Gambaran
Saat ini, DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. RUU ini mencakup pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta. RUU ini ditargetkan untuk disahkan pada tahun 2011 ini, karena merupakan salah satu prasyarat penting untuk mempelancar penyediaan tanah bagi proyek pembangunan, sesuai dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang telah diluncurkan pada awal tahun ini oleh Presiden RI. Hal ini adalah karena dianggap bahwa salah satu kendala pembangunan adalah sulitnya memperoleh tanah untuk proyek, dan kebijakan yang ada dinilai kurang cukup. Namun, Pembangunan yang berkeadilan dan demokratis, harus memperhatikan situasi, kondisi dan kepentingan rakyat Indonesia di atas kepentingan usaha swasta.
Secara substansi, RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat, serta tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat korban, termasuk perempuan. Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan hingga kini. Permasalahan di dalam praktik pengadaan tanah selama ini, antara lain adalah penggusuran paksa, praktik kolusi pertanahan terkait bukti hak atas tanah, inventarisasi dan identifikasi obyek pengadaan tanah secara sepihak, penetapan kompensasi secara sepihak, hingga tidak terlibatnya masyarakat terkena dampak dalam penetapan obyek pengadaan tanah. Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap terjadi dalam praktik pengadaan tanah di antaranya intimidasi, penganiayaan, penembakan, hingga penangkapan warga yang berujung pada kriminalisasi, dengan melibatkan aparat negara. Hal ini berdampak nyata terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan, di mana perempuan lah yang kemudian harus memikirkan keberlanjutan rumah tangga, keluarga dan anak-anaknya, terkait tempat tinggal, penyediaan makanan, air bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Keberlanjutan praktik-praktik tersebut akan semakin memiskinkan masyarakat Indonesia.
Masyarakat sipil di Indonesia telah dan sedang melakukan berbagai perlawanan dan penolakan terhadap pengesahan RUU tersebut. Salah satunya dengan 10 hari aksi pengumpulan tanda tangan petisi penolakan yang akan dikirimkan kepada para anggota DPR RI yang rencananya akan bersidang pada Oktober tahun ini. Dukungan (petisi terlampir) dapat diberikan melalui email ke karamtanah(at)gmail.com dengan menyebutkan NAMA, ORGANISASI/INDEPENDENT, ASAL DAERAH DAN/ATAU NEGARA. Batas waktu penandatanganan (pemberian dukungan) hingga 30 September 2011, pukul 24.00 WIB (GMT+7).
PETISI MASYARAKAT SIPIL
Saat ini, DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-undang (RUU) Pengadaan Tanah untuk Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. RUU ini mencakup pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum dan kepentingan usaha swasta. RUU ini ditargetkan untuk disahkan pada tahun 2011 ini, karena merupakan salah satu prasyarat penting untuk mempelancar penyediaan tanah bagi proyek pembangunan, sesuai dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang telah diluncurkan pada awal tahun ini oleh Presiden RI. Hal ini adalah karena dianggap bahwa salah satu kendala pembangunan adalah sulitnya memperoleh tanah untuk proyek, dan kebijakan yang ada dinilai kurang cukup. Namun, Pembangunan yang berkeadilan dan demokratis, harus memperhatikan situasi, kondisi dan kepentingan rakyat Indonesia di atas kepentingan usaha swasta.
Secara substansi, RUU ini tidak jauh berbeda dengan Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang ditolak sebagian besar masyarakat sipil karena dinilai menjadi alat penggusuran tanah-tanah rakyat, serta tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat korban, termasuk perempuan. Praktik pengadaan tanah di Indonesia masih banyak menyisakan persoalan hingga kini. Permasalahan di dalam praktik pengadaan tanah selama ini, antara lain adalah penggusuran paksa, praktik kolusi pertanahan terkait bukti hak atas tanah, inventarisasi dan identifikasi obyek pengadaan tanah secara sepihak, penetapan kompensasi secara sepihak, hingga tidak terlibatnya masyarakat terkena dampak dalam penetapan obyek pengadaan tanah. Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap terjadi dalam praktik pengadaan tanah di antaranya intimidasi, penganiayaan, penembakan, hingga penangkapan warga yang berujung pada kriminalisasi, dengan melibatkan aparat negara. Hal ini berdampak nyata terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan, dan ancaman terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan, di mana perempuan lah yang kemudian harus memikirkan keberlanjutan rumah tangga, keluarga dan anak-anaknya, terkait tempat tinggal, penyediaan makanan, air bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Keberlanjutan praktik-praktik tersebut akan semakin memiskinkan masyarakat Indonesia.
Masyarakat sipil di Indonesia telah dan sedang melakukan berbagai perlawanan dan penolakan terhadap pengesahan RUU tersebut. Salah satunya dengan 10 hari aksi pengumpulan tanda tangan petisi penolakan yang akan dikirimkan kepada para anggota DPR RI yang rencananya akan bersidang pada Oktober tahun ini. Dukungan (petisi terlampir) dapat diberikan melalui email ke karamtanah(at)gmail.com dengan menyebutkan NAMA, ORGANISASI/INDEPENDENT, ASAL DAERAH DAN/ATAU NEGARA. Batas waktu penandatanganan (pemberian dukungan) hingga 30 September 2011, pukul 24.00 WIB (GMT+7).
PETISI MASYARAKAT SIPIL
PENOLAKAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
Kepada Yth.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Kami, yang bertanda tangan, ingin menyampaikan keprihatinan yang
mendalam mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan yang diajukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan
saat ini sedang dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Menurut hemat Kami, RUU ini tidak akan belaku
efektif untuk menyelenggarakan pembangunan yang adil dan demokratis,
karena sejumlah prasayarat belum tersedia, antara lain: 1) Pengakuan
formal terhadap hak-hak masyarakat belum diberikan dan dilaksanakan
secara penuh; 2) Penataan ruang belum dibuat partisipatif, integratif
dan dilaksanakan secara konsisten; 3) akses masyarakat terhadap
informasi pada badan-badan publik belum terpenuhi; 4) tidak adanya
mekanisme keberatan yang dapat diakses publik dengan mudah; dan 5)
belum terciptanya peradilan yang bersih dan independen. Pengesahan RUU
ini akan semakin melanggengkan praktik-praktik pelanggaran HAM terhadap
masyarakat, masyarakat adat, termasuk perempuan, yang merupakan
kelompok rentan di dalam konstruksi jender patriarki yang masih
berlaku di Indonesia. Keprihatinan Kami didasarkan pada berbagai
alasan, antara lain:
Pertama, Sebagian besar tanah-tanah
masyarakat di Indonesia hanya sedikit yang ‘memiliki’ dokumen hukum
lengkap. Tahun 2004 tercatat, dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk
tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai
oleh masyarakat adat), baru 26 juta bidang yang bersertifikat atau 30
persennya. Pada tahun 2005–2008 bertambah 13 juta sertifikat, sehingga
sampai dengan tahun 2008, masih 60 persen yang belum bersertifikat.
Sedangkan, dasar ganti kerugian adalah bukti sertifikat. Keadaan ini
jelas akan mempertajam potensi konflik agraria yang sudah banyak
terjadi. Apalagi di dalam RUU tersebut tidak ada pengakuan yang hakiki
atas hak masyarakat adat maupun tanah komunal atau tanah adat. Selain
itu, RUU ini tidak mencantumkan ketentuan terkait perlindungan
tanah-tanah produktif alih fungsi lahan, padahal Indonesia merupakan
negara agraris. Dengan tidak adanya ketentuan ini maka sangat potensial
sekali RUU ini nantinya mengkonversi atau mengusur tanah-tanah
pertanian produktif milik rakyat atau petani kecil dengan dalih
pembangunan kepentingan umum. Artinya RUU ini sama sekali tidak
memiliki pertimbangkan analisis historis-sosiologis bahwa Indonesia
adalah negara agraris yang rakyatnya hidup dari tanah-tanah pertanian.
Kedua, Praktik pengadaan tanah di
Indonesia masih banyak menyisakan persoalan dan konflik hingga kini.
Data KPA, menunjukan sepanjang tahun 2010 terjadi 106 konflik agraria
di berbagai wilayah Indonesia. Luas lahan yang disengketakan mencapai
535,197 hektar dengan melibatkan 517,159 KK yang berkonflik. Posisi
sebagian besar rakyat yang tidak dilindungi hak atas tanahnya,
mekanisme pembebasan tanah yang bersifat otoriter/memaksa, serta
manipulasi makna ’kepentingan umum’, merupakan catatan buruk
pemerintah dalam pengaturan dan pengadaan tanah, karena selalu
‘memakan’ korban. Berdasarkan data kasus LBH Jakarta, terkait
penggusuran di wilayah perkotaan, terjadi kenaikan korban penggusuran
dari 1883 KK pada 2006 menjadi 6000 KK pada tahun 2007. Sedangkan,
data Komnas Perempuan tahun 2010 mencatat 395 perempuan yang menjadi
korban penggusuran. Permasalahan di dalam praktik pengadaan tanah
selama ini, antara lain adalah penggusuran paksa, praktik kolusi
pertanahan terkait bukti hak atas tanah, inventarisasi dan identifikasi
obyek pengadaan tanah secara sepihak, penetapan kompensasi secara
sepihak, hingga tidak terlibatnya masyarakat terkena dampak dalam
penetapan obyek pengadaan tanah. Sedangkan, pelanggaran HAM yang kerap
terjadi dalam praktik pengadaan tanah di antaranya intimidasi,
penganiayaan, penembakan, hingga penangkapan warga yang berujung pada
kriminalisasi, dengan melibatkan aparat negara. Hal ini berdampak nyata
terhadap hilangnya sumber-sumber kehidupan, dan ancaman terhadap
keberlangsungan hidup masyarakat, khususnya perempuan, di mana perempuan
lah yang kemudian harus memikirkan keberlanjutan rumah tangga,
keluarga dan anak-anaknya, terkait tempat tinggal, penyediaan makanan,
air bersih dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Keberlanjutan
praktik-praktik tersebut akan semakin memiskinkan masyarakat Indonesia.
