WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Desember 26, 2011

Bima, Sudut Kecil Ruang Hidup Rakyat

Oleh : Pius Ginting Juru Kampanye Tambang dan Energi WALHI Nasional

Sekali masa, Marx menulis surat  bahwa era  kapital pada masa pertengahan abad 19 belum mendekati usai. Ruang luas untuk berkembang masih tersedia. Kapital baru berkembang di sudut kecil dunia (a little corner of the world), benua Eropa Barat. Banyak ruang benua belum dieksploitasi, jadi sumber bahan mentah dan lalu pasar tambahan. Tambang di Papua belum lagi dipetakan, bahkan riwayat panjang tambang timah di pulau Bangka oleh kapital Belanda baru dimulai tahun 1850.

Kini, awal abad 21. Kapital benar-benar menguasai semua ruang hidup. Sebaliknya, ruang hidup rakyat lah yang tersisa tinggal sudut-sudut kecil. Perusahaan perkebunan, pertambangan, industri kayu menempati sebagian besar ruang hidup di Indonesia dan negeri terbelakang lainnya. Tak hanya di darat, di laut pun ruang hidup rakyat terdesak ekspansi kapital. Sengketa rakyat dan kapital terjadi di lepas pantai Teluk Tolo, pulau  Tiaka, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah Agustus 2011 adalah salah satu contoh.

Kapital telah mengeksploitasi hampir sempurna semua benua, ruang hidup rakyat. Kapital  telah hisap minyak Indonesia lewat beragam bendera korporasi, seperti Caltex (kini Chevron), Shell dan lainnya hingga Indonesia telah lewati puncak produksi minyaknya tahun 1977.

Di negeri terbelakang, salah satu prioritas kapital adalah memakan sumber daya alam, sektor yang perlu lahan luas. Ekspansi kapital terhadap sisa-sisa terakhir ruang hidup rakyat tak terelakkan menimbulkan konflik intens. Kapital yang menghidupri diri di sektor sumber daya alam membutuhkan ruang luas, dan bagaimanapun rakyat perlu ruang hidup. Penghujung tahun 2011 kembali terjadi konflik rakyat dengan kapital, yakni di Bima, pulau Sumbawa, NTB.

Luas pulau Sumbawa adalah 14.386 km persegi. Di sebelah barat, telah terdapat tambang Newmont Nusa Tenggara. Kini menguasai ruang seluas 13,2 kilometer persegi untuk tambang Batu Hijau.[1] Newmont mengklaim memiliki tiga blok tambang lain ke arah timur, yakni Lunyuk Utara, Elang, Rinti, dan Teluk Panas. Keseluruhan blok baru ini akan membutuhkan lahan lebih luas dibanding tambang Batu Hijau. Belum lagi penggunaan ruang lautan yang terdampak limbah tambang, kini besarnya 140.000 ton per hari (21 kali harian sampah kota Jakarta) dibuang ke Teluk Senunu, sebelah barat daya P.Sumbawa. Sebelah timur pulau Sumbawa adalah Kabupaten Bima.

Pilkada dan Izin Pertambangan
Tanggal 28 April 2010 adalah tanggal disahkannya paket 15 buah  izin usaha pertambangan oleh Bupati Bima. Adalah janggal izin pertambangan dikeluarkan sebanyak itu sekaligus di tingkat Kabupaten, mengingat pertambangan membutuhkan ruang yang luas.  PT. SMN dapatkan IUP bernomor
188/45/357/004/2010, seluas 24.980 Ha; dan  PT. Indo Mineral Cipta Persada mendapatkan 3 Izin Usaha Pertambangan. Luas Izin Usaha Produksi mineral logam minimal 5.000 (lima ribu) hektare dan maksimal 100.000 (seratus ribu) hektar, menurut Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Luas ke 15 izin perusahaan tersebut jauh diatas luas minimum, seperti tambang SMN.  Kelimabelas izin ini dikeluarkan dua bulan jelang Pilkada Bima, 7 Juni 2010. Sudah sering dilaporkan aktivis dan media bahwa para kepala daerah yang ikut lagi dalam ajang pilkada obral izin untuk dapatkan dana pemenangan. Ridha Saleh, dari Komnas HAM menyatakan dana izin pertambangan dimanfaatkan oleh kepala daerah incumben untuk menghimpun dana kampanye pilkada. Indikasinya, pemerintah daerah royal mengeluarkan izin pertambangan menjelang pemilihan kepala daerah.[2]

Pilkada Bima 2010 tergolong sengit, bahkan kantor partai kandidat yang menang pilkada dibakar warga yang kecewa calonnya kalah. Kesengitan tentu berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan. Sengketa pilkada ini pun berlanjut ke Mahkamah Konstitusi, namun pengadilan tetap memenangkan kandidat incumbent yang keluarkan izin tambang tersebut.


Kian tumbuh,  kian mendominasi ruang hidup rakyat
PT. SMN beroperasi di kecamatan Lambu dan Kecamatan Sape. Dalam mengerjakan proyek tambang di Bima, perusahaan ini mengajak Arch Exploration, perusahaan tambang terdaftar di Australia. PT.SMN tampaknya dipasang untuk mendapatkan izin-izin dari bupati. Disamping Bima, PT. SMN juga koalisi dengan Arch Exploration untuk proyek tambang emas di Trenggalek, Jawa Timur.

Managing Director Arch Exploration Limited, John Carlile seorang geologis lebih dari 30 tahun bekerja di eksplorasi emas di perusahaan BHP dan Newcrest (perusahaan induk Nusa Halmahera Mineral, NHM) di Asia, Indonesia. Sebelumnya, sebagai manajer ekplorasi bagi tambang  Newcrest Mining, John bertanggung-jawab bagi pembangungan dan pengelolaan eksplorasi, akusisi dan  sejumlah aktivitas korporasi yang berujung kepada penemuan jutaan ons emas di Gosowong, Kabupaten Halmahera Utara.

John Carlile bisa saja melihat dengan mata sendiri Rusdi Tungapi mati ditembak polisi pada tahun 2006 setelah aksi rakyat sekitar tambang menolak hutan dan tanah pertanian mereka dirusak operasi pertambangan di sekitar Teluk Kao, Halmahera. Berdasarkan penuturan, warga yang protes dikumpulkan, di suruh jongkok. Oleh komandan kepolisian, Rusdi Tungkapi disuruh berdiri dan maju ke depan. Ditembak di depan manajer dan staf perusahaan. Sayang, rekaman media tidak ada seperti kejadian di Pelabuhan Sape, di Bima. Tapi melihat kejadian penembakan di Bima terhadap rakyat dalam posisi yang tak menyerang  sama sekali, tampaknya kekejaman kepolisian tersebut masuk akal terjadi.

John ditunjuk menjadi Managing Director Arc Exploration pada tahun 2008[3]. Sebagai eksekutif di perusahaan, dia memastikan budaya kerja perusahaan dan perwakilan ideologi perusahaannya dalam pelaksanaan misi perusahaan. Dia menerapkan perubahan di perusahaan untuk “meningkatkan efesiensi dan meningkatkan keuntungan bagi perusahaan”.

Arc Exploration mengeluhkan penolakan masyarakat yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang di Bima pada bulan Febuari 2010. Rakyat yang akrab dengan tanah dan laut hidup sebagai petani dan nelawan tentu peka akan daya dukung lingkungan bagi kehidupan mereka. Bima sebelah timur berbatasan laut dengan Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. Di Kabupaten ini penolakan masyarakat terhadap tambang membuat Bupati yang baru saja menang Pilkada tahun 2010 mengeluarkan surat menghentikan semua kegiatan izin pertambangan.

Untuk tetap menjalankan operasi tambangnya, Arch Exploration nyatakan dalam Quarter Activities Report Juni 2011 akan melakukan diskusi dan pertemuan intens dengan pejabat pemerintah. Lalu, 29 November 2011, perusahaan nyatakan memulai kembali operasinya.[4] Rakyat agraris yang sangat tergantung kepada alam dalam setiap hari kehidupannya tentu merasa terancam dengan kegiatan tambang yang membongkar lapisan tanah yang bisa dicocok-tanami. Lanjutnya kembali kegiatan tambang inilah yang mendorong warga melakukan aksi protes hingga melakukan aksi pendudukan di Pelabunan Sape, Kabupaten Bima.

