juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta
ha pertambangan batubara.
”Dari pemetaan kami, masih
banyak masalah lahan di Sumsel yang masih laten,” katanya dalam
deklarasi SPS yang beranggotakan sekitar 10.000 orang.
Asisten
I Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Sumsel Mukti Sulaiman
mengatakan, hingga tahun 2011 ada sekitar 30 konflik lahan. Kini,
jumlahnya menjadi 43 konflik, tujuh di antaranya selesai lewat
musyawarah, 19 diajukan ke pengadilan.
Belasan
konflik berlangsung bertahun-tahun, seperti konflik di Desa Sei Sodong
di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan warga belasan
desa di Kabupaten Ogan Ilir dengan PTPN VII Cinta Manis.
Karena
itu, pada 2011 Pemprov Sumsel membentuk tim khusus yang diketahui
Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Guna mencegah munculnya konflik lahan
baru, kata Mukti, pemberian izin lahan dilakukan dengan lebih hati-hati.
Izin hanya diberikan untuk lahan-lahan hak guna usaha yang sudah tidak
digunakan atau telantar. (kompas)
Selengkapnya...
Anwar Sadat Deklarasikan SPS
Perjuangkan Hak-hak Tanah Petani
Minggu, September 22, 2013
Setiap Hari Ada Petani Ditangkap Akibat Perluasan Perkebunan Sawit
JAKARTA- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir peserta transmigrasi
korban penggusuran perusahaan perkebunan semakin bertambah. Setiap
hari, lebih dari satu petani ditangkap akibat mempertahankan tanah
mereka.
"Mereka dikriminalisasi kemudian digusur," ujar Zenzi
Suhadi, pengkampanye hutan dan perkebunan skala besar WALHI kepada
Tribunnews di kantornya, Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Zeni mengatakan pemerintah terlebih dahulu mengirim masyarakat untuk transmigrasi di hutan-hutan. Setelah itu masyarakat dituntut harus bisa mandiri dengan membuka lahan dan membuat pemukiman.
Perkebunan
kemudian masuk ke hutan yang telah menjadi kebun tersebut dengan dalih
Hak Guna Usaha (HGU) atau sejenis hak penguasaan hutan.
Pemerintah,
sebenarnya memberikan tiga jenis tanah kepada masyarakat. Yakni tanah
garapan, tanah cadangan, dan tanah pemukiman. Menurut Zenzi hanya tanah
pemukiman yang saat ini belum digusur oleh perusahaan perkebunan.
Modus
lainnya, perkebunan bekerja sama dengan kepala desa untuk mengumpulkan
sertifat tanah warga. Kepala desa itu kemudian memberikan sertifikat
tanah ke perkebunan sehingga masyarakat tidak memiliki bukti atas
kepemilikan lahan.
Berdasarkan data yang dihimpun WALHI,
pergeseran dan penguasaan tanah dalam 10 tahun terakhir rata-rata 5,6
juta hektar per tahun. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2012 tercatat 56
juta hektar hutan Indonesia bergeser kekuasannya dari rakyat dan negara
ke pengusaha perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), HPH, dan
Tambang.
Sementara korban yang sudah melapor ke WALHI berasal dari
Desa Nusantara Sumatera Selatan, Rawa Indah dan Ketahun di Bengkulu,
Biru Maju dan Kumai di Kalimantan Tengah, dan Sajeung Helang di
Kalimantan Selatan.
Selengkapnya...
Senin, Juli 22, 2013
Deklarasi Masyarakat Gambut Pantai Timur Sumatera
Selengkapnya...