Menurut Direktur Walhi Palembang Anwar Sadat, keberadaan RUU ini mengkhawatirkan banyak pihak. “Saya pikir makin memberi peluang kelompok swasta, berarti ancaman bagi kepentingan rakyat,” ujarnya, Senin (9/8).
Ia menilai RUU ini nantinya dapat menjadi justifikasi tentang bagaimana mengambil tanah, terlebih karena tafsiran kepentingan umum yang rancu.
Sejauh ini, tanpa keberadaan RUU ini saja Walhi Palembang telah melakukan advokasi terkait konflik pertanahan di hampir seluruh kabupaten kota di Sumatera Selatan. “Potret sengketa tanah cukup tinggi. Kalau setidaknya lebih kurang sepuluh tahun terakhir tidak kurang dari 100 kasus terekam,” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jambi Arif Munandar menyebut keberadaan RUU ini dapat dipakai sebagai pelegalan pengambilan tanah. “Kepentingan umum dipakai sebagai alat legitimasi untuk mengambil tanah yang dimiliki masyarakat,” katanya.
Ia menilai bila RUU ini disahkan, konflik yang terjadi terkait sengketa lahan akan makin tinggi dan gerakan penolakan masyarakat akan semakin kuat.
Berdasarkan data yang dimiliki Walhi Jambi, saat ini dari total luas lahan 5,2 juta ha di Jambi, sebanyak 2,3 juta ha telah dikuasai perusahaan besar. Sementara itu, dari peta izin, swasta menargetkan untuk mendapatkan 3,9 juta ha lahan di Jambi. “Bayangkan 1,2 juta dibagi untuk semua masyarakat Jambi,” ujarnya.
Dalam catatannya, dari tahun 2000 hingga sekarang tercatat ada 224 kasus sengketa lahan. Namun, dari keseluruhan kasus tersebut, hanya sedikit sekali yang dimenangkan oleh rakyat. “Walhi melakukan intervensi pada kasus besar. Untuk yang dimenangkan masyarakat, jumlahnya sangat sedikit,” ungkapnya.
Sumber : SinarHarapan
0 komentar:
Posting Komentar