Di jajaran direktur Arc Exploration, terdapat George Tahija. Sebagai direktur non eksekutif, dia terlibat dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan perusahaan, mengawasi mendorong kinerja direktur eksekutif dan manajemen. Pada saat yang sama dia juga sebagai seorang Komisaris Freeport Indonesia. George adalah anak Julius Tahija.

 Julius pernah jadi  sersan tentara KNIL, lalu menjadi Ketua Dewan Direksi PT Caltex Pacific Indonesia  (kini Chevron) pada tahun 1966, saat Orde Baru membukakan pintu lebar bagi investasi asing di Indonesia. Julius bisa meraih jabatan tertinggi di Caltex tentunya tak terlepas dari jasanya menyelamatkan perusahaan tersebut dinasionalisasi pada tahun 1950-1965 karena kedekatan eratnya dengan Sukarno. Julius dan petinggi Caltex lainnya mendorong agar Freeport melakukan investasi di Indonesia pada tahun 1965[5]. Atas  jasanya, Julius diberikan saham oleh Freeport. Padahal, pemerintah sendiri sebagai representasi kepentingan publik Indonesia tidak mendapatkan saham dari Freeport pada masa tersebut.   

George adalah salah seorang personifikasi kapital yang terus berkembang, dari generasi bapaknya awal masa Orde Baru hingga awal abad 21, berusaha dapatkan ruang baru untuk berkembang. Kendati itu bertabrakan dengan ruang hidup rakyat.

William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik Universitas Ohio, tanggal 8 Desember 2011 dalam orasinya pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture V, didukung perusahaan tambang Newmont Nusa Tenggara menyebutkan “”ekonomi kapitalis pasar sebagai sistem ekonomi yang paling baik.” [6] Ajuran dia, “kita perlu meninggalkan tradisi teoretisi sosial Karl Marx dan menggantikannya dengan pendekatan filsuf politik Niccolo Machiavelli. Pendekatan Marx terjerumus dalam perang antarkelas dan kurang peka pada cara-cara lain untuk menambah dan meratakan sumber daya politik. Sebaliknya, pendekatan Machiavelli terfokus
pada peran individu selaku aktor mandiri yang memiliki, menciptakan, dan memanfaatkan sumber daya politik demi pencapaian tujuannya. Sang individu ciptaan Machiavelli merupakan basis yang menjanjikan buat sebuah theory of action, teori tindakan.”

Sungguh, tindakan Brimob Polda NTB adalah sebuah tindakan Machiavellis. Moralitas pribadi dan publik harus dilepaskan dalam mengatur. Penguasa harus bisa bertindak tak sesuai moral, secara metodik lakukan kekerasan, penipuan dan sejenisnya.

Pilihan waktu penyerangan saat akhir pekan, jelang liburan Natal dan Tahun Baru, diharapkan kurangi  perhatian publik. Mengulang kembali kesuksesan penembakan Yurifin dan rakyat Kolo Bawah diatas perahu kecil lepas Pantai Tolo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, usai protes atas ingkar janji kesejahteraan oleh Medco-Pertamina, di Pulau Tiaka.  Serangan sukses,. Komandan, Anggota Kepolisian, personel Perusahaan tidak ada yang diadili atas pelanggaran HAM atau pidana, atas hilangnya nyawa rakyat bersenjatakan semangat penyelamatan ruang hidup!

Tapi rakyat Bima, Kolo Bawah, Mesuji, sekitar Teluk Kao dll tidak akan bisa diam lama. Karena mereka sungguh terdesak di sudut kecil ruang hidup yang tersisa.  Kemana mereka lagi mereka pergi? Atau bakar diri bersama, bapak, ibu, anak, depan kantor Bupati?

----------------------------------
 


[1] http://www.infomine.com/minesite/minesite.asp?site=batuhijau

[2] http://www.vhrmedia.com/Obral-Izin-Tambang-Menjelang-Pilkada--berita4489.html

[3]http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1131-51684774/WiseOwlIndonesianGold


[4] http://www.arcexploration.com.au/IRM/Company/ShowPage.aspx/PDFs/1497-50502448/ExplorationRecommencesatBima


[5] Denise Leith, The Politics of Power, Freeport in Soeharto’s Indonesia, University Hawai’i Press 2003

[6] http://www.paramadina.or.id/2011/12/09/publikasi/artikel/marx-atau-machiavelli.html



Artikel Terkait:

0 komentar: