SIARAN PERS Walhi Sumsel
Nomor : 001/ EDWSS/ S.Pers/II/2010
“ BPK,KPK dan Kepolisian harus melakukan tindakan yang sama, terhadap Perusahaan Tambang Batubara lain nya yang disinyalir juga melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh PT. BBK “
Berdasarkan Hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2008, terhadap pengelolaan pertambangan batubara PT Batubara Bukit Kendi (BBK) anak usaha Tambang Batubara PT. Bukit Asam (PTBA). Ditemukan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 1,6 miliar akibat kegiatan penambangan batubara di kawasan Hutan Produksi di Kabupaten Muara Enim tanpa izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Dan hal ini berdasarkan keterangan dari Pihak BPK mengandung Unsur pidana Korupsi sehingga pihak penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun saat ini terlibat aktif untuk melakukan pengusutan oknum-oknum yang terlibat atas tindak Pidana ini.
Tepat pada tanggal 18 Februari 2010 yang lalu, Pihak Mabes Polri melalui Direskrim Tipiter V melakukan penutupan terhadap seluruh kegiatan penambangan PT.BBK dengan luas sekitar 882 Ha di wilayah Muara Enim dan Lahat, yang telah melakukan usahanya sejak tahun 1996. Atas langkah yang dilakukan oleh BPK, KPK dan Pihak Kepolisian yang melakukan penutupan terhadap kegiatan pertambangan, dan diikuti dengan penyitaan terhadap seluruh peralatan milik PT. BBK dan Kontraktornya tersebut, Patutlah kami berikan apresiasi yang sebesar besarnya.
Akan tetapi tindakan yang telah dilakukan tersebut, menurut kami tidaklah Berhenti hanya sebatas pada penutupan Perusahaan pertambangan PT.BBK ini saja, tetapi tindakan yang sama harus juga dilakukan pada Perusahaan lain nya yang memiliki Kuasa Pertambangan di Propinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan data yang kami miliki dari 229 Kuasa Pertambangan dengan luasan lahan 2.387.441,83 Ha, disinyalir terdapat sedikitnya 20.000 Hektar kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lahat dan Muara Enim dijadikan sebagai kawasan penambangan terbuka oleh beberapa perusahaan, Seperti : PT. Bukit Asam, PT Batubara Lahat, PT Bumi Merapi Energi, PT. Bara Alam Utama, PT. Muara Alam Sejahtera dan PT. DAU. Kuasa Penambangan (KP) tersebut tersebar dibeberapa Kecamatan, diantaranya; Kecamatan Merapi Barat, Merapi Timur,Merapi Selatan, Gumay Talang, Kikim Barat, Kikim Timur dan Pulau Pinang. Yang juga belum mendapatkan IZIN PINJAM kawasan dari Menteri Kehutanan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
Berdasarkan beberapa hal yang telah diuraikan diatas. Maka, kami menyatakan :
- Mendesak BPK, KPK, Pihak Kepolisian dan Instansi terkait lain nya, untuk segera melakukan penyidikan terhadap Perusahaan Tambang lain seperti PT. Bukit Asam, PT Batubara Lahat, PT Bumi Merapi Energi, PT. Bara Alam Utama, PT. Muara Alam Sejahtera dan PT. DAU yang kami Sinyalir telah menggunakan kawasan Hutan sebagai Lokasi penambangan Batu bara yang juga belum mendapatkan Izin Pinjam dari Menteri Kehutanan.
- Mendesak BPK, KPK dan Pihak Kepolisian untuk mengusut secara Tuntas atas keterlibatan Semua Pihak, baik itu Pihak Perusahaan maupun pihak pemerintah yang telah membiarkan pelanggaran ini terjadi, sehingga menyebabkan kerugian Negara mencapai 1,6 Milyar.
- Mendesak Pihak Perusahaan untuk segera melakukan Pemulihan terhadap kawasan Hutan, dan atau Kawasan Kuasa Pertambangan Perusahaan PT.BBK, yang telah mengalami kerusakan atas dampak dari aktifitas pertambangan yang telah dilakukan oleh Perusahaan selama ini.
Palembang, 25 Februari 2010
Eksekutif Daerah
Walhi Sumatera Selatan
Hadi Jatmiko
Kadiv Pendidikan dan Pengorganisasian Rakyat (PPR)
Dibawah ini adalah berita di salah satu media Nasional yang memuat Siaran Pers diatas.
Walhi Sumsel Mendesak Penutupan Tambang Batu Bara
Sabtu, 27 Februari 2010 | 04:14 WIB
Palembang, Kompas - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan meminta agar dilakukan penutupan sejumlah tambang batu bara di Sumsel. Alasannya, tambang tersebut berlokasi di kawasan hutan dan tanpa dilengkapi izin.
Kepala Divisi Pendidikan dan Pengorganisasian Rakyat Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko, Kamis (25/2), mengatakan, Walhi Sumsel menyambut baik tindakan Mabes Polri yang menutup kegiatan pertambangan PT Batu Bara Bukit Kendi di Kabupaten Muara Enim.
Perusahaan itu beroperasi sejak 1996 di lokasi hutan produksi seluas 882 hektar, tetapi tidak memiliki izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Akibatnya, negara menderita kerugian sekitar Rp 1,6 miliar.
Tergolong korupsi
Kegiatan penambangan tanpa izin itu juga terindikasi sebagai tindak pidana korupsi. Itu sebabnya penyidik dari KPK pun terlibat dalam penyelidikan kasus tersebut.
Menurut Hadi, seharusnya penutupan tambang batu bara juga dilakukan pada perusahaan lain yang beroperasi di lokasi hutan produksi dan tidak memiliki izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. Padahal, izin itu sudah diatur dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
”Walhi Sumsel mendesak BPK, KPK, dan kepolisian untuk menutup tambang batu bara lainnya yang tidak memiliki izin dari Menteri Kehutanan,” kata Hadi.
Di samping itu, menurut dia, PT Batu Bara Bukit Kendi harus segera memulihkan kawasan hutan dan kawasan kuasa pertambangan yang mengalami kerusakan.
Berdasarkan data Walhi Sumsel, di Sumsel terdapat 229 kuasa pertambangan dengan luas lahan 2,3 juta hektar. Dari luas lahan itu, sekitar 20.000 hektar di antaranya berada dalam kawasan hutan di Kabupaten Lahat dan Muara Enim.
Lokasi tambang batu bara tanpa izin Menteri Kehutanan tersebut tersebar di Kecamatan Merapi Barat, Merapi Timur, Merapi Selatan, Gumay Talang, Kikim Barat, Kikim Timur, dan Pulau Pinang. Menurut catatan Kompas, Sumsel memiliki cadangan batu bara 22,24 miliar ton atau 40 persen dari total cadangan batu bara nasional.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan berambisi menjadi produsen batu bara terbesar di Indonesia, dengan meningkatkan produksi dari 9,28 juta ton menjadi 80 juta ton per tahun pada 2012. Saat ini, produsen batu bara terbesar di Indonesia adalah Kalimantan Timur, dengan volume produksi 60 juta ton per tahun.
Tidak melapor
Kepala Badan Lingkungan Hidup Sumsel Ahmad Najib mengungkapkan, masih ada perusahaan tambang batu bara di Sumsel yang tidak melaporkan rencana kelola lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) secara teratur.
RKL dan RPL harus dilaporkan secara teratur karena terkait dengan perjanjian dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Dalam dokumen amdal disebutkan, perusahaan harus melaporkan RKL dan RPL secara teratur kepada Gubernur Sumsel dan dilanjutkan sampai Menteri Lingkungan Hidup.
”Kalau perusahaan tidak melaporkan RKL dan RPL, berarti tidak sesuai dengan dokumen amdal. Misalnya, terjadi perubahan kapasitas produksi, itu harus dilaporkan karena berdampak terhadap lingkungan,” kata Ahmad.
Patuhi aturan
Mengenai penutupan tambang batu bara Bukit Kendi, Ahmad menegaskan, perusahaan pertambangan harus patuh pada aturan mengenai lingkungan hidup. Ketaatan serta kepatuhan perusahaan pertambangan terhadap aturan mengenai lingkungan tidak bisa ditawar.
”Saya berharap tidak cuma perusahaan Bukit Kendi yang diperiksa. Perusahaan lain juga harus diperiksa meskipun sepengetahuan saya tak ada tambang batu bara di Sumsel yang tidak dilengkapi izin seperti Bukit Kendi,” ujar Ahmad. (WAD)
Selengkapnya...