WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Januari 29, 2012

Rombongan Walhi Sumsel Terombang-ambing Musi

Rombongan Walhi Sumsel sedang Menyusuri Sungai Sugihan guna mencapai Sungai Musi
PALEMBANG,- Rombongan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) sempat terombang-ambing di perairan Sungai Musi di Kabupaten Banyuasin, Sumsel. Hal ini terjadi setelah perahu jukung yang mereka tumpangi menabrak rumpun pohon yang mengapung hingga ke tengah perairan.
Rombongan terdiri dari 21 orang dan 4 anak buah kapal itu terombang-ambing selama sekitar 3 jam, Jumat (27/1/2012) sejak pukul 03.00 dini hari.

Tabrakan dengan rumpun pohon menyebabkan kipas perahu jukung rusak dan tak bisa berjalan lagi. Dua anak buah kapal sempat menyelam dalam kegelapan untuk melihat kerusakan. Namun kipas yang menentukan laju dan arah perahu itu tetap tak berhasil diperbaiki.

Pengemudi kapal mengaku mengantuk setelah mengemudi selama 12 jam pada hari sebelumnya sehingga ia tak sempat melihat rumpun pohon di kegelapan malam. Lokasi kejadian berada di daerah yang masih berupa pepohonan rimbun.

Tak terlihat kehidupan manusia di sekitar lokasi tersebut. Perahu pun jarang lewat karena sudah dini hari. Perahu jukung sewaan itu baru ditarik oleh ketek (sampan bermesin) sekitar pukul 06.00.

Saat menabrak rumpun, rombongan Walhi Sumsel sedang dalam perjalanan pulang ke Palembang dari menghadiri perayaan panen raya di Desa Nusantara, Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, yang berlangsung sehari sebelumnya.

Perahu jukung disewa karena Desa Nusantara hanya dapat dicapai dari jalur sungai, sekitar 8 jam dengan perahu jukung dan 3 jam dengan perahu cepat (speed boat). Jalan darat dengan mobil sulit dilakukan karena belum memadainya fasilitas jalan.

Akibat peristiwa ini, perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh 8 jam terpaksa ditempuh selama lebih dari 20 jam. Tak ada korban jiwa, hanya rombongan terpaksa menahan lapar dan haus karena bekal sudah menipis.

Sumber : Kompas.com Selengkapnya...

Jumat, Januari 27, 2012

Lahan TPA Sampah Diserobot Warga

BATuRAJA – Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Simpang Kadis di Desa Gunung Meraksa, Kecamatan Lubuk Batang, seluas 33 hektare (ha) ternyata bermasalah.

Hampir separuh lahan seluas 15 ha dari TPA tersebut diserobot dan diklaim milik warga.Bahkan,5 ha tanah TPA itu sudah ditanam karet sementara sisanya akan dibuka untuk kebun karet. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Pasar dan Kebersihan Kota,Kabupaten OKU,Hilman bersama rombongan saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke TPA kemarin. Hilman mengungkapkan, seluruh lahan yang digarap warga di TPA Simpang Kadis merupakan lahan milik Pemerintah Kabupaten.

Pihaknya berkewajiban mengamankan seluruh kawasan TPA serta seluruh aset milik Pemkab OKU. “Lahan seluas 33 hektare di Desa Gunung merasa diklaim para penggarap. Padahal, seluruh lahan tersebut secara objektif milik Pemkab OKU,” katanya. Hilman menambahkan, untuk sementara pihaknya belum melakukan tindakan karena saat ini baru melakukan pengurusan sertifikat tanah. Pihaknya sudah mengumpulkan bukti-bukti kepemilikan TPA tersebut, yakni akta tanah dan surat jual beli.

“Tanah ini dibeli dari Kepala Desa (Kades) Gunung Meraksa Irwan pada 2008 sekitar Rp250 juta. Sementara, Kades membelinya dari warga. Kalau ada kesalahpahaman, bukan dengan Pemkab OKU,melainkan dengan Kades,” katanya. Apabila sertifikat tanah TPA ini sudah selesai, pihaknya akan melakukan penggusuran tanah yang dicaplok warga tersebut
Selengkapnya...

Potensi Konflik Harus Diredam


SEKAYU– Sekjen Dewan Ketahanan Nasional Marsekal Pertama TNI Edy Sunarwondo mengingatkan persoalan sengketa lahan yang rawan konflik fisik harus segera dicarikan solusi.

“Kita juga ingin tahu secara detail perkembangan Kabupaten Muba,seperti situasi politik, perbatasan wilayah, konflik lahan, dan bagaimana mewujudkan good governmentdan clean governance,” ungkap Edy di sela-sela pertemuan dengan Bupati Muba Pahri Azhari di ruang rapat Serasan Sekate kemarin.

Edy mengungkapkan,informasi soal sengketa lahan simpang siur karena ada yang diakui sudah dibebaskan perusahaan, tapi masyarakat belum mendapatkan ganti rugi dari pembebasan lahan tersebut. “Kesimpangsiuran itu akhirnya membuat rawan terjadinya benturan fisik antara warga dan perusahaan. Untuk itu, perlu diketahui data pasti adanya permasalahan yang terjadi mengenai sengketa lahan antara warga dan perusahaan,” tandasnya.

Menurutnya, data perusahaan dan pemerintah yang tumpah tindih juga membuat konflik lahan di Kabupaten Muba rentan terjadi. Karena itu, dia berharap kedatangannya dapat mengetahui kondisi yang sebenarnya untuk dilaporkan kepada pemerintah pusat dan dicarikan solusi yang terbaik.Ke depan, Edy mengharapkan ada musyawarah yang melibatkan semua pihak untuk mengantisipasi kemungkinan konflik yang dapat terjadi di kemudian hari.

“Masalah konflik lahan harus segera dituntaskan baik dari pihak perusahaan,warga dan pemda setempat. Kami tidak ingin konflik seperti di Sodong dan Mesuji terjadi kembali,”katanya. Sementara itu,Bupati Muba Pahri Azhari mengatakan terus mengawasi dan memberikan perhatian terkait konflik lahan di Kabupaten Muba supaya tidak terulang dan meluas.

“Sejauh ini alhamdulillah di Muba kondisinya kondusif berkat kerja sama yang baik antara Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (FKPD) Muba bersama masyarakat Muba dalam menyelesaikan berbagai permasalahan. Meskipun, soal migas maupun sengketa lahan kadang masih terjadi di kabupaten ini. Selengkapnya...

PT BMH Murni Kelola Hutan Produksi Tetap ?



KAYUAGUNG – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ilir menyatakan,PT Bumi Mekar hijau (BMH) memang mengelola lahan hutan produksi tetap.

Hal ini menyikapi tudingan warga Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), yang menuduh bahwa PT Bumi Mekar hijau (BMH) telah menyerobot 8.000 ha lahan mereka, untuk lahan tanaman industri (HTI). Menurut Kepala Dinas Kehutanan H Alibuddin, melalui Kabid Perlindungan Hutan Irawan Syafril, wilayah kerja PT BMH sudah sesuai peraturan Kemhut RI. “Memang lahan yang saat ini sedang dibuka PT BMH di Desa Ulak Kedondong itu masuk dalam wilayah kerjanya,” ujar Irawan.

Mengenai surat rekomendasi dari Bupati OKI,hutan produksi di wilayah Cengal, Sungai Menang,Air Sugihan,atau dengan kata lain hutan produksi tetap Sungai Lumpur itu masuk wilayah kerja PT SBA Wood Industries Sinarmas Group Forestry yang bergerak di bidang HTI. ”Hal ini sudah kita ukur dengan GPS dan sudah sesuai dengan peta,dalam surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan tahun 2004 untuk mengelola hutan produksi menjadi HTI,” ungkapnya. Kemudian, mengenai 22 surat keterangan tanah (SKT) atas nama 44 warga Desa Ulak kedondong, yang mengklaim bahwa memiliki lahan seluas 8.000 ha yang sekarang sedang dikelola PT BMH, menurut Irawan, SKT tersebut sudah gugur.

”SKT tersebut ditanda-tangani camat tahun 1989, sementara sesuai keputusan Bupati OKI No 101/674/I/1988 yang telah diteruskan ke seluruh camat, yang isinya seluruh camat tidak lagi diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin atau mengeluarkan SKT dan SPH bagi masyarakat. Dengan demikian, SKT yang mengklaim telah memiliki lahan 8.000 ha itu gugur dengan sendirinya,” katanya. Irawan melanjutkan, memang setelah menerima laporan warga, Pemkab Oki langsung membentuk tim untuk terjun ke lapangan.

”Tim tersebut terdiri dari Bagian Pemerintahan, Pertanahan, dan kehutanan, kita sudah melakukan pengukuran ulang menggunakan GPS,berkas kita kumpulkan lagi, dan hasilnya memang PT BMH tidak melanggar aturan,”jelasnya. Sementara itu, menurut Humas PT SBA Wood Industries Sinarmas Group Forestry Iwan, selama ini pihaknya bekerja dan beraktivitas sesuai aturan yang ada.“Dalam membuka lahan baru,kita mengutamakan prinsip kehati-hatian, kami tidak ingin di complain oleh masyarakat, apalagi karena sengketa lahan,” ujar Iwan kemarin.

Mengenai administrasi izin untuk aktivitas perusahaan HTI di bawah PT SBA Wood Group,itu sudah sesuai dengan aturan dari aturan Bupati OKI. ”Mengenai tuntutan masyarakat minta ganti rugi lahan, itu tidak bisa kami kabulkan, karena lahan itu bukan punya kami tetapi punya pemerintah, kita hanya meminjam untuk dijadikan HTI,” terangnya. Selama membuka lahan di Desa Ulak Kedondong sejak 2011, tidak ada masyarakat yang complain, karena sebelumnya pihaknya sudah terlebih dahulu melakukan sosialisasi ke masyarakat.

”Tetapi setelah proses membuka lahan hampir rampung, baru ada yang mengakui kalau ada lahannya yang kita gusur,ini sangat aneh, selama ini mereka kemana,” jelasnya.
Selengkapnya...

PT SAML Diminta Stop Beroperasi

PALEMBANG –Wakil Gubernur (Wagub) Sumatera Selatan (Sumsel) Eddy Yusuf meminta PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML) menghentikan sementara aktivitasnya di wilayah Desa Nusantara, Air Sugihan, Ogan Komering Ilir (OKI).

Sebab, saat ini Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel tengah mengusulkan rekomendasi inklaf ke pemerintah pusat atas lahan sawah seluas 1.200 hektar (ha), yang menjadi sengketa antara petani dan pihak perusahaan. ”Saya meminta perusahaan menyetop dulu aktivitasnya. Jangan sampai membuat resah hingga memancing keributan, apalagi pertumpahan darah,” kata Eddy Yusuf dalam sambutannya pada acara panen raya rakyat Desa Nusantara,Kecamatan Air Sugihan,OKI,kemarin. Eddy Yusuf juga berpesan kepada aparat keamanan, dalam hal ini Polsek Air Sugihan dan Danramil, untuk lebih mengedepankan kepentingan masyarakat dalam menjalankan tugasnya.

Dengan begitu, permasalahan sengketa lahan antara petani dan pihak perusahaan, khususnya di Desa Nusantara, dapat terselesaikan secara damai. ”Cukuplah peristiwa di Desa Sodong, OKI, menjadi mimpi buruk yang harus kita simpan dalam-dalam.Saya berjanji, akan mengawal seluruh kasus sengketa lahan ini hingga selesai.

Areal persawahan seluas 1.200 hektare di Desa Nusantara ini harus tercatat sebagai salah satu aset pertanian Provinsi Sumsel,” tukas Eddy Yusuf. Eddy Yusuf pun menyatakan, melihat besarnya hasil produksi padi para petani di Desa Nusantara, tentunya potensi ini dapat diandalkan sebagai salah satu sentra penghasil beras di Sumsel, sehingga program Sumsel sebagai lumbung pangan nasional dapat tetap berjalan.

Sementara itu, Ketua Forum Petani Nusantara Suwaji mengatakan, warga Desa Nusantara ini merupakan eks transmigran, yang telah menempati lahan di desa tersebut, atas arahan pemerintah sejak 1980.Adapun lahan persawahan seluas 1.200 ha yang menjadi sengketa tersebut,semula merupakan lahan tidur yang kerap dirasakan menjadi penyebab gagalnya usaha pertanian warga,karena dinilai sebagai sarang hama, baik hama babi maupun tikus. ”Lantas, sejak 1996, kami parapetaniwargaDesaNusantara secara swadaya mulai mencoba membuka lahan tidur itu,dan mengelolanya menjadi areal persawahan.

Meski sempat beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya membuahkan hasil berupa panen padi sejak tahun 2000,”beber Suwaji. Selanjutnya,sejak 2007,Pemerintah Kabupaten (Pemkab) OKI mulai menyosialisasikan program penanaman lahan sawit di daerah rawa di Desa Nusantara, yang kemudian dilanjutkan dengan kehadiran PT SAML. Entah mengapa,PT SAML lalu secara semenamena mengklaim memegang izin kepemilikan lahan itu, meski diketahui lahan seluas 1.200 ha tersebut merupakan milik Pemprov Sumsel, yang secara regulasi merupakan kawasan hijau bantaran sungai.

“Kami mohon pemerintah, untuk mendengarkan keluhan dan permohonan kami warga Desa Nusantara ini.Kehadiran Pemprov kali ini, kami harapkan menjadi dewa penyelamat bagi warga desa. Sebab, apa pun yang terjadi,kami akan tetap mempertahankan lahan ini demi untuk masa depan anak cucu kami,”tutur Suwaji. Dalam kesempatan yang sama,Direktur Eksekutif Wahana lingkungan hidup (Walhi) Sumsel Anwar Sadat memberikan apresiasi mendalam, atas kehadiran Wagub Sumsel dalam acara panen raya,yang digelar petani Desa Nusantara ini.

”Kedaulatan atas tanah dan perluasan lahan pertanian adalah syarat utama dalam memakmurkan rakyat khususnya petani, maka wajib hukumnya bagi pemerintah untuk melindungi dan memperluas pangan rakyat,”kata Sadat.

Sumber : Seputar indonesia Selengkapnya...

Selasa, Januari 24, 2012

Sumsel dapat jatah program cetak ribuan Hektar sawah baru

PALEMBANG–-Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, M Hatta Rajasa menegaskan, tahun ini pemerintah pusat bakal mencetak 100 ribu hektare sawah baru dan untuk di Sumsel, dialokasikan sekitar 30 ribu.

Pencetakan sawah baru untuk di Sumsel itu, karena Sumsel adalah salah satu provinsi penyangga ketahanan pangan. “Pencetakan sawah baru ini untuk mencapai target surplus 10 ribu hektare pada 2014,” jelas Hatta, saat  menghadiri wisuda sarjana dan pascasarjana Stisipol Candradimuka Palembang kemarin. 

Hatta yang telah dipastikan oleh banyak politisi baik lokal maupun nasional sebagai calon presiden RI 2014, meminta program pemerintah pusat ini harus didukung oleh setiap kepala daerah. karena Pusat telah menyediakan dana dari APBN 2012, sekitar Rp1,7 triliun.

Program ini rencananya berlangsung hingga 2014 mendatang. pusat mengharapkan pemerintah daerah bisa menyiapkan lahan seluas yang dibutuhkan untuk program ini. “Pendanaan dari pusat selain untuk pencetakan sawah baru, juga untuk berbagai fasilitas pendukung seperti pembangunan irigasi dan lainnya,” kata Hatta lagi. Pola pencetakan sawah baru, nantinya akan diatur oleh pemerintah daerah masing-masing, bukan pusat.

Untuk program ini, dikembangkan pola kerja sama dengan BUMN (in corporate).  Diungkapkan Hatta, pemerintah pusat juga sedang melakukan penataan kekayaan sumber daya alam di Indonesia. Juga me-reforma agraria agar rakyat Indonesia punya akses terhadap tanah.

“Programnya sedang disusun, intinya tanah harus menjadi instrumen keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat,” cetusnya. Namun, ia belum mengatakan berapa lahan yang akan dibagikan kepada rakyat dari penataan pertanahan ini.

Dalam upaya memperlancar arus barang di dermaga/pelabuhan, pemerintah pusat menyiapkan dana sekitar Rp2 triliun. Dana itu diperuntukkan bagi semua dermaga/pelabuhan di Indonesia, termasuk di Sumsel. “Dana itu untuk moderenisasi alat, perpanjangan dermaga, percepatan pembangunan dermaga baru dan membangun kapal perintis,”jelasnya.

Provinsi Sumsel tahun ini menargetkan produksi beras 3,8 juta ton. Tentu saja ada berbagai upaya yang akan dilakukan. Seperti menambah luas  areal persawahan di Sumsel. ”Kami akan bekerja sama dengan teman-teman dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan, untuk memanfaatkan lahannya sebelum tanaman pokoknya menghasilkan. Misalnya melalui sistem tumpang sari,” kata Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Holtikultura Sumsel, Ir Hj Nelly Rasdiana MSi.

Saat ini, areal potensial yang belum ditanami padi sekitar 280 ribu hektare. Upaya lain, mengganti varietas padi ke jenis yang lebih unggul dan produksinya tinggi. Mengantisipasi hama penyakit, Sumsel punya Brigade Pengendalian Hama dan Penyakit yang siap membantu petani mengatasi persoalan di lapangan.

Tahun depan, anggaran yang disediakan untuk mewujudkan program pembangunan Sumsel Lumbung Pangan sekitar Rp23,2 miliar. Dalam bentuk kegiatan penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana pertanian, peningkatan produksi dan produktifitas dan mutu pangan.

Terkait dukungan pupuk, Wagub Sumsel yang juga Ketua Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3) Sumsel, H Eddy Yusuf SH MM memastikan ketersediaan pupuk bersubsidi bagi para petani. Pihaknya juga memberikan kebebasan untuk pengadaan pupuk non subsidi. “Dengan kebersamaan dan pengawasan semua pihak, tidak ada lagi kebocoran dalam penyaluran pupuk bersubsidi di Sumsel,”imbuhnya.

Ia mengatakan, pemerintah dan masyarakat yang ada di kabupaten/kota harus mendukung program pemerintah pusat ini. Salah satunya dengan konsisten di bidang pertanian. “Jangan pusat cetak sawah baru, sawah lama malah jadi perkebunan,”ungkap Eddy

Bukan reforma Agraria
Pendapat berbeda diutarakan oleh Direktur Walhi Sumsel Anwar sadat menurutnya program pencetakan sawah baru secara masif atau industrilisasi tanaman pangan (Food Estate), tak jauh beda dengan Program pembangunan perkebunan kelapa sawit 1 juta Hektar yang pernah dicanangkan oleh Pemerintah Sumsel beberapa tahun yang lalu, " bedanya hanya soal komoditas saja, kalo dulu sawit kini tanaman pangan sedangkan pelaku dan pihak yang diuntungkan pun tetap sama yaitu Pemilik Modal atau perusahaan" Ungkap sadat yang diwawancarai di Kantornya.

Selain itu sadat juga mengkritik pernyataan Hatta rajasa yang mengatakan bahwa Program pencetakan sawah baru ini, adalah salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan Reforma Agraria karena menurutnya Program ini hanya akan semakin meminggirkan hak rakyat atas tanah dan menciptakan kemiskinan baru dan pastinya ini bukanlah Reforma Agraria. " Program ini sangat jauh dari Reforma Agraria yang salah satu tujuannya adalah rakyat berdaulat atas tananhnya, kalo program cetak sawah baru ini sama halnya melepaskan rakyat dari mulut Buaya tapi masuk ke mulut singa" ungkap sadat.


Selengkapnya...

Sampah Banjiri Anak Sungai


LAHAT – Kesadaran warga Lahat untuk tidak membuat sampah di bantaran sungai ternyata masih perlu digugah. Betapa tidak, di sepanjang aliran anak Sungai Lematang, Ayek Apol, terlihat ribuan sampah rumah tangga yang sengaja dibuang masyarakat.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin lambang supremasi tertinggi di bidang kebersihan, Piala Adipura kembali terlepas dari Kabupaten Lahat. Pengamatan di lapangan, anak sungai yang berada di tengah Kota Lahat tersebut, tepatnya Kelurahan Pasar Lama, dibanjiri ribuan sampah rumah tangga.Tumpukan sampah plastik, kayu, sisa durian terlihat menghiasi aliran sungai tersebut.Alhasil,aliran air yang semestinya menuju muara Sungai Lematang menjadi tersendat,bahkan terhenti.Ironisnya, lokasi ini juga berada di pemukiman padat penduduk dan tak jauh dari perlintasan rel kereta api.

Upaya Pemkab Lahat melepas bibit ikan lele sebagai bentuk antisipasi mengurangi pembuangan sampah di sepanjang anak sungai. Menurut Iskandar,30,warga setempat, sampah rumah tangga itu berasal dari hulu yang terbawa hingga ke tengah kota. Camat Lahat Yusri mengatakan, sejauh ini pihaknya sudah mengetahui keberadaan sampah yang ada di lokasi tersebut. Bahkan, tidak hanya di titik tersebut. Meski demikian, pihaknya akan terlebih dahulu berkoordinasi dengan pihak Dinas PU Cipta Karya.

“Sejauh ini kita sudah pantau keberadaan sampah tersebut.Namun, karena kewenangan itu ada di Pihak PU Cipta Karya,kita akan koordinasikan dahulu,” pungkasnya.

Sumber : seputar Indonesia Selengkapnya...

Jalur Minyak Rawas Ilir Ditutup

MUARABELITI – Bupati Musi Rawas (Mura) H Ridwan Mukti membekukan (menutup) jalur angkutan minyak mentah di Kecamatan Rawas Ilir. Hal ini dilakukan untuk meredam konflik yang terjadi di kawasan itu.


“Pembekuan ini dimaksudkan untuk mencari solusi yang terbaik agar tidak terjadi konflik antara masyarakat,kepolisian, dan perusahaan,” ujar Ridwan saat menggelar rapat darurat di pendopoan rumah dinasnya kemarin. Dia meminta pihak perusahaan segera melakukan pembuatan pipanisasi pengangkutan minyak mentah,agar jangan sampai menimbulkan konflik di masyarakat.Sebab,pengangkutan minyak menggunakan angkutan darat memang tidak dibenarkan, meskipun tidak ada undang-undang yang melarangnya.

Tindakan penutupan ini selaras dengan hasil rapat yang dilakukan Presiden bersama para gubernur, wali kota/ bupati, Kapolda dan Pangdam seluruh Indonesia beberapa waktu lalu.Dalam kesempatan itu, presiden meminta setiap kepala daerah menjaga stabilitas politik dan ketahanan pangan di daerah. Artinya, setiap ada masalah yang berpotensi konflik HAM di masyarakat segera kepala daerah mengambil tindakan terkait.

“Pembekuan ini sematamata untuk menghindari konflik. Sebab, jika berlarut-larut akan meluas ke daerah lainnya dan akan menimbulkan konflik HAM di masyarakat.Apalagi, konflik antara masyarakat dan aparat kepolisian pasti bersumber dengan pihak perusahaan,” katanya. Dia meminta para pengusaha tidak khawatir dengan keputusan ini. Sebab, kebijakan tersebut diambil untuk mencegah kerugian yang lebih besar. “Pembekuan ini untuk pengangkutan minyak mentah dan tidak merugikan perusahaan apakah sumur minyaknya akan berkurang jika dibekukan pengangkutannya,” ungkap Ridwan.

Selain itu, Pemkab Mura mengharapkan peran serta aktif masyarakat menjaga situasi yang ada.Sebab,Pemkab Mura senantiasa melakukan pembangunan dan membuka akses di Kecamatan Rawas Ilir. Secepatnya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait melakukan tender perbaikan kawasan jalan di Rawas Ilir. Dia mengatakan dalam waktu dekat akan turun ke Rawas Ilir dan berdialog dengan masyarakat untuk menyelesaikan masalah yang ada. Meskipun saat kejadian pemblokadean jalan,wakil bupati, sekretaris daerah (sekda), dan asisten sudah turun ke lapangan menyelesaikan masalah yang ada.

“Silakan masyarakat berdialog dengan saya di pendopoan rumah dinas. Saya sambut demi kepentingan masyarakat,” tuturnya. Sementara itu,Kepala Bagian (Kabag) Humas Effendi Fery mengatakan, pembekuan kawasan minyak di Rawas Ilir untuk mencegah konflik di masyarakat dan tindakan pembekuan tidak mempengaruhi iklim investasi di masyarakat. “Pembekuan mulai efektif dilakukan seusai rapat ini dan dibuat surat tembusan ke aparat kepolisian dan TNI sehingga diketahui secara umum,”tuturnya.

Sebelumnya sejumlah warga melakukan pemblokadean jalan dari jalan Rawas Ilir hingga Muara Rupit. Pemblokadean jalan dilakukan karena warga marah akibat jalan yang ada rusak akibat aktivitas perusahaan pertambangan dan perkebunan. Selengkapnya...

2013, Sengketa Lahan Selesai

KAYUAGUNG – Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menargetkan pada 2013 tidak ada lagi kasus sengketa lahan yang belum selesai.

Saat ini pihaknya sudah berupaya menyelesaikan beberapa kasus sengketa lahan di Kabupaten OKI, baik sengketa antara masyarakat dan pihak perkebunan sawit ataupun dengan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI). Menurut Bupati OKI Ishak Mekki, melalui Sekretaris Daerah Kabupaten OKI Ruslan Bahri, sesuai target Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, sengketa lahan di Sumsel harus sudah selesai semua pada 2013.”Kita akan penuhi target dari pemerintah provinsi bahwa pada 2013 di OKI tidak ada lagi masalah sengketa lahan,” katanya.

Sengketa lahan di Kabupaten OKI didominasi masalah plasma, sedangkan masalah penyerobotan lahan oleh perusahaan terbilang sedikit.“Kita sebagai pemerintah daerah hanya bisa memediasi masyarakat dengan pihak perusahaan untuk mencari jalan keluar tanpa ada salah satu pihak yang dirugikan,”katanya. Penyelesaian sengketa lahan juga harus adanya peran aktif antara masyarakat dan pihak perusahaan. ”Artinya, jika masyarakat dan perusahaan yang bermasalah kita undang untuk dimediasi, tetapi salah satu pihak tidak koperatif, tentu sulit untuk dicari jalan keluarnya.Karena itu,koordinasi antara kedua belah pihak penting,”pungkasnya.

Saat ini masih ada sembilan kasus sengketa lahan di Kabupaten OKI yang belum selesai, seperti PT Tania Selatan (Kelapa Sawit) di Desa Muara Burnai, Kecamatan Lempuing; PT Selatan Agro Makmur Lestari yang bermasalah dengan warga masyarakat Bukit Batu,Kecamatan Air Sugihan, lantaran menggarap lahan inti milik perusahaan tersebut. Sementara itu,Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat mengatakan, sengketa tanah untuk perkebunan sudah terjadi sejak 1987 seiring masuknya pihak swasta untuk membuka perkebunan dengan mengambil tanah rakyat. Persoalan konflik terjadi karena tingginya kepentingan pemegang modal yang diberikan izin oleh pemerintah sehingga hakhak atas tanah rakyat dirampas.

“Dalam membuka kebun sawit untuk pihak swasta, biasanya pemerintah hanya melihat sisi formal kepemilikan lahan saja, tidak melihat sisi historis dan sosiologi.Akibatnya rakyat dirugikan karena kehilangan lahan produktif,” timpal Anwar. Dia menjelaskan, Walhi yang selalu aktif memberikan advokasi kepada warga sekaligus menginvestigasi kasus lahan konflik. Dia mengakui, banyak menemui kendala karena keterlibatan aparat dalam melindungi perusahaan swasta. Selengkapnya...

Bupati Diimbau Percepat Penyelesaian

WAKIL Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Eddy Yusuf menegaskan telah menyurati Bupati Ogan Komering Ilir (OKI) dan Musi Banyuasin (Muba) terkait langkah penyelesaian sengketa lahan.

”Saya menginginkan permasalahan konflik lahan segera diselesaikan supaya masyarakat tidak terluka atas permasalahan yang dialami,” ungkapnya di Palembang kemarin. Eddy mengimbau bupati/ wali kota mencari solusi sengketa lahan yang menguntungkan kedua belah pihak. ”Masyarakat tidak dirugikan dan perusahaan tidak bangkrut sehingga dari sisi perekonomian daerah dapat dicarikan solusi yang seharmonis- harmonisnya,” tuturnya. Saat ini Pemprov Sumsel terus mendorong para bupati/ wali kota yang memiliki permasalahan sengketa lahan membuat berkas laporan penyelesaian secara berkala sehingga setiap perkembangannya dapat diketahui.

”Apalagi, pihak perusahaan perkebunan (OKI dan Muba) dalam pertemuan sudah memiliki iktikad baik.Ke depan,pemerintah daerah lebih berhatihati lagi memberikan izin lokasi perusahaan agar masyarakat tidak menjadi korban dan iklim investasi terus tumbuh serta berkembang baik,”kata dia. Sementara itu, pengamat sosial dan politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Ardian Saptawan MSi menegaskan, banyak hal yang harus dibenahi terkait sistem pertanahan di Indonesia.

“Pemerintah perlu melakukan pendekatan ke masyarakat lokal secara langsung dalam mengakomodir aspirasi masyarakat,” katanya. Sebelum izin-izin diberikan, pemerintah harus turun ke lapangan secara langsung untuk memastikan status tanah tidak bermasalah dan memiliki peta yang jelas. “Sebelum mengeluarkan kebijakan perizinan atau saat menemukan indikasi bakal adanya persoalan lahan haruslah tanggap. Bagaimana supaya administrasi pertanahan tidak bermasalah harus ada koordinasi yang baik antara pemerintah (Kehutanan/ Pertanahan/pemda),kepolisian, perusahaan dan masyarakat,” tandasnya.

Ardian pun mengimbau pemerintah segera memperbaiki sistem pertanahan supaya tidak terjadi lagi penyelesaian sengketa lahan dengan jalan kekerasan. “Iktikad baik semua pihak baik pemerintah, aparat,perusahaan dan masyarakat harus disinergikan. Kemudian komitmen perusahaan tak semata mengeruk keuntungan sebagai gambaran imperialisme dan sistem kapitalisme,” tuturnya. Selengkapnya...

Jumat, Januari 20, 2012

Izin Lokasi Perusahaan Perkebunan Dievaluasi

PALEMBANG, KOMPAS.com -- Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan rekomendasikan evaluasi terhadap izin lokasi sembilan perusahaan perkebunan yang tengah berkonflik lahan dengan masyarakat di Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir. Evaluasi diperlukan untuk membuktikan izin lokasi di belasan desa itu menyalahi prosedur atau tidak, sebagaimana dilaporkan masyarakat.
Tiga dari sembilan perusahaan perkebunan itu terdapat di Kabupaten Ogan Komering Ilir, yaitu PT Sumber Wangi Alam, PT Selatan Agro Mulia Lestari dan PT Bumi Sriwijaya Sentosa. Enam perusahaan lainnya di Kabupaten Musi Banyuasin, yaitu PT Berkat Sawit Sejati, PT Hindoli, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT Pakerin, PT Bumi Persada Permai, dan PT Proteksindo Utama Mulia.
Surat rekomendasi untuk segera mengevaluasi sembilan perusahaan itu akan dikirim ke Bupati Ogan Komering Ilir dan Bupati Musi Banyuasin. Rekomendasi dihasilkan dalam pertemuan yang berlangsung di Palembang, Jumat (20/1/2012).
Pertemuan itu dipimpin Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf dan dihadiri oleh ratusan masyarakat dari belasan desa yang tengah berkonflik dengan sembilan perusahaan itu.
Rekomendasi itu merupakan janji Pemrpov Sumsel setelah unjuk rasa sekitar 2.000 warga desa berkonflik lahan 27 Desember 2011. Dalam unjuk rasa itu, masyarakat menuntut pencabutan izin lokasi perusahaan perkebunan tersebut karena dinilai tak memenuhi prosedur maupun tak menepati janji kebun plasma.
Bambang, warga Desa Danau Cala, Kecamatan Lais, Musi Banyuasin, mengatakan bahwa Desa Danau Cala terancam kehilangan lahan seluas 3.000 ha karena masuk dalam izin lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Proteksindo Utama Mulia.
"Izin lokasi ini jelas-jelas menyalahi aturan, yaitu izin lokasi dulu keluar baru diikuti pembebasan lahan. Masyarakat tak pernah dimintai persetujuan atas izin lokasi itu," katanya.
Hal yang sama diutarakan Sukirman dari Desa Nusantara yang bersengketa lahan dengan PT Selatan Agro Mulia Lestari di lahan garapan masyarakat seluas 900 ha. Lahan ini merupakan persawahan yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat.
Menurut Sukirman, masyarakat Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, mengatakan, masyarakat telah menggarap lahan sejak tahun 1995. Mereka juga membayar pajak desa atas lahan sawah itu sebesar Rp 30.000 per ha per tahun selama tiga tahun, yaitu 2002-2005. Namun, sejak 2005, PT Selatan Agro Mulia Lestari memperoleh izin usaha di lahan tersebut dengan hanya memberi uang tali asih Rp 1 juta untuk lahan seluas 900 Ha.
"Lahan itu dulunya lahan terlantar. Kami membuka dan membayar pajak dengan tertib. Tapi saat mengurus surat kepemilikan selalu dipersulit. Tanpa ada pembubuhan persetujuan masyarakat, perusahaan itu tiba-tiba menurunkan alat berat untuk buka lahan di sawah kami," kata Sukirman.
Warga desa menyatakan kecewa atas rekomendasi Pemprov Sumsel yang hanya berupa imbauan tanpa disertai ketegasan dan keputusan yang jelas. Rekomendasi dinilai belum sampai pada akar permasalahan yaitu mengenai kepemilikan lahan. "Masalah kami tetap belum selesai karena belum ada keputusan siapa yang berhak atas lahan sengketa. Apakah masyarakat atau perusahaan. Semua masih mengambang," kata Mulyadi, wakil Desa Tomang, Kecamatan Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir, yang mengajukan pencabutan izin lokasi perkebunan tebu PT Bumi Sriwijaya Sentosa di desanya seluas 3.826 ha.
Terkait hal itu, Wakil Gubernur Eddy Yusuf mengemukakan sulitnya keputusan akhir yang mengikat, karena Pemprov Sumsel kesulitan menghadirkan perwakilan perusahaan maupun kepala daerah. Dari sembilan perusahaan tersebut, hanya empat perwakilan perusahaan yang hadir. Bupati Musi Banyuasin dan dan Bupati Ogan Komering Ilir yang diundang pun hanya diwakilkan para pejabat pemerintahan kabupaten.
"Keputusan final hanya bisa dibuat dengan kehadiran pejabat-pejabat yang berwenang memberi kebijakan. Kalau begini, mereka hanya diminta hadir pimpinannya dan mendengarkan. Kami tak bisa berbuat banyak karena kuncinya ada di bupati dan pemimpin perusahaan," kata Eddy.
Selengkapnya...

Penyelesaian Konflik Lahan di Sumsel- Pemda-DPRD-Perusahaan Lakukan Pertemuan




PALEMBANG – Polemik penyelesaian masalah konflik lahan yang terjadi di beberapa wilayah di Sumsel bakal diselesaikan dalam rapat bersama. Namun, bentuk keputusan final tersebut masih tanda tanya.

Hari ini,Jumat (20/1),Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel, perusahaan perkebunan, dan Komisi I DPRD Sumsel akan duduk satu meja untuk merampungkan semua persoalan antara perusahaan perkebunan dan masyarakat. Sedikitnya ada 10 kasus yang akan diselesaikan,yakni masalah tuntutan masyarakat terhadap HGU dan lokasi PT Sumber Wangi Alam, PT Selatan Agro Makmur Lestari,PT Bumi Sriwijaya Sentosa di wilayah Kabupaten OKI.

Kemudian,PT Berkat Sawit Sejati, PT Hindoli, PT Sentosa Mulia Bahagia, PT Pakerin,PT Bumi Persada Permai, dan PT Proteksindo Utama Mulia di wilayah Kabupaten Muba. Lalu, sengketa lahan antara warga transmigrasi UPT Parit I Desa Tanjung Pule,Kecamatan Indralaya Utara; UPT II Rambutan, Desa Rambutan, Kecamatan Indralaya Utara; dan TSM Tanjung Pule,Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir (OI); dengan pemilik lahan KTM dan sejumlah perusahaan sawit.

“Dalam surat yang disampaikan Pemprov (Sumsel) kepada kami, disebutkan bahwa Pemprov akan menggelar rapat besok (hari ini) itu sudah keputusan final. Artinya keputusan finalnya ada besok hari (hari ini),”kata Ketua Komisi I DPRD Sumsel Erza Saladin di Gedung DPRD Sumsel kemarin. Meski begitu, Erza mengaku belum mengetahui bentuk keputusan finalnya itu seperti apa, apakah akan didefinitifkan, misalkan HGU-nya di evaluasi, apakah HGU-nya dibatalkan atau yang lain.

“Intinya nasib bagaimana masyarakat, jangan sampai masyarakat transmigrasi terkatung- katung lagi,”kata dia. Menurut politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, sebenarnya masalah ini dapat disederhanakan. Contohnya kalau memang peruntukan lahan itu untuk transmigrasi maka sebaiknya dikembalikan saja. Namun, misalkan ada win win solution dan masyarakat ingin dipin-dahkan, yakinkan bahwa lahan yang akan digunakan itu tidak bermasalah.

“Jangan sampai nanti, dipindahkan ke suatu tempat ternyata bermasalah lagi. Karena kami baru saja dari lapangan. Ada kasus PT TBL, di mana sekitar 300-an hektare luas lahan yang seharusnya lahan itu untuk transmigrasi tapi malah masuk ke HGU ke PT TBL, itu terjadi di Desa Prambahan Baru, Kecamatan Banyuasin I,”jelas Erza.

Sementara itu, anggota Komisi I DPRD Sumsel Syaiful Islam menyatakan, pada prinsipnya Dewan ingin ada progres yang jelas terhadap penyelesaian kasus tersebut.“Artinya sudah berapa kali kita tindak lanjuti. Sehingga dengan pertemuan besok (hari ini), kita harapkan pihak-pihak perusahaan yang hadir itu punya hak untuk memberikan keputusan.

Tapi kalau itu tidak bisa memberikan keputusan yang jelas, maka pertemuan itu tidak ada manfaatnya,”ujar dia. Politikus asal Partai Demokrat ini mengungkapkan, persoalan-persoalan sengketa ini kan sudah menjadi area publik yang ditunggu-tunggu. Untuk itulah Dewan harus mampu menyelesaikan secara tuntas. Karena pertemuan dengan perusahaan tersebut sudah dilakukan beberapa kali pertemuan.

“Sebenarnya, intinya persoalan yang menjadi hak masyarakat harus diselesaikan. Kewajiban-kewajiban perusahaan, seperti kawasan yang selama ini diklaim oleh perusahaan yang di dalamnya ada hak masyarakat,diingkari oleh perusahaan.

Jadi kita harus bahas substansinya yang betulbetul mencari solusi,” ungkap Syaiful. Kemudian, tandas dia, kalau semuanya sudah menjadi keputusan dan kesepakatan untuk masyarakat maka harus komit dengan kedua belah pihak. Perusahaan harus memenuhi kewajibannya, masyarakat juga harus menjaga asetaset milik perusahaan.Selama ini terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan yang besar, yang mereka kirimi untuk rapat dengan kita adalah orang-orang yang tidak bisa mengambil keputusan.

“Kalau memang terjadi pengingkaran rapat yang tidak sesuai dengan yang dinginkan, paling tidak harus ada sanksi. Misalnya HGU-nya dievaluasi. Bahkan,kalau menyalahi aturan HGU-nya harus dicabut. Itu harus karena kalau terjadi benturan dengan masyarakat seolah- olah antara pemerintah dan masyarakat.Padahal yang ingkar janji itu perusahaan,” pungkasnya.
Selengkapnya...

Kamis, Januari 19, 2012

Petani Sumsel : Pemerintah jangan Bohongi kami lagi

Sukirman (40) di salah satu kegiatan yang diadakan Walhi Sumsel

Palembang.(News). Di tundanya pertemuan penyelesaian konflik agrarian di sumatera selatan beberapa hari lalu (selasa 17/1), secara sepihak oleh Pemerintah sumsel, telah  menimbulkan rasa kecewa terhadap petani dari 17 desa yang berasal dari MUBA dan OKI.

Hal ini diungkapkan oleh Sukirman salah satu perwakilan warga desa Nusantara OKI di Sekretariat Walhi Sumsel “ Penundaan kemarin memberikan Isyarat kepada kami, bahwa Pemerintah sumsel tidak serius untuk menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapi rakyatnya”. Kata kirman yang di iyakan oleh warga lainnya.

Menurut kirman “Harusnya pemerintah berpikir juga dengan jarak desa kami dengan palembang yang jauh, dan otomatis memakan biaya besar, karena pembatalan ini warga harus menyisihkan uangnya kembali untuk membiayai 10 orang dari kami yang ditunjuk sebagai perwakilan dalam pertemuan”

Dijelaskan Kirman, untuk menuju desa nusantara tempat tinggal mereka, jalan satu satunya harus menggunakan transportasi sungai dengan jarak tempuh mencapai 9 jam dengan biaya tranportasi p/p sebesar 150 ribu rupiah, maka kalo ditotalkan untuk biaya berangkat 10 orang sebesar 1.5 Juta.

“ Jalan darat hancur mas, tidak bisa dilewati oleh kendaraan apapun, kami seperti hidup di negara yang belum merdeka” kata syaiful ketua Forum Komunikasi Petani desa Nusantara Bersatu (FKPNB) coba melengkapi pernyataan kirman.

Sekedar meninformasikan Desa Nusantara merupakan salah satu desa yang sedang berkonflik dengan PT. SAML yang bergerak di perkebunan kelapa sawit. Konflik ini dimulai sejak tahun 2008, saat masyarakat tahu bahwa 1.200 hektar lahan persawahan yang telah bertahun tahun di kelolah oleh masyarakat, diklaim oleh perusahaan masuk sebagai lahan HGU perusahaan.

Kini petani desa nusantara telah berada di Sekretariat Walhi Sumsel, mereka datang untuk memenuhi kembali undangan pertemuan penyelesaian konflik Agraria, yang kemarin telah di jadwalkan ulang oleh Pemerintah Propinsi Sumsel melalui Wakil gubenur Eddy yusuf pada Jumat Besok (20/1). Mereka berharap dalam pertemuan besok pemerintah tidak lagi membohongi mereka.
Selengkapnya...

Rabu, Januari 18, 2012

Selesaikan Kasus Agraria-Pemprov Dinilai Tak Serius

PALEMBANG – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) menilai Pemprov Sumsel tidak serius menyelesaikan kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. “Ditundanya pelaksanaan pertemuan untuk membahas sejumlah kasus sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan diwilayah OKI dan Muba yang dijadwalkan hari ini (kemarin) tidak wajar karena diputuskan sepihak oleh Pemprov Sumsel tanpa alasan yang jelas,” papar Kadiv PPER Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, saat aksi demonstrasi bersama puluhan petani dari Kabupaten OKI dan Muba diKantor Gubernur Sumsel,kemarin.

Menurut Hadi, penundaan yang terjadi mengisyaratkan Pemprov tidak serius ingin menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Sumsel khususnya yang melibatkan 10 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten OKI dan Muba. Akibat penundaan tersebut Hadi menuntut Pemprov Sumsel tidak menunda lagi pertemuan selanjutnya pada Jumat (20/1).

“Kami ingin pertemuan mendatang tidak lagi ditunda agar dapat membahas seluruh konflik yang diangkat dan secara konkrit menuntaskannya yaitu dikembalikannya hak-hak rakyat,”tukasnya. Asisten I Setda Pemprov Sumsel, Mukti Sulaiman, atas nama Gubernur Sumsel Alex Noerdin berjanji pada pertemuan yang akan dilakukan pada 20 Januari mendatang tidak akan terjadi penundaan.

”Kita sepakat bahwa akan dilakukan pertemuan antara Pemprov Sumsel dengan jajaran pemerintahan Kabupaten OKI dan Muba, Walhi, serta utusan masyarakat yang dipimpin langsung Wagub Sumsel pada 20 Januari 2012 pukul 08.00 WIB,”jelas Mukti. Sementara itu, Wakil Gubernur (Wagub) Sumsel Eddy Yusuf ketika dikonfirmasi mengenai penundaan penyelesaian lahan yang telah dijanjikan bukan karena faktor kesengajaan.

“Sebenarnya tidak ada batas waktu untuk penyelesaian sengketa tanah. Mana yang bisa diselesaikan,maka segera kita selesaikan. Jadi harus bijaksana menyikapinya dan jangan sampai ribut,”katanya di Martapura kemarin. Sebelumnya, Bupati Muba Pahri Azhari menyatakan telah mengevaluasi secara keseluruhan permasalahan sengketa lahan yang terjadi di wilayahnya.

”Semua permasalahan akan diselesaikan dengan baik dengan mengajak semua instansi terkait mulai dari perusahaan hingga BPN. Karena senegketa lahan tidak bisa diselesaikan sepihak oleh pemerintah,” katanya.

Sumber : Seputar Indonesia Selengkapnya...

Selasa, Januari 17, 2012

Pernyataan Sikap : Penundaan Pertemuan Penyelesaian Konflik Agraria di Sumsel


Pemerintah tidak seriusan menyelesaikan kasus kasus Agraria

Perwakilan Masyarakat Tanyakan Komitmen Pemerintah Selesaikan Konflik Agraria di Sumsel

Adalah hal yang tidak wajar dilakukan oleh Pemerintah dengan struktur perangkat dinas yang lengkap (professional) menunda agenda yang telah disepakati bersama dijauh hari sebelumnya, tanpa ada alasan yang jelas.

Hal tersebut terjadi saat ini, dimana secara sepihak pemerintah sumatera selatan memutuskan untuk menunda pertemuan (rapat) Penyelesaian Konflik agrarian yang ada di Sumsel . Dimana pertemuan ini telah disepakati bersama antara pemerintah sumsel dengan Perwakilan masyarakat beberapa waktu lalu, tepatnya 27 Desember 2011, adapun isi dari kesepakatan tersebut adalah Pemerintah sumsel akan memfasilitasi pertemuan penyelesaian Konflik agrarian yang sedang dihadapi Masyarakat pada 17 Januari 2012. Saat itu sedikitnya 2000 orang petani melakukan aksi massa di halaman Pemrov sumsel, untuk menuntut pemerintah sesegera mungkin menyelesaikan Persoalan agrariaia yang dihadapi masyarakat, seperti perampasan tanah rakyat yang dilakukan Perusahaan yang difasilitasi oleh Pemerintah. serta meminta Pemerintah untuk menarik Pasukan Polisi dan TNI dari wilayah Konflik agrarian.

Penundaan ini mengisyarakatkan bahwa pemerintah Sumsel saat ini tidak serius untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Selatan. Terkhusus terhadap Konflik yang sedang di hadapi rakyat 17 desa, melibatkan sedikitnya 9 Perusahaan Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri, antara lain PT. Sumber Wangi Alam, PT. Selatan Agro Makmur Lestari dan PT. Bumi Sriwijaya Sentosa yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) serta  PT. Berkat Sawit Sejati, PT. Hindoli, PT. Sentosa mulia Bahagia, PT. Pakerin, PT. Pakerin, PT. Bumi Persada Permai dan PT. Proteksindo Utama Mulia di Kabupaten Musi Banyuasin.

