JAMBI - Skema mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi atau "Reducing Emissions from Deforestation and Degradation" (REDD) bukan solusi untuk mengurangi dampak pemanasan global, kata Direktur Childbirth and Postpartum Professional Association Jambi, Rivani Noor.
Menurut dia, skema REDD untuk mengatasi perubahan iklim adalah sebuah ketidakadilan.
Perundingan-perundingan di badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) memunculkan REDD yang secara sederhana adalah upaya untuk menurunkan emisi karbon dari keberadaan hutan.
Negara-negara yang berkeinginan dan mampu untuk menurunkan emisi dari hutan akan diberikan kompensasi secara finansial untuk kegiatan tersebut.
Dengan kata lain merupakan mekanisme penyediaan dana bagi negara-negara berkembang untuk melindungi hutan agar dapat menyerap karbon yang dihasilkan oleh negara-negara maju.
Ia mengatakan, setelah membayar kepada negara-negara yang memiliki banyak hutan, negara maju tetap bisa membuang emisi mereka tanpa batasan karena merasa sudah membayar kompensasinya.
Negara-negara maju yang menghasilkan emisi karbon melalui industri di negaranya dianggap telah memberikan sumbangsih untuk mengatasi perubahan iklim dengan hanya membayar kompensasi kepada negara-negara yang bersedia untuk menjaga hutan melalui skema REDD.
Termasuk Indonesia, kata dia, yang telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen sampai dengan tahun 2020.
"Sebuah ketidakadilan ketika negara seperti Indonesia berkewajiban untuk menurunkan emisi karbon dengan cara menjaga hutan, sementara di sisi yang lain negera-negara maju tetap tidak mau menurunkan emisi karbon yang dihasilkan dari cerobong asap industri yang berasal dari negaranya," ujarnya.
Rivani menegaskan, skema REDD yang digagas untuk mengatasi perubahan iklim bukanlah solusi yang baik untuk menurunkan emisi karbon, karena negara-negara industri (annex I) seperti Amerika Serikat, Jepang, Norwegia, Inggris, Cina tidak bersedia menurunkan emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri mereka.
Mereka hanya memberikan dana kompensasi kepada negara-negara yang memiliki hutan.
Sedangkan negara-negara berkembang yang diminta untuk menjaga hutan sebagai kawasan penyerap karbon yang dihasilkan negara-negara industri dengan imbalan akan mendapatkan dana kompensasi, juga setengah hati menjaga hutan mereka.
"Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya izin HTI dan perkebunan Kelapa sawit serta izin pertambangan yang dikeluarkan di kawasan hutan oleh pemerintah Indonesia," sesalnya.
Selain itu, adanya rencana melegalkan aktivitas pertambangan di kawasan hutan melalui RTRW merupakan contoh dari ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan mitigasi perubahan iklim.
Upaya pemerintah melakukan restorasi hutan dengan menggusur masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan, bukanlah semata-mata untuk melestarikan lingkungan melainkan untuk mendapatkan pendanaan dari skema REDD.
Sehingga skema REDD yang sedang dalam pembahasan dan besar kemungkinan akan diterapkan pada tahun 2012 menggantikan Protokol Kyoto dapat dikatakan bahwa merupakan skema palsu, katanya.
Ant
Menurut dia, skema REDD untuk mengatasi perubahan iklim adalah sebuah ketidakadilan.
Perundingan-perundingan di badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) memunculkan REDD yang secara sederhana adalah upaya untuk menurunkan emisi karbon dari keberadaan hutan.
Negara-negara yang berkeinginan dan mampu untuk menurunkan emisi dari hutan akan diberikan kompensasi secara finansial untuk kegiatan tersebut.
Dengan kata lain merupakan mekanisme penyediaan dana bagi negara-negara berkembang untuk melindungi hutan agar dapat menyerap karbon yang dihasilkan oleh negara-negara maju.
Ia mengatakan, setelah membayar kepada negara-negara yang memiliki banyak hutan, negara maju tetap bisa membuang emisi mereka tanpa batasan karena merasa sudah membayar kompensasinya.
Negara-negara maju yang menghasilkan emisi karbon melalui industri di negaranya dianggap telah memberikan sumbangsih untuk mengatasi perubahan iklim dengan hanya membayar kompensasi kepada negara-negara yang bersedia untuk menjaga hutan melalui skema REDD.
Termasuk Indonesia, kata dia, yang telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 persen sampai dengan tahun 2020.
"Sebuah ketidakadilan ketika negara seperti Indonesia berkewajiban untuk menurunkan emisi karbon dengan cara menjaga hutan, sementara di sisi yang lain negera-negara maju tetap tidak mau menurunkan emisi karbon yang dihasilkan dari cerobong asap industri yang berasal dari negaranya," ujarnya.
Rivani menegaskan, skema REDD yang digagas untuk mengatasi perubahan iklim bukanlah solusi yang baik untuk menurunkan emisi karbon, karena negara-negara industri (annex I) seperti Amerika Serikat, Jepang, Norwegia, Inggris, Cina tidak bersedia menurunkan emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas industri mereka.
Mereka hanya memberikan dana kompensasi kepada negara-negara yang memiliki hutan.
Sedangkan negara-negara berkembang yang diminta untuk menjaga hutan sebagai kawasan penyerap karbon yang dihasilkan negara-negara industri dengan imbalan akan mendapatkan dana kompensasi, juga setengah hati menjaga hutan mereka.
"Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya izin HTI dan perkebunan Kelapa sawit serta izin pertambangan yang dikeluarkan di kawasan hutan oleh pemerintah Indonesia," sesalnya.
Selain itu, adanya rencana melegalkan aktivitas pertambangan di kawasan hutan melalui RTRW merupakan contoh dari ketidakseriusan pemerintah dalam melakukan mitigasi perubahan iklim.
Upaya pemerintah melakukan restorasi hutan dengan menggusur masyarakat yang ada di sekitar dan di dalam hutan, bukanlah semata-mata untuk melestarikan lingkungan melainkan untuk mendapatkan pendanaan dari skema REDD.
Sehingga skema REDD yang sedang dalam pembahasan dan besar kemungkinan akan diterapkan pada tahun 2012 menggantikan Protokol Kyoto dapat dikatakan bahwa merupakan skema palsu, katanya.
Ant
0 komentar:
Posting Komentar