WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Agustus 16, 2010

PLTA Kepahiang Ancam Keselamatan Rakyat Sumsel

KEPAHIANG,Bengkulu— Aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi di Desa Ujanmas Kecamatan Ujanmas Kabupaten Kepahiang Bengkulu mengancam kehidupan masyarakat di Provinsi Sumsel. Sungai Musi yang membelah Kota Palembang diperkirakan terasa asin beberapa tahun ke depan.

Warga Kabupaten Empatlawang di uluan Musi sudah merasakan dampaknya. Ketinggian air sungai menyusut sampai 2 meter empat tahun terakhir dan tidak layak konsumsi karena tercemar. Himpunan Ahli Teknik Hidrolik Indonesia (HATHI) sudah menyampaikan peringatan dini.

“Akibat turunnya debit air Sungai Musi akan memengaruhi kualitas air karena air laut akan masuk lebih banyak dan jauh lagi saat pasang surut. Bila sampai di PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) sudah dapat dipastikan air tawar berubah menjadi asin,” kata Ketua Umum HATHI, Irwan Sirwan kepada Sripo, Jumat pekan lalu.

Hasil kajian HATHI, PLTA Musi dibangun tahun 2006. Untuk menggerakan turbin, pembangkit ini mengambil air dari Sungai Musi berkisar 6 meter kubik per detik atau 6.000 liter per detik.

Pembangkit kemudian menyuplai listrik ke sistem interkoneksi Sumatera sebesar 3 X 70 megawatt (MW). PLTA Musi dibangun dengan membendung aliran ulu Sungai Musi untuk menggerakkan turbin.

Air Sungai Musi yang dibendung untuk dialirkan ke dalam saluran sekitar 400 meter di kedalaman tanah tidak dialirkan kembali ke sungai asalnya, Musi. Air Sungai Musi dibuang ke laut Bengkulu melalui Sungai Aur.

Hal itu terpaksa dilakukan menurut pihak PLTA karena sungai asal lebih tinggi. Air tidak mungkin dialirkan kembali ke tempat asalnya yang lebih tinggi.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bengkulu, Zenzi Suhadi, mengatakan, awal pembangunan PLTA Musi itu memang sudah ada permasalahan dengan warga. Sempat terjadi konflik antara pihak PLTA dengan warga Desa Tanjungalam.

Warga menolak pembangunan PLTA karena areal pesawahan warga menjadi seperti danau akibat tergenang air limpahan dari bendungan PLTA.

“Untuk kerusakan DAS Musi sendiri akibat pembangunan PLTA itu kita belum melakukan investigasi secara mendalam. Namun dari laporan informal, memang ada keluhan dari masyarakat,” katanya.

Ditambahkan Zenzi, ketika ketinggian air di bendungan melebihi batas maksimal maka bendungan dibuka dan mengakibatkan ada pemukiman warga dan areal persawahan yang terendam, seperti di daerah Bengkulu Tengah.

Warga yang tinggal di pinggiran Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi di hilir bendungan tersebut diliputi perasaan cemas karena air sungai sewaktu-waktu bisa saja datang seperti air bah.

“Kalau pihak PLTA membuka bendungan di atas maka permukaan air naik sangat cepat. Warga yang tengah mandi harus buru-buru keluar dari sungai kalau tidak ingin hanyut. Warga jadi resah,” ujar Rozi (38) warga Desa Embongijuk Kecamatan Bermaniilir Kebupaten Kepahiang.

Dijelaskannya, pihak PLTA biasanya membuka bendungan 2-3 hari sekali berdasarkan alat pengukur ketinggian air. Saat ketinggian air untuk dialirkan ke turbin melebihi batas, maka pihak PLTA membuka bendungan. Akibatnya, air naik dengan cepat mencapai 1,5 meter.

Wandi, warga setempat mengatakan, sejak dibangunnya PLTA kondisi Sungai Musi tak lagi normal. Ketinggian permukaan air menyurut dan warnanya keruh dan kotor. Akibatnya warga yang sejak dahulu memanfaatkan air sungai untuk keperluan rumah tangga kini menjadi kesulitan untuk mendapatkan air bersih.

Terbentuk Pulau Kecil Pengurangan debit air Sungai Musi yang membelah Kabupaten Empatlawang dirasakan masyarakat setempat sejak dua tahun terakhir. Gugusan pulau-pulau kecil yang terpisah mulai terlihat di tengah sungai.

Pemantauan Sripo di sepanjang DAS Musi dari kawasan Kecamatan Talangpadang sampai ke Tebingtinggi sudah tampak beberapa pulau kecil yang terbentuk. Batu besar dan koral bercampur pasir terlihat jelas di tengah sungai, bahkan beberapa pulau sudah ditumbuhi rerumputan dan berbagai jenis kayu keras.

Beberapa warga mengetahui hal itu tapi tidak mengetahui penyebab turunnya debit air sungai. Warga menghitung perbandingan air empat tahun lalu dengan kondisi saat ini terdapat penurunan mencapai 2 meter.

“Dulu tidak ada pulau itu tapi sekarang air sudah hampir satu meter lebih rendah daripada pulau. Dari pengamatan di pinggiran sungai tampak penurunan air mencapai 2 meter, bahkan sekarang masih tampak bekasnya,” kata Mat Zen (42) warga Desa Lubukgelanggang, Kecamatan Tebingtinggi.

Kadus II Desa Lubukgelanggang, Lukman, mengatakan, penurunan debit air dapat dianalisa juga dari kondisi alam. Sebelumnya apabila hujan, desa mereka menjadi sasaran banjir, tapi sudah tiga tahun terakhir tidak terjadi lagi.

Air sungai itu dimanfaatkan warga puluhan desa Kecamatan Ulumusi, Pendopo, Talangpadang, dan Tebingtinggi di Kabupaten Empatlawang untuk keperluan mandi, mencuci dan kakus (MCK) serta untuk masak.

Air Tercemar Situasi ini cukup mencemaskan karena hasil penelitian dan uji laboratorium Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Empatlawang bekerjasama dengan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Muaraenim, pencemaran sungai Musi termasuk tingkat sedang dalam artian tidak layak pakai.

Warga mengaku terpaksa menggunakan air sungai karena memang tidak ada sarana air bersih sementara upaya menggali sumur sulit.

Kepala Bapedalda Empatlawang, M Siregar melalui Kabid Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Rizal Effendi mengatakan, pencemaran Sungai Musi di Kabupaten Empatlawang sudah masuk kelas II atau pencemaran sedang.

“Air sungai sudah tidak layak digunakan,” jelasnya.

Rizal belum bisa memastikan pencemaran itu dampak dari PLTA di Kepahiang karena belum ada pembanding hasil penelitiannya dengan kualitas air sebelum dan setelah ada PLTA tersebut.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Empatlawang, M Teguh Idrus, mengatakan, apabila masyarakat menggunakan air sungai yang sudah tercemar itu akan mudah terserang penyakit gatal-gatal pada kulit. Jika dikonsumsi bisa mengakibatkan diare, tipus dan berbagai jenis penyakit lainnya.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Bupati Empatlawang, Budi Antoni Aljufri, mengatakan pengurangan debit air Sungai Musi mengancam rencana eksploitasi batubara dari Desa Ujungalih dan desa sekitarnya lewat jalur Sungai Musi.

“Dengan surutnya air Sungai Musi ini tidak bisa dilewati oleh perahu tongkang, apalagi saat bermuatan berat. Kita berencana membuat dam dengan sistem buka tutup, dengan demikian perahu bisa melaluinya,” katanya.

Sumber : Sriwijaya Post - Senin, 9 Agustus 2010 09:39 WIB



Artikel Terkait:

0 komentar: