Palembang, - Suhu udara pada siang hari di wilayah Sumatera Selatan saat ini mencapai 33-34 derajat celsius. Temperatur ini naik 2 derajat celsius dari kondisi normal, yakni 30 derajat celsius. Kondisi itu merupakan dampak dari pemanasan global sebagai akibat kerusakan hutan di Sumsel.
Demikian dikatakan juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, dalam diskusi bertema ”Selamatkan Hutan Selamatkan Masa Depan”, Sabtu (16/10) di Taman Kambang Iwak. Diskusi itu digelar Wahana Bumi Hijau, Walhi Sumsel, Greenpeace, dan komunitas fotografi Palembang yang disiarkan langsung Radio Sonora Palembang.
Zulfahmi mengatakan, suhu di sejumlah kota di Sumatera pada siang hari mencapai 33-34 derajat celsius. Bahkan di Riau telah mencapai 37 derajat celsius. Padahal, suhu normal pada siang hari di Sumatera rata-rata 30 derajat celsius.
Peningkatan suhu itu merupakan dampak dari pemanasan global akibat semakin gundulnya hutan di Sumatera. ”Sekitar 1,5 juta hektar dari 6,6 juta hektar hutan gambut di Sumatera ada di Sumatera Selatan. Peningkatan suhu ekstrem seperti yang terjadi di Riau bisa terjadi di Sumsel kalau hutan gambut tidak diselamatkan,” tegas Zulfahmi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat mengakui, peningkatan suhu dirasakan oleh warga Palembang dalam beberapa hari terakhir. Suhu normal pada siang hari di Palembang mencapai 20-27 derajat celsius, tetapi sekarang 32-34 derajat celsius.
Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, luas hutan di Sumsel tersisa 1 juta hektar dari luas total 3,7 juta hektar. Kerusakan hutan di Sumsel tidak hanya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu, tetapi juga terjadinya bencana alam.
Moratorium
Menurut Zulfahmi, langkah untuk menghentikan kerusakan hutan adalah melakukan penghentian penebangan (moratorium). Kerusakan hutan di Sumatera disebabkan penebangan hutan yang masif secara legal maupun ilegal.
Moratorium mendesak dilakukan khususnya di Sumatera karena kondisi hutan di daerah ini sudah mengalami kerusakan parah. Kerusakan parah terjadi di Provinsi Sumsel, Jambi, dan Riau, termasuk di hutan gambut.
”Kami menyayangkan mengapa pemerintah terus memberikan izin pemanfaatan hutan. Periode 2008-2009 adalah periode saat pemerintah paling banyak mengeluarkan izin, padahal saat itu mendekati pemilu. Kami curiga pemberian izin terkait dana untuk kepentingan pemilu,” ujar Zulfahmi.
Moratorium gencar dikampanyekan Greenpeace dan Walhi selama lima tahun terakhir. Namun, isu itu tak mendapat tanggapan dari pemerintah.
Demikian dikatakan juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi, dalam diskusi bertema ”Selamatkan Hutan Selamatkan Masa Depan”, Sabtu (16/10) di Taman Kambang Iwak. Diskusi itu digelar Wahana Bumi Hijau, Walhi Sumsel, Greenpeace, dan komunitas fotografi Palembang yang disiarkan langsung Radio Sonora Palembang.
Zulfahmi mengatakan, suhu di sejumlah kota di Sumatera pada siang hari mencapai 33-34 derajat celsius. Bahkan di Riau telah mencapai 37 derajat celsius. Padahal, suhu normal pada siang hari di Sumatera rata-rata 30 derajat celsius.
Peningkatan suhu itu merupakan dampak dari pemanasan global akibat semakin gundulnya hutan di Sumatera. ”Sekitar 1,5 juta hektar dari 6,6 juta hektar hutan gambut di Sumatera ada di Sumatera Selatan. Peningkatan suhu ekstrem seperti yang terjadi di Riau bisa terjadi di Sumsel kalau hutan gambut tidak diselamatkan,” tegas Zulfahmi.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat mengakui, peningkatan suhu dirasakan oleh warga Palembang dalam beberapa hari terakhir. Suhu normal pada siang hari di Palembang mencapai 20-27 derajat celsius, tetapi sekarang 32-34 derajat celsius.
Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, luas hutan di Sumsel tersisa 1 juta hektar dari luas total 3,7 juta hektar. Kerusakan hutan di Sumsel tidak hanya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu, tetapi juga terjadinya bencana alam.
Moratorium
Menurut Zulfahmi, langkah untuk menghentikan kerusakan hutan adalah melakukan penghentian penebangan (moratorium). Kerusakan hutan di Sumatera disebabkan penebangan hutan yang masif secara legal maupun ilegal.
Moratorium mendesak dilakukan khususnya di Sumatera karena kondisi hutan di daerah ini sudah mengalami kerusakan parah. Kerusakan parah terjadi di Provinsi Sumsel, Jambi, dan Riau, termasuk di hutan gambut.
”Kami menyayangkan mengapa pemerintah terus memberikan izin pemanfaatan hutan. Periode 2008-2009 adalah periode saat pemerintah paling banyak mengeluarkan izin, padahal saat itu mendekati pemilu. Kami curiga pemberian izin terkait dana untuk kepentingan pemilu,” ujar Zulfahmi.
Moratorium gencar dikampanyekan Greenpeace dan Walhi selama lima tahun terakhir. Namun, isu itu tak mendapat tanggapan dari pemerintah.
Artikel Terkait:
Berita-berita
- Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa
- Jadi Desa Ekologis di Sumsel : Berkonflik Panjang, Nusantara Menjaga Padi dari Kepungan Sawit
- Hari Pangan Se-Dunia, Walhi dan masyarakat Sipil Deklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis.
- Pidato Sambutan Direktur Walhi Sumsel dalam Peringatan Hari Pangan Se-Dunia dan Deklarasi Nusantara Menuju Desa Ekologis
- Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU
- Melanggar HAM, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
- Sinarmas Forestry company found guilty of unlawful conduct by High Court over peat fires
- Diduga Rugikan Negara Rp3,6 Triliun, Walhi Laporkan Perusahaan Sawit dan Tambang ke KPK
- Peringati Hari Bumi, Walhi secara Nasional Gelar Karnaval di Palembang
- Indonesia suffers setback in fight against haze after suit rejected
0 komentar:
Posting Komentar