Atas Kondisi ini maka kami menuntut kepada Pemerintah Sumsel untuk :
  1. Memastikan pertemuan yang diagendakan selanjutnya pada Hari Jum’at, Tanggal 20 Januari 2012 tidak lagi ditunda
  2. Agar dalam pertemuan tersebut dapat membahas seluruh konflik yang diangkat dan secara konkret menuntaskannya, yakni dikembalikannya hak-hak rakyat.

Demikianlah hal ini disampaikan,
Palembang, 17 Januari 2012

 Dto

Hadi Jatmiko
WALHI Sumsel



Selengkapnya...

Minggu, Januari 15, 2012

Warga Sei Sodong Waspadai Provokator

Warga Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, memperketat pengawasan di sekitar desa menjelang pelaksanaan zikir dan doa bersama terkait konflik lahan. Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah masuknya provokator pada aksi damai yang rencananya dihadiri 1.000-2.000 orang itu.

”Sejak semalam beberapa warga berjaga di tenda yang didirikan di sekitar desa guna memantau orang luar yang masuk. Kami juga menghubungi kepolisian. Beberapa petugas kepolisian pun sudah datang ikut memantau,” kata Chichan, tokoh pemuda Sei Sodong, Kamis (12/1/2012).

Warga khawatir masuknya provokator dapat menyebabkan keadaan memanas. Pasca-bentrokan yang menewaskan tujuh orang April lalu, warga desa Sei Sodong hanya berharap kehidupan tenteram dan damai.

”Masyarakat Sei Sodong sebenarnya tetap mengutamakan kedamaian dan tidak akan menyerang lebih dulu. Tapi adat kami memang akan membela diri jika diserang duluan,” ujar Chichan menambahkan.

Zikir dan doa bersama mengundang perwakilan masyarakat yang juga tengah berkonflik dengan perusahaan di beberapa wilayah Sumatera Selatan dan Mesuji, Lampung. Pada April lalu, warga Sei Sodong bentrok dengan pekerja perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA yang mengakibatkan tujuh orang tewas.  
Selengkapnya...

Jumat, Januari 13, 2012

Reforma Agraria, Pembaruan Desa dan Keadilan Ekologis Jalan Indonesia Berkeadilan Sosial

Jakarta, 12-01-2012 - Kami dari “Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia”, aliansi dari organisasi Petani, Buruh, Masyarakat Adat, Perempuan, Pemuda Mahasiswa, Perangkat Pemerintahan Desa, dan NGO.

Hari ini, Kamis 12 Januari 2012 melakukan aksi serentak di Ibu kota Negara DKI Jakarta dan 27 Provinsi di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali NusaTenggara, Maluku dan 4 wilayah di luar negeri.

Hari ini, kami menyatakan Perlawanan dan Membentuk Aliansi Gerakan Perlawanan Terhadap Perampasan Tanah-Tanah Rakyat yang difasilitasi oleh rezim SBY-Boediono di seluruh Indonesia.

Kami Berpandangan:
Bahwa masalah utama agraria (tanah, air, dan kekayaan alam) di Indonesia adalah konsentrasi kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar, di tengah puluhan juta rakyat bertanah sempit bahkan tak bertanah. Ironisnya, ditengah ketimpangan tersebut, perampasan tanah-tanah rakyat masih terus terjadi.

Perampasan tanah tersebut terjadi karena persekongkolan jahat antara Pemerintah, DPR-RI dan Korporasi. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengesahkan berbagai Undang-Undang seperti: UU No.25/2007 Tentang Penanaman Modal, UU No.41/1999 Tentang Kehutanan, UU 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No.7/2004 Tentang Sumber Daya Air, UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 4/2009 Mineral dan Batubara, dan yang terbaru pengesahan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Keseluruhan perundang-undangan tersebut sesungguhnya telah melegalkan perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa, kesemuanya hanya untuk kepentingan para pemodal.

Perampasan tanah berjalan dengan mudah dikarenakan pemerintah pusat dan daerah serta korporasi tidak segan-segan mengerahkan aparat kepolisian dan pam swakarsa untuk membunuh, menembak, menangkap dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya jika ada rakyat yang berani menolak dan melawan perampasan tanah.

Kasus yang terjadi di Mesuji dan Bima adalah bukti bahwa Polri tidak segan-segan membunuh rakyat yang menolak perampasan tanah. Hal ini terjadi karena Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara jelas dan terbuka telah menjadi aparat bayaran perusahaan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan. Kasus PT.Freeport  dan Mesuji Sumatera Selatan membuktikan bagaimana polisi telah menjadi aparat bayaran tersebut.

Cara-cara yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono dalam melakukan perampasan tanah dengan menggunakan perangkat kekerasan negara, mulai dari pembuatan undang-undang yang tidak demokratis hingga pengerahan institusi TNI/polri untuk melayani kepentingan modal asing dan domestik sesungguhnya adalah sama dan sebangun dengan cara-cara Rezim Fasis Orde Baru.

Kami menilai bahwa perampasan hak-hak rakyat atas tanah, hutan, tambang, wilayah tangkap nelayan, wilayah kelola masyarakat adat dan desa yang terjadi sekarang ini adalah bentuk nyata dari perampasan kedaulatan rakyat.

Bagi Kami Kaum Tani, Nelayan, Masyarakat Adat, dan Perempuan perampasan tersebut telah membuat kami kehilangan tanah yang menjadi sumber keberlanjutan kehidupan.

Bagi Kami Kaum Buruh, perampasan tanah dan kemiskinan petani pedesaan adalah sumber malapetaka politik upah murah dan sistem kerja out sourcing yang menindas kaum buruh selama ini. Sebab politik upah murah dan system kerja out sourcing ini bersandar pada banyaknya pengangguran yang berasal dari proses perampasan tanah. Lebih jauh, perampasan tanah di pedesaan adalah sumber buruh migran yang dijual murah oleh pemerintah keluar negeri tanpa perlindungan.

Melihat kenyataan tersebut, kami berkesimpulan: Bahwa dasar atau fondasi utama dari pelaksanaan sistem ekonomi neoliberal yang tengah dijalankan oleh SBY Boediono adalah Perampasan Tanah atau Kekayaan Alam yang dijalankan dengan cara-cara kekerasan.

Kami berkeyakinan bahwa untuk memulihkan hak-hak rakyat Indonesia yang dirampas tersebut harus segera dilaksanakan Pembaruan Agraria, Pembaruan Desa demi Keadilan Ekologis.

Pembaruan Agraria adalah penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, untuk kepentingan petani, buruh tani, perempuan dan golongan ekonomi lemah pada umumnya seperti terangkum dalam UUPA 1960 pasal 6,7,9,10,11,12,13,14,15,17. Pembaruan Agraria adalah mengutamakan petani, penggarap, nelayan tradisional, perempuan dan masyarakat golongan ekonomi lemah lainnya untuk mengelola tanah, hutan dan perairan sebagai dasar menuju kesejahteraan dan kedaulatan nasional.

Pembaruan Desa adalah pemulihan kembali hak dan wewenang di Desa atau nama lain yang sejenis, yang telah dilumpuhkan dan diseragamkan oleh kekuasaan nasional sejak masa Orba melalui UU No.7/1979 tentang Pemerintahan Desa. Penyeragaman tersebut telah menghilangkan pranata asli masyarakat pedesaan yang merupakan kekayaan “Bhineka Tunggal Ika” yang tak ternilai harganya.

Pembaruan Desa adalah pemulihan hak dan wewenang desa dalam mengatur sumber-sumber agraria di desa dengan cara memberikan wewenang desa dalam mengelola kekayaan sumber-sumber agraria untuk rakyat, memberikan keadilan anggaran dari APBN, menumbuhkan Badan Usaha Bersama Milik Desa untuk mempercepat pembangunan ekonomi pedesaan.

Bingkai utama dari pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pembaruan Desa adalah menuju Keadilan Ekologis. Dengan demikian, keseluruhan pemulihan hak-hak agraria rakyat, pemulihan desa adalah untuk memulihkan Indonesia dari kerusakan ekologis akibat pembangunan ekonomi neoliberal selama ini.

Melalui Aksi ini, kami Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat menyerukan: Kepada seluruh rakyat Indonesia yang terhimpun dalam organisasi-organisasi gerakan untuk merebut dan menduduki kembali tanah-tanah yang telah dirampas oleh pemerintah dan pengusaha. Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk organisasi-organisasi perlawanan terhadap segala bentuk perampasan tanah.

Kami juga mengajak kepada para cendikiawan, budayawan, agamawan, professional agar mengutuk keras dan melawan segala bentuk pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dalam melakukan perampasan tanah.

Untuk itu, Kami Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia menuntut :
  1. Menghentikan Segala Bentuk Perampasan Tanah Rakyat dan Mengembalikan Tanah-Tanah Rakyat yang Dirampas.
  2. Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati sesuai dengan Konsitusi 1945 dan UUPA 1960
  3. Tarik TNI/Polri dari konflik Agraria, membebaskan para pejuang rakyat yang ditahan dalam melawan perampasan tanah.
  4. Melakukan Audit Legal dan Sosial Ekonomi terhadap segala Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, Hak Guna Bangunan (HGB), SK Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik kepada Swasta dan BUMN yang telah diberikan dan segera mencabutnya untuk kepentingan rakyat.
  5. Membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat, penduduk desa, masyarakat adat dalam mengelola Hutan.
  6. Pengelolaan sumber-sumber alam yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan mensegerakan UU PA-PSDA sesuai amanat TAP MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
  7. Penegakan Hak Asasi Petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan sesuai tuntutan rakyat tani.
  8. Penegakan Hak Masyarakat Adat melalui Pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat
  9. Pemulihan Hak dan Wewenang Desa dengan segera menyusun RUU Desa yang bertujuan memulihkan hak dan wewenang desa atau nama lain yang sejenis dalam bidang ekonomi, politik hukum dan budaya.
  10. Penegakan Hak Asasi Buruh dengan Menghentikan Politik Upah Murah dan Sistem Kerja Kontrak, Out Sourcing dan membangun Industrialisasi Nasional. Bentuk Undang-undang yang menjamin hak-hak Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya
  11. Penegakan Hak Asasi Nelayan Tradisional melalui perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional dengan mengesahkan RUU Perlindungan Nelayan, Menghentikan kebijakan impor ikan dan privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil.
  12. Pencabutan sejumlah UU yang telah mengakibatkan perampasan tanah yaitu : UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU 18/2004 Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009 Minerba, dan UU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.

Demikian Pernyataan Sikap ini


Koordinator Umum Aksi:
Agustiana / 085223207500



Sekretariat Sekber Nasional :
WALHI: Jl. Tegalparang Utara 14, Mampang-Jakarta Selatan 12790 | T/F +6221 79193363/7941673

Sumsel : Jalan Sumatera 1 No 771 Kel 26 Ilir kecamatan Ilir barat 1 Palembang


Selengkapnya...

Doa Bersama Sei Sodong Bagian Aksi Serentak Nasional


KOMPAS.com — Zikir dan doa bersama yang digelar di Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (12/1/2012) siang, merupakan bagian dari aksi nasional menentang penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan. Aksi ini berlangsung serentak di sejumlah daerah di Indonesia.

”Hari ini ada aksi serentak di berbagai daerah terkait konflik agraria. Ada 30 organisasi masyarakat yang tergabung dalam sekretariat bersama yang berkoordinasi untuk aksi-aksi ini,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Anwar Sadat yang tengah menuju lokasi zikir dan doa bersama.

Khusus di Sumatera Selatan, aksi damai berupa zikir dan doa bersama dipusatkan di Desa Sei Sodong di mana  terjadi bentrokan antara warga dan pekerja perusahaan perkebunan sawit PT SWA April lalu. Kegiatan ini juga dimaksudkan mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk memberi penyelesaian yang berpihak pada masyarakat.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Sumatera Selatan berjanji memberi keputusan terkait 16 kasus sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan pada 17 Januari mendatang. Sengketa lahan ini melibatkan delapan perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin dengan luas lahan yang disengketakan sekitar 10.000 hektar.

Menurut data Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 37 kasus sengketa lahan masyarakat dan perusahaan. Namun, versi Walhi Sumatera Selatan terdapat 57 kasus yang beberapa di antaranya berpotensi menimbulkan konflik terbuka seperti di Sei Sodong.  Selengkapnya...

Peringati Tragedi Sodong, Walhi Gelar Dzikir


Rombongan Walhi Sumsel dan beberapa elemen persatuan petani dari Banyuasin dan Muba baru saja tiba di Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI Kamis (12/1/2012) pukul 05.30. Saat ini mereka sedang beristirahat di rumah seorang perwakilan Walhi Sumsel yang ada di OKI.Banyaknya anggota yang datang membuat rumah seperti sebuah gubuk. Padahal, rumah tersebut bisa dibilang berukuran sangat besar.
Karena keterbatasan ruang, beberapa anggota terpaksa beristirahat di luar ruangan. Diantara mereka ada yang tidur dan ada juga yang menghabiskan malam dengan bercerita.
Rombongan ini berangkat dari Kantor Walhi Sumsel Rabu (11/1/2012) pukul 22.00. Mereka berangkat dengan menumpang dua bis kota Indralaya-Palembang. Satu mobil Toyota Avanza juga tampak mengiringi dua bis tersebut.
Rombongan dijadwalkan tiba di Desa Sodong Kecamatan Mesuji pada pukul 13.00. Rencananya di sana mereka akan mengadakan zikir bersama di tempat terjadinya Tragedi Sodong. Selengkapnya...

Walhi Sumsel Gelar Zikir Bersama dengan Warga Sungai Sodong Mesuji


Palembang - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan akan menggelar zikir bersama warga Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Zikir bersama tersebut dilakukan di lokasi konflik yang menewaskan sejumlah pada April lalu.

“Rencananya kami akan melakukan zikir di lokasi tragedi,” kata Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, yang dihubungi, Kamis (12/01/2012).

Dijelaskan Sadat, selain aktivis Walhi Sumsel bersama mereka juga ada perwakilan petani dari daerah lain di Sumatera Selatan. Mereka baru sampai di Kecamatan Mesuji sekitar pukul 05.15, dan istirahat sejenak di rumah seorang warga.

Kemudian melanjutkan perjalanan ke Sungai Sodong, yang diperkirakan akan tiba sekitar pukul 13.00 WIB. Selanjutnya melakukan zikir bersama di lokasi konflik berdarah antara warga Sungai Sodong dengan karyawan PT Sumber Wangi Alam (SWA) yang menewaskan sejumlah orang pada April
2011 lalu.

Para aktifis Walhi Sumsel itu sendiri berangkat dari sekretariat Walhi Sumsel, Bukitkecil, Palembang, pada Rabu (11/01/2012) sekitar pukul 23.00 WIB. Mereka menggunakan dua bus dan sebuah mobil minibus.

sumber : Detik.com Selengkapnya...

Siang Ini Warga Sodong Mesuji Gelar Doa Bersama

Metrotvnews.com, Palembang: Warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, Kamis (12/1) nanti siang, menyiapkan acara doa dan zikir bersama sebagai tanda upaya mengembalikan hak kelola lahan yang masih bersengketa dengan perusahaan sawit.

Informasi diperoleh dari perwakilan warga dan LSM pendamping warga Sungai Sodong, di Palembang, Rabu tadi malam, menyebutkan bahwa acara doa dan zikir bersama di Desa Sungai Sodong, Mesuji, dijadwalkan digelar Kamis pukul 13.30 WIB.

"Kami siap datang bergabung dan bersama-sama menggalang kehadiran sedikitnya 1.000 orang dalam zikir dan doa bersama itu," kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat.

Seribuan warga diharapkan merupakan perwakilan dari berbagai komunitas masyarakat dan elemen yang selama ini memperjuangkan dan mendukung pengembalian hak atas lahan yang masih bersengketa dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit setempat, antara lain PT Sumber Wangi Alam (SWA).

"Rencananya selain warga Sungai Sodong, akan hadir dan bergabung pula warga dari sejumlah wilayah di Mesuji, Provinsi Lampung bersama perwakilan LSM dan pendamping masyarakat dari kedua daerah," ujar Hadi Jatmiko, staf Walhi Sumsel menambahkan.

Menurut Hadi, doa dan zikir bersama itu sekaligus mendoakan dua warga setempat yang telah meninggal dunia akibat bentrok dengan pam swakarsa PT SWA pada April 2011 lalu.

Dia menegaskan, bersama aksi warga, LSM dan berbagai elemen masyarakat di Sungai Sodong itu, secara bersamaan akan digelar pula aksi serupa dan aksi keprihatinan serta tuntutan untuk pengembalian hak sumberdaya alam/lahan petani dan masyarakat yang telah dirampas perusahaan maupun pihak lain.

Informasi dari beberapa aktivis di Mesuji, Lampung, membenarkan pada Kamis, mereka juga akan menggelar aksi keprihatinan dan tuntutan kepada pemerintah untuk segera menuntaskan sengketa lahan yang masih terjadi di Lampung dan berbagai daerah lain di Tanah Air.

Aksi tersebut juga akan mengusung sejumlah tuntutan, antara lain desakan pengaturan kembali distribusi dan revisi perizinan pengelolaan lahan yang selama ini dinilai lebih berpihak kepada kalangan pengusaha, dibandingkan dengan petani dan masyarakat.

Sementara itu, Pemprov Sumsel bersama DPRD dan perwakilan masyarakat serta pendampingnya, dijadwalkan akan menggelar rapat terpadu penyelesaian konflik lahan di Sumsel pada 17 Januari mendatang.

Gubernur Sumsel H Alex Noerdin menyebutkan, sedikitnya masih ada 50-an kasus sengketa lahan yang masih harus segera diselesaikan di daerahnya, dan ditargetkan hingga 2013 separuhnya sudah bisa tuntas.

Komisi I DPRD Sumsel menyebutkan terdapat pengaduan sebanyak 37 kasus sengketa lahan yang masuk kepada para wakil rakyat ini.

Walhi Sumsel yang membuka Posko Pengaduan Sengketa Lahan menyebutkan, terdapat sedikitnya 57 kasus sengketa lahan belum tuntas di daerahnya, baik kasus lama maupun baru.

"Kami juga masih menerima pengaduan kasus sengketa lahan di Sumsel, baik disampaikan langsung, melalui surat, telepon atau sarana komunikasi lainnya," ujar Kepala Divisi PPER Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko.

Sumber : www.metrotvnews.com
Selengkapnya...

Ribuan Petani Mesuji Zikir di Lahan Sengketa

Palembang - Ribuan petani dari berbagai desa di Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Kamis, 12 Januari 2012 sekitar pukul 14.00 akan menggelar zikir dan doa bersama di di Desa Sungai Sodong. Kegiatan juga diikuti petani dan pegiat lingkungan dari Mesuji Lampung. Mereka berharap tanah yang telah menjadi kebun sawit PT Sumber Wangi Alam (SWA) segera dikembalikan ke masyarakat.

Mualimin P. Dahlan, wakil Desa Sungai Sodong, kepada Tempo mengatakan hingga kini masih menyangsikan iktikad baik perusahaan memulihkan hak masyarakat Sodong. "Harapan kami, dengan cara seperti ini (doa bersama), akan membuka hati perusahaan dan pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini," kata Mualimin P. Dahlan, Kamis, 12 Januari 2012, melalui sambungan telepon dari Palembang.

Sementara itu Kepala Divisi Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian (PPER) Walhi Sumatera Selatan Hadi Jatmiko mengingatkan pemerintah dan instansi berwenang segera mencari solusi sengketa lahan masyarakat dan perusahaan di daerah tersebut. Hadi khawatir insiden berdarah 21 April 2011 kembali terjadi bila tak segera ditanggulangi. "Kami mendesak setiap konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan dicari akar masalahnya untuk ditangani,” kata Hadi Jatmiko.

Dia menegaskan solusi penyelesaian konflik lahan memerlukan keberanian semua pihak mencari terobosan alternatif penyelesaiannya. Hadi mengungkapkan lahan produktif di Sumatera Selatan sebagian besar diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan, sehingga petani dan masyarakat daerah tidak lagi memiliki akses memadai pada sumber daya alam.

Puncak sengketa lahan yang terjadi dari tahun 1997 lalu antara warga Desa Sungai Sodong dan PT Sumber Wangi Alam membawa insiden berdarah 21 April 2011. Dua warga desa dan karyawan PT SWA tewas mengenaskan. Sabar, satpam perusahaan, meninggal di Blok 19, yang termasuk blok yang disengketakan. Sedangkan empat lainnya terbunuh di base camp PT SWA. Mereka adalah Hardi dan Hambali--asisten kebun--yang mengalami luka bacok dan tusuk di sekujur tubuh, serta Saimun dan Agus Manto--pam swakarsa--yang ditemukan kepalanya terpisah dari tubuh.

Warga Desa Sodong berduka karena dua warganya tewas. Mereka adalah Saktu Macan dan Indra Syafeii. Dua bersahabat ini tewas di Blok 19. Mereka mengalami luka tusuk di beberapa bagian tubuh. Bahkan leher Saktu Macan nyaris putus akibat sabetan senjata tajam. 

Sumber : Tempo.co
Selengkapnya...

Rabu, Januari 11, 2012

Republik Genting - Rakyat Bergerak Pulihkan Indonesia 12.01.12

Kami aliansi dari 77 organisasi Petani, Buruh, Masyarakat Adat, Perempuan,Pemuda Mahasiswa, Perangkat Pemerintahan Desa, dan NGO yang tergabung dalam "Sekretariat Bersama Pemulihan Hak-Hak Rakyat Indonesia" Akan melakukan aksi serentak pada hari Kamis/ 12 Januari 2012 di Jakarta dan 27 Provinsi di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali NusaTenggara. Menyerukan Perlawanan dan Membentuk Aliansi Gerakan Perlawanan Terhadap Perampasan Tanah-Tanah Rakyat yang difasilitasi oleh rezim SBY-Boediono di seluruh Indonesia.

Tuntutan Kami adalah sebagai berikut;

1.      Hentikan Segala Bentuk Perampasan Tanah Rakyat dan kembalikan Tanah
Rakyat yang Dirampas.

2.      Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati sesuai dengan Konsitusi 1945
dan UUPA 1960

3.      Tarik TNI/Polri dari konflik Agraria, bebaskan para pejuang rakyat
yang ditahan dalam melawan perampasan tanah.

4.      Melakukan Audit Legal dan Sosial Ekonomi terhadap segala Hak Guna
Usaha (HGU) Perkebunan, Hak Guna Bangunan (HGB), SK Hutan Tanaman Industri
(HTI) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik
kepada Swasta dan BUMN yang telah diberikan dan segera mencabutnya untuk
kepentingan rakyat.

5.      Membubarkan Perhutani dan memberikan hak yang lebih luas kepada
rakyat, penduduk desa dan masyarakat adat dalam mengelola Hutan

6.      Penegakan Hak Asasi Petani dengan cara mengesahkan RUU Perlindungan
Hak Asasi Petani dan RUU Kedaulatan Pangan sesuai tuntutan rakyat.

7.      Penegakan Hak Masyarakat Adat melalui Pengesahan RUU Pengakuan dan
Perlindungan Hak - Hak Masyarakat Adat

8.      Pemulihan Hak dan Wewenang Desa dengan segera menyusun RUU Desa
yang bertujuan memulihkan hak dan wewenang desa atau nama lain yang sejenis
dalam bidang ekonomi, politik hukum dan budaya.

9.      Penegakan Hak Asasi Buruh dengan Menghentikan Politik Upah Murah
dan Sistem Kerja Out Sourcing dan membangun Industrialisasi Nasional

10.  Penegakan Hak Asasi Nelayan Tradisional melalui perlindungan wilayah
tangkap nelayan tradisional

11.  Pencabutan sejumlah UU yang telah mengakibatkan perampasan tanah yaitu
: UU No.25/2007 Penanaman Modal, UU 41/1999 Kehutanan, UU 18/2004
Perkebunan, UU 7/2004 Sumber Daya Air, UU 27/2007 Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 4/2009 Minerba, UU Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, dan Cabut UUPPTKILN No.39 tahun 2004 dan Bentuk Undang-undang
yang menjamin hak-hak Buruh Migran Indonesia dan Keluarganya

Selengkapnya...

Walhi Ingatkan Solusi Konflik Lahan di Sumsel

PALEMBANG: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan mengingatkan pemerintah dan instansi berwenang segera mencari solusi sengketa lahan masyarakat dan perusahaan di daerahnya, dengan secepat mungkin menangani akar masalahnya.

"Setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan hendaknya dicari akar masalahnya untuk ditangani, sehingga dapat segera dicari solusinya," kata Kepala Divisi Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian (PPER) Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, mendampingi Direktur Eksekutif forum NGO itu, Anwar Sadat, di Palembang, Rabu (11/1).

Dia menegaskan solusi penyelesaian konflik lahan itu memerlukan keberanian semua pihak untuk mencari terobosan alternatif penyelesaiannya, termasuk mengevaluasi dan membenahi kebijakan perizinan serta pengelolaan lahan yang berimbas pada sengketa sumber daya alam itu.

Persoalannya, ujar dia lagi, beranikah pemerintah dan instansi berwenang mengoreksi perizinan dan kebijakan pengelolaan lahan itu, karena berhubungan dengan investasi para pemodal yang memiliki posisi tawar (bargaining position) kuat.

"Kita melihat, biasanya kalau berurusan dengan investasi, pemodal dan pengusaha, pemerintah dan instansi berwenang akan sulit mengambil keputusan secara tegas, masyarakat yang selalu dikalahkan dan diabaikan," kata Hadi.

Hadi mengungkapkan lahan produktif di Sumsel, sebagian besar di antaranya diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan, sehingga petani dan masyarakat daerahnya tidak lagi memiliki akses secara memadai pada sumberdaya alam tersebut.

"Seharusnya kesempatan serupa diberikan kepada para petani, pekebun, dan masyarakat di sini," kata dia lagi.

Sumber : Media Indonesia  Selengkapnya...

Minggu, Januari 08, 2012

Walhi Sumsel Buka Posko Pengaduan Kasus Lahan

Palembang: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan membuka posko pengaduan kasus lahan dari masyarakat di provinsi tersebut. Warga dapat mengadukan kasus lahan melalui telepon, surat, mendatangi sekretariat Walhi, atau menggunakan media komunikasi internet.

Kepala Divisi (Kadiv) Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian (PPER) Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, mengatakan posko terus menerima dan menampung berbagai pengaduan soal kasus lahan yang terjadi di masyarakat.

"Ada pengaduan kasus sengketa lahan baru, ada pula kasus lama yang belum tuntas permasalahannya," kata Hadi.

Ia mensyaratkan setiap pengaduan menyertakan identitas jelas, informasi, dan data yang akurat. Sehingga Walhi dapat lebih mudah menelusuri kasus. Pihaknya pun juga memverifikasi kebenaran setiap pengaduan.

"Kami sempat kesulitan menghadapi laporan warga yang tidak mau menyebutkan identitas jelas, mungkin masih trauma atau takut. Padahal identitas warga yang mengadu akan dirahasiakan," ujar Hadi.

Walhi mencatat 57 kasus lahan lama maupun baru yang belum dituntaskan di seluruh wilayah di Sumsel. terselesaikan di seluruh Sumsel. Walhi pun menerima pengaduan kasus pengrusakan dan pencemaran lingkungan.

Sebelumnya, DPRD Sumsel menyatakan menerima 37 kasus pengaduan sengketa lahan yang perlu diproses lebih lanjut oleh komisi terkait, termasuk pemerintah daerah dan instansi berwenang serta perusahaan.

DPRD Sumsel akan mengundang pihak yang terkait pada 17 Januari untuk membahas penyelesaian sengketa lahan yang masih belum tuntas di Sumsel.

Gubernur Sumsel, H Alex Noerdin menjelaskan, Pemprov Sumsel mendata 50 kasus sengketa lahan yang belum terselesaikan. Diharapkan hingga 2013, separuh kasus dapat diselesaikan dengan baik.

Namun Alex menyarankan, sebaiknya sengketa lahan diselesaikan secara musyawarah. Namun kalau tidak memungkinkan dan terpaksa, dapat menggunakan jalur hukum. Pemprov Sumsel siap membantu upaya hukum dalam penyelesaian sengketa lahan dimaksud.

Sengketa lahan di Sumsel terjadi antara warga dengan perusahaan, warga dengan pemerintah dan instansi, warga dengan warga maupun perusahaan dengan perusahaan. (Ant/Wtr4)

Sumber : Metrotvnews.com
Selengkapnya...