PALEMBANG, KOMPAS.com -- Pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan rekomendasikan evaluasi terhadap izin lokasi sembilan
perusahaan perkebunan yang tengah berkonflik lahan dengan masyarakat di
Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir. Evaluasi diperlukan
untuk membuktikan izin lokasi di belasan desa itu menyalahi prosedur
atau tidak, sebagaimana dilaporkan masyarakat.
Tiga dari sembilan
perusahaan perkebunan itu terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir,
yaitu PT Sumber Wangi Alam, PT Selatan Agro Mulia Lestari dan PT Bumi
Sriwijaya Sentosa. Enam perusahaan lainnya di Kabupaten Musi Banyuasin,
yaitu PT Berkat Sawit Sejati, PT Hindoli, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT
Pakerin, PT Bumi Persada Permai, dan PT Proteksindo Utama Mulia.
Surat
rekomendasi untuk segera mengevaluasi sembilan perusahaan itu akan
dikirim ke Bupati Ogan Komering Ilir dan Bupati Musi Banyuasin.
Rekomendasi dihasilkan dalam pertemuan yang berlangsung di Palembang,
Jumat (20/1/2012).
Pertemuan itu dipimpin Wakil Gubernur Sumsel
Eddy Yusuf dan dihadiri oleh ratusan masyarakat dari belasan desa yang
tengah berkonflik dengan sembilan perusahaan itu.
Rekomendasi itu
merupakan janji Pemrpov Sumsel setelah unjuk rasa sekitar 2.000 warga
desa berkonflik lahan 27 Desember 2011. Dalam unjuk rasa itu,
masyarakat menuntut pencabutan izin lokasi perusahaan perkebunan
tersebut karena dinilai tak memenuhi prosedur maupun tak menepati janji
kebun plasma.
Bambang, warga Desa Danau Cala, Kecamatan Lais,
Musi Banyuasin, mengatakan bahwa Desa Danau Cala terancam kehilangan
lahan seluas 3.000 ha karena masuk dalam izin lokasi perusahaan
perkebunan kelapa sawit PT Proteksindo Utama Mulia.
"Izin lokasi
ini jelas-jelas menyalahi aturan, yaitu izin lokasi dulu keluar baru
diikuti pembebasan lahan. Masyarakat tak pernah dimintai persetujuan
atas izin lokasi itu," katanya.
Hal yang sama diutarakan Sukirman
dari Desa Nusantara yang bersengketa lahan dengan PT Selatan Agro Mulia
Lestari di lahan garapan masyarakat seluas 900 ha. Lahan ini merupakan
persawahan yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat.
Menurut
Sukirman, masyarakat Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Ogan
Komering Ilir, mengatakan, masyarakat telah menggarap lahan sejak tahun
1995. Mereka juga membayar pajak desa atas lahan sawah itu sebesar Rp
30.000 per ha per tahun selama tiga tahun, yaitu 2002-2005. Namun,
sejak 2005, PT Selatan Agro Mulia Lestari memperoleh izin usaha di
lahan tersebut dengan hanya memberi uang tali asih Rp 1 juta untuk lahan
seluas 900 Ha.
"Lahan itu dulunya lahan terlantar. Kami membuka
dan membayar pajak dengan tertib. Tapi saat mengurus surat kepemilikan
selalu dipersulit. Tanpa ada pembubuhan persetujuan masyarakat,
perusahaan itu tiba-tiba menurunkan alat berat untuk buka lahan di
sawah kami," kata Sukirman.
Warga desa menyatakan kecewa atas
rekomendasi Pemprov Sumsel yang hanya berupa imbauan tanpa disertai
ketegasan dan keputusan yang jelas. Rekomendasi dinilai belum sampai
pada akar permasalahan yaitu mengenai kepemilikan lahan. "Masalah kami
tetap belum selesai karena belum ada keputusan siapa yang berhak atas
lahan sengketa. Apakah masyarakat atau perusahaan. Semua masih
mengambang," kata Mulyadi, wakil Desa Tomang, Kecamatan Tulung Selapan,
Ogan Komering Ilir, yang mengajukan pencabutan izin lokasi perkebunan
tebu PT Bumi Sriwijaya Sentosa di desanya seluas 3.826 ha.
Terkait
hal itu, Wakil Gubernur Eddy Yusuf mengemukakan sulitnya keputusan
akhir yang mengikat, karena Pemprov Sumsel kesulitan menghadirkan
perwakilan perusahaan maupun kepala daerah. Dari sembilan perusahaan
tersebut, hanya empat perwakilan perusahaan yang hadir. Bupati Musi
Banyuasin dan dan Bupati Ogan Komering Ilir yang diundang pun hanya
diwakilkan para pejabat pemerintahan kabupaten.
"Keputusan final
hanya bisa dibuat dengan kehadiran pejabat-pejabat yang berwenang
memberi kebijakan. Kalau begini, mereka hanya diminta hadir pimpinannya
dan mendengarkan. Kami tak bisa berbuat banyak karena kuncinya ada di
bupati dan pemimpin perusahaan," kata Eddy.
0 komentar:
Posting Komentar