WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Rabu, Mei 01, 2013

Ini Dia Enam Fakta Konflik Agraria Libatkan PTPN

 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut ada enam fakta penyebab terjadinya konflik agraria yang melibatkan PTPN (PT Perkebunan Nusantara-Persero) di Sumatera, Jawa dan Sulawesi yang beroperasi selama tiga dekade terakhir ini.


"Pertama, masalah Konflik agraria yang melibatkan rakyat dengan PTPN adalah bagian dari konflik yang paling rumit, karena secara hukum celah yang memenangkan rakyat sangat kecil. Sebab harus melalui Menteri BUMN, Menteri Keuangan, Direksi PTPN, BPN dan Pemda. Ini juga disebabkan pandangan atas asset negara terhadap BUMN," ungkap Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat KPA, Kent Yusriansyah dalam keterangan pers yang diterima Aktual.co, Selasa (30/4).
 
Kemudian, lanjut Kent, fakta kedua adalah PTPN beroperasi setelah menguasai tanah/lahan hasil nasionalisasi seperti di beberapa bagian Sumatera dan Jawa. Lahan PTPN “diperoleh” dari proses nasionalisasi perkebunan milik perusahaan asing khususnya warga Belanda pada era 1950-an. "Sementara kita tahu bahwa perkebunan tersebut dahulunya dibangun dengan cara merampas tanah-tanah rakyat khususnya masyarakat adat setempat dan hingga sekarang tidak pernah dikembalikan kepada masyarakat," tutur Kent.
 
Ketiga, sambung Kent, PTPN mendapat izin lokasi lahan karena pelepasan kawasan hutan tanpa ganti kerugian yang jelas dan pelepasan hak yang jelas, sehingga terjadi tumpang tindih kawasan karena alih fungsi lahan.
 
Kent menambahkan, fakta keempat ada banyak PTPN tidak punya HGU, atau luas lahannya jauh melampui HGU, ini adalah peluang korupsi dan penggelapan pajak seperti PTPN VII. 

"Contoh kongkrit lainya kita bisa melihat kasus Bupati Buol karena terbukti menerima suap dan ditahannya pengusaha Hartati Murdaya oleh KPK karena didakwa melakukan penyuapan dalam pengurusan rekomendasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, adalah bukti nyata “korupsi agraria” yang selama ini terkesan samar namun telah menjadi rahasia umum," ujar Kent.
 
Fakta kelima, imbuh Kent, banyak lahan PTPN yang terlantar karena habis masa HGU-nya sesungguhnya sudah diredistribusikan lahannya kepada rakyat melalui S.K Landreform seperti di PTPN II Sumatera Utara kabupaten Deli Serdang.
 
Kent melanjutkan, fakta keenam adalah PTPN di Riau, Jambi dan Kalimantan sebagai PTPN baru punya masalah soal inti plasma yang juga proses datangnya PTPN merampas tanah dan mengkriminalisasi petani penggarap. 

"Awalnya, masyarakat menyerahkan lahan untuk dibangun kebun plasma oleh perusahaan. Sebelum melangkah kepada pembangunan kebun, perusahaan melakukan MoU dengan masyarakat. Karena abainya pemerintah khususnya tingkat daerah dalam melindungi warganya, kerapkali perjanjian kerjasama yang merugikan petani tidak dipahami oleh para petani. Akibatnya, sering ditemukan tanah-tanah milik masyarakat yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan untuk dibangun kebun plasma, justru dimasukan dalam sertifikat HGU," urai Kent.
 
Dari enam fakta kongkrit yang mendasari konflik agaria di sektor perkebunan khususnya PTPN yang secara umur sudah 3 dekade, menurut Kent, justru peran pemerintah agak abai dalam melihatnya. Bahkan cenderung lambat meskipun kemarin (29/4) lewat Sesgab yang melalui keterangan persnya saat menjelaskan Surat Edaran Nomor WE.03/Seskab/IV/2013 dengan klasifikasi penting terkait laporan hasil kajian serta pemetaan Badan Informasi Geospasial (BIG) tentang potensi konflik akibat tumpang tindih lahan.



Artikel Terkait:

0 komentar: