Di tulis oleh Musri Nauli,SH
Perasaan
bercampuk-aduk. Sedih, kesal, tidak terima diperlakukan tidak adil,
terganggu ilmu hukum yang dipelajari di kampus, marah, kecewa. Rasa
inilah yang penulis rasakan ketika mendampingi Anwar Sadat dan Dedek
Chaniago dalam persidangan pidana di Pengadilan Negeri Palembang tanggal
1 April 2013.
Pengambilan sumpah para saksi sebelum didengar keterangannya oleh Hakim (Foto: Walhi Sumsel 1/4/13 ) |
Sebagai
advokat yang mendampingi perkara, memang dibutuhkan “ketenangan”
berfikir dan melihat persoalan ini secara obyektif. Posisi advokat yang
tidak tepat menjadi pihak harus melihat persoalan ini dari sudut pandang
ilmu hukum. Dengan dasar itulah, penulis harus “kadangkala” menahan
rasa kecewa, marah untuk sejenak melihat persidangan ini secara utuh.
Melepaskan “sejenak” rasa marah. Meninggalkan “rasa kecewa” dan tetap
fokus melihat persidangan.
Namun
sebagai “sesama teman ED” yang bertanggungjawab untuk menjaga
kelangsungan organisasi sebesar Walhi, peran ini tidak boleh dipandang
enteng. Pikiran itulah yang penulis rasakan. Bercampur aduk antara
mengurusi perkara “Anwar Sadat”, posisi penting sebagai Direktur Walhi
dan tentu saja sebagai sahabat yang “merasakan semangat bergelora”
memperjuangkan keyakinan.
Sehingga
tidak salah kemudian, didalam persidangan, alam bawah sadar “harus
selalu” diteriakkan untuk melihat agar persidangan menjadi fair dan
tidak memihak kepada kepada kepentingan diluar hukum. Apalagi kemudian
hukum dijadikan “alat” represif “menghukum” para pengkritik yang berbeda
pandangan dengan penguasa.
Catatan
perjalanan proses hukum baik dimulai dari proses pemeriksaan di
Kepolisian hingga dimuka persidangan, memaksa penulis harus menunjukkan
bahwa proses demokrasi tengah berlangsung dan harus terus diperjuangkan.
Dalam tahap pemeriksaan, entah menggunakan pemikiran yang “keliru”,
pihak penyidik selalu “memaksa” Dedek Chaniago dan Anwar Sadat
“menyatakan demonsrasi” memerlukan izin. Sempat sedikit emosi penulis
beragumen, dasar hukum apa yang menyatakan “demonstrasi harus memerlukan
izin”.
Sempat
perdebatan kecil, namun dengan tegas penulis mengeluarkan
peraturan-peraturan perundang-undangan yang dengan tegas menyatakan
“demonstrasi tidak memerlukan izin”.
Perdebatan
“dimulai” dengan pertanyaan. Apakah pernah membaca UU no. 9 tahun 1998
?. penulis kaget ketika penyidik sama sekali tidak mengetahui UU No. 9
Tahun 1998. Dengan penasaran penulis menyatakan “untuk apa perdebatan
dimulai, apabila UU mengenai demonstrasi aja tidak pernah dibaca.
Membicarakan
“demonstrasi” tidak terlepas dari UU No. 9 Tahun 1998. Secara tegas
limitatif, disampaikan, “bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka
umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar
1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia”. Makna filosofi dari
UU ini sebenarnya dengan tegas menyatakan “menyampaikan pendapat”
adalah hak.
Dalam
UU secara tegas sudah dinyatakan, yang dimaksudkan dengan “menyampaikan
pendapat dimuka umum” adalah “unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat
umum dan atau mimbar bebas”
Dalam
konsep hukum, membicarakan “hak” dengan padanan kata “right” artinya
“kebebasan yang diberikan oleh hukum”. Bandingkan dengan konsep hukum
“izin” dengan padanan kata “pembolehan”, maka apabila menggunakan
literatur yang ada, dimana “izin” adalah “pembolehan” dimana esensi
sebelumnya merupakan “tidak boleh”.
Dalam
praktek penegakkan hukum, kata-kata “izin” dapat kita lihat didalam UU
Kehutanan. Misalnya, pada “pokoknya” orang tidak boleh “mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan”, atau “menebang pohon
atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan dan seterusnya.
Maka “seseorang” dapat dijatuhi pidana apabila “mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” atau “menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan. Namun, “seseorang”
dibenarkan untuk “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan, atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil
hutan di dalam hutan” apabila telah “ada izin”. Ini ditandai dengan
kalimat “Secara tidak sah” atau kalimat “memiliki hak atau izin dari
pejabat yang berwenang”
Dengan
demikian, maka seseorang tidak dapat dipersalahkan apabila “mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan” secara “sah”.
Atau “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan” apabila “memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”
Sehingga
membicarakan hak tidak diperlukan “izin”. Sebuah konsep hukum yang
tidak tepat apabila “hak” disandingkan dengan kata-kata “izin”. Dengan
merujuk kepada prinsip yang berbeda antara “izin” dan “hak” maka
mempunyai konsekwensi hukum.
Izin memerlukan “persetujuan” dari pejabat yang “berwenang”, sedangkan hak tidak diperlukan “persetujuan dari manapun.
Makna
ini yang diatur didalam UU No. 9 tahun 1998. UU ini lahir untuk
menghapuskan pasal 510 KUHP, dimana pasal ini paling sering digunakan
kepada kaum demonstran.
Dalam
UU No. 9 Tahun 1998 kemudian “diatur”, “menyampaikan pendapat dimuka
umum” harus dilakukan “pemberitahuan” secara tertulis. Makna kata-kata
“pemberitahuan” sekedar konfirmasi adanya “menyampaikan pendapat dimuka
umum”. Ini diperlukan agar pihak keamanan dapat “mengatur” rute
demonstrasi yang hendak dilalui, “mengatur lalu lintas” dan sebagainya.
Dengan
melihat paparan yang telah disampaikan, maka cara pandang terhadap
kegiatan “menyampaikan pendapat dimuka hukum” harus berangkat dari UU
No. 9 Tahun 1998. Bukan dari pandangan sempit yang berangkat dari
paradigma orde baru sempit yang menganggap “demonstrasi' seperti
kegiatan yang illegal dan ditakuti “mengganggu kekuasaan”. Dan barulah
“penyidik” tidak ngotot lagi.
Dengnan
pemikiran diatas, maka penulis “berkeyakinan” bahwa hukum dijadikan
alat untuk “membungkam” sikap kritis Anwar Sadat yang berada di barisan
terdepan untuk “memperjuangkan” kepentingan petani yang terpinggirkan.
Simpang siur keterangan saksi satu dengan saksi lainnya.
Pada sidang tanggal 1 April 2013, dihadirkan 3 orang saksi yaitu Kamaruddin, Abdul Gani dan Karsono.
Ketiganya
serempak “menerangkan” Anwar Sadat dan Dedek Chaniago “ikut mendorong
pagar” dan “ikut merobohkan pagar”. Keterangan ini tidak relevan dengan
keterangan mereka sendiri.
Pada
saat ketika fakta yang berkaitain apakah Anwar Sadat dan Dedek Chaniago
menggunakan mikropon atau sound system (pakai mobil pick up), para
saksi kesulitan menerangkannya. Selain karena “diperintahkan untuk
menjawab iya” (yang ditandai dengan anggukan yang berdiri di belakang
majelis namun dapat disaksikan seluruh yang hadir dipersidangan),
pernyataan mereka tidak konsisten.
Apakah
ketika sedang berorasi “kemudian berlari” untuk mendorong pagar ?
Photo-photo yang diperlihatkan oleh saudara Jaksa penuntut umum dengan
tegas menggambarkan posisi Dedek Chaniago dan Anwar Sadat yang berorasi
di mobil pick up yang terletak sekitar 10 meter. Apakah begitu
“terburu-burunya” Anwar Sadat dan Dedek Chaniago yang setelah orasi
langsung mendorong dan menjatuhkan pagar ?
Logika
aneh dan tentu saja tidak sesuai dengan fakta-fakta sebenarnya dan akal
sehat yang mendengarkan persidangan. Sehingga terdengar suara
“huuuu.... huuuu”, sehingga hakim harus mengetuk palu persidangan untuk
menertibkan pengunjung persidangan.
Selain itu juga, para saksi kurang “pasti” menerangkan pakaian yang digunakan Dedek Chaniago.
Sekedar
informasi, aksi demonstasi dilakukan selama 2 hari. Hari pertama
tanggal 27 Januari 2013 dan hari kedua tanggal 28 Januari 2013. Pada
hari pertama hanya menggunakan sound sistem (toa ditangan) sedangkan
hari kedua menggunakan sound sistem mobil pick up. Keduanya mempunyai
konsekwensi yang berbeda. Apabila pada hari pertama dengan sound sistem
toa di tangan, maka mereka memang berdiri di depan pagar. Sedangkan pada
hari kedua, dengan sound sistem dengan mobil pick up, yang berorasi
harus diatas mobil pick up. Sehingga mengakibatkan posisi keduanya
berbeda.
Keterangan
lainnya kurang “diperhitungkan” adalah barang bukti yang dihadirkan di
persidangan. Barang bukti seperti bendera yang menggunakan bambu
ternyata tidak relevan untuk dijadikan barang bukti karena “pagar roboh”
tidak menggunakan bambu. Sedangkan pagar yang “selalu
disebutk-sebutkan” dalam persidangan, ternyata pada keesokkan harinya
sudah dapat dipergunakan lagi. Dan hingga persidangan tidak dihadirkan
di persidangan.
Melihat
rangkaian fakta-fakta maka dapat disimpulkan, walaupun keterangan saksi
yang diberikan oleh ketiganya, yang dengan jelas “melihat” Anwar Sadat
dan Dedek Chaniago mendorong dan merobohkan pagar” tidak sesuai dengan
logika. Baik karena posisi keduanya sama sekali tidak dekat dengan pagar
juga begitu “buru-burunya mereka berorasi kemudian turun dari mobil
pick up” kemudian merobohkan pagar.
Selain itu juga, pagar yang dirobohkan ternyata masih digunakan dan dapat dipakai lagi.
Rangkaian
demi rangkaian sekali lagi membuka mata kita semua. Hukum menjadi alat
penindas terhadap para pengkritik yang terus menyuarakan
“ketidakadilan'.
Sejarah
terus berulang. Tinggal kita melihat dan menyaksikan, apakah memberi
keterangan sesuai dengan fakta-fakta persidangan atau kemudian kita
menyaksikan berbagai kebohongan yang akan dirasakan akibatnya.
Tentu
tanpa mengenyampingkan keterangna yang diberikan, penulis adalah
sedikit orang yang meyakini. Dalam proses persidangan, campur tangan
Tuhan selalu berperan. Di tangan Tuhan kita berserah.
Sumber “tulisan juga dihimpun dari berbagai tulisan sebelumnya.
0 komentar:
Posting Komentar