WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Februari 28, 2013

PENANGKAPAN AKTIVIS WALHI: Polda Sumsel Dituntut Ganti Rugi Rp1

JAKARTA: Persidangan pra-peradilan di antaranya untuk menggugat ganti rugi Rp1 terhadap Polda Sumatra Selatan atas penangkapan aktivis Walhi Sumatra Selatan Anwar Sadat dimulai pada hari ini, Rabu (27/2/2013). Kepolisian dituding melanggar hukum acara penangkapan tersebut.
Khalisah Khalid, Kepala Departemen Jaringan dan Pengembangan Sumber Daya Walhi, mengatakan persidangan gugatan pra-peradilan pada hari itu terkait dengan penangkapan Polda Sumsel terhadap sejumlah aktivis di antaranya adalah Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat pada 29 Januari 2013.
Selain soal gugatan atas penangkapan itu, tim penasihat hukum juga mengajukan ganti rugi Rp1 terhadap Polda Sumsel. Mereka meyakini bahwa kepolisian melanggar Pasal 17, Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 75 KUHAP.
"Selain menuntut pembatalan proses hukum, Anwar sadat juga menggugat ganti rugi kepada Polda Sumatera Selatan sebesar satu rupiah, sebagai penegasan bahwa hak rakyat dan nilai keadilan jauh lebih bernilai dari uang," kata Khalisah dalam keterangan di Jakarta, Rabu (27/02/2013).
Diketahui Anwar Sadat dan Dedek Chaniago, masing-masing adalah aktivis Walhi Sumatra Selatan, ditetapkan tersangka pada pekan lalu karena dituduh merusak dan menganiaya dalam aksi demonstrasi para petani di depan kantor Polda Sumsel. Keduanya dijerat Pasal 170 KUHP untuk perusakan dan Pasal 351 KUHP untuk penganiayaan.
Pada 29 Januari, telah terjadi dugaan tindakan kekerasan terhadap aktivis dan petani Ogan Ilir oleh Polda Sumsel. Di antaranya adalah Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Anwar Sadat yang terluka parah di bagian kepala akibat pukulan benda tumpul, serta sekitar 25 orang lainnya mengalami penganiayaan. 
Aksi demonstrasi itu terkait dengan konflik lahan antara petani dengan PTPN VIII unit usaha Cinta Manis, dan kekerasan yang dilakukan kepolisian pada pekan sebelumnya. Namun kepolisian justru menetapkan Sadat sebagai tersangka.
Khalisah memaparkan majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang diharapkan untuk dapat memperhatikan masalah pemenuhan hak hukum dan keadilan oleh Anwar dan sejumlah petani lainnya. Sebelumnya penasihat hukum Anwar pernah memprotes kepolisian karena tak dapat menemui Anwar terkait dengan proses penyidikan.
Sejumlah organisasi juga meminta Polri dapat memberikan rekomendasinya kepada Polda Sumsel untuk membebaskan Anwar dan aktivis lainnya. Dalam permintaannya, mereka meminta kepolisian tidak memfokuskan pada persoalan kriminalisasi pada penuntasan akar masalah konflik agraria. 
 
sumber : http://new.bisnis.com/penangkapan-aktivis-walhi-polda-sumsel-dituntut-ganti-rugi-rp1 
Selengkapnya...

Ketua Walhi Praperadilankan Polda Sumsel

A RIVAI - Merasa proses penangkapan tanggal 29 Januari lalu terhadap dirinya  bertentangan dengan undang-undang, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel, Anwar Sadad, melakukan praperadilan terhadap Polda Sumsel,  terutama atas penerbitan surat penangkapan atas dirinya tersebut. Dimana, pada saat ditangkap, Anwar Sadad tidak berada di pagar Mapolda Sumsel yang rusak.

Mualimin SH, anggota tim kuasa hukum Anwar Sadad mengungkapkan, praperadilan ini untuk mempertanyakan adanya surat penangkapan terhadap kliennya yang dilakukan oleh Polda Sumsel. Padahal sebelum dilakukan penangkapan, seharusnya pihak termohon dalam hal ini Polda Sumsel harus mampu dan bisa membuktikan  unsur barang siapa sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 170 KUHP yang terdapat dalam surat penangkapan.

“Faktanya,  klien kami jauh dari lokasi kejadian dan yang bersangkutan juga  tidak berada di dekat pagar yang dirusak. Bahkan, dalam surat penangkapan terhadap klien kami tidak menyebutkan sekali pun Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan hanya ada Pasal 170 KUHP tentang perusakan. Ini membuktikan pihak polisi tidak konsisten dalam menerapkan pasal,” katanya saat  membacakan  surat tuntutan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, kemarin (27/2).

 Selain itu, dikatakan Mualimin, bila memang yang bersangkutan tertangkap tangan, seharusnya pihak polisi tidak perlu mengeluarkan surat penangkapan. Apalagi, yang bersangkutan bersikap kooperatif dan tidak akan menghilangkan barang  bukti, apalagi kabur. “Kalau sudah tertangkap tangan dan telah terbukti melakukan perusakan dengan barang bukti yang cukup, seharusnya surat penangkapan tidak diperlukan,” bebernya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Polda Sumsel, AKBP M Parmin, menyebutkan alasan penangkapan terhadap Anwar Sadad sudah sesuai aturan. Dimana dengan adanya alat bukti yang cukup, yaitu laporan ke polisi dan keterangan saksi sudah bisa menangkap Anwar Sadad.

“Kepolisian berdasarkan wewenang yang diatur dalam Pasal 17 KUHAP dengan adanya bukti permulaan yang cukup bisa dilakukan penangkapan dengan menerbitkan surat perintah penangkapan. Surat perintah penangkapan bisa diberikan sebelum, saat, ataupun sesudah dilakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan kejahatan,” ulasnya.

Ketua Majelis Hakim, Unardi SH, mengatakan, sidang yang mengagendakan pembacaan surat tuntutan dari pihak pemohon (Anwar Sadad, red) akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda memperlihatkan barang bukti dan keterangan saksi. “Sidang untuk sementara diskors dan akan kembali dilanjutkan hari Jumat (1/3),” pungkasnya.
Selengkapnya...

Sabtu, Februari 16, 2013

Penanganan Konflik Agraria: Wakapolri Janji Copot Kapolda Atau Kapolres yang "Nakal"

SUARAAGRARIA.com, Jakarta: Kedatangan aktivis LSM, Ormas dan perwakilan akademisi ke Mabes Polri ditemui langsung Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Wakapolri) Nanan Soekarna di Mabes Polri, Jakarta (11/02 2013). Dalam pertemuan itu Wakapolri berjanji akan bersikap tegas terhadap Kapolda atau Kapolres yang “nakal”.

“Mengenai Kapolda atau Kapolres yang “nakal” di daerah-daerah, akan kami berikan teguran, dan jika sudah sangat parah akan kami copot,” tegasnya dalam pertemuan tersebut seperti dilansir www.spi.or.id.

Pembicaraan dalam pertemuan yang dihadiri Serikat Petani Indonesia (SPI) bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Indonesia Human Right Commission for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Institute for Global Justice (IGJ), akademisi, dan LSM lainnya itu dilakukan secara blak-blakan.

Pertemuan ini sendiri dilaksanakan untuk membahas penanganan penyelesaian konflik-konflik agraria beserta sumber daya alam (SDA) yang marak terjadi di negeri ini. Yang sedang menjadi sorotan adalah kriminalisasi petani di Desa Betung, Kabupaten Ogan ilir, Sumatera Selatan pada saat pelaksanaan Maulid beberapa waktu lalu.

Secara bergantian para aktivis menyampaikan harapan, kritik dan masukan kepada Nanan. SPI melalui ketuanya, Henry Saragih, mengungkapkan keprihatinannya atas penanganan konflik agraria yang tidak adil dan cenderung represif kepada petani dan masyarakat kecil. Padahal secara budaya petani kecil sangat dekat dengan polisi.

Senada dengan Henry, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abet Nego Tarigan mengungkapkan kritik atas ketidakpahaman Polri dalam persoalan konflik agraria. Akibatnya  masalah struktural agraria yang menjadi pokok persoalan tidak terungkap.

Kontras, yang diwakili Harris Azhar, memberi masukan agar Polri menyadari bahwa ada kecenderungan munculnya konflik justru terkait aktivitas politik di daerah. Ia mencontohkan jika mendekati Pemilu, perusahaan-perusahaan besar biasanya semakin “giat” mengeruk SDA demi dana yang “dimintai” oleh para bakal calon pemimpin di daerah.

Sementara itu dari perwakilan akademisi, DR. Soeryo Adiwibowo, mengungkapkan faktor penyebab konflik agraria karena reformasi hukum dan kebijakan yang komprehensif belum dilaksanakan dengan konsisten (Baca: Hasil Pertemuan Pakar Agraria: Konflik Agraria Faktornya Reformasi Hukum yang Stagnan!).

Atas masukan-masukan tersebut Nanan Soekarna mengapresiasinya. Ia berjanji pihaknya akan segera menginventarisir setiap konflik di lapangan, baik itu konflik tentang sumber daya alam dan agraria, ataupun konflik-konflik lainnya, sebagai bahan dan acuan untuk melakukan penyelesaian.

Menurut Nanan, Polri senantiasa berkomitmen untuk sejajar kedudukannya dengan masyarakat. Karena Polri merupakan lembaga pelayan masyarakat. Polri juga memiliki tanggung jawab kepada masyarakat, bukan kepada komandan.

Untuk itu ia berjanji akan bersikap tegas kepada Kapolda atau Kapolres yang ditengarai “nakal”. Caranya, dengan memberikan teguran. Jika sudah sangat parah akan pihaknya berjanji akan segera mencopot yang bersangkutan.

Sumber : http://www.suaraagraria.com/detail-554-penanganan-konflik-agraria-wakapolri-janji-copot-kapolda-atau-kapolres-yang-nakal.html  Selengkapnya...

Penangkapan Aktivis & Kriminalisasi Petani "Tutupi" Masalah Utama Konflik Agraria Cinta Manis

SUARAAGRARIA.com, Palembang: Penyelesaian Konflik Agraria antara masyarakat dan PTPN VII Unit Cinta Manis masih jauh dari harapan. Alih-alih terselesaikan, masyarakat malah disuguhkan “masalah-masalah baru”: penangkapan aktivis yang melakukan advokasi, kriminalisasi petani, dan terakhir, aksi “perlawanan” Kapolres Ogan Ilir, AKBP Dheni Darmapala, yang melaporkan oknum tertentu yang dianggapnya telah menghujatnya dimuka umum ke Polda Sumsel.

“Dengan adanya penangkapan aktivis, kriminalisasi petani dan laporan pencemaran nama baik oleh Kapolres, menjadikan inti masalah, yakni bagaimana penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan PTPN VII Unit Cinta Manis menjadi semakin jauh saja dari harapan,” terang Muhnur Satyahprabu,SH., Kuasa Hukum Tim Advokasi Hukum dan Pencari Fakta (TAHTA) Cinta Manis, di Palembang (14/02 2013).

Padahal, lanjutnya, penanganan masalah utamanya saja, yakni konflik agraria, sudah memakan waktu lama dan berlarut-larut. Walhasil perkembangan penyelesaian inti masalah sebenarnya menjadi sangat mengkhawatirkan.

Mengenai ada “upaya” tertentu untuk mengaburkan permasalahan sesungguhnya, Muhnur tidak mau berspekulasi lebih jauh. Yang terpenting menurutnya proses hukum terhadap laporan Kapolres dan kasus penangkapan Anwar Sadat cs harus dilakukan dengan benar, dilengkapi alat bukti yang mendukung, sembari tetap melanjutkan penyelesaian konflik lahan 1.200 hektar itu hingga tuntas.  

Seperti diketahui pada tanggal 29 Januari 2013 lalu masyarakat didampingi Walhi Sumatera Selatan menggelar aksi menuntut penyelesaian konflik agraria dengan PTPN VII Unit Cinta Manis. Demonstran juga menuntut pembebasan warga yang dikriminalisasi oleh aparat Polres Ogan Ilir.

Sayangnya, dalam aksi di depan gerbang Mapolda Sumatera Selatan yang berujung ricuh tersebut, Direktur Eksekutif Walhi Daerah Sumatera Selatan Anwar Sadat, Dedek Caniago serta Kamaludin petani dicokok aparat kepolisian. Mereka kemudian dijerat dengan Pasal 170 KUHP dan Pasal 351 KUHP.

Belum lagi urusan tersebut kelar, Kapolres Ogan Ilir, AKBP Dheni Darmapala, melaporkan oknum yang telah menghujatnya di muka umum ke Polda Sumsel dengan tuduhan pencemaran nama baik.

http://www.suaraagraria.com/detail-557-penangkapan-aktivis--kriminalisasi-petani-tutupi-masalah-utama-konflik-agraria-cinta-manis.html 
Selengkapnya...

Maymanah Rindu Dongeng Dari Sang Ayah

PALEMBANG, BeritAnda - Tatapan kosong terlihat jelas di sorot mata Maymunah (50), istri dari Kamaludin yang saat ini masih di tahan di Polda Sumatera Selatan. Kesedihan karena memikirkan pasangan tercintanya yang terkurung di dalam sel tak dapat ditutupinya. 
 
Perlahan tetesan air mata yang jatuh di pipinya ketika wanita parubaya ini menceritakn beratnya kehidupan yang harus di jalaninya seorang diri untuk memenuhi kebutuhannya dan tiga orang anak.

“Sekarang ini saya hanya bisa berharap belas kasih dari Kapolda Sumatera Selatan, untuk membebaskan suami saya. Saya selalu menangis sendiri ketika mengenang suami saya di dalam sel, belum lagi melihat anak-anak saya yang selalu menanyakan kabar ayahnya,” ujar Maymunah, sembari menenteskan air mata saat bercerita kepada Beritanda.com Palembang, Jumat (15/2/2013).

Lanjut Maymunah menceritkan, bahwa saat ini dirinya harus ekstra bekerja keras, selain untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari (makan dan minum), ia juga harus membiayai satu orang putrinya yang sekarang ini masih duduk di bangku sekolah dasar (Kelas 6 SD). Dengan uang Rp200 ribu per satu minggu, yang ia peroleh dari hasil menyadap karentnya itulah, ia mencoba bertahan hidup, uang itupun harus di sisipkan lagi untuk biaya membesuk Kamaludin di Polda Sumsel.
“Kalau dulu saya beserta suami saya memperoleh uang dalam satu minggunya hampir mencapai Rp500 ribu, tetapi semenjak suami saya ditahan penghasilan kami pun jauh berkurang. Saya hanya bisa mengumpulkan uang  hasil menyadapt karet Rp200 ribu dalam satu minggu, uang tersebutlah yang saya gunakan untuk makan, minum, dan biaya anak saya sekolah, sisanya saya gunkan nuntuk ongkos ke Palembang untuk melihat kondisi suami saya di Polda Sumsel,” terang Maymunah.

Sekedar indormasih bahwa keluarga Kamaludin ini berdomosili di Desa Sunur Kecamatan Keluang, Kabupaten Ogan Ilir, butuh waktu 4 jam untuk dapat ke Palembang dengan menumpang angkutan umum.

“Kami tinggal di dusun pak, jauh dari Kota Palembang, butuh biaya yang besar untuk ke Palembang, namun karena kondisinya yang mengharuskan kami ke Palembang. Maka dengan cara apapun kami harus tetap ke Palembang, minimal satu minggu sekali, kami tidak mampu bila harus tiap hari ke Palembang, karena dalam satu kali ke Palembang kami memerlukan uang sebesar Rp500 ribu, hal ini di hitung dari ongkos, makan, dan membawakan makanan untuk suami saya serta member uang untuk suami saya,” jelas Maymunah.

Sementara itu Sri Maymanah, putri sulung dari Kamaludin, meminta agar ayahnya segera dilepaskan, karena ia terkadang sedih bilamana mengenang ayahnya, terlebih lagi bila ia melihat teman-temannya ketika pulang sekolah selalu dijemput oleh ayahnya masing-masing.

“Tolonglah pak bebaskan ayah kami, apa salah ayah kami kok sampai sekarang ngak pulang ke rumah, sunyi sekali rumah kami saat ini tanpa ada kehadiran ayah kami, saya sangat merindukannya,” ujarnya sembari menangis.
Maymanah menambahakan, setiap mau tidur ayah saya selalu menghantarkan saya dengan cerita-cerita terdahulu, sehingga tidur saya terasa sangat nyaman, akan tetapi saat ini tidak ada lagi yang menghantarkan saya tidur.
“Saya rindu ayah saya, saya rindu cerita-cerita dari ayah saya, tolonglah kembalikan ayah saya,” ujar Maymanah yang terlihat gemetar menahan kesedihan. (Iir)

Selengkapnya...

Jumat, Februari 15, 2013

Temuan TAHTA, POLISI lakukan kekerasan terhadap para Aktifis Lingkungan dan HAM


Palembang, Hari ini 15/2/2013 team kuasa hukum Anwar Sadat, Dedek Caniago dan Kamaludin yang tergabung dalam Team advokasi & pencari Fakta (TAHTA) melaporkan dugaan penganiaayaan yang lakukan Polisi ke Polda Sumatera Selatan. Penganiaayaan terjadi ketika mereka bersama-sama dengan masyarakat petani yang sedang melakukan aksi unjuk rasa di depan markas kepolisian daerah sumatera selatan tanggal 29 Januari 2013.

Pada selasa 29/1/2013 petani yang berkonflik dengan PTPN VII Unit cinta manis didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup melakukan aksi unjuk rasa didepan markas kepolisian daerah sumatera selatan. Aksi tersebut menuntut dihentikannya kriminalisasi atas petani yang selama ini berjuang untuk mendapatkan tanahnya kembali. Respon represif dengan melakukan penangkapan terhadap beberapa petani yang berjuang adalah bentuk pembungkaman terhadap ketidakadilan agraria.

Pada saat aksi pada tanggal 29/1/2013 tersebut ada 24 aktifis yang ditangkap oleh polda dengan sangkaan melakukan  pengrusakan terhadap pintu pagar utama depan markas polda sumsel. Berdasarkan temuan Tim advokasi hukum & pencari fakta menunjukkan bahwa disaat polisi melakukan penangkapan, terdapat dugaan kekerasan yang dialami oleh beberapa aktivis. “kami terus melakukan investigasi atas peristiwa tangal 29 januari 2013 lalu dan berdasarkan temuan kami menyatakan ada unsur kekerasan disaat polisi melakukan penangkapan atas klien kami” kata Mualimin,SH dari tim TAHTA.

Seperti diberitakan sebelumnya bahwa direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Anwar Sadat saat dilakukan penangkapan oleh polisi mengalami pemukulan dengan tangan dan pentungan yang mengakibatkan luka-lukan di kepalanya. “fakta menunjukkan dengan jelas bahwa klien kami Anwar sadat sobek dan harus di jahit 4 jahitan di kepalanya, begitu juga dengan saudara Kamaludin juga mengalami sobek dikepala sedangkan Dedek caniago lebam-lebam dimukanya, kami menduga Polisi yang melakukannya” tambah Mualimin, SH.

Hasil investigasi TAHTA menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga psikis. Terindikasi ada pelanggaran KUHAP dalam mekanisme penangkapannya. “Menurut hasil investigasi bahwa klient kami juga mendapat intimidasi waktu dilakukan pemeriksaan dan mereka ada yang tidak didampingi oleh kuasa hukum padahal itu adalah hak mereka dan kewajiban penyidik menyediakannya. Ini pelanggaran serius oleh POLDA SUMSEL  kata Muhnur Satyahaprabu, SH anggota Tim TAHTA.

Atas hasil investigasi tersebut hari ini TAHTA melaporkan kejadian kekerasan yang dilakukan oleh polisi di POLDA sumatera selatan. “Tadi siang sekitar jam 11.30 kami menyampaikan laporan ke Polda Sumsel atas kekerasan yang terjadi pada diri klient kami, laporan ini terkait dengan dugaan kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian polda sumsel” kata Mualimin, SH.  

Kontak person
Mualimin,SH, 081367444310
Muhnur Satyahaprabu, SH. 08119501126
Selengkapnya...

Kamis, Februari 14, 2013

Thousands Sign Online Petition to Free Walhi Activist

More than 10,000 people have signed an online petition demanding the National Police Chief and South Sumatra Police release an activist arrested during a protest rally held by farmers and environmentalists on Tuesday.

Arief Aziz, the communication director for the online petition website change.org, said in a statement on Friday that more than 7,000 people had demanded the release of Anwar Sadat, the director of the South Sumatra chapter of the Indonesian Forum for the Environment, which is also known as Walhi.

The arrest came after Anwar, along with several farmers from the village of Betung in the Ogan Ilir district, were rallying in front of the police headquarters. The protesters were demonstrating against the state-owned plantation firm PTPN VII Cinta Manis over a land dispute.

Anwar and 24 other people were initially arrested before 22 of the protestors were released. Three people, including Anwar, were declared suspects.

Walhi has claimed that the police have used torture and excessive force in handling the protestors. A picture of Anwar with his head bleeding spread quickly over social media, prompting Walhi to start the petition at www.change.org/FreeAnwar.

Walhi added that Anwar was currently being treated for his injuries at the Bhayangkara Hospital in South Sumatra.

One person who signed the petition, Nidya Pramiella Gayatri, expressed her frustration over the excessive use of force by police.

"It is their [police] job to protect and serve the people, and for them to commit such an act of violence is unjustifiable," she said.

Usman Hamid, a human rights activist from the Public Virtue Institute, welcomed the move by the South Sumatra Police to release most of the arrested protestors.

The activist said he had received a positive response from the South Sumatra Police chief after discussing the possibility of delaying the detention of Anwar and the other suspects.

http://www.thejakartaglobe.com/news/thousands-sign-online-petition-to-free-walhi-activist/569043
Selengkapnya...

Unjuk Rasa Tuntut Pembebasan Aktivis

PALEMBANG, KOMPAS.com - Sekitar 1.000 orang yang tergabung dalam Serikat Petani Sriwijaya berunjukrasa di depan markas Kepolisian Daerah Provinsi Sumatera Selatan, menuntut pembebasan tiga aktivis yang ditahan usai unjukrasa terkait sengketa lahan.

Penangkapan dan penahanan aktivis, dinilai sebagai upaya pembungkaman suara masyarakat dalam sengketa sumber daya alam.

Sebagian besar pengunjuk rasa adalah warga dari berbagai desa di Sumatera Selatan, yang tengah bersengketa lahan baik dengan perusahaan swasta maupun PT Perkebunan Nusantara VII. Mereka berdatangan sejak Senin (11/2) dini hari ke Palembang.

Sebelum ke Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sumsel, mereka mendatangi gedung DPRD Sumsel. Namun, kedatangan mereka ke gedung DPRD tak memperoleh tanggapan. Selain orasi, aksi tersebut juga dilakukan dengan menggelar yasinan di depan markas Polda Sumsel.

Sejumlah tuntutan mereka adalah agar pihak kepolisian membebaskan Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat, aktivis Walhi Sumsel Dedek Chaniago, dan warga Ogan Ilir Kamaluddin.

Ketiganya ditahan sebagai tersangka usai unjuk rasa yang berakhir ricuh di depan markas Polda Sumsel 29 Januari lalu. Unjuk rasa tersebut terkait sengketa lahan seluas 1.200 hektar yang dituntut warga Desa Betung, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis.

Dalam unjuk rasa tersebut, gerbang Markas Polda Sumsel roboh dan beberapa pengunjukrasa terluka. Salah satu pengunjukrasa Suratman (70), dalam orasinya mengatakan, tuntutan lahan ini mereka ajukan karena lahan-lahan di pedesaan semakin habis dikuasai perusahaan perkebunan. Kondisi ini membuat keturunan mereka tak akan lagi dapat mengolah lahan.

"Mungkin saat ini kita masih bisa hidup sebagai petani, namun anak-cucu kita akan jatuh miskin karena lahan sudah habis," katanya.

Selain menuntut pembebasan tiga orang yang ditahan, aksi juga menuntut PTPN VII Cinta Manis menyerahkan lahan yang disengketakan kepada warga, meminta penghentian keterlibatan polisi dalam konflik agraria di Sumsel, serta penuntasan semua konflik agraria di Sumsel.

Hadi Jatmiko dari Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Rakyat Walhi Sumsel, mengatakan, penahanan tiga aktivis karena berunjukrasa merupakan upaya pembungkaman suara rakyat terkait konflik sumber daya alam dan agraria. "Ini merupakan pembungkaman demokrasi juga," katanya.

Sengketa lahan antara warga dengan PTPN VII Cinta Manis telah berlangsung setidaknya sekitar dua tahun terakhir. Konflik lahan ini juga memicu bentrok warga dengan Brimob, yang mengakibatkan tewasnya remaja Angga bin Darmawan (11) diduga terkena tembakan di kepala. 
 
Selengkapnya...

Kuasa Hukum Kesulitan Temui Aktivis yang Ditahan

PALEMBANG, - Kuasa Hukum tiga aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Muhnur Satyahaprabu, kesulitan menemui kliennya yang tengah ditahan di Markas Polda Sumatera Selatan.
Polda Sumatera Selatan dinilai telah melanggar hukum, karena menghambat tersangka menemui kuasa hukumnya. "Alasan kami tak boleh menemui karena hari ini bukan hari besuk, sehingga tidak mendapatkan izin dari penyidik tersangka," kata Muhnur di Palembang, Senin (11/2/2013).
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, ditahan bersama aktivis Walhi Sumsel lainnya Dede Caniago dan warga Kabupaten Ogan Ilir Kamaludin.
Mereka ditahan sebagai tersangka usai unjuk rasa yang berakhir ricuh terkait sengketa lahan warga Desa Betung, Ogan Ilir, dengan PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis.
Menurut Muhnur, upaya menghambat akses kuasa hukum dengan tersangka melanggar KUHAP Pasal 70 Ayat 1. "Pihak kepolisian tak punya alasan menghambat kami bertemu tersangka," katanya.
Muhnur mengatakan, ia hanya diperbolehkan menemui para tersangka pada hari-hari besuk saja, seperti yang tertera dalam ruang tahanan Polda yaitu Selasa dan Jumat. "Itupun harus memperoleh izin dulu dari penyidik," ucapnya.
Terkait hal ini, tim kuasa hukum menyatakan akan mengirimkan surat protes kepada kapolri. Kesulitan menemui tersangka dinilai telah melecehkan profesi pengacara, dan akan mempersulit upaya membela kliennya.

