JAKARTA - Konflik pertanahan di beberapa daerah, tak
pernah berkurang. Eskalasinya justru makin meningkat. Ini bukti
ketidakmampuan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dalam menangani konflik
semacam itu.
Menurut anggota Komisi II asal PDIP, Zainun Ahmadi,
tren melonjaknya konflik industrial pertanahan, tak bisa dipungkiri.
Sejak 2010, terjadi 106 konflik. Meningkat menjadi 163 konflik pada
2011. Dan, mencapai 198 konflik pada 2012. “Harus diakui, BPN lemah,”
tegasnya, Senin (6/5).
Kisruh di sektor pertanahan, lanjutnya,
harus segera disudahi. Karena memberikan dampak negatif terhadap iklim
investasi yang tengah digadang-gadang SBY. Kalangan investor bisa saja
mengalihkan rencana bisnisnya karena tak mau terlibat dalam sengketa
pertanahan yang marak akhir-akhir ini.
Dalam catatannya, terdapat
beberapa konflik pertanahan yang menyeret sejumlah perusahaan. Misalnya
konflik pertanahan PT Lestari Asri Jaya di Kabupaten Tebo (Jambi), PT
Tunggal Perkasa Plantations di Inhu (Riau), dan PT Barat Selatan Makmur
Investindo di Mesuji (Lampung). “Kalau didiamkan, jelas pemerintahlah
yang merugi. Menjadi preseden buruk bagi pertumbuhan investasi
nasional,” tuturnya.
Menurut Juru bicara Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), Galih Andreanto, konflik pertanahan terbesar terjadi di
sektor perkebunan. Disusul infrastruktur, pertambangan, kehutanan,
pertanian-tambak pesisir dan pesisir pantai.
Dari 198 konflik, 45
persennya konflik pertanahan di sektor perkebunan, 30 persen pembangunan
infrastruktur, 11 persen pertambangan, 10 persen kehutanan, 3 persen
pertanian tambak pesisir dan 1 persen kelautan dan wilayah pesisir
pantai.
Terpisah Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
(ICW) Emerson Juntho meminta lembaga peradilan peduli pada konflik
agraria yang belum tertangani secara maksimal. Kemarin, ICW bersama
dengan sejumlah aktifis lingkungan hidup yang tergabung dalam Koalisi
Tindak Kriminalsiasi mendatangi Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta.
"Sebenarnya
kedatangan kami untuk mendorong kepedulian pengadilan, khususnya
terkait konflik agraria di Indonesia. Khususnya terkait kasus aktivis
Walhi di Sumsel Anwar Sadat dan Dede Chaniago ketika melakukan
perjuangan hak-hak warga di perkebunan," ujar Icon, sapaan Emerson
Juntho di MA, Jakarta, Senin (6/5).
Pada kesempatan yang sama, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhandi menegaskan, selain mendatangi MA, pihaknya juga akan mendatangi dan meminta penegak hukum lainya dari kepolisian hingga MA untuk memperhatikan perihal ini. "Lembaga ini harus melihat kondisi di Indonesia. Sekarang ini ada 188 masyarakat yang mempertahankan haknya yang mengalami proses hukum sampai ke peradilan," katanya.
Zenzi menjelaskan, selama ini fungsi aparat penegak hukum dari mulai kepolisian sampai kejaksaan justru digunakan perusahaan besar untuk menghilangkan hak-hak masyarakat kecil. "Mereka justru dipakai oleh para pelaku kerusakan alam, dan para pelanggar hak asasi manusia," ucap Zenzi.
Akibat proses hukum ini, lanjut dia, mencedarai rasa kedailan masyarakat juga secara langsung menghilangkan hak-hak keturunan dari keluarga yang teraniaya. "Kita banyak melihat anak-anak tak sekolah karena mereka membela orangtuanya. Ini bisa dikatakan adil secara administarasi, tapi tak adil secara sosial atau hukumnya," tandas Zenzi. inc, lp6
Pada kesempatan yang sama, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhandi menegaskan, selain mendatangi MA, pihaknya juga akan mendatangi dan meminta penegak hukum lainya dari kepolisian hingga MA untuk memperhatikan perihal ini. "Lembaga ini harus melihat kondisi di Indonesia. Sekarang ini ada 188 masyarakat yang mempertahankan haknya yang mengalami proses hukum sampai ke peradilan," katanya.
Zenzi menjelaskan, selama ini fungsi aparat penegak hukum dari mulai kepolisian sampai kejaksaan justru digunakan perusahaan besar untuk menghilangkan hak-hak masyarakat kecil. "Mereka justru dipakai oleh para pelaku kerusakan alam, dan para pelanggar hak asasi manusia," ucap Zenzi.
Akibat proses hukum ini, lanjut dia, mencedarai rasa kedailan masyarakat juga secara langsung menghilangkan hak-hak keturunan dari keluarga yang teraniaya. "Kita banyak melihat anak-anak tak sekolah karena mereka membela orangtuanya. Ini bisa dikatakan adil secara administarasi, tapi tak adil secara sosial atau hukumnya," tandas Zenzi. inc, lp6
sumber :http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=ba28416a7c46176f1469d3d620bfbdca&jenis=c4ca4238a0b923820dcc509a6f75849b
0 komentar:
Posting Komentar