Ketiga, RUU ini merupakan bagian dari
paket reformasi regulasi pembangunan infrastruktur di Indonesia bagi
proses keterbukaan pasar dan pelibatan peran swasta, dengan konsep
pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum dan kepentingan
usaha swasta. Sedangkan, pengertian dan kriteria kepentingan umum
tidak dijelaskan di dalam RUU tersebut. RUU ini seperti berdalih
seolah-olah proyek yang didorong adalah untuk kepentingan umum, padahal
proyek tersebut tidak lebih hanya untuk kepentingan swasta, seperti
proyek infrastruktur yang sepenuhnya dibiayai, dimiliki, dikelola dan
diperuntukan bagi kepentingan swasta, bahkan asing. Antara lain,
proyek jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara, sarana dan prasarana
telekomunikasi, transportasi, air minum, sampai pada pertanian skala
besar seperti Food Estate. yang selama ini terbuka untuk
swasta dan asing. RUU ini menjadi alat pendukung dari pengembangan
investasi atas nama pembangunan, melalui eksploitasi sumber daya alam
dan industrialisasi oleh swasta. Yang mana berbanding terbalik dengan
semangat mengatasi perubahan iklim, karena berdampak pada percepatan
pemanasan global akibat alih fungsi lahan dan industrialisasi.
Kebijakan ini sekaligus dimaksudkan untuk memudahkan investor asing
menguasai sektor-sektor strategis melalui pembangunan infrastruktur di
Indonesia. Kebijakan ini dinilai tidak memihak kepada masyarakat yang
justru menjadi rentan terhadap penggusuran dan menjadi target
kriminalisasi. Bahkan, di dalam Naskah akademik RUU ini disebutkan
bahwa ‘keberatan masyarakat atas pengadaan tanah untuk sebuah
pembangunan dikategorikan sebagai ‘kendala atau hambatan’. Hal ini
sangat jelas bahwa RUU ini memang lebih mengakomodir kepentinan sektor
swasta.
Keempat, RUU ini juga dinilai sarat dengan
‘pesanan’ asing. Beberapa dokumen menyebutkan bahwa RUU ini didorong
oleh ADB dan Bank Dunia. Sejak tahun 2005, Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC)
telah berperan dalam mengarahkan kebijakan pembangunan di Indonesia,
melalui penyediaan pendanaan bagi pembangunan infrastruktur serta
bantuan teknis untuk perubahan regulasi. Hal ini dilakukan melalui skema
utang untuk ”Program Pembangunan Reformasi Sektor Infrastruktur,” yang mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership
(PPP) dan kebijakan liberalisasi. Dampaknya adalah penguatan utang atas
nama pembangunan, baik utang publik maupun utang swasta yang dijamin
oleh publik.
Atas dasar keprihatian tersebut, KAMI MENDESAK DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNTUK SEGERA MENGHENTIKAN
PEMBAHASAN DAN MENOLAK PENGESAHAN RUU PENGADAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN
INI, SERTA MENDORONG UNTUK TERLAKSANANYA REFORMA AGRARIA SEJATI,
dengan Agenda :
- Merombak struktur penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria yang sudah sangat timpang saat ini.
- Menyelesaikan seluruh konflik dan sengketa agraria yang telah, sedang dan masih terjadi sejak masa Orde Baru hingga sekarang tanpa terkecuali dan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan serta mengedepankan kepentingan rakyat.
- Mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.
- Melakukan perombakan, perubahan, dan sejumlah perbaikan terhadap sistem hukum agraria dan peraturan-peraturan yang mengatur penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber daya alam agar lebih berpihak pada rakyat Indonesia.
Demikian kami sampaikan keprihatinan dan tuntutan Kami. Kami
berharap Bapak/Ibu, selaku perwakilan rakyat, dapat mempertimbangkan
keprihatinan kami dan mengambil keputusan yang tepat bagi seluruh
rakyat Indonesia. Terima kasih atas perhatian dan kerja samanya.
Jakarta, September 2011
KOALISI RAKYAT ANTI PERAMPASAN TANAH – KARAM TANAH
(KPA, WALHI, IHCS, Bina Desa, KIARA, UPC, SPI, Sawit Watch, API,
AMAN, SAINS, JKPP, HuMA, PERGERAKAN, PRP, ABM, SMI, Epistema Institue,
RACA Institute, KAU, Solidaritas Perempuan, JATAM,PPI, SHI, IHI, YLBHI,
KontraS, LBH Jakarta, PBHI Jakarta, KPOP, FPBJ, SPKAJ, FPPI, SALUD,
REPDEM, IGJ, KpSHK, AGRA, FMN, PUSAKA)
0 komentar:
Posting Komentar