Sumber : http://regional.kompas.com/read/2013/02/11/19541049/Kuasa.Hukum.Kesulitan.Temui.Aktivis.yang.Ditahan 
Selengkapnya...

TAHTA DESAK KAPOLDA USUT LAPORAN MASYARAKAT

Palembang, Sengketa Agraria antara masyarakat dan PTPN VII Unit Cinta manis semakin jauh dari proses penyelesaian. Akar konflik agraria yang seharusnya diselesaikan karena menyangkut Hak atas kehidupan malah semakin jauh dari pokok dasarnya. Semula konflik ini adalah sengketa kepemilikan atas tanah masyarakat yang diklaim oleh PTPN VII Unit cinta Manis, masyarakat menduga perusahaan yang mayoritas milik Negara tersebut menyerobot dan mengklaim tanah masyarakat. Untuk menyelesaikan konflik ini masyarakat sangat terbuka dan proaktif dalam setiap proses penyelesaian.
Lamanya penanganan sengketa konflik agraria ini menuai protes, aksi protes dilakukan baik di Polda maupun di lembaga-lembaga negara lainya tetapi sampai sekarang belum ada titik terangnya. Serangkaian aksi kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum Kepolisian. “dalam konflik ini masyarakat juga telah melaporkan kasus ini ke berbagai lembaga-lembaga hukum negara, tetapi belum ada respons positif terhadap laporan tersebut, bahkan polda juga telah menerima laporan masyarakat” kata Muhnur Satyahprabu,SH Kuasa Hukum Tim Advokasi Hukum dan Pencari Fakta (TAHTA) Cinta Manis.

Pada tanggal 29 Februari 2013 masyarakat yang didampingi Walhi Daerah Sumatera Selatan mengadakan aksi menuntut salah satunya menyelsaikan konflik dan membebaskan warga yang dikriminalisasi oleh aparat Polres Ogan Ilir. Pada aksi itu direktur Eksekutif Walhi Daerah Sumatera Selatan Anwar Sadat dan Dedek Caniago serta Kamaludin petani ditangkap dengan sangkaan Pasal 170 KUHP dan pasal 351 KUHP.

Penetapan ketiga aktifis tersebut menurut kuasa hukumnya Muhnur Satyahprabu sebagai wujud ketidak tahuan POLRI dalam menyelesaikan konflik-konflik Agraria “penetapan para aktifis Walhi dan Masyarakat adalah bukti nyata bagaimana kesalahan polisi menyelesaikan masalah agraria, kesalahan polisi berdampak terlindungi para penjahat lingkungan dan HAM yang seharusnya diseret ke pengadilan” katanya 

Penangkapan ketiga aktivis lingkungan dan hak asasi manusia tersebut karena mereka sangat kritis dalam memperjuangkan hak atas llingkungan dan hak atas tanah masyarakat. Selain itu Polda Sumsel juga telah menetapkan 9 saksi dalam perkara tersebut semuanya adalah masyarakat. Diduga bahwa selama pemeriksaan saksi-saki tersebut terdapat unsur kekerasan dan penganiayaan. Beberapa saksi telah bertemu dengan kami team kuasa hukum, kami mendapatkan informasi bahwa hak-hak mereka tidak sepenuhnya diberikan oleh penyidik polda, seperti membaca BAP sebelum menandatanginya dan didampingi kuasa hukumnya. “Kalo benar jika penyidik tidak memberi kesempatan kepada tersangka maupun saksi maka jelas ini pelanggaran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Hak asasi manusia” kata Muhnur Satyahaprabu, SH.

Seperti dalam pemberitaan media masa kemarin beberapa aksi masyarakat juga mendapatkan perlawanan dari Kapolres Ogan Ilir AKBP Dheni Darmapala. Kapolres Ogan Ilir melaporkan oknum yang telah menhujatnya dimuka umum ke Polda Sumsel dengan tuduhan pencemaran nama baik. “Kami menyambut baik atas laporan Dheni Darmapala sebagai warga negara maka dia punya hak untuk melapor jika merasa nama baik dia tercemarkan, tetapi kami menyangkan jika dia melapor berdasar jabatannya. Maka saya sarankan kepada Dheni Darmapala untuk mundur dulu sebagai kapolres jika dia merasa nama baiknya telah tercemar” kata Muhnur Satyahaprabu, SH.

Muhnur menambahkan bahwa “jika laporan tersebut ditujukan kepada klient kami maka kami siap untuk juga menempuh jalur-jalur hukum untuk merespon laporan tersebut” ujarnya 

Dari bermulanya aksi penyampaian pendapat di Polda Sumsel dengan permasalahan konflik/ sengketa agraria antara masyarakat versus PTPN Unit Cinta Manis, namun respon pihak kepolisian dengan penerapan delik kejahatan pidana secara umum Pasal 170 KUHP dan Pasal 351 KUHP dalam pandangan kami sungguh tidak tepat. Kata Yohanes P. Simanjuntak, SH.

Yohanes Simanjuntak, SH. Menambahkan “bawa dalam hal ini pendekatan profesional kepolisian yang pada hakekatnya adalah melindungi sipil dapat semakin jauh dari harapan dan parahnya sebatas jargon semata. Oleh karena itu apabila pendekatan sipil digunakan dengan baik maka permasalahan pokoknya adalah sengketa agraria tidak beralih kepada permasalahan pidana”.

Cp:
Muhnur Satyahaprabu, SH. 08119501126
Yohanes P. Simanjuntak, SH. 081271234179
Jhoni, SH.
Selengkapnya...

Rabu, Februari 13, 2013

POLDA SUMSEL LANGGAR HUKUM

Palembang, hari ini salah satu team kuasa hukum Muhnur Satyahaprabu, SH tidak diperbolehkan mengunjungi para tersangka Anwar Sadat dkk di tahanan Markas Polda Sumsel. Mereka tidak diperbolehkan menemui para tersangka karena bukan hari besuk dan tidak mendapatkan ijin dari penyidiknya tersangka.
Seperti berita sebelumnya bahwa Anwar sadat Diirektur Walhi Sumsel, Dede Caniago aktifis Walhi Sumsel berserta Kamaludin petani melakukan aksi solidaritas yang menuntut pembebasan salah satu petani yang dikriminalisasai Polres Ogan Ilir. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan pasal pengkrusakan 170 KUHP dan pasal penganiayaan 351 KUHP. Sewaktu aksi tersebut digelar gerbang pintu utama Markas Polda Sumsel digoyang-goyang masa aksi, akibatknya engselnya pintu gerbang utama polda sumsel lepas dan pintu tersebutpun jatuh.  Muhnur Satyahaprabu, SH menyatakan “upaya menghambat akses kuasa hukum dengan tersangka adalah pelanggaran hukum, hubungan hukum kuasa hukum dengan tersangka dengan jelas diatur dalam KUHAP pasal 70 ayat (1) jadi Polisi tidak punya hak untuk melarang kami untuk ketemu dengan para tersangka, lagian ini jugag masih jam kerja, jadi polisi tidak ada alasan melarang kami ” kata Muhnur Satyahaprabu, SH
Kepolisian Polda Sumatera Selatan berasalan bahwa tersangka hanya bisa dibesuk pada hari-hari besuk saja seperti yag tertera dalam ruang tahanan Polda yaitu pada hari selasa dan hari jum’at selain itu harus ijin kepada penyidik.
“Waktu kita bermaksud berkonsultasi dengan klien kami, penyidik di Polda sedang tidak ada jadi kami tidak diperbolehkan menemui tersangka anwar sadat dan kawan-kawan karena tidak ada ijin penyidik” ujar Muhnur Satyahaprabu, SH.
Selama ini Polda Sumsel beralasan bahwa dasar mereka melarang team kuasa hukum dengan dalih keberadaan Peraturan Kapolri (PERKAPOLRI) yang intinya membatasi kunjungan kepada tersangka. “kami akan mengirimkan protes ke Kapolri atas  perlakukan polisi Polda Sumsel  terhadap kami, jelas ini pelecehan profesi kami yang dilarang ketemu dengan klien kami, karena jelas berdampak pada upaya memperjuangkan kepentingan klien kami” tambah Muhnur Satyahaprabu, SH.

Kontak person
Team advokasi hukum dan pencari fakta [TAHTA]
Kasus Cinta Manis
Muhnur Stayahaprabu (081 326 436 437)
Selengkapnya...

Sabtu, Februari 09, 2013

Penangkapan Direktur Walhi Sumsel- Dinilai Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

PALEMBANG– Penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat, koordinator lapangan Dedek Chaniago (staf Walhi), dan petani Ogan Ilir (OI) Kamarudin, dinilai sebagai bentuk pembungkaman terhadap hak asasi manusia (HAM) dalam berpendapat.

Para tersangka ditangkap karena dinilai melanggar undang-undang saat menggelar aksi terkait kasus perusakan dan aksi yang dinilai anarkistis di halaman Polda Sumsel, Selasa (29/1) pukul 11.00–17.00 WIB. “Penangkapan tersebut kami nilai sebagai bentuk pembungkaman HAM oleh pihak kepolisian agar aksi-aksi serupa tidak lagi terjadi di Sumsel ini,” kata Kepala Divisi Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian Rakyat (Poper) Walhi Sumsel Hadi Jatmiko saat menggelar jumpa pers yang dihadiri Direktur Walhi se-Region Sumatera dan para keluarga yang ditetapkan tersangka,Sabtu (2/2).

Menurut Hadi,telah terjadi rekayasa dan penjebakan terkait penangkapan dalam aksi demo dengan tuntutan mencopot jabatan Kapolsek Ogan Ilir (OI) AKBP Deni Darmapala. Sebab, pada saat aksi, polisi sengaja menyudutkan massa ke pagar hingga membuat pagar roboh dan terjadilah penangkapan. “Berdasarkan surat penangkapan yang dilayangkan kepada kami, Direktur Walhi (Anwar Sadat) dikenakan pasal perusakan dan satu staf Walhi (Dedek Chaniago) serta salah satu petani (Kamaludin) dijerat pasal penganiayaan.

Semua itu tidak benar. Kami merasa dijebak dan sempat terjadi aksi dorong-mendorong. Kondisi hujan, massa terdesak ke pagar saat memegang pagar itu roboh. Itu murni jebakan agar tidak ada lagi aksi seperti ini di Sumsel. Artinya, di sini terbukti sudah terjadi pembungkaman terhadap HAM,” papar Hadi.

Menurut dia, pihaknya mendapatkan 8,429 petisi dukungan dari berbagai kalangan dan dari Organisasi Lingkungan Hidup Internasional yang berkantor di Inggris serta Human Rights Asia di Hong Kong terkait pengecaman penahanan Anwar Sadat dan kawan-kawan. Terpisah,Ketua Tim Advokasi Hukum dan Pencari Fakta kasus Cinta Manis (Tahta) Mualimin menjelaskan, penetapan tersangka kepada Sadat dan kawan-kawan sudah diterima pihaknya sejak 30 Januari 2013. Dia mengatakan, penangkapan Anwar Sadat telah melanggar undang-undang kebebasan berpendapat.

Hal itu diatur dalam Konstitusi Perundang- undangan No 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Istri Anwar Sadat, Nitra Andini, mengatakan, penangkapan dan pemukulan suaminya memengaruhi psikologis keluarga.“Sejak mengenal Anwar Sadat, saya sudah mempersiapkan diri untuk hal seperti ini. Sebab, suami saya adalah seorang pejuang untuk para buruh dan petani,”ujar dia

Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/news/penangkapan-direktur-walhi-sumsel-dinilai-pembungkaman-kebebasan-berpendapat
Selengkapnya...

Walhi Sumsel: Penempatan Polisi di Setiap Desa Bukan Solusi

Jakarta - LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai penempatan satu polisi di satu desa tidak akan mampu meredam konflik sosial di daerah. Sebab menurut juru kampanye hutan dan perkebunan besar WALHI, Zenzi Suhadi, keberadaan polisi kerap memperkeruh masalah lantaran sikap mereka yang berpihak pada perusahaan atau pengusaha. Selain itu, polisi sering mengkriminalisasi para tokoh masyarakat atau petani yang membela kepentingan mereka.

“Dan kita tidak berkeyakinan dengan ditambahnya polisi satu orang satu desa konflik ini akan selesai ke akarnya, yang akan terjadi adalah ada proses penekanan terhadap masyarakat itu untuk lagi tidak berlawan tidak lagi mempersoalkan hak-hak dia yang diambil perusahaan.”ujar Zenzi kepada KBR68H melalui sambungan telepon.

Tahun ini Kepolisian Indonesia menargetkan zero conflict atau tidak ada konflik. Caranya dengan menempatkan satu polisi di setiap desa. Nantinya sekitar 76 ribu desa di seluruh Indonesia akan dijaga polisi. Sementara pemantauannya akan berjalan 24 jam. Namun pada awal tahun, terjadi konflik sosial di sejumlah daerah. Misalnya bentrok antar-kelompok di Desa Hualoy, Maluku yang melibatkan Desa Kamariang, dan Sepa. Bentrok dipicu pemukulan seorang warga Hualoy oleh warga Desa Sepa. Dalam insiden ini 10 warga tewas.

Sumber : http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/2450463_4264.html 
Selengkapnya...

Kamis, Februari 07, 2013

Konflik Agraria Menggila, Akademisi Bikin Petisi ke Presiden

Release Media Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria, 7 Februari 2013
[Jakarta, 7 Februari 2013] BEBERAPA tahun terakhir, kasus konflik agraria terus meningkat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, ada sekitar 8.000 konflik pertanahan belum terselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agraria; Sawit Watch menyebutkan sekitar 660 kasus di perkebunan sawit. Begitu juga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebut konflik agraria sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sekitar 60 ribu nelayan.
Kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani pun terjadi mengiringi konflik-konflik agraraia ini. Tahun  lalu, sekitar 156 petani ditahan tanpa proses hukum benar, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tiga orang tewas.

“Respon pemerintah terhadap konflik dan kekerasan oleh aparat keamanan sangat lambat, tidak memadai dan tidak memuaskan,” kata Myrna A. Safitri, Direktur Epistema Institute juga salah seorang penggagas petisi, dalam siaran pers, Kamis(7/2/13).

Menyikapi masalah ini, kata Myrna, sejumlah 140-an pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria di Indonesia menyampaikan keprihatinan terhadap masalah ini. Dalam Diskusi Pakar bertema Membangun Indonesia dengan Keadilan Agraria, Kamis, 7 Februari 2013 di Hotel Bidakara Jakarta, mereka menyampaikan surat terbuka kepada Presiden. Dalam diskusi ini dibentuk Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria yang diketuai oleh Dr. Soeryo Adiwibowo.

Prof. Maria Sumardjono mengusulkan agar Presiden segera menyelesaikan konflik agraria. Konflik-konflik agraria yang massif dan berdampak luas merupakan peristiwa luar biasa. Untuk itu Presiden perlu membentuk sebuah lembaga independen untuk penyelesaian konflik itu secara tuntas. Diperlukan kemauan politik yang nyata untuk membentuk lembaga tersebut. 

Para akademisi berpendapat, konflik agraria selama ini karena beberapa faktor, antara lain karena reformasi hukum dan kebijakan komprehensif belum dilaksanakan. Setidaknya ada empat hal mengindikasikan situasi ini. Pertama, ada beberapa ketentuan dalam UU bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan tentang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup. Ketiga, ketidaksinkronan antara peraturan perundangan-undangan SDA dan lingkungan dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Keempat, banyak peraturan daerah bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek. 

Lalu faktor kebijakan dan praktik penerbitan izin, khusus bagi usaha skala besar. Selama ini, belum mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik, sarat korupsi, tidak mengakui hak-hak masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal. “Juga petani dan nelayan, terutama mereka yang tidak bertanah serta membatasi akses mereka terhadap tanah dan SDA,” kata Prof. Endriatmo Sutarto. 

Faktor lain, katanya, terdapat konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang atau badan hukum yang mengakibatkan kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah menjadi lebar, kata Dr. Soeryo Adiwibowo. Begitu pula ada sejumlah perjanjian investasi dan perdagangan bilateral dan multilateral berseberangan dengan semangat keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup.

Konflik agraria pun makin akut karena penyelesaian lebih mengedepankan legal formal. Konflik tidak terdeteksi secara dini karena belum penanganan pengaduan oleh pemerintah daerah belum optimal. Konflik sudah bereskalasi karena tindak kekerasan aparat keamanan yang seharusnya berdiri diatas segala pihak justru melindungi kepentingan pemodal. “Dengan cara yang patut diduga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai tanah atau SDA  masyarakat “ kata Dr. Satyawan Sunito dari IPB.
Para pakar ini sepakat sustainable economic growth atau pembangunan berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan mencapai jika konflik agraria tidak diselesaikan atau penyelesaian dengan cara-cara  represif.

Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria terdiri dari pengajar, peneliti dan pemerhati studi agraria. Mereka menyampaikan sejumlah usulan perbaikan kepada Presiden. Beberapa di antaranya adalah melaksanakan seluruh amanah Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara konsisten. Segera bentuk lembaga independen untuk penyelesaian tuntas konflik agraria yang bersifat massif dan berdampak luas di masa lalu dan masa kini. 

Kelompok ini juga meminta Presiden mengkaji ulang kebijakan perizinan (pemberian) hak dan moratorium pemberian izin/hak selama pengkajian ulang. Meminta Presiden, menugaskan Menkumham memimpin pengkajian ulang peraturan perundang-undangan, Kepala BPN meninjau ulang alas hak penguasaan tanah dari perusahaan berkonflik. Juga menindak tegas semua pelanggaran terkait pemberian hak atas tanah yang berindikasi tindak pidana. “Presiden diminta menugaskan Menteri Kehutanan segera menyelesaikan konflik pada desa-desa di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan hutan,” kata Myrna. 

Para anggota Forum meminta Presiden memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI mengusut tuntas tindak kekerasan oleh aparat Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis LSM. Juga  menghentikan penggunaan cara-cara kekerasan oleh aparat dan membebaskan aktivis LSM warga masyarakat hukum adat,  petani dan nelayan yang saat ini ditangkap  dan ditahan oleh aparat kepolisian.

Gerakan akademisi ini bersifat independen, sukarela dan semata-mata didasarkan pada tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejumlah guru besar bergabung ke dalam gerakan ini seperti Prof. Sediono Tjondronegoro, Prof Gunawan Wiradi, Prof Maria Sumardjono, Prof Hariadi Kartodihardjo. Demikian pula mendukung aktif gerakan ini sejumlah dosen, peneliti dari LIPI dan lembaga penelitian lain.

Informasi lebih lanjut tentang kegiatan ini hubungi:
Myrna A. Safitri, Ph.D (sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria)
HP: 0816861372, e-mail: myrna_safiri@yahoo.com
Selengkapnya...

Rabu, Februari 06, 2013

Komnas HAM Minta Polda Sumsel Serius Tangani Kasus Sengketa Tanah

 Palembang, - - Petani dan polisi bentrok saat aksi unjuk rasa di Mapolda Sumatera Selatan, Jalan Jenderal Sudirman, Palembang, Selasa (29/01). Polisi diminta untuk tidak melihat kasus bentroknya demonstran sebagai kasus kriminal.

"Saya meminta peristiwa ini jangan dilihat sebagai peristiwa kriminal biasa. Peristiwa ini tetap harus dilihat latar belakangnya yakni terkait kasus sengketa tanah antara PTPN VII Cinta Manis dengan para petani," kata Nur Kholis kepada detikcom, Selasa (29/01/2013) malam.

Oleh karena itu, Nur Kholis berharap Kapolda Sumsel dapat menyelesaikan persoalan ini dengan arif dan bijaksana, sehingga peristiwa ini tidak meluas menjadi lebih besar lagi. Selain itu, Nur Kholis meminta Pemerintah Provinsi Sumsel dan Pemkab Ogan Ilir agar serius menyelesaikan kasus ini.

"Seriuslah, sebab ini menyangkut nasib banyak orang. Sebab hal ini tidak akan lepas dari peran pemerintah daerah," imbuhnya.

Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Walhi Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan jika rekan-rekannya tidak segera dilepaskan maka kemungkinan besar akan ada aksi susulan.

"Sejumlah kawan jaringan sudah siap melakukan aksi besok, seandainya kawan-kawan dan para petani tidak segera dilepaskan," kata Hadi.

Kapolresta Palembang Kombes Sabarudin Ginting mengatakan ada anggotanyajuga ada yang terluka.

"Anggota kami juga ada yang luka akibat benda bambu runcing," kata kepada wartawan.

Sementara Kabid Humas Polda Sumsel Djarot Padakova mengatakan ada dua korban luka ringan. "Ada dua korban luka ringan, tidak ada luka berat, dan sudah ditangani," katanya.

Berdasarkan data di Walhi Sumsel, ada 26 pengunjuk rasa yang ditahan pihak kepolisian. 12 orang di Polda Sumsel dan 14 orang di
Polresta Palembang. Selain itu, ada dua sepeda motor milik petani yang berunjuk rasa belum diketahui keberadaannya.

"Kami lagi melacaknya," kata Sudarto Marelo dari Walhi Sumsel.

Sumber : http://news.detik.com/read/2013/01/29/232824/2155821/10/ 
Selengkapnya...

Kontras Nilai Penangkapan Aktivis Walhi Sumsel Non Prosedural

SuaraSumsel.com - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai penangkapan terhadap aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) non prosedural. Untuk itu Kontras meminta Polda Sumsel untuk membebaskan aktivis Walhi tersebut. 
 
Tim Advokasi Kontras Samsul Munir bahkan menyebut proses hokum terhadap aktivis tersebut harus segera dihentikan. Ia bahkan meminta kejelasan status bagi petani yang juga dianggap terlibat dalam kerusuhan yang menelan korban luka-luka beberapa waktu yang lalu.
 
"Proses hukum ini harus dihentikan. Polda juga harus mengklarifikasi status sebagai tersangka atau hanya saksi terhadap sembilan petani yang sempat ditahan dua hari ketika terjadi aksi yang berakhir ricuh pada 29 Januari 2013 lalu” ungkap Samsul di Palembang Sabtu (2/2).
 
Samsul menegaskan tuduhan melakukan tindakan pengrusakan dan penganiayaan yang diberikan kepada aktifis Walhi tersebut tidak realistis. Menurutnya ketiga aktivis tersebut justru menjadi korban pemukulan hingga mengalami luka-luka dan memar di tubuhnya.

Selengkapnya...

Ribuan Orang Desak Polisi Bebaskan Anwar Sadat


 Jakarta - Ribuan orang mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan dan Kepala Polisi Republik Indonesia untuk segera membebaskan Anwar Sadat, aktivis Wahanan Lingkungan Hidup (Walhi) yang ditahan polisi setelah mendampingi protes warga petani Desa Betung, Ogan Ilir, Sumsel, 29 Januari 2013 silam.

Sebanyak lebih dari 7000 orang menandatangani petisi online di Change.org Indonesia mendesak polisi membebaskan Anwar dan 24 petani yang ditangkap. Tuntutan pembebasan Anwar dan para petani juga ramai disuarakan di Twitter dilengkapi dengan tagar #FreeAnwar.

"Anwar telah menjalani pemeriksaan dan tiga hari perawatan di RS Bhayangkara. Anwar mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat polisi saat memimpin demonstrasi petani Ogan Hilir. Mereka memperjuangkan tanahnya yang dikuasai PTPN VII," tulis Change.org, dalam siaran pers yang diterima Jumat (1/2).

Menurut Walhi polisi bertindak tidak manusiawi dengan membubarkan aksi demonstrasi petani diikuti kekerasan dan penangkapan . Dari 25 orang yang ditangkap, 22 telah dibebaskan. Sementara tiga di antaranya dinyatakan sebagai tersangka, termasuk Anwar.

Sumber : http://www.beritasatu.com/hukum/94708-ribuan-orang-desak-polisi-bebaskan-anwar-sadat.html 
Selengkapnya...

Amnesti Internasional Minta Indonesia Atasi Kekerasan



LONDON -- Amnesty International khawatir dengan terjadinya kekerasan yang terus-menerus, ancaman dan gangguan terhadap para pembela hak asasi manusia di Indonesia.

Kekhawatiran badan internasional yang berkedudukan di Inggris itu disampaikan Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia dan Timor-Leste Amnesty International Secretaria di London, Sabtu (2/2).

Dikatakannya Pemerintah Indonesia harus memastikan akuntabilitas atas pelanggaran HAM oleh polisi di Sumatra Selatan dan melakukan evaluasi menyeluruh selama memelihara ketertiban umum dengan memastikan memenuhi standar internasional.

Setidaknya tiga insiden terpisah sejak Juli tahun lalu yang melibatkan petani dari Kabupaten Ogan Ilir menyoroti polisi Indonesia gagal menangani operasi ketertiban umum tanpa menggunakan kekuatan berlebihan, dan bahkan mematikan.

Pada 29 Januari 2013 sekelompok sekitar 500 petani dari Kabupaten Ogan Ilir, didampingi aktivis dari cabang Sumatra Selatan dari Indonesia lingkungan organisasi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), berbaris ke markas Polisi Daerah (Polda) Sumatra Selatan di Palembang.

Menurut laporan yang dapat dipercaya, polisi menggunakan kekerasan yang tidak perlu dan berlebihan untuk membubarkan para pengunjuk rasa, yang berusaha memasuki kompleks kantor polisi. Puluhan pengunjuk rasa terluka, dan setidaknya satu aktivis HAM dari WALHI menderita cedera kepala. Dua puluh enam demonstran, termasuk dua aktivis, kemudian ditangkap oleh polisi.

Semua, kecuali tiga orang pengunjuk rasa telah sejak dilepas, Anwar Sadat, Ketua Eksekutif WALHI Sumatra Selatan, Dede Chaniago, seorang aktivis WALHI dan Kamaludin, seorang petani.

Semuanya masih berada dalam tahanan polisi dan didakwa dengan hasutan untuk melakukan kekerasan terhadap pemerintah, kekerasan terhadap orang lain atau barang, dan penganiayaan dengan ancaman hukuman sampai enam tahun penjara.

Para demonstran memprotes tindakan polisi di Polres Ogan Ilir dan orang tak dikenal lainnya dilaporkan memasuki desa Betung dan menuntut bahwa penduduk desa meninggalkan tanah mereka. Menurut sumber, polisi menghancurkan tempat ibadah di Desa Betung sebelum pergi. Telah terjadi sengketa tanah yang sedang berlangsung antara petani dan perusahaan perkebunan milik negara di Kabupaten Ogan Ilir sejak 1982

sumber : http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/13/02/02/mhkfnx-amnesti-internasional-minta-indonesia-atasi-kekerasan 
Selengkapnya...