Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut ada enam fakta penyebab terjadinya konflik agraria yang melibatkan PTPN (PT Perkebunan Nusantara-Persero) di Sumatera, Jawa dan Sulawesi yang beroperasi selama tiga dekade terakhir ini.
"Pertama, masalah Konflik
agraria yang melibatkan rakyat dengan PTPN adalah bagian dari konflik
yang paling rumit, karena secara hukum celah yang memenangkan rakyat
sangat kecil. Sebab harus melalui Menteri BUMN, Menteri Keuangan,
Direksi PTPN, BPN dan Pemda. Ini juga disebabkan pandangan atas asset
negara terhadap BUMN," ungkap Kepala Departemen Penguatan Organisasi
Rakyat KPA, Kent Yusriansyah dalam keterangan pers yang diterima
Aktual.co, Selasa (30/4).
Kemudian, lanjut Kent,
fakta kedua adalah PTPN beroperasi setelah menguasai tanah/lahan hasil
nasionalisasi seperti di beberapa bagian Sumatera dan Jawa. Lahan PTPN
“diperoleh” dari proses nasionalisasi perkebunan milik perusahaan asing
khususnya warga Belanda pada era 1950-an. "Sementara kita tahu bahwa
perkebunan tersebut dahulunya dibangun dengan cara merampas tanah-tanah
rakyat khususnya masyarakat adat setempat dan hingga sekarang tidak
pernah dikembalikan kepada masyarakat," tutur Kent.
Ketiga,
sambung Kent, PTPN mendapat izin lokasi lahan karena pelepasan kawasan
hutan tanpa ganti kerugian yang jelas dan pelepasan hak yang jelas,
sehingga terjadi tumpang tindih kawasan karena alih fungsi lahan.
Kent
menambahkan, fakta keempat ada banyak PTPN tidak punya HGU, atau luas
lahannya jauh melampui HGU, ini adalah peluang korupsi dan penggelapan
pajak seperti PTPN VII.
"Contoh kongkrit
lainya kita bisa melihat kasus Bupati Buol karena terbukti menerima suap
dan ditahannya pengusaha Hartati Murdaya oleh KPK karena didakwa
melakukan penyuapan dalam pengurusan rekomendasi Hak Guna Usaha (HGU)
perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, adalah bukti nyata
“korupsi agraria” yang selama ini terkesan samar namun telah menjadi
rahasia umum," ujar Kent.
Fakta kelima, imbuh
Kent, banyak lahan PTPN yang terlantar karena habis masa HGU-nya
sesungguhnya sudah diredistribusikan lahannya kepada rakyat melalui S.K
Landreform seperti di PTPN II Sumatera Utara kabupaten Deli Serdang.
Kent
melanjutkan, fakta keenam adalah PTPN di Riau, Jambi dan Kalimantan
sebagai PTPN baru punya masalah soal inti plasma yang juga proses
datangnya PTPN merampas tanah dan mengkriminalisasi petani penggarap.
"Awalnya,
masyarakat menyerahkan lahan untuk dibangun kebun plasma oleh
perusahaan. Sebelum melangkah kepada pembangunan kebun, perusahaan
melakukan MoU dengan masyarakat. Karena abainya pemerintah khususnya
tingkat daerah dalam melindungi warganya, kerapkali perjanjian kerjasama
yang merugikan petani tidak dipahami oleh para petani. Akibatnya,
sering ditemukan tanah-tanah milik masyarakat yang diserahkan kepada
perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma, justru dimasukan
dalam sertifikat HGU," urai Kent.
Dari enam fakta
kongkrit yang mendasari konflik agaria di sektor perkebunan khususnya
PTPN yang secara umur sudah 3 dekade, menurut Kent, justru peran
pemerintah agak abai dalam melihatnya. Bahkan cenderung lambat meskipun
kemarin (29/4) lewat Sesgab yang melalui keterangan persnya saat
menjelaskan Surat Edaran Nomor WE.03/Seskab/IV/2013 dengan klasifikasi
penting terkait laporan hasil kajian serta pemetaan Badan Informasi
Geospasial (BIG) tentang potensi konflik akibat tumpang tindih lahan.
0 komentar:
Posting